Senin, 28 Desember 2015

SORRY, TERJEMAHAN DIBAWAHNYA BELUM DI EDIT








siapa yang pembohong, siapa kolaborator dan siapa patriot," pemimpin Ansarullah menunjukkan.





1.Petikan wawancara Gatra M. Guntur Romli dengan Gamal al-Banna

Gatra: Anda menghalalkan nikah mut’ah (nikah kontrak)?

Gamal: Benar. Tapi konteks pembicaraan saya juga harus dipahami. Saya berbicara nikah mut’ah tersebut untuk mahasiswa/pekerja muslim yang hidup di negara-negara Barat. Menghadapi libido seks yang sangat tinggi, baik karena mereka masih muda maupun lantaran lingkungan yang mendukung. Mereka hanya memiliki dua pilihan: melakukan seks di luar syariat (berzina) atau nikah. Karena memiliki iman yang kuat, mereka tidak mau berzina. Pilihannya hanya menikah. Sedangkan menikah dengan perempuan asing sulit. Jika menikah maka dia memiliki beberapa konsekwensi-seperti dia harus menetap sedangkan ia masih ingin kembali ke tanah airnya atau jika terjadi cerai (talak) maka pembagian harta antara keduanya sangat sulit. Jadi, makna nikah yang sewajarnya benar-benar sulit.

Nah, Islam memiliki solusi, yaitu nikah mut’ah. Nikah untuk masa tertentu (temporal). Islam menghalalkan bentuk nikah ini. Diriwayatkan, Rasulullah menghalalkan, kemudian konon mengharamkannya. Tetapi yang benar (al-rajih), Rasulullah tidak pernah mengharamkan karena nikah mut’ah ini masih dihalalkan pada masa Khalifah Abu Bakar, kemudian sebagian periode Khalifah Umar bin Khattab. Ibn Abbas dan beberapa sahabat juga berpendapat bahwa nikah ini halal. Jadi, yang melarang nikah mut’ah bukan Rasulullah, melainkan Umar bin Khattab.

Kalau Rasulullah mengharamkan nikah ini secara mutlak, maka tidak akan dipraktekkan pada periode Abu Bakar atau sebagian periode Umar. Jadi, pengharaman nikah mut’ah lahir dari ijtihad Umar. Karena waktu itu, Umar tidak hanya melarang nikah mut’ah, melainkan juga haji tamattu’ (haji dan umrah dalam waktu bersamaan). Cerai tiga dalam satu vonis (kesempatan) ditetapkan oleh Umar menjadi cerai tiga. Sedangkan waktu Rasulullah dan Abu Bakar masih dihitung cerai satu. Saya juga tidak menutup kemungkinan dispensasi (rukhsah) ini bisa disalahgunakan. Maka dari itu saya hanya bicara dalam kontek komunitas muslim di negara-negara Barat saja.

Gatra: Tapi nikah mut’ah itu merupakan ajaran Syiah?
Gamal: Saya tidak mau bicara tentang ajaran Syiah, karena saya tidak bicara tentang nikah mut’ah dalam versi mereka (Syiah). Saya terpaksa mengulas masalah nikah mut’ah ini sebagai solusi khusus bagi minoritas muslim di negara-negara Barat. Saya juga tegaskan dalam buku itu bahwa saya tidak setuju jika nikah mut’ah dipraktekkan di negara-negara muslim. Bisa jadi, dalam konteks zaman dulu, Umar benar ketika melarang nikah mut’ah. Tapi sekarang konteksnya kan berbeda. Lagi pula, kenapa kita apriori terhadap Syiah? Almarhum Syekh Syaltut –mantan Grand Syekh Al-Azhar– memperbolehkan kita mengamalkan mazhab Syiah, terutama mazhab Ja’fari.

2. Pendapat cucu Imam Khomeini
Sayyed Husain Khomeini cucu Imam Imam Khomeini) menyampaikan kepada Al-Arabiyya.net bahwa Ketika ditanya tentang pendapat pribadinya tentang kawin mut`ah, putra Mustafa Khomeini ini menjawab, “Sebagai keyakinan keagamaan, saya menganggapnya memang ada dalam Islam dan Al-Qur’an, meskipun ditolak oleh kalangan Ahlus-Sunnah. Akan tetapi, kawin mut`ah telah disalahgunakan. Sebetulnya ia dibolehkan demi menghalangi manusia daripada prostitusi dan perbuatan zina, namun adakalanya ia sama saja seperti zina, bahkan lebih jahat daripada zina. Walaupun demikian, memang dalam buku2 fiqih yang ditulis oleh para fuqaha Syi`ah, terdapat dua jenis perkawinan, satu yang disebut perkawinan permanen dan yang lainnya disebut perkawinan sementara. Begitulah yang disepakati oleh semua ahli fiqih Syi`ah.

Saya yakin orang yang berpikir jernih dan tidak mendahulukan hawa nafsunya akan menganggap bahwa pernyataan seperti itu adalah keliru. Nikah mut’ah adalah ikatan tali pernikahan antara seorang laki-laki dan wanita dengan mahar yang telah disepakati dalam akad, sampai pada batas waktu tertentu. Sedangkan perzinahan adalah hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim dan merupakan perbuatan dosa besar. Pernah ada teman saya yang bertanya apakah nikah mut’ah itu bisa tanpa wali, saksi, dan pemberian nafkah? Mendengar pertanyaan seperti itu, saya teringat dengan perkataan seorang ustadz yang mengatakan bahwa tidak wajib adanya wali dan saksi, tetapi alangkah baiknya jika ada wali dan saksi. Mengenai pemberian nafkah – masih menurut ustadz itu – tergantung perjanjian ketika akad.


3. Pendapat hsndwsp:
Saya setuju kedua pendapat diatas tetapi perlu saya tambahkan bahwa sesuatu yang telah ditetapkan Allah hukumnya, tidak boleh ada pihak manapun yang boleh merobahnya. Nabi sendiri mustahil mau merobah ketentuan manapun yang telah ditetapkan Allah swt. Hal ini sesuai ayat Allah sendiri bahwa apa saja yang diucapkan Muhammad saww adalah "Wahyu yang diwahyukan". Kemudian realita sejarahpun sebagaimana diungkapkan oleh Gamal al Banna bahwa nikah mut'ah berlaku di zaman Abubakar dan separuh waktu zaman Umar bin Khattab. Ini sebagai bukti bahwa Nabi Tidak pernah melarang nikah Mut'ah disebabkan sesuatu yang ditentukan Allah pasti benar dan mustahil bagi RasulNya untuk merobahnya. Yang merobah hukum Allah adalah orang-orang yang tidak tundukpatuh kepada Allah dan Rasulnya.

Kalau alasan telah disalahgunakan, kita berani merobah hukum Allah, itu namanya salah cara berfikir saja. Dalam hal ini saya teringat sepakterjang trio pembaharuan Islam di forum Paramadina rekayasa Suharto yaitu Abdur Rahman Wahid (Gusdur), Munawir Sanjali(mentri agama Suharto)dan Nurchalis Majid. Ketika Munawir Sanjali melihat realita di Krawang dan juga dalam keluarganya tidak sesuai dengan pikirannya, dia robah hukum Tuhan bahwa hak anak lelaki 2 kali hak anak perempuan tidak adil menurut Munawir. Dia berkata:" masah anak lelaki saya yang sudah saya sekolahkan sampai keluar negeri masih saja mendapat 2 kali haknya dari anak perempuan yang hanya tamat sekolah SLTA, terus saya nikahkan.

Lalu dia melanjutkan bahwa di Krawang kala itu kebanyakan wanita bekerja sebagai pencuci sedangkan suami mereka asik dengan "perkututnya". Disebabkan Munawir menuhankan Suharto(berani menolak ketentuan Allah asal sesuai pikiran majikannya). Yang benar, system yang dibangun Suharto yang salah bukan ayat-ayat Allah. 

Demikian juga nikah Mut'ah, yang salah kebanyakan system yang dibangun manusia paska kewafatan Rasulullah dan Imam Ali adalah system Taghut Zalim, makanya tidak cocok kalau digunakan hukum Allah. Padahal Allah sudah menyatakan dalam surah al Maidah ayat 44, 45 dan 47 bahwa barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah, mereka itulah yang kafir, fasiq dan zalim. Pada diri orang kafir Harbi, Fasiq dan Zalim tidak ada kebaikan tetapi masih ada kebaikan pada diri non Muslim yang berwawasan kemanusiaan (non Muslim yang Jimmi, bukan Harbi)

Kesimpulan saya sama dengan pendapat kedua ahli diatas bahwa kalau systemnya tidak betul, kemungkinan besar nikah Mut'ah akan disalahgunankan hingga manusia-manusia yang  fanatik buta salah kaprah dalam memandang nikah Mut'ah. Perlu kita garisbawahi bahwa kita mempertahankan kebenaran nikah Mut'ah bukan hendak bermut'ah sebagaimana sering dituduh pihak yang fanatik buta, hingga mereka minta anak perempuan kita untuk mut'ah dengan mereka. Mereka tidak mampu berpikir bahwa wanita yang normal mustahil mau mut'ah dengan sembarang orang, sama saja dengan wanita calon nikah Ba-in, kan tidak mau juga dengan sembarang orang?


Selanjutnya, silakan klik disini:  http://www.achehkarbala.blogspot.no

SEMOGA BERMANFAAT
Salam Damai
 





Next, please click here: 

http://achehkarbala.blogspot.no/2013/08/jawaban-hsndwsp-tentang-boleh-tidaknya.html

http://achehkarbala.blogspot.no/2013/08/jawaban-hsndwsp-tentang-boleh-tidaknya.html