Selasa, 30 Juni 2009

HIKMAH DIBALIK MUSIBAH DITERJEMAHKAN DALAM BAHASA NORWEGIA


HIKMAH DIBALIK GEMPA TEKTONIK DAN GELOMBANG TSUNAMI
26 DESEMBER 2004
hsndwsp
di
Ujung Dunia


VISDOM BAK GEMPA TEKTONIK OG
WAVE TSUNAMI
26 DESEMBER 2004
hsndwsp
 Rogalan - Norwegia


.
MENELUSURI HIKMAH DIBALIK GEMPA TEKTONIK
DAN GELOMBANG TSUNAMI
26 DESEMBER 2004



  SØKER ETTER VISDOM BAK JORDSKJELV TEKTONIK
OG WAVE TSUNAMI
26 DESEMBER 2004


Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Takziah untuk semua rakyat Acheh yang mengalami musibah gempa bumi dan tsunami, semoga Allah membe rikan rahmat kesabaran atas segala ujian Nya. Sympati for alle mennesker i Acheh de uheldige jordskjelv og tsunami, jeg håper at Gud gir oss nåde tålmodighet over alle sine eksamener.

Setelah itu kita bangsa Acheh yang mengenal pemimpin kita sendiri sebagaimana Firman Allah swt: "Atiullah wa atiurrasul, wa ulil amri mingkum", harus mampu berfikir bahwa musibah yang datang dari Allah itu pasti ada hikmahnya yang baik bagi bangsa Acheh khususnya dan bagi orang-orang yang mau berfikir umumnya. Etter at vår nasjons ledere erkjenner at Acheh oss selv som Guds Ord swt: "Atiullah wa atiurrasul, wa ulil Amri mingkum", bør være i stand til å tenke at naturen kommer fra Gud er absolutt det hikmahnya bra for nasjonen Acheh og spesielt for personer generell tenkning. Justru itu tidaklah menjadi hal yang telak. Dermed ikke bli en telak. Yang menjadi persoalan yang telak adalah "kedhaliman" yang dicetuskan Indonesia-Jawa munafiq (penjajahan/penindasan) Som er problemet som er telak "kedhaliman" som dicetuskan Indonesia-Java munafiq (colonialism/undertrykk else)

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un". "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un". Semua insan akan kembali kepada-Nya. Dimanapun orang-orang yang mati dalam musibah seperti itu ada yang baik disisi Allah dan ada juga yang tidak baik, yaitu orang-orang yang tidak mengenal pemimpin/imam yang ditunjukkan Allah untuk diikuti/dita' ati, termasuk orang-orang yang mencaci pemimpin tersebut, kendatipun mereka tidak tinggal shalat, ken datipun mereka melakukan amar makruf nahi mungkar, kenapa begitu? Alle mennesker vil vende tilbake til ham. Uansett hvor folk som dør slik som det er med Allah er bedre og det er heller ikke bra, de som ikke vet leder / presten at Gud har vist seg å være fulgt / Dita 'ATI, inkludert de som revile lederne, til tross for deres ikke leve bønn, til tross for deres vennlighet til Amar nahi mai, hvorfor gjøre det? Karena mereka itu tidak mengenal pemimpin/imam yang "haq" diikuti/ditaati, dan "pemimpin/imam" itu paling menentukan disisi Allah. Fordi de ikke gjenkjenner ledere / prester som "Haq" fulgt / skal følges, og "leder / imamen" er de mest utslagsgivende Gud.

Sepanjang sejarah dunia ini dapat kita lihat bahwa kapan saja bangkitnya suatu bangsa, pasti muncul seorang pemimpin yang sangat menentukan dalam proses "penyadaran" bangsa tersebut terlebih dahulu. Gjennom hele denne verden ser vi at når bangkitnya en nasjon, må vise en leder som er i ferd med å bestemme "penya daran" folket først. Andaikata pemimpin tidak muncul, massa tetap menjadi korban statusquo. Hvis ledelsen ikke vises, massen forblir offeret statusquo.

Pertama sekali Allah menjadikan Nabi Adam sebagai wakil Nya di bumi: "Waiz qala rabbuka lilmalaikati inni ja'ilun fil ardhi khalifah..." Gud skapte den første profeten Adam som sin representant på jorden, "Waiz qala rabbuka lilmalaikati inni ja'ilun fil ardhi caliph ..." (QS Al Baqaraah, 2: 30). Setelah Habil di bunuh Qabil, dunia ini dipimpin oleh Qabil yang dhalim sampai Allah membangkitkan pemimpin lain yang mengikuti garis kepemimpinan Habil. (QS Al Baqaraah, 2: 30). Etter Habil drept i Qabil, verden er ledet av Qabil som Gud reiste dhalim til andre ledere som følge ledelsen Habil.

Dalam kesempatan ini saya mengemukakan beberapa contoh saja, yaitu Ibrahim, Musa, Harun, Isa bin Maryam, Muhammad, Ali bin Abi Thalib dan Hussein bin Ali. I denne anledning jeg foreslå bare noen eksem pler på Abraham, Moses, Aron, sønn av Maria, Jesus, Muhammad, Ali bin ABI Talib og Hussein bin Ali. Setelah itu Allah membangkitkan pemimpin diamana-mana hampir di seluruh dunia. Da Gud reist ledere diamana nesten overalt i verden.

Pemimpin yang diberikan wahyu memang mudah kita kenali, yang menjadi persoalan dan perlu kita belajar untuk mengenalnya adalah pemimpin yang mengikuti garis "kepemimpinan" rasul tersebut di jaman kita ini. Lederne i den åpenbaring gitt oss lett å kjenne igjen, som er problemet, og vi må lære å vite hvem lederen er "ledelse" i dagene av apostler oss dette. Diantara pemimpin-pemimpin itu ada yang berhasil dunia dan akhirat dan banyak juga yang hanya berhasil diakhirat saja, contohnya nabi Nuh. Blant de lederne som har lyktes i verden og heretter, og også mange som bare klarte diakhirat, for eksempel profeten Noah. Artinya Nabi Nuh tetap saja mendapat Syurga seperti Nabi Muhammad saw, kendatipun misalnya tak seorangpun yang mematuhi apa yang keluar dari mulut Nabi Nuh. Dette betyr at profeten Noah fortsatt bare få Heaven som profeten Muhammad så, for eksempel, på tross av ingen som overholder det som er ut av munnen på profeten Noah.

Begitu jugalah pada jaman sekarang ini, andaikata muncul seorang pemimpin yang mendapat redha Allah, namun tak ada yang mentaatinya ataupun ada orang yang mentaatinya akan tetapi lebih banyak orang yang beroposisi, sudah barang pasti pemimpin tersebut tidak akan berhasil di dunia ini, namun beliau berhasil di akhirat kelak. Så også i den aktuelle tiden, hvis en leder synes å ha redha Gud, men ingenting mentaatinya eller har personen som mentaatinya men flere personer som beroposisi, for å være sikker på at lederne ikke vil bli sendt i denne verden, men han klarte å heretter snart. Hal seperti ini perlu kita pikirkan dengan sungguh-sungguh agar tidak mengalami seperti kaum Nabi Nuh yang tidak menaiki perahunya. Ting som dette må vi vurdere svært alvorlig for ikke å oppleve som profeten Noah, som ikke klatre perahunya.

Andaikata Nabi Ibrahim tidak muncul, massa rakyat tidak akan terselamatkan dari api neraka. Hvis profeten Abraham, ikke vises, massen av folket vil ikke terselamatkan fra brannen. Andaikata Nabi Musa dan Harun tidak muncul, massa akan mengalami nasib yang sama seperti pengikut Namrud, akan masuk neraka bersama Firaun. Hvis profeten Moses og Aron ikke vises, massen vil oppleve samme skjebne som pursuivant Namrud, vil gå til helvete med Farao.

Demikian jugalah andaikata Nabi Muhammad saw tidak muncul, bangsa Arab tetap saja menjadi jahil sepereti Abu Sofyan, Abu Jahal dan Abu Lahab. Så også om profeten Muhammad så vises ikke, de arabiske landene er fortsatt å være uvitende sepereti Abu Sufyan, Abu Jahal og Abu Lahab. Dengan kata lain semua mereka akan masuk neraka kecuali sedikit yang masih mengikuti agama Nabi Ibrahim. Med andre ord vil de alle dra til helvete, unntatt de få som fortsatt følge religionen av profeten Ibrahim.

Andaikata di Acheh tidak muncul pemimpin yang paling menentukan dalam proses "penyadaran" , bangsa Acheh-Sumatra tetap saja bersekongkol dengan penjajah Indonesia Jawa dan semua mereka akan masuk neraka bersama dedengkot-dedengkot Indonesia - Jawa kecuali sedikit, mengapa ? Hvis Acheh ikke vist at de fleste lederne i ferd med å bestemme "penyadaran, " nasjon-Acheh Sumatra er fortsatt conspire med kolonister Indonesia Java og de vil alle gå til helvete med dedengkot-dedengkot Indonesia - Java unntatt noen, hvorfor? (pakai gaya Ustaz Ahmad Sudirman). (livsstil Ustaz Ahmad Sudirman). Sebab pemimpin itu adalah "juru selamat". For lederen var "safe tolk. Pemimpin itu bagaikan "Nakoda" dari suatu "Bahtera", sementara penumpangnya adalah Ummah yang bersatu padu pada satu poros yang "haq" (Imamah). Ledere som "Nakoda" fra en "Bahtera", mens passasjerene er Ummah sammen på en akse av "Haq (Imamah).
 
Nilai Imamah sama dengan nilai Ummah disisi Allah. Imamah samme verdi med verdien Ummah med Allah. Justru itu Ummah tidak boleh sembarangan dalam kritikannya terhadap Imamah. Dermed Ummah ikke bør uforsiktig i kritikannya mot Imamah. Sebab yang namanya Imamah pasti lebih mengetahui daripada Ummah. For Imamah sikkert vet mer enn Ummah.

Pada suatu hari Ibnu Abbas sedang berceramah sampai bintang-bintang mulai menampakkan dirinya. På en dag Ibn Abbas berceramah er opp til stjernene begynte å vise seg. Seorang badui berteriak: "Shalat, Ibnu Abbas tetap saja meneruskan ceramahnya sementara badui tadi mengulangi teriakannya: "shalat, sampai tiga kali. Ibnu Abbas menanggapi: "Kamukah yang menganjarkan agama kepadaku atau aku ? Ibnu Abbas bukan Imam, dia hanyalah Pendakwah. En Bedouin shouting: "Shalat, Ibn Abbas gjenstår det bare frem ceramahnya Badui tidligere teriakannya gjentar:" bønn, til tre ganger. Ibn Abbas svare: "dere som menganjarkan religion til meg eller jeg? Imam Ibn Abbas ikke, han er bare Pendakwah. Ya Allah betapa lugunya sebahagian pembaca tulisanku ini. O Allah lugunya hvordan denne delen av tulisanku. Mereka tak mampu memahaminya. De kunne ikke forstå det.

Pembaca yang budiman ! Sapiential lesere!
Untuk lebih jelas marilah kita simak apa yang diFirmankan Allah mengenai "juru selamat" yang saya paparkan diatas: "Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya. Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menjelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk"(QS Ali Imran, 3: 102-103) ". For mer klart la oss se hva Gud diFirmankan på "trygg tolk" Jeg paparkan ovenfor: "O de som tror på Allah bertaqwalah sann gudsfrykt rett til ham. Og ikke du dø, men i en tilstand av Islam. Og til alle dere berpeganglah religion of Allah, og ikke bli skilt berai og ni'mat Gud vil huske deg når du først (perioden jahiliah) bermusuh-musuhan, så Gud forene hjertet ditt, og du menjadilah fordi ni'mat Gud, mennesker brødrene. Og du er på randen av Hell, og Gud menjelamatkan du fra ham. Således Allah maketh ren hans åpenbaringer til dere, så dere kan bli guidet "(QS Ali Imran, 3: 102-103)".

Ketika itu kamu benar-benar berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Da har du virkelig er på randen av Hell deretter Gud redde deg fra den.

Bagaimanakah Allah menyelamatkan bangsa Arab pada saat itu ? Hvordan er Gud bevare den arabiske nasjon på den tiden? Dengan membangkitkan seorang Pemimpin/imam diantara mereka. Med en oppvokst Leader / prester blant dem. Nabi Muhammad saw lah yang berposisi sebagai juru selamat dalam kontek ini."Hual lazi baatsa fil ummiyyi rasulam minhum yatlu alaihim ayatihi wa yuzakkihim wa yuallimuhumul kitaba wal hikmah wa ingkanu ming qablu lafi dhalalim mubin (QS Al Jumu'ah, 62: 2). Prophet Muhammad så som tolk berposisi Kontek overlevd i dette. "Hual lazi baatsa fil ummiyyi rasulam minhum yatlu alaihim ayatihi wa wa yuzakkihim visdom yuallimuhumul kitaba wal wa ingkanu ming qablu lafi dhalalim Mubin (QS Al-Jumu'ah, 62: 2).

Billahi fi sabililhaq
hsndwsp
Acheh - Sumatera

KEPEMIMPINAN MUHAMMAD, RASULULLAH SAWW


Bismillaahirrahmaanirrahiim

KEAGUNGAN FIGUR RASULULLAH SAWW
(By hsndwsp)




Muhammad Rasulullah saww
Diantara representant-representant
Dialah yang sangat terkenal dalam berjuang
Membebaskan kaum dhu'afa sebagai tugas utama para Rasul

Muhammad yang memiliki kepalan tinju Musa
Tapi juga menyimpan hati I'sa di dadanya
Di medan tempur pedangnya bersimbah darah
Ketika Mekkah di kalahkan, dimaafkan

Muhammad adalah Muhammad
Engkau mata air Islam yang suci
Yang memancar dari Adam sampai Al Mahdi
Dari Mekkah ke Madinah hingga ke Isfahani Farsi

Menempuh liku-liku yang panjang
Dihadang bebatuan, pepohonan, bendungan raksasa
Namun engkau mampu menembusinya
Kendatipun Ahlulbaytmu mengalami derita di Karbala

Dari Imam 'Ali, Fatimah Az Zahara, Al Hassan dan Al Hussein
Dari Ali Zainal Abidin sampai Muhammad Al Mahdi
Tak pernah sunji dari fitnah, penganiayaan dan pembunuhan
Namun Ahlulbayt dan kami pengikut setianya tetap tawakkal

Salman Alfarisi, Abu Zdar Ghifari dan Al Miqdad
Ayatullah Khomaini, DR Ali Syari'ati dan Murtadha Mutahhari
Ali Khamenei, Ahmadinejad dan seluruh rakyat Irani

Sayyed Nasrullah dan seluruh rakyat Libanon
Pengikut setia Muhammad dimana-mana diseluruh dunia
Demi keyakinan yang datang dari Muhammad, Nabinya
Tak pernah gentar melawan siapapun yang memusuhinya
Imam Hussein di Karbala adalah representant

Muhammad adalah Muhammad
Engkau Al Qur-an yang berjalan
Engkau model, teladan Insan
Engkau wakil Tuhan yang agung

””””””””””

CERMIN SEJATI DAN PEMIMPIN ISLAM SEJATI YANG REPRESENTANT

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim




Hai manusia bercerminlah engkau
Agar engkau sadar siapakah engkau sebenarnya
Engkau dapat mengungguli para Malaikat dan
Engkau juga dapat menjadi lebih hina dari binatang


Cermin adalah cermin
Engkau memantulkan sinar objectiv
Menerangi kalbu insan
Menggapai sinyal - sinyal kebenaran

Cermin adalah cermin
Existensimu sangat menentu
Tanpa dirimu dunia penuh dengan Basyar

Basyar adalah Basyar
Engkau tak pernah beresensi
Engkau tak pernah bercermin
Engkau sekedar berexistensi


Basyar adalah Basyar
Falsafah hidupmu hampa
Hidup untuk bekerja dan bekerja untuk hidup
Sampai tikus putih dan hitam menggerogoti tali hidupmu


Hai manusia bercerminlah engkau
Agar engkau dapat beresensi
Agar engkau mengenal siapa Tuhanmu
Al Qur-an cermin sejati
-----------------------------------


English translation
Bismillaahirrahmaanirrahiim


TRUE MIRROR
(Work hsndwsp)




Hey man you had was a mirror
For you realize who you actually
You can beat the Angels and
You also may be more despicable than animals


Mirror is a mirror
You reflect light objectiv
Illuminate the human heart
Reaching the signal - a signal truth


Mirror is a mirror
Existensimu very erratic
Without you the world is full of Basyar


Basyar is Basyar
You never had the essence of
You never looked in the mirror
You just had existensi


Basyar is Basyar
Empty your life philosophy
Living to work and work to live
Until the white and black rats gnaw rope your life


Hey man you had was a mirror
In order for you to air essence
For you know who your Lord
Al Qur-an is a true mirror


----------


Rabu, 2007 September 05

MAHMOUD AHMADINEJAD ADALAH PRESIDEN RII YANG BELUM ADA DUANYA TENTANG KESEDERHANAAN KEPEMIMPINANNYA DI ZAMAN KITA INI.


"Jika nuklir itu sebuah kejahatan, mengapa Barat sepanjang tahun memproduksinya. Namun, jika nuklir itu sebuah kebaikan,
mengapa pula kami dilarang untuk memilikinya?"
(Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad)



Men sana in corpore sano. Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Kalimat bijak ini agaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sekarang, belum tentu orang yang memiliki tubuh yang kuat, tinggi besar, punya jiwa yang sehat. Dan sebaliknya, belum tentu yang bertubuh kecil dan terkesan ringkih, memiliki jiwa yang sakit dan kerdil.

Mahmoud Ahmadinejad bertubuh kecil, namun jiwa dan pikirannya sangat sehat. Di "Republik Mimpi", presidennya bertubuh tinggi besar, jenderal pula, tapi jiwa dan pikirannya tidak setangguh bobot badannya. Jika Ahmadinejad sanggup mengepalkan tinju ke wajah George Bush, maka yang terakhir itu sujud menyembah Bush. Ini bukan persoalan besar kecilnya badan, tapi nyali. Walau betubuh kecil, Ahmadinejad memiliki nyali raksasa. Sedang yang di "Republik Mimpi", badan boleh sebesar raksasa tapi nyali sekecil semut.

Presiden Iran yang satu ini memang tengah menjadi ikon dunia. Simbol bagi negeri-negeri tertindas yang tetap mempertahankan kehormatan dan harga dirinya di hadapan Sang Tiran Dunia bernama Amerika Serikat. Dan yang sungguh menarik, sosok presiden ini sangatlah bersahaya.

Jangan pernah membayangkan kantor Presiden Republik Islam Iran ini menempati gedung semegah Istana Merdeka di Jakarta. "Istana" Ahmadinejad cuma sebentuk bangunan kecil di wilayah padat di tengah Teheran. Bangunan itu bahkan lebih kecil dibandingkan dengan kantor-kantor departemen kita atau bila dibandingkan dengan Balaikota DKI Jakarta sekalipun. Halamannya pun sangat sempit yang hanya cukup untuk parkir beberapa mobil.

Di ruang depan yang disebut sebagai ruang penerimaan tamu, tidak ada benda-benda yang mencerminkan kemewahan. Bahkan sekadar meja kecil untuk menaruh gelas para tamu pun tidak tersedia. Foto Ahmadinejad pun tidak ada menempel di dinding. Bukan saja di Istananya, di seluruh gedung pemerintahan pun tidak ada yang menempel foto dirinya. Ahmadinejad memang melarang semua aparatur pemerintahnya, juga sekolah-sekolah dan universitas di Iran, memajang foto dirinya. "Itu sebuah pemborosan," demikian ujarnya.

Semua itu bersumber pada sikap dan kehidupan pribadi seorang Ahmadinejad sendiri yang amat sangat sederhana. Inilah sosok pemimpin yang meletakkan dunia di dalam genggaman tangannya, bukan di dalam hatinya. Dalam cara berpakaian misalnya, Ahmadinejad sedari menjadi mahasiswa Iran hingga menjabat presiden sekarang ini tetap saja mengenakan pakaian yang itu-itu saja. Kemeja tanpa dasi, jas yang sangat biasa, celana panjang lusuh, dan sepatu butut. Sama seperti mahasiswa Iran kebanyakan.

Ahmadinejad dan keluarganya pun hanya menempati apartemen sederhana di kawasan kelas menengah bawah di Nurmagi, tenggara Teheran. Apartemen dua tingkat ini memiliki beberapa kamar. Halaman parkir cukup untuk dua mobil. Rumah ini sudah ia tempati sejak ia menjadi wali kota Teheran dan ia menolak pindah ke rumah dinas kepresidenan.

Pernah suatu ketika Presiden Ahmadinejad berkata kepada anaknya yang tengah berselancar di dunia maya dan menyuruhnya berhenti. "Ayah tidak punya cukup uang untuk membayar internet," ujarnya. Inilah kesederhanaan seorang Ahmadinejad.
Menantang Zionisme

Walau sangat zuhud, Ahmadinejad ternyata sangat teguh menjaga harga diri dan kehormatan keluarga dan bangsanya. Di wilayah Timur Tengah, Iran merupakan negara yang terkuat dalam segi persenjataan dan juga perekonomian, walau negeri ini sudah beberapa tahun diembargo Barat.

"Tabiat Barat dari dulu hingga sekarang ingin menguasai dunia dan menjadikan banyak negara sebagai jajahannya. Ini harus dilawan!", tegasnya. Dalam suatu kesempatan Ahmadinejad juga berkata, "Israel harus dihapus dari peta bumi!".

Sikap kerasnya ini membuat Amerika geram. Dengan segenap daya upaya Bush dan juga Israel menakut-nakuti Ahmadinejad dan juga bersekongkol melancarkan operasi intelijen agar Presiden Iran itu bisa diturunkan. Namun sejauh ini usaha itu sia-sia.

Untuk menyerang langsung, setidaknya untuk saat ini, Amerika harus berpikir seribu kali karena Iran juga telah memiliki misil antar benua yang bernama Shahab-5 yang mampu membawa kepala nuklir dan menjangkau Amerika. "Amerika jangan coba-coba menyerang Iran, karena Iran akan membalasnya dengan kekuatan yang tak akan pernah bisa dibayangkan mereka!" tegas Ahmadinejad.

Kepada pemimpin-pemimpin negeri Islam, Ahmadinejad berpesan, "Kita membu tuhkan persatuan dan persaudaraan. Dunia Islam memiliki segala potensi untuk maju. Kekayaan alam dan sumber daya manusia sangat tersedia di negara-negara Islam. Jadi jangan takut pada Barat!".


 
 

Minggu, 28 Juni 2009

TELAAHAN BUKU UMMAH DAN IMAMAH KARANGAN ALI SYARIATI



SALAH SATU LITERATUR KARYA SYAHID DR 'ALI SYARI'ATI YANG PALING BERPENGARUH
ADALAH
UMMAH DAN IMAMAH INI



A. BIOGRAFI ALI SYARI’ATI

1. Latar Belakang Kehidupan
Ali Syari’ati adalah anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.

Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syari’ati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.

Pada 1955, Syari’ati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syari’ati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Di universitas, Syari’ati bertemu Puran-e Syari’at Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada April 1959, Syari’ati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.

Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka Syari’ati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syari’ati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.

Namun pribadi Syari’ati yang penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun tidak berada di Iran, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu Syari’ati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya. Keberanian ini dia ungkapkan sebagai berikut:

Dengan bimbingan dan pertolongan Allah-lah saya berani menerjunkan diri menghadapi berbagai fenomena, dan dengan cinta dan dukungan mukjizatlah saya bisa mengatasi hal-hal yang menyakitkan hati saya. Rahmat Allah telah menyebabkan saya memperoleh tenaga baru sesudah saya mengalami kejenuhan. Tanpa bekal keahlian apapun saya menempuh jalan yang situ saya tak akan menyia-nyiakan hidup saya barang sekejappun untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Semoga Allah menolong saya, sehingga saya bisa mengatasi berbagai kekurangan yang dapat saya tangkap, dan semoga pula semuanya itu tidak larut oleh kesenangan-kesenangan hidup kala umur yang pendek ini dipergunakan dalam bentuk seperti ini.

Setelah meraih gelar doktornya pada 1963, setahun kemudian Syari’ati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967 Ali Syari’ati mulai mengajar di universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya Ali Syari’ati dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syari’ati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator Syari’ati yang memukau memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.

Sejak Juni 1971, Syari’ati meninggalkan jabatan mengajarnya di Universitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk menjadikan Hosseiniyeh Ershad menjadi sebuah ‘Universitas Islam’ radikal yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta aktivitas Hosseiniyeh Ersyad yang semakin militan dan akibatnya semakin terkenal di kalangan kaum muda. Namun pada tanggal 19 November 1972 Hosseiniyeh Ersyad ditutup dan Syari’ati di penjara karena berbagai aktivitas politiknya, yang mengecam rezim Syah.
Pada 16 Mei 1977, Syari’ati meninggalkan Iran. Ia mengganti namanya menjadi ‘Ali Syari’ati. Tentara Syah, Savak akhirnya mengetahui kepergian Ali Syari’ati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syari’ati terbujur di lantai tempat ia menginap.

Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syari’ati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari. 19 Juni tahun 1977, Doktor Ali Syari’ati, seorang cendekiawan Iran kontemporer, gugur di London akibat dibunuh oleh agen rahasia rezim Shah Pahlevi.

Al-Ummah wa Al-Imamah (Ummah dan Imamah) adalah karya karya lengkap Ali Syari’ati tentang kepemimpinan dalam Islam. Didalamnya dijelaskan secara lengkap konsep imamah sekaligus hubungannya engan ummah. Perspketif yang digunakan adalah perspektif dari ideology Syiah. Walaupun begitu Ali Syari’ati membahasnya sesuai dengan sejarah-sejarah kepemimpinan Islam sejak Rasulullah sampai dengan sahabat.


B. Pemikiran Ali Syari’ati dalam buku Al-Ummah wa Al-Imamah (Ummah dan Imamah)
1. Tujuan Pemerintahan Islam
Konsep pemerintahan Islam banyak dibahas oleh Ali Syari’ati dalam bukunya ummah dan imamah. Menurutnya tujuan pemerintahan ini ditentukan oleh konsep negara itu sendiri. Ali Syari’ati membedakan konsep siyasah dalam istilah Islam dan konsep politique dalam bahasa Yunani. Berbedaan ini berimplikasi kepada berbedanya pula tujuan yang ingin dicapai oleh negara.

Siyasah menurutnya adalah suatu filsafat yang mendobrak dan dinamis, dan tujuan negara dalam filsafat politik adalah merombak bangunan, pranata-pranata, dan hubungan–hubungan sosial, bahkan juga akidah, akhlaq, peradaban, tradisi sosial; dan secara umum menegakkan nilai-nilai sosial diatas landasan pesan revolusi dan ideologi revolusioner, serta bertujuan merealisasikan cita-cita dan harapan-harapan yang lebih sempurna, membimbing masyarakat mencapai kemajuan, menciptakan kesempurnaan dan bukan kebahagiaan, yang baik dan bukan pelayanan, pertumbuhan dan bukan kenyamanan, kebaikan dan bukan kekuatan yang hakiki dan superficial, yang kesemua itu bisa dirumuskan dalam satu kalimat pendek “pembangunan masyarakat” dan bukan “administrasi dan pemeliharaan masyarakat.

Berbeda dengan siyasah, politque yang didasarkan kepada filsafat pemerintahan barat. Politik menurut Ali Syari’ati sama sekali tidak bermaksud membangun melainkan bertopang pada apa yang mungkin dikerjakan dan politik bertujuan untuk mengatur negara tidak atas dasar ideologi revolusioner, tetapi berdasarkan pandangan popular dan mencari perkenan bukan membimbing menuju keutamaan. Politik hanya bertujuan agar masyarakat hidup nyaman dan bukan melakukan perbaikan terhadap masyarakat agar mereka bisa hidup dengan baik.

Dari dua pengertian ini, lanjut Syari’ati, konsep siyasah lebih unggul daripada konsep politik. Siyasah membangun masyarakat sedangkan politik mengatur negara yang berimplikasi kepada pemasungan aspirasi rakyat, pengendalian kebijaksanaan pemerintah, penindasan alam pikiran dan penyingkapan taqiyyah.
Untuk itulah tujuan dari pemerintahan Islam adalah sama halnya dengan konsep imamah dalam pengertian Ali Syari’ati. Berkenaan dengan hal ini, ia berkata:

Imamah bukanlah semacam kantor dan pemelihara masyarakat dalam bentuknya yang beku dan kaku. Tanggung jawab paling utama dan penting dari imamah-yakni filsafat politik untuk membentuk imamah dan seperti yang tercakup dalam pengertiannya-adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, dan akan melakukan selerasi dan menggiring ummat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan.

Tampaknya yang digaris bawahi oleh Ali Syari’ati adalah adanya perubahan dalam masyarakat yang berwujud kemajuan. Perubahan inilah yang tonggak dari pemerintahan Islam. Ali Syari’ati menghendaki seluruh dari rakyat sebagai individu yang merupakan bagian dari negara tidak sekedar eksis melainkan membetuk diri kepada keadaan yang lebih baik: “…tujuan manusia bukan sekedar eksis, melainkan pembentukan diri. Umat, dengan demikian, tidaklah bebas dari keenakan berdiam ditempatnya, tetapi ia harus lestari dan senantias bergerak cepat”.

Sebab pada dasarnya manusia memiliki dua karakteristik yaitu suatu transformasi terus menerus menuju tercapainya kesempurnaan-kesempurnaan yang mutlak dan perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tertinggi. Dua prinsip diatas, mengandung makna revolosioner yang amat dalam yang membukakan ufuk yang amat luas.

Sebagai aplikasi dari keinginan-keinginan dari Ali Syari’ati untuk mewujudkan perubahan revolusioner dalam masyarakat Islam. Ia banyak menulis buku yang menggugah semangat juang para kaum muda. Selain itu ia juga mendirikan Husayniyah Irsyad yang kerap melakukan riset diberbagai bidang.

2. Dasar-Dasar Pemerintahan Islam
a. Keadilan
Dalam pandangan Ali Syari’ati keadilan merupakan fundamen yang sangat penting dalam masyarakat Islam. Hal ini diungkapkan oleh Ali Syari’ati dengan melihat bahwa keadilan termasuk dari infra struktur dari sistem dunia Islam. Berkenaan dengan hal ini ia berkata sebagai berikut:
Keadilan dalam maz\hab Syi’ah ialah suatu keyakinan kepada konsep bahwa keadilan adalah sifat intrinsic Allah. Dengan demikian, setiap tindakan manusia-entah benar atau salah-haruslah dinilai oleh-Nya. Karena itu, ‘adl adalah infrastruktur sistem dunia dan pandangan kaum muslimin didasarkan atasnya. Konsekwensinya, jika suatu masyarakat tidak dibangun atas landasan ini, maka ia adalah masyarakat yang sakit dan menyimpang, yang dipastikan bakal hancur lantaran, seperti telah disebutkan, Allah bersifat adil dan penciptaan bertumpu diatas keadilan. Oleh sebab itu, sistem-sistem kehidupan haruslah juga didasarkan atasnya dan karena kenyataan ini, maka kediktatoran dan ketidakadilan dalam pemerintahan adalah system-sistem anti-Tuhan yang tidak alamiah, yang mesti ditumbangkan dan dihancurkan.
Pernyataan ini menilik begitu pentingnya keadilan dalam tatanan sebuah pemerintahan Islam. Keadilan pula ialah suatu tujuan dari gerakan-gerakan revolusi Islam, khususnya revolusi Iran.

b. Imamah
Imamah dalam pandangan Ali Syari’ati memiliki arti penting sebagai dasar dari pemerintahan Islam. Dalam banyak tulisannya ia menekankan bahwa tegak berdirinya sebuah pemerintah tergantung kepada imam. Sebab dalam ajaran syi’ah ada suatu keyakinan akan adanya imam al-Ashr atau imam sepanjang zaman (imam of the Age) yang akan melakukan revolusi pemikiran dan gerakan.
Imamah menurutnya adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.

3. Kepemimpinan dalam Pemerintahan Islam
a. Konsep Imamah
Ali Syari’ati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu menerangkan makna ummah. Ia membandingkan istilah Nation, Qaum, Qabilah dan Sya’b dengan ummah. Baginya, keempat istilah itu – dengan pengecualian pada istilah qabilah – sama sekali tidak mengandung arti kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja, kelebihan istilah qabilah ditemukan pula pada istilah ummah. Istilah yang terakhir ini masih memiliki kelebihan lain dibandingkan istilah qabilah, yakni ia mempunyai gerakan yang mengarah pada tujuan yang sama. Dalam istilah ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu justru merupakan landasan ideologis.

Istilah ummah secara terperinci mengandung tiga konsep: kebersamaan dalam arah dan tujuan; gerakan menuju arah dan tujuah tersebut; dan keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Dari kajian filologi ini, Syari’ati memandang bahwa sesungguhnya tidak mungkin ada ummah tanpa imamah. Apa karakteristik imamah itu? Sebagaimana istilah ummah, istilah imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa. Yang pertama berarti menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit, dan bahaya. Yang terakhir berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial dan keyakinan, serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.

Syari’ati memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis, yang selalu bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling utama dan penting dari Imamah adalah perwujuan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, lalu melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan. Dalam kalimat lain namun senada ia menulis:

Imamah dalam mazhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.

Tugas imam, di mata Syari’ati, tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam salah satu aspek politik, kemasyarakatan, dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir atau khalifah, tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek kemanusiaan yang bermacam-macam. Seorang Imam dalam arti seperti ini, tidak terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya. Walaupun demikian, Syari’ati mengingatkan bahwa imam bukanlah supra-manusia tetapi manusia bisa yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia super.

Selain itu, Syari’ati mulai menyinggung peristiwa Saqifah. Menurutnya, dengan mengabaikan polemik nass-wasiyyat, di satu sisi, dan bay’at al-syura, di sisi lain, dalam peristiwa Saqifah hanya ada lima suara: dua suara dari kabilah Aus dan Khazraj, tiga suara dari Muhajirin, yakni Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Itu pun dengan catatan apabila pemimpin kabilah Aus, Sa’id bin Mu’adz, sudah tidak ada lagi, maka otomatis Sa’ad bin Ubaidah, pemimpin Khazraj, menjadi pemimpin tunggal orang Madinah menghadapi kelompok Mekah – yang terakhir ini disebut Syari’ati telah memiliki kesadaran politik tinggi, sebagamana terbukti pada akhirnya, di mana mereka (kelompok Mekah) tahu betul apa yang sedang mereka hadapi, dan bagaimana pula seharusnya bertindak.Syari’ati bermaksud mengatakan bahwa aspirasi dan kebutuhan penduduk Madinah hanya ditemukan oleh lima suara, yang berarti mengabaikan ratusan suara lainnya, dalam peristiwa Saqifah.

Bagi Syari’ati, sesungghunya prinsip bay’at al-syura dan nass-wasiyyat tidaklah bertentangan sama sekali dan tidak pula ada di antara keduanya yang merupakan bid’ah dan tidak Islami. Baik bay’a, musyawarah, maupun ijma’ (demokrasi) adalah salah satu kaidah Islamiyah yang diajarkan oleh Al-Quran. Ali Syari’ati menegaskan sebagai berikut:

tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari adanya wasiat Rasulullah kepada Ali Umat harus melaksanakan wasiat ini dan menyerahkan persoalan mereka kepada washi (orang yang diberi wasiat), dan kalau itu tidak mereka lakukan, mereka akan tersesat.

Dalam pandangan Syari’ati, was}iyyat itu berfungsi sepanjang beberapa generasi, hingga kelak tiba pada masanya masyarakat dapat berdiri sendiri di atas kaki mereka, lalu memulai- setelah berakhirnya imamah atau tahap wasiat – tahapan pembinaan revolusioner tertentu, suatu tahap bay’a, musyawarah, dan ijma’ atau apa yang disebut Syi’ah atau para wasiyyat Al-Rasulullah berjumlah dua belas imam, tidak lebih. Sementara jumlah pemimpin masyarakat (politik) sesudah wafat Nabi hingga akhir sejarah, jumlahnya tidak terbatas.

Pada masa-masa awal wasiyyat digunakan dalam proses suksesi. Selanjutnya, menurut Syari’ati, setelah pada tahun 250 H (tahun gaibnya Imam ke-dua belas) baru berlaku prinsip syura. Kalau ini berjalan mulus maka pada 250 H kita telah mempunyai masyarakat yang sempurna bentuknya, dan memiliki kelayakan yang membuatnya patut memilih pemimpin mereka yang paling baik melalui asas musyawarah, yang kemudian menduduki kursi kepemimpinan, dan menggerakkan sejarah sesuai dengan jalur yang telah digariskan oleh risalah Muhammad Saw.

Masa sepeninggal Nabi sampai 250 H adalah masa revolusi yang tidak membutuhkan demokrasi. Sayangnya, menurut Syari’ati, sesuatu yang tidak terduga telah muncul di Saqifah, bani Sa’idah dan menyeret perjalanan sejarah Islam ke arah lain. Syari’ati pun berandai-andai, kalau seandainya peristiwa Saqifah itu terjadi pada 250 H dan tidak pada tahun 11 H, niscaya sejarah akan lain bentuknya. Sebab, meminjam istilah Chandle, demokrasi – bagi masyarakat belum maju – merupakan musuh demokrasi itu sendiri.’

b. Pemilihan Pemimpin
Akar awal Ali Syari’ati dalam tulisannya menggambarkan beberapa sistem pemilihan pemimpin yang dikenal pada masa sekarang hingga akhirnya ia menawarkan satu konsep tentang pemilihan imam. Diantara mekanisme pemilihan tersebu adalah:

Pertama, kudeta (Coup d’Etat), istilah Coup berarti pukulan atau serangan dan etat adalah pemerintah. Dengan demikian coup etat berarti gerakan yang secara mendadak dilakukan dalam bentuk pemberontakan guna menumbangkan pemerintahan yang berkuasa. Kemudian pemberontak itu menjadi penguasa baru yang menggantikan penguasa lama yang ditumbangkannya.Kedua, intervensi dan hegemoni. Istilah ini dalam pandangan Syari’ati adalah dominasi atas nasib bangsa melalui serangan yang dilancarkan oleh kekuatan asing yang kemudian menaklukkan negeri tersebut.Ketiga, pewarisan, bentuk ini paling banyak digunakan dalam sejarah pemilihan. Bagi kaidah pewarisan terdapat kebenaran yang bersifat sosio filosofis. Keempat, revolusi, yang dimaksud disini adalah revolusi dalam pengertian politik bukan dalam pengertian sosial, perhatian ditujukan untuk terciptanya perubahan struktur sosial, yang secara politis dimaksudkan sebagai perubahan insitusi politik dan sistem pemerintahan, dan gerakan ini dilakukan oleh mayoritas rakyat.

Selain hal tersebut Syari’ati menyajikan pula bentuk pemilihan pencalonan akan tetapi Syari’ati mempertanyakan apakah pencalonan ini atau pemilihan dengan system lain adalah cara yang paling baik.
Sekarang kita bertanya, ”mungkinkah unsur-unsur yang lahir , tumbuh, dan memberi petunjuk dalam bentuk seperti ini-dapat direalisasikan melalui pemberian jabatan, pemilihan umum, pewarisan atau pencalonan? Pertanyaan lain yang muncul, ’apakah imam dipilih melalui pengangkatan atau pemilihan ataukah berdasarkan penunjukan Nabi Muhammad SAW, atau imam sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh Syari’ati dengan negatif. Menurutnya dalam ajaran syiah, imam dipilih tidak dengan cara diatas melainkan dengan membuktikan kapabelitas seseorang sebagai pemimpin. Imam bukan dipilih oleh orang diluar dirinya akan tetapi ia muncul dari dalam dirinya sendiri. Ia berkata:

Imam adalah suatu hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. Pertama-tama ia adalah imam sebagai posisi puncak dan manusia paling terpilih lantaran ia memiliki aspek-aspek dan kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan terdahulu. Dia adalah seorang imam, tak perduli apakah ia muncul dari penjara Al-Mutawakkil maupun dari mimbar Rasul, baik didukung oleh seluruh umat atau hanya diketahui keaguangnnya oleh tujuh atau delapan kelompok saja.

Dalam alinea lain, ia menjelaskan bahwa imam adalah suatu hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah dari diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. Syari’ati menyimpulkan:

Imamah tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang. Artinya, masyarakat – yang merupakan sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi – tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada (pada imam tadi). Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya (sebagai seorang imam).

Jika logika Syari’ati di atas diteruskan, maka persoalannya apakah ada pemisahan lapangan kerja antara imam (yang diakui) dengan khalifah (yang dipilih)? Syari’ati menolak pandangan ini karena akan bermuara kepada pemisahan antara agama dan negara. Kendati demikian, itu selalu identik dengan imamah. Baginya, Imamah terbatas hanya kepada pribadi-pribadi tertentu sebagaimana halnya dengann nubuwah, sedangkan pemerintahan tidak terbatas pada masa, sistem dan orang-orang tertentu. Satu-satunya garis pemisah yang ditegaskan Syari’ati adalah:

Pemerintahan (khilafah) itu merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam sejarah, sedangkan imamah terbatas, baik dalam masa maupun orangnya. Dengan mengabaian perbedaan tadi, imamah dan khilafah sebenarnya merupakan tanggung jawab yang satu, untuk mencapai satu tujua dengan satu keterbatasan, seperti telah dikemukakan di atas, di mana seorang penguasa tidak selamanya seorang imam.
Dalam hubungannya dengan peristiwa Saqifah, ada dua persoalan besar dari alur logika Syari’ati di atas. Pertama, bagaimana hubungan imam dengan khalifah yang ada pada masa yang sama? Kedua, apakah imam tersebut harus dipilih oleh Allah atau Nabi sebagai pilihan yang harus pula diterima oleh umat manusia, kemudian diangkat sebagai imam untuk memimpin mereka dalam bidang politik, ataukah ia dipilih oleh manusia sendiri melalui musyawarah dan pemilihan umum?

Dalam pandangan Syari’ati hubungan khalifah dengan imam yang ada pada satu masa merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual, politik dan sosial dengan penguasa, sebagaimana halnya yang ada pada hubungan antara Gandhi dengan Nehru. Bentuk seperti ini, di mata Syari’ati, adalah bentuk yang wajar, dan pemisahan antara kedua tugas tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan dan kehormatan imam.

Sepintas memang jawaban Syari’ati bertentangan dengan tidak setujunya ia pada pemisahan kerja khilafah dan imamah, yang menurutnya akan bermuara pada pemisahan antara politik dan agama. Dapat dijelaskan bahwa bagi Syari’ati, pemisahan antara urusan politik atau negara dan agama bukan produk Islam, tetapi produk sejarah Islam yang terpengaruh nilai-nilai nasrani. Pada mulanya, seorang pemimpin mengurusi masalah politik dan agama sekaligus. Ia bagaikan Nabi Muhammad yang memimpin perang tetapi juga menjadi imam sholat. Sejarah Islam kemudian mencatat terjadinya pergeseran yang memisahkan antara khilafah dan imamah dalam bentuk aplikatif. Dan ini tidak disetujui oleh Syari’ati.Ini dipersulit dengan terjadinya pemisahan keduanya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Terjadi pula pereduksian peranan imamah dan khilafah dalam sejarah Islam, lalu masing-masing ditempatkan dalam medan yang sempit.

Adapun yang dimaksud Syari’ati dengan pemisahan khilafah dan Imamah (atribut/sifat) di atas adalah pada tataran realitas. Ada imam yang diakui oleh sekelompok orang, lalu kelompok yang lain memilih orang lain untuk menjadi khilafah. Di sini perlu diingatkan bahwa, bagi Syari’ati, imamah bukanlah jabatan tetapi atribut (sifat). Penunjukan atas orang lain sebagai khilafah di saat adanya imam, dapat disejajarkan dengan penerimaan terhadap seorang Nabi sebagai seorang Rasul – seperti yang diberlakukan pada Yesus – dan menunjuk orang lain pada jabatan pemerintahan bagi bangsa Arab atau kaum muslim Emperor Islam, sebagaimana halnya dengan Kaisar.

Bagi Syari’ati, dalam ajaran Islam tidak dikenal pemisahan urusan negara atau politik dengan agama. Jika terjadi pada satu masa adanya imam dan adanya Khalifah maka hubungan yang terjadi adalah bagaikan hubungan Nehru dan Gandhi. Imam meski diam di rumah tidak berarti ke-imam-annya hilang, karena imam adalah atribut (sifat); tanpa melewati pemilihan. Dengan demikian, tanggung jawab dan tugas seorang imam – meski tidak dipilih sebagai khalifah – tetaplah ada.

Berbeda dengan konsep sekular yang betul-betul menghendaki pemisahan antara negara dan agama; dalam konsep Syari’ati, kalau pun harus terjadi – adanya imam dan khalifah dalam satu masa – maka yang ada adalah adanya pemimpin politik dan pemimpin spiritual. Apabila kemudian imam terpilih sebagai khalifah (melalui pemilihan), seperti yang terjadi pada Imam Ali dan Imam Hasan, maka bukanlah hal yang tabu bersatunya pemimpin politik dan pemimpin spiritual dalam diri satu pemimpin. Ini yang tidak mungkin terjadi dalam konsep sekular karena pemimpin spiritual bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah jabatan tersendiri.

Berangkat dari tesis bahwa imam adalah sifat (atribut), ketika yang bukan imam menjadi khalifah maka bukannya hak imam yang terampas; tetapi yang terampas adalah hak umat manusia. Seorang imam tetap menjadi imam meskipun ia tidak menjalankan kekuasaan duniawi. Yang terampas haknya (dari memperoleh manfaat atas kehadiran imam) adalah makmum. Adalah hak umat untuk mendapat bimbingan dari imam dan bila ada “rekayasa” maka yang paling merugi adalah umat; karena umatlah yang terampas haknya.

Persoalan kedua sesungguhnya bermuara pada dua prinsip; pengangkatan dari Tuhan dan ijma’ umat Islam. Sejarah telah menjelaskan bahwa Syi’ah cenderung pada prinsip pertama dan Sunni cenderung pada prinsip kedua. Syari’ati menyerang prinsip kedua yang oleh Sunni dianggap telah menjadi unsur penting pada peristiwa Saqifah. Syari’ati sempat “terbang” ke Konferensi Asia Afrika di Bandung, menyebut Jenderal De Gaul dari Maroko, mengutip Profesor Chandle yang mengatakan, “musuh demokrasi dan kebebasan yang paling besar adalah demokrasi, liberalisme, dan kebebasan individu itu sendiri”, menyerang dunia Barat atas kecurangan mereka dalam memperkenalkan demokrasi, menyerang Robert Kennedy, revolusi kebudayaan di Cina dan revolusi Perancis. Syari’ati menyebut semua itu untuk menyerang demokrasi dan pemilihan pemimpin dengan suara terbanyak.

c. Hubungan Imamah dengan Ummah
Ali Syari’ati tidak secara jelas menyiratkan hubungan antara ima>mah dengan ummah. Ia hanya menyatakan bahwa ummat membutuhkan sebuah teladan yang menjadi uswah, karena dalam pandangannya panutan itu akan mendidik manusia menuju jalan perubahan. Ia berkata sebagai berikut :

Jadi, teladan yang ideal dan sempurna bagi manusia, jelas merupakan sesuatu yang amat penting, agar manusia dapat menempuh perjalanan menuju kesempurnaan dan mencapai tingkat tertinggi, serta mewarnai kepribadian mereka dengan kesempurnaan itu. Hal semacam ini adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, seperti yang dikatakan ayah saya, bahwa para panutan kita, yang berkewajiban mendidik dan mewarnai moral kita melalui petunjuk berupa prilaku dan kelebihan-kelebihan mereka, tak bias tidak adalah manusia seperti kita juga

Dan yang menjadi uswah tak lain adalah para imam, berhubungan dengan ini ia juga berkata:
Pada saat yang sama, ketika pengaruh imam yang spritual dan padagogik terhadap kalbu dan peranan spritualnya dalam membimbing umat manusia dapat disamakan dengan peran yang dimainkan oleh para hero dalam sejarah dan mitologi serta personifikasi keagungan nilai-nilai kemanusian, maka perwujudan dan hakikat imam tidak mungkin dapat dimasukkan dalam kategori para hero. Sebab imam bukanlah tokoh mitologi dan bukan pula pahlawan dalam sejarah, tetapi merupakan ungkapan seorang manusia yang wajar sebagaimana manusia yang lain. Bedanya, dalam diri imam tersebut terdapat perwujudan-perwujudan dan teladan-teladan dalam karakter semua jenis manusia yang dianggap paling sempurna.

Dari penjelasan tersebut, imam dalam pandangan Ali Syari’ati adalah manusia yang hebat dan patut untuk diteladani. Bahkan Ali Syari’ati menyamakannya dengan pahlawan. Pandangan ini merupakan karakteristik dari pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati sekaligus khas pemikiran syiah. Sebagaiman dijelaskan di awal bahwa Ali Syari’ati sangat mengistimewakan kedudukan imam. Imam bukanlah posisi yang dipilih oleh rakyat akan tetapi ditentukan oleh kemampuan dirinya sendiri. Dengan demikian hubungan antara imam dengan ummah dalam pemikiran Ali Syari’ati adalah bahwa ummah seharusnya meneladani imam dan seorang imam harus bisa membawa ummah kepada perubahan yang lebih baik.



http://faizalzawahir.blogspot.no/2013/01/ummah-dan-imamah-sebuah-tinjauan.html

Sabtu, 27 Juni 2009

AL QUR-AN SEBAGAI HUDALLINNAS, BUKAN HANYA LILQARI






FUNGSI AL QUR-AN BUKAN HANYA SEBAGAI KITAB SUCI
TAPI JUGA UTAMANYA SEBAGAI IDEOLOGY (PEDOMAN HIDUP)
hsndwsp
Acheh - Sumatra




Bsmillaahirrahmaanirrahiim

Ada 3 golongan manusia dalam menanggapi surah Al Kahfi ayat 9 s/d 26 tentang keberadaan 7 orang pemuda yang tertidur dalam gua selama 309 tahun. Golongan pertama menyatakan bahwa mustahil manusia itu tidur dalam gua dalam jangka waktu yang demikian lama tanpa makan dan minum. Golongan ini lazimnya disebut sebagai golongan Sekuler yang mirip dengan Atheis.

Golongan kedua berkeyakinan bahwa pemuda itu tidur selama 309 tahun adalah benar. Keyakinan mereka itu berdasarkan keyakinan kepada Allah yang berkuasa atas segalagalanya. Golongan kedua ini meyakini kebenaran ayat Al Qur-an itu sebatas benarnya kejadian itu serta senantiasa membantah golongn pertama yang menafikan kejadian tersebut. Golongan kedua ini mengklaim bahwa merekalah yang benar dan menamakan diri sebagai golongan yang berilmu/'alim.

Golongan ketiga bukan saja tidak memiliki keyakinan yang sama dengan golongan yang pertama tetapi juga berbeda dengan golongan "'Alim" yang kedua. Mereka melihat bahwa golongan kedua itu hanya mampu sebatas percaya, namun tidak mampu memahami Idiology yang terkandung dalam surah Al Kahfi ayat 9 s/d 26 sebagai pesan Allah buat manusia untuk mengidentifikasikan diri sebagai pemuda tersebut saat mengalami situasi dan kondisi seperti itu. Disinilah fungsi Al Qur-an sebagai Petunjuk, Idiology atau Pedoman Hidup. 6 orang dari pemuda tersebut bekerja sebagai menteri dalam System Diklianus yang diantaranya bernama Thamlika, Miksmilina, Miksamlina dan Mahkdalina.

Ketika Diklianus mengumumkan keseluruh negeri bahwa dia adalah "Tuhan" yang tidak boleh dibantah oleh siapapun kecuali dipotong lehernya, Thamlika membuat pertemuan dirumahnya sebagaimana lazimnya mereka membuat pertemuan mingguan secara bergiliran. Dalam pertemuan itu dia mengatakan bahwa dia tidak enak badan ketika teman-temannya bertanya kenapa dia tidak makan dan minum. Ketika teman-temannya mendesak, Thamlika mengatakan dia sedang memikirkan masalah langit, tentang Allah yang satu. Ketika sahabat - sahabatnya menanyakan jalan keluarnya, Thamlika memutuskan untuk meninggalkan segala - galanya demi tunduk patuh kepada Allah, Tuhan yang sesungguhnya. Singkat kisahnya, mereka berenam segera hijrah keluar dari System Thaghutnya Diklianus menuju tempat yang belum diketahuinya kala itu, kecuali Allah. Dalam perjalanan itu mereka berjumpa dengan seorang Tukang Kebun, prototipenya kaum mustadhafin bersama anjingnya. Tukang kebun itu minta ikut serta dalam rombongan itu sehingga mereka berjumlah 7 orang plus anjingnya.

Idiology Pemuda Al Kahfi inilah yang mampu diidentifikasikan oleh sebahagian orang Acheh yang bekerja dalam system Thaghut Hindunesia yang zalim dan hipokrit. Kita harus mampu meninggalkan segala - galanya untuk keluar dari system zalim itu walaupun kedudukan kita sebagai Dosen sekalipun, sebagaimana Thamlika cs mampu meninggalkan kedudukannya yang demikian gemerlap dan fantastis bagaikan fasilitas Syurgawi. Dosen itu tidak ada artinya sama sekali disisi Allah andaikata hanya mengajarkan berbagai disiplin Ilmu, namun tidak pernah mengajarkan para mahasiswanya tentang bathilnya Idiology Pancasila ditinjau kacamata Al Qur-an. Inilah yang membuat 'Aqidah orang orang yang bersatupadu dalam system Thaghut Hidunesia zalim dan Munafiq itu sirna atau bathil, kendatipun di mulutnya kerapkali berkumat kamit dengan Kalimah syahadah (la ilaha illallah). Thamlika cs tidak dibenarkan untuk bertaqiah, demikian juga para dosen dan Khatib di Mesjid - mesjid. Taqiyah itu hanya dibenarkan buat orang - orang yang tidak berdaya samasekali untuk keluar dari system Taghut yang zalim dan korrup tersebut (baca kaum mustadhafin).

Demikianlah sebagai contoh, bagaimana memahami serta mengaplikasikan Al Qur-an sebagai Pedoman Hidup/Idiology dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta memahami 'Aqidah yang haq secara filosofis, bukan sekedar berkomat kamit dimulut saja.