"SETIAP ORANG YANG MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH
DALAM BENTUK IBADAH YANG DITEKUNINYA DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH, TETAPI IA TIDAK MENGENAL IMAM YANG DIUTUS ALLAH,
MAKA SEMUA AMAL USAHANYA ITU TIDAK DITERIMA. . . . . . ."
(AL KAHFI)
hsndwsp
Acheh - Sumatra
DALAM BENTUK IBADAH YANG DITEKUNINYA DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH, TETAPI IA TIDAK MENGENAL IMAM YANG DIUTUS ALLAH,
MAKA SEMUA AMAL USAHANYA ITU TIDAK DITERIMA. . . . . . ."
(AL KAHFI)
hsndwsp
Acheh - Sumatra
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Hemat saya, kalau system tidak benar Mesjidpun ikut tidak benar. Mengapa hanya tgk Imum doang yang shalat di mesjid? Kebanyakan orang dikawasan tersebut terlalu sibuk mencari rezki dimana system tidak memihak kepada mereka sementara orang-orang yang berkecukupan, kemungkinan besar harta yang diperolehnya tidak halal. Ini menunjukkan mereka itu tidak perduli shalatnya.
Panitia mesjidpun pada umumnya membangun mesjid untuk lapangan kerjanya. Saya pernah amati beberapa mesjid yang dibangun dengan donatur yang melim pah melalui edaran celeng dan kerapkali si pengedar celengpun mengambil sebagiannya tanpa diketahui orang yang bertanggungjawab terhadap celeng tersebut. Ironisnya masih juga diserobot dana fakir-miskin baik dari zakat fitrah maupun zakat tahunan.
Senif penerima zakat itu ada 8 menurut firman Allah dan hadist RasulNya. Realita pada hampir kampung dan kota hanya yang ada Fakir, miskin dan amil atau pekerja zakat. Seharusnya 5 hak senif yang tidak wujud dileburkan kepada fakir dan miskin hingga dua golongan tersebut memiliki hak yang lumaian tapi dileburkan kepada 3. Akibatnya penerima hak amil jauh lebih banyak dibanding kan hak setiap miskin bahkan fakir. Padahal hak amil sekedar saja agar terlaksa nanya tugas tersebut. Allah memfokuskan zakat pada fakir dan miskin. Andaika ta golongan itu tidak wujud tidak ada istilah zakat. Ironisnya lagi ada yang menggeser hak senif yang tidak exis ke Mesjid. Itu bernakna Mesjid dibangun atas manipulasi hak kaum fakir-miskin. Inipun sebetulnya pantas kalau tidak ada jamaah di Mesjid.
Kalau tujuan Allah menurunkan ayatNya tidak dipahami secara filosofis (hakikat) pastinya melenceng realitanya dari maksud Allah sendiri. Hal ini dapat diamati sebagaimana pemahaman sebahagian orang kita terhadap persoalan Syariat Islam. Kapan Syariat Islam itu diberlakukan agar tidak menjejaskan kaum mustadh'afin?. Dalam system bagaimana hukum jinayah itu dapat dite rapkan dan apa persiapan sebelumnya?. Kalau persoalan system Islami belum kita pahami, para penggagas syariat sama seperti tukang kebun yang mahir menanam pohon buah-buahan tapi mereka tidak memahami buah-buahan yang bagaimana dibutuhkan konsumer atau bagaikan orang yang memiliki banyak perabot tetapi tidak memahami bagaimana menatanya dalam rumah hingga demikian centang-prenang dan menjengkelkan bagi orang yang melihatnya dan bahkan pemilik rumah itu sendiri.
Justru itu system harus memfokuskan hubungan antar manusia dan manusia dulu, baru hubungan manusia dengan Khaliqnya. Hablum minannasnya dulu baru hablumminallah kemudian. Ibadah Sosial dulu baru ibadah ritual kemu diannya. Finansial rakyatnya dulu baru berbicara Mesjid. Finansial rakyatnya dulu baru bermuara kepada pendidikan. Membangun system dulu baru Syariat dapat diterapkan, bukan tempatnya Syariat dalam system Taghut. Putuskan mata rantai kezaliman dulu baru kebaikan dapat ditegakkan. Bagaimana mungkin kita mengharapkan taman bunga bisa bersih dan indah sementara kubangan kerbau didekatnya kita biarkan merajalela?
Secara gampang mudah dipahami benar tidaknya suatu System, adakah Rahmatan lilalamin minimal bagi seluruh penduduk yang ada di dalam system tersebut? Kalau sebagian orang makin kaya dan sebagian makin miskin, persetanlah berbicara pembangunan, pembangunan, pembangunan, hingga anda semua mendapat titel 'bapak pembangunan' yang hipokrit itu. Siapakah pemilik setiap negara? Rakyatkah atau penguasa (baca yudikatif, legislatif dan eksekutif) Apa hak penguasa menentukan gaji demikian tinggi tanpa kompromi dengan rakyatnya? Kalau negara itu milik rakyat kenapa mereka menderita kemiskinan sementara penguasa menikmati fasilitas negara bagaikan milik moyangnya? Kalau Yudikatif bermusyawarah dengan legislatif, benarkah legislatif itu wakil rakyat? Atau wakil penguasa sendiri agar semua gagasannya terpenuhi. Legislatif di Jawakarta dengan enak saja menerima sogok dari legislatif daerah agar rencana belanja daerah disepakati legislatif jawakarta. Apakah itu sepakterjang wakil rakyat atau basyar yang senantiasa mencari kesenangan diatas penderitaan orang lain (baca rakyat jelata yang diwakilinya).
Legislatif Acheh - Sumatra sedang merenungkan apakah 10 milyar 'dana aspiratif' benar haknya dari kebijaksanaan penguasa Jawakarta atau jelas termasuk korupsi alias mencuri dengan menggunakan fasilitas negara atau pencuri berdasi. Apakah anda mengira kiamat itu masih lama? Berapa umur anda sekarang? Azab kubur, tidak takutkah anda? (nauzubillahi min zalik)
Terakhir sekali eksekutif, apa hak mereka menghukum kaum yang lemah sementara kaum mutakabbirun 'dilepaskan' dengan perundang-undangan hukum labalaba? Paling banter kalau nasib naas anggota eksekutif, Yudikatif dan legislatif sempat masuk penjara, penjarapun seperti istana peristirahatan bagi koruptor kelas kakap. Setelah keluar dari penjara uang korupsinya telah beranakpinak melalui deposito di bank-bank yang punya jaminannya. Jadi kapan kesempatan kita membangun system yang redha Allah kalau mayoritas petugas negara berperangai cangkul? Lebih parah lagi kezaliman sudah membudaya. Apa penyakitnya kita bangsa tertindas hari ini? Pastinya "Tujuan Hidup kita belum benar"
Mengapa tujuan hidup kita belum benar? Pastinya bermuawa pada agama yang kita milki. Kita terlalu ego dengan 'keilmiahan' kita. Kita tidak sadar bahwa betapapun ilmiahnya pemikiran kita kalau tidak di uji dengan firman Allah sebagai pemilik Alam semesta dan kita sendiri, belum benar apa yang kita yakini itu. Ini bukan persoalan ilmu semata-mata tapi kemampuan memahami pesan Allah dalam rentangan ayat-ayatNya. Alhamdulillah kalau DPRA yang baru ini dapat mengendalikan nafsunya tapi DPRA lama yang menggolkan hukum yang tidak adil dalam kanun Acheh telahpun korupsi minimal 5 milyar per anggota DPRA plus jalan-jalan keluar negeri. Apakah jumlah 5 milyar itu tidak banyak? Andaikata kami memiliki power, sungguh akan kami ambil kembali uang seharusnya dapat dibuat perusahaan yang menguntungkan rakyat sebagai lapangan kerjanya. Mareka boleh saja bersembunyi namun Allah pasti menghadapkan mereka kemahkamah yang tidak dapat dibantah dengan lidah tapi kaki dan tangandiminta Allah untuk mempertanggungkan jawabannya kelak.
Barang kali kita mayoritas membaca firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah, Rasul Nya dan ulul amri mingkum. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur-an) dan Rasul (Hadist murni), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari ke mudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa', 4: 59)
Kalau Allah dan Rasulnya sudah umum diketahui tapi "ulul amri minkum"? Itulah persoalan utama, orang yang di tunjuk Allah dan RasulNya, mana? Kalau bukan itu persoalannya, pasti orang Arab atau kalangan Arab yang benar agamanya. Realitanya kendatipun mothertongue mereka Arabic, mereka yang wahabi itu keliru sepakterjangnya, mengapa? Boleh jadi kita di kawasan yang jauh dari Arab lebih paham dari mereka tentang agama yang haq, dari sekian firkah yang sesat. Maaf kalau saya katakan boleh jadi. Tinggallagi yang saya maksudkan persoalan kepemimpinan yang haq kita ikuti setelah Allah dan RasulNya. Itulah kunci keberhasilan mendirikan system Allah atau kedaulatan Allah di muka Bumi. Kesimpulannya orang yang mengaku beragama Islam tapi realitanya tidak Islami pemikirannya dan tidak rahmatan lilalamin, berarti komunitas tersebut bukan komunitas Islam tetapi komunitas munafiqun atau hipokrit.
Jadi permasalahan kita sekarang bukan Islam atau non Islam tapi kaum hipokrit. Realitanya di negara yang penguasanya non Muslim macam Swedia, Danmark dan Norwegia secara horizontal atau hubungan antar manusia (baca hablum minannas) sangat baik, sementara di negara-negara yang mayoritas penduduknya mengaku beragama Islam tidak ada satupun yang tercapai finansial rakyatnya kecuali RII.
Sepertinya Norwegia sedikit lebih unggul dari RII dalam pelayanan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Hal ini dapat kita pahami bahwa RII baru saja melepaskan diri dari penjajahan dalam negeri (baca penindasan dari penguasa 'Islam' Savawi). Disamping itu RII juga sampai hari ini haq membantu komunitas lainnya di Afrika dan Libanon. Sedangkan Norwegia sudah lama merdeka. Kita juga salut kepada penguasa Norway bahwa setelah mereka mampu melepaskan diri dari penjajahan, mereka mampu membangun system yang membuat rakyat tercapai finansialnya. Sementara Indonesia setelah melepaskan diri dari penjajah Belanda dan Jepang, tetapi mereka mewarisi sepakterjang penjajah dan bahkan lebih zalim dari penjajah sebelumnya.
Billahi fi sabililhaq
Angku di Tanpok Donya
Acheh - Sumatra
Panitia mesjidpun pada umumnya membangun mesjid untuk lapangan kerjanya. Saya pernah amati beberapa mesjid yang dibangun dengan donatur yang melim pah melalui edaran celeng dan kerapkali si pengedar celengpun mengambil sebagiannya tanpa diketahui orang yang bertanggungjawab terhadap celeng tersebut. Ironisnya masih juga diserobot dana fakir-miskin baik dari zakat fitrah maupun zakat tahunan.
Senif penerima zakat itu ada 8 menurut firman Allah dan hadist RasulNya. Realita pada hampir kampung dan kota hanya yang ada Fakir, miskin dan amil atau pekerja zakat. Seharusnya 5 hak senif yang tidak wujud dileburkan kepada fakir dan miskin hingga dua golongan tersebut memiliki hak yang lumaian tapi dileburkan kepada 3. Akibatnya penerima hak amil jauh lebih banyak dibanding kan hak setiap miskin bahkan fakir. Padahal hak amil sekedar saja agar terlaksa nanya tugas tersebut. Allah memfokuskan zakat pada fakir dan miskin. Andaika ta golongan itu tidak wujud tidak ada istilah zakat. Ironisnya lagi ada yang menggeser hak senif yang tidak exis ke Mesjid. Itu bernakna Mesjid dibangun atas manipulasi hak kaum fakir-miskin. Inipun sebetulnya pantas kalau tidak ada jamaah di Mesjid.
Kalau tujuan Allah menurunkan ayatNya tidak dipahami secara filosofis (hakikat) pastinya melenceng realitanya dari maksud Allah sendiri. Hal ini dapat diamati sebagaimana pemahaman sebahagian orang kita terhadap persoalan Syariat Islam. Kapan Syariat Islam itu diberlakukan agar tidak menjejaskan kaum mustadh'afin?. Dalam system bagaimana hukum jinayah itu dapat dite rapkan dan apa persiapan sebelumnya?. Kalau persoalan system Islami belum kita pahami, para penggagas syariat sama seperti tukang kebun yang mahir menanam pohon buah-buahan tapi mereka tidak memahami buah-buahan yang bagaimana dibutuhkan konsumer atau bagaikan orang yang memiliki banyak perabot tetapi tidak memahami bagaimana menatanya dalam rumah hingga demikian centang-prenang dan menjengkelkan bagi orang yang melihatnya dan bahkan pemilik rumah itu sendiri.
Justru itu system harus memfokuskan hubungan antar manusia dan manusia dulu, baru hubungan manusia dengan Khaliqnya. Hablum minannasnya dulu baru hablumminallah kemudian. Ibadah Sosial dulu baru ibadah ritual kemu diannya. Finansial rakyatnya dulu baru berbicara Mesjid. Finansial rakyatnya dulu baru bermuara kepada pendidikan. Membangun system dulu baru Syariat dapat diterapkan, bukan tempatnya Syariat dalam system Taghut. Putuskan mata rantai kezaliman dulu baru kebaikan dapat ditegakkan. Bagaimana mungkin kita mengharapkan taman bunga bisa bersih dan indah sementara kubangan kerbau didekatnya kita biarkan merajalela?
Secara gampang mudah dipahami benar tidaknya suatu System, adakah Rahmatan lilalamin minimal bagi seluruh penduduk yang ada di dalam system tersebut? Kalau sebagian orang makin kaya dan sebagian makin miskin, persetanlah berbicara pembangunan, pembangunan, pembangunan, hingga anda semua mendapat titel 'bapak pembangunan' yang hipokrit itu. Siapakah pemilik setiap negara? Rakyatkah atau penguasa (baca yudikatif, legislatif dan eksekutif) Apa hak penguasa menentukan gaji demikian tinggi tanpa kompromi dengan rakyatnya? Kalau negara itu milik rakyat kenapa mereka menderita kemiskinan sementara penguasa menikmati fasilitas negara bagaikan milik moyangnya? Kalau Yudikatif bermusyawarah dengan legislatif, benarkah legislatif itu wakil rakyat? Atau wakil penguasa sendiri agar semua gagasannya terpenuhi. Legislatif di Jawakarta dengan enak saja menerima sogok dari legislatif daerah agar rencana belanja daerah disepakati legislatif jawakarta. Apakah itu sepakterjang wakil rakyat atau basyar yang senantiasa mencari kesenangan diatas penderitaan orang lain (baca rakyat jelata yang diwakilinya).
Legislatif Acheh - Sumatra sedang merenungkan apakah 10 milyar 'dana aspiratif' benar haknya dari kebijaksanaan penguasa Jawakarta atau jelas termasuk korupsi alias mencuri dengan menggunakan fasilitas negara atau pencuri berdasi. Apakah anda mengira kiamat itu masih lama? Berapa umur anda sekarang? Azab kubur, tidak takutkah anda? (nauzubillahi min zalik)
Terakhir sekali eksekutif, apa hak mereka menghukum kaum yang lemah sementara kaum mutakabbirun 'dilepaskan' dengan perundang-undangan hukum labalaba? Paling banter kalau nasib naas anggota eksekutif, Yudikatif dan legislatif sempat masuk penjara, penjarapun seperti istana peristirahatan bagi koruptor kelas kakap. Setelah keluar dari penjara uang korupsinya telah beranakpinak melalui deposito di bank-bank yang punya jaminannya. Jadi kapan kesempatan kita membangun system yang redha Allah kalau mayoritas petugas negara berperangai cangkul? Lebih parah lagi kezaliman sudah membudaya. Apa penyakitnya kita bangsa tertindas hari ini? Pastinya "Tujuan Hidup kita belum benar"
Mengapa tujuan hidup kita belum benar? Pastinya bermuawa pada agama yang kita milki. Kita terlalu ego dengan 'keilmiahan' kita. Kita tidak sadar bahwa betapapun ilmiahnya pemikiran kita kalau tidak di uji dengan firman Allah sebagai pemilik Alam semesta dan kita sendiri, belum benar apa yang kita yakini itu. Ini bukan persoalan ilmu semata-mata tapi kemampuan memahami pesan Allah dalam rentangan ayat-ayatNya. Alhamdulillah kalau DPRA yang baru ini dapat mengendalikan nafsunya tapi DPRA lama yang menggolkan hukum yang tidak adil dalam kanun Acheh telahpun korupsi minimal 5 milyar per anggota DPRA plus jalan-jalan keluar negeri. Apakah jumlah 5 milyar itu tidak banyak? Andaikata kami memiliki power, sungguh akan kami ambil kembali uang seharusnya dapat dibuat perusahaan yang menguntungkan rakyat sebagai lapangan kerjanya. Mareka boleh saja bersembunyi namun Allah pasti menghadapkan mereka kemahkamah yang tidak dapat dibantah dengan lidah tapi kaki dan tangandiminta Allah untuk mempertanggungkan jawabannya kelak.
Barang kali kita mayoritas membaca firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah, Rasul Nya dan ulul amri mingkum. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur-an) dan Rasul (Hadist murni), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari ke mudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa', 4: 59)
Kalau Allah dan Rasulnya sudah umum diketahui tapi "ulul amri minkum"? Itulah persoalan utama, orang yang di tunjuk Allah dan RasulNya, mana? Kalau bukan itu persoalannya, pasti orang Arab atau kalangan Arab yang benar agamanya. Realitanya kendatipun mothertongue mereka Arabic, mereka yang wahabi itu keliru sepakterjangnya, mengapa? Boleh jadi kita di kawasan yang jauh dari Arab lebih paham dari mereka tentang agama yang haq, dari sekian firkah yang sesat. Maaf kalau saya katakan boleh jadi. Tinggallagi yang saya maksudkan persoalan kepemimpinan yang haq kita ikuti setelah Allah dan RasulNya. Itulah kunci keberhasilan mendirikan system Allah atau kedaulatan Allah di muka Bumi. Kesimpulannya orang yang mengaku beragama Islam tapi realitanya tidak Islami pemikirannya dan tidak rahmatan lilalamin, berarti komunitas tersebut bukan komunitas Islam tetapi komunitas munafiqun atau hipokrit.
Jadi permasalahan kita sekarang bukan Islam atau non Islam tapi kaum hipokrit. Realitanya di negara yang penguasanya non Muslim macam Swedia, Danmark dan Norwegia secara horizontal atau hubungan antar manusia (baca hablum minannas) sangat baik, sementara di negara-negara yang mayoritas penduduknya mengaku beragama Islam tidak ada satupun yang tercapai finansial rakyatnya kecuali RII.
Sepertinya Norwegia sedikit lebih unggul dari RII dalam pelayanan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Hal ini dapat kita pahami bahwa RII baru saja melepaskan diri dari penjajahan dalam negeri (baca penindasan dari penguasa 'Islam' Savawi). Disamping itu RII juga sampai hari ini haq membantu komunitas lainnya di Afrika dan Libanon. Sedangkan Norwegia sudah lama merdeka. Kita juga salut kepada penguasa Norway bahwa setelah mereka mampu melepaskan diri dari penjajahan, mereka mampu membangun system yang membuat rakyat tercapai finansialnya. Sementara Indonesia setelah melepaskan diri dari penjajah Belanda dan Jepang, tetapi mereka mewarisi sepakterjang penjajah dan bahkan lebih zalim dari penjajah sebelumnya.
Billahi fi sabililhaq
Angku di Tanpok Donya
Acheh - Sumatra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar