Selasa, 18 Juni 2013

KILAS BALIK REVOLUSI ISLAM IRAN AGAR PENAMPILAN SORBAN TIDAK IDENTIK DENGAN MAHKOTA YANG DIPAKAI SANG RAJA.





SYAHID DR ALI SYARIATI MEMILIKI PIKIRAN YANG SANGAT TAJAM
LEBIH 'TAJAM' DARI "PEDANG SISINGAMANGARAJA"
hsndwsp
Acheh - Sumatra
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Revolusi Iran
1 Reply

1.1. Latar Belakang Masalah
Revolusi Iran adalah contoh paling spektakuler di dunia Islam, bagaimana agama mampu memberi kekuatan bagi gerakan revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan tiranik dan despotik. Bahkan tidak sekedar menumbangkan kekuasaan, tetapi lebih mendasar dari itu, mengganti sistem politik lama (monarki) dengan sistem politik baru (wilâyah al-faqîh). Banyak kalangan menyebut revolusi ini sebagai “salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat Islam”.[1] Kesuksesannya dapat disejajarkan dengan Revolusi Prancis (1789) atau Revolusi Bolshevik Rusia (1917).[2]

Revolusi yang telah berlangsung di Iran tahun 1978-1979 dan menghasilkan pemerintahan Islam yang berlangsung sampai hari ini, mengangkat banyak isu yang terkait dengan kebangkitan Islam kontemporer: keyakinan, kebudayaan, kekuasaan, dan politik dengan penekanan pada identitas bangsa, keaslian budaya, partisipasi politik, dan keadilan sosial disertai pula dengan penolakan terhadap pembaratan (gharbzadegi/westoxication), otoriterisme kekuasaan, dan pembagian kekayaan yang tidak adil. Inilah “the real revolution” yang digerakkan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dipimpin oleh para tokoh agama.

Keterlibatan para mullah dalam gerakan revolusioner menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa di Iran mulai tahun 1925-1979, merupakan fenomena menarik dan unik jika dilihat dari perspektif sejarah sosial-politik Syi’ah. Syi’ah sebagai madzab resmi Iran sejak Dinasti Safavi menekankan artikulasi politik yang lebih akomodatif terhadap kekuasaan. Perilaku para pengikut Syi’ah sejak lama terpola dalam tradisi taqiyeh (dissimulation)[3] dan quietisme[4]. Apa yang telah ditampakkan oleh para mullah dan pengikutnya yang terlibat dalam gerakan revolusi adalah pergeseran orientasi sikap keberagamaan dari pasivisme menanti datangnya Imam Mahdi ke arah gerakan kongkret dan pro-aktif dalam melawan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Di sinilah tampak peran para reformer ideologi Syi’ah kontemporer yang berhasil memperbaharui ajaran Syi’ah.

Syi’ah sebagai madzab resmi Iran menjadi identitas nasional dan sumber legitimasi politik sejak abad keenam belas. Islam Syi’ah telah terlibat dalam percaturan politik sejak kemunculannya dan karena itu memiliki sejarah dan sistem kepercayaan yang dapat ditafsirkan dan dimanfaatkan dalam krisis politik. Tetapi sejak ditetapkan sebagai madzab resmi pada Dinasti Savafi, ajaran Syi’ah Imâmiyah (aliran mainstreem dalam Syi’ah) memiliki kecenderungan apolitis dan terlalu kooperatif dengan penguasa negara.[5] Wacana keagamaan yang diusung para ulama berkutat pada masalah-masalah ringan dan fiqh oriented dari pada masalah sosial-politik yang memiliki jangkauan spektrum lebih luas. Julukan untuk mereka adalah para akhund, sebuah istilah pejoratif untuk menyebut ulama yang berpengetahuan dangkal.

Dalam tradisi Sunni, ulama model itu juga menjadi fenomena dominan dalam konstelasi politik negara-negara berbasis madzab sunni. Ulama-ulama Wahhabi, misalnya, posisi sosio-politik mereka telah terhegemoni oleh sistem politik kerajaan Saudi. Wahabi menjadi madzab resmi Kerajaan Saudi Arabia sehingga ia adalah sumber legitimasi bagi penguasannya. Wahabi yang pada awal-awal kelahirannya sangat kritis, telah berubah menjadi sekadar lembaga stempel bagi kekuasaan sang Raja. Agama dalam kondisi seperti ini seolah mati suri karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah sejarah umat manusia. Agama telah kehilangan elan vital sebagai sumber inspirasi untuk membela yang lemah dan memerangi kemungkaran (depotisme).

Ali Syari’ati, salah satu dari sedikit para pemikir Iran yang sangat gundah dengan fenomena “kematian agama (syi’ah)”. Apalagi latar historis saat Syari’ati tumbuh berkembang menjadi intelektual terkemuka adalah kekuasaan Syah Reza Pahlevi yang mengumbar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Di saat para ulama Syi’ah kebanyakan bungkam atau mengambil sikap diam dan menjaga jarak dengan dengan sosio-politik kala itu, Syari’ati tampil untuk melontarkan gagasan-gagasan radikal tentang oposisi dan revolusi yang bersumber dari ajaran Syi’ah yang sudah dicangkokkan dengan tradisi revolusioner Dunia Ketiga dan Marxisme. Ali Syari’ati berhasil membangun ideologi Islam revolusioner yang lantas ditawarkan sebagai ideologi alternatif atas kecenderungan Marxis dan nasinalis-sekular yang banyak digemari kalangan muda Iran.

Ali Syari’ati mengecam para ulama yang telah menjadikan Syi’ah semata-mata sebagai agama berkabung dengan mengubah arti hakiki peristiwa Karbala. Ulama, menurut Syari’ati telah mengkhianati Islam dengan “menjual diri” kepada kelas penguasa, dengan begitu ulama telah mengubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (dîn-i dewlati), yang paling tinggi hanya sebabatas menekankan sikap kedermawanan (philantropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan[6].

Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan khusus ulama semacam itu telah menjadikan mereka sebagai instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikelola ulama dibiayai kaum kelas berharta untuk mencegah ulama berbicara tentang perlunya menyelamatkan kaum miskin dan mereka yang tertindas (mustad’afîn). Sebaliknya, dengan menggunakan doktrin tentang fiqh ekonomi, ulama merupaya mengabsahkan eksploitasi yang menurut Syari’ati lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Islam di tangan ulama itu telah menjadi khordeh-I burzhuazi (borjuasi kecil).[7]

Masih menurut Syari’ati, banyak ulama berpandangan sangat picik (ulamâ-i qisyri), yang bisa bisa mengulang-ulang doktrin fiqih secara bodoh. Mereka memberlakukan Kitab Suci sebagai lembaran kering, tanpa makna, sementara pada sisi lain asik dengan isu-isu yang tidak penting seperti soal pakaian, ritual, panjang pendeknya jenggot dan semacamnya. Akibatnya ulama gagal memahami makna istilah-istilah kunci seperti ummah, imâmah, dan nizâm al-tauhîd.[8] Ulama yang digambarkan Syari’ati itu lebih cenderung fiqh oriented dan senang bergumul dengan wacana khilâfiyah yang semua itu tidak terkait dengan problem real masyarakat. Kemisminan, kebodohan dan keterbelakangan serta penindasan menjadi isu yang tak tersentuh (untouchtable) dalam alam pikiran para ulama sehari-hari, karena mereka lebih disibukkan dengan polemik wacana fiqhiyyah yang tidak urgen.

Kecenderungan ulama seperti gambaran di atas akan menguntungkan posisi penguasa, karena aspek-aspek penyelewengan kekuasaan, praktek ketidakadilan dan kebijakan yang hanya menguntungkan diri sendiri menjadi lepas dari kontrol dan kritik ulama. Maka tidak aneh jika pihak penguasa menyediakan dana yang cukup untuk aktifitas ulama model ini, karena semakin ulama tidak independen, akan lebih memudahkan para penguasa melakukan kontrol terhadap aktivitas mereka. Kolaborasi semacam ini yang telah terjadi di Iran sebelum revolusi, dimana rezim Syah banyak memanfaatkan ulama untuk melakukan counter balik terhadap wacana kritis yang dilontarkan para kaum oposisi. Termasuk di antara kaum oposisi itu, Ali Syari’ati adalah salah satu tokoh pentingnya.

Berada dalam pusaran oposisi vis-à-vis kekuasaan rezim Syah dan ulama konservatif, Ali Syari’ati banyak menuai kritik bahkan hujatan dan fitnah dari beberapa ulama. Mereka pada umumnya menuduh Syari’ati menyesatkan dan menipu kaum muda mengenai ajaran Islam sejati versi Syari’ati. Ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayatullah Khu’i, Milani, Ruhani dan Thabathaba’i, bahkan mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual dan membaca tulisan Syari’ati.[9] Mereka menganggap tulisan-tulisan Ali Syari’ati, khususnya dalam bukunya Eslamshenasi (diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Islamology), telah menyimpang dari tradisi Islam Syi’ah karena menggunakan sumber-sumber non-Syi’ah.[10]

Ali Syari’ati adalah contoh intelektual sui generis yang berani dalam posisi melawan mainstreem politik maupun pemikiran Islam. Ia dapat disejajarkan dengan para pembaharu Sunni pendahulunya, seperti Jamal al-Din al-Afghani (w.1897), Muhammad Abduh (w. 1905) atau Muhammad Iqbal (w.1938). Sama dengan Syari’ati, mereka adalah pembaharu pemikiran Islam dan sekaligus para oposan yang sangat kritis dengan fenomena ketidakadilan dan imperialisme Barat. Yang membedakan antara Syari’ati dengan ketiga tokoh Sunni itu adalah bahwa Syari’ati lebih radikal dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran pembaharuannya dan ini yang perlu mendapat catatan tebal sejarah pembaharuan Islam, bahwa Syari’ati dengan gagasan revolusinya berhasil menarik gerbong oposisi di kalangan masyarakat Iran untuk melawan rezim yang berkuasa sampai akhirnya gerakan oposisi itu berhasil melakukan revolusi bersejarah tahun 1979.

Ali Syari’ati dan Revolusi Iran adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Walau dia meninggal dunia beberapa saat sebelum revolusi itu benar-benar terwujud, tepatnya tanggal 19 Juni 1977, gema revolusi yang dia kampanyekan di Iran sampai akhir hayatnya, mendapat sambutan yang antusias dari massa pengunjak rasa pada puncak gerakan revolusi 1978-1979. Poster-poster Ali Syari’ati bersanding dengan poster tokoh revolusi lain seperti Mossadeq dan tentunya Khomeini, diusung sepanjang demonstrasi besar-besaran melawan Rezim Syah. Bahkan beberapa kalangan menyebut Syari’ati lebih mempunyai peran dalam Revolusi Iran ketimbang Khomeini, misalnya, yang munculnya pada saat-saat setelah secara efektif revolusi berakhir. Zayar dalam bukunya Iranian Revolution: Past, Present, and Future, bahkan menuduh Khomeini sebagai pembajak Revolusi Iran dari para pejuang pra-revolusi.[11]

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, peneliti menemukan titik urgensi penelitian tentang pemikiran Ali Syari’ati, khususnya yang terkait dengan Islam dan revolusi. Syari’ati adalah prototype cendekiawan Islam yang melaju diantara pusaran konservatisme pemikiran Islam yang menekankan Islam sebagai agama yang terpisah dengan persoalan-persoalan real di masyarakat, dan sekularisme pemikiran yang begitu terpesona dengan modernisme Barat dan meninggalkan Tradisi Suci Agama. Syari’ati menawarkan model lain (the third way, dalam istilah Antoni Gidden), yaitu Islam revolusioner, Islam yang mengambil posisi sebagai jalan revolusi menuju pembebasan umat atas segala macam bentuk ketidakadilan dan penindasan. Syari’ati berhasil menggali nilai-nilai revolusioner Islam yang selama ini terkubur oleh ortodoksi, yang dalam konteks ajaran Syi’ah, Syari’ati telah merevolusi doktrin Syi’ah dalam bentuknya yang lebih progresif. Simbol-simbol penting Syi’ah seperti asy-Syûra, Karbala, Syâhid diposisikan kembali dalam wacana perlawanan seperti semula.

Penelitian ini juga akan menggali lebih eksploratif tentang pengaruh pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dalam Revolusi Iran 1979. Keberhasilan Revolusi Iran tidak bisa lepas dari keberhasilan revolusi doktin Syi’ah. Dan salah satu tokoh penting yang terlibat dalam proyek revolusi doktrin Syi’ah itu adalah Ali Syari’ati.

1.2 Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang di atas, pokok masalah yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah: “Bagaimana pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi serta pengaruhnya terhadap Revolusi Iran?”.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan jawaban dalam pokok masalah yaitu bagaimana pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi dan pengaruhnya terhadap revolusi Iran 1979. Mengetahui pemikiran tokoh ini penting dilakukan mengingat Syari’ati adalah ikon intelektual Muslim yang gigih memperjuangkan mereka yang tertindas dan teraniaya lewat tulisan-tulisan dan aksi-aksi politik yang kritis dan tajam. Karya-karya intelektual Syari’ati tidak sekedar ungkapan emosional dari wakil rakyat tertindas, tetapi mempunyai bobot akademik yang tinggi sehingga upaya-upaya kritis dalam studi atas pemikiran Syari’ati diharapkan akan melahirkan pemikiran baru yang lebih segar dan progresif untuk menjawab tantangan politik Islam kekinian yang lebih kompleks.

Di tengah-tengah diskursus politik Islam yang belum tuntas, antara yang pro negara Islam atau sebaliknya, studi pemikiran Ali Syari’ati seolah keluar dari diskursus itu. Pemikiran politik Ali Syari’ati tidak mau terjebak kepada pro-kontra formalisme negara Islam, tetapi lebih menekankan pada aspek relasi kritis rakyat-penguasa. Aspek ini disinyalir lebih berguna untuk dieksplorasi lebih dalam dalam rangka membangun konsep teoritis bagaimana rakyat dapat membatasi, mengontrol, sekaligus mengganti –jika diperlukan- para penguasa.
Lebih dari itu semua, penelitian ini dimaksudkan untuk merekonstruksi pemikiran revolusioner Ali Syari’ati yang akan berguna untuk membangun pemikiran politik Islam kontemporer yang aplikatif dan aktual yang tidak terjebat pada wacana elite, tetapi lebih dekat pada wacana grassroot. Oposisi, revolusi dan kata-kata lain yang sepadan dengan itu adalah term-term perlawanan rakyat yang ingin merdeka dan mandiri, sehingga hasil dari penelitian ini akan menjadi panduan normatif dan aplikatif bagi komponen-komponen perlawanan rakyat sekaligus diskursus tingkat lanjut pemikiran politik Islam di ruang-ruang akademis.

BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

Pemikiran Ali Syari’ati yang revolusioner mengundang perhatian orang untuk mengkaji lebih dalam hubungan pemikirannya dengan para pemikir revolusioner sebelumnya. Para pengkaji pun lantas mengaitkan Syari’ati dengan Marx dalam satu pola hubungan geneologis pemikiran. Hasilnya pun bisa ditebak, bahwa Syari’ati sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Marx, khususnya yang terkait dengan bagaimana menganalisis ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sehingga beberapa kalangan menyebut proyek pemikiran Syari’ati adalah Islamisasi Marxisme atau Marxisisasi Islam.

Eko Supriyadi adalah salah satu dari peneliti Indonesia yang telah berusaha mengkaji pengaruh Marxisme dalam pemikiran Ali Syari’ati. Dalam penelitiannya yang telah diterbitkan menjadi buku yang berjudul Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati, Eko berupaya menelusuri akar-akar geneologis pemikiran sosialisme Ali Syari’ati pada pemikiran Marxisme. Dalam temuannya Supriyadi menyatakan bahwa ada pengaruh Marx dalam pemikiran Syari’ati, tetapi Syari’ati menerima pemikiran Marx dengan kritik dan ia menawarkan sintesa antara Marxisme dan Islam.[12] Salah satu yang dikritik Syari’ati dalam rancang bangun pemikiran Marx adalah kecenderungannya yang menafikan segala bentuk spiritualitas, yang dengan begitu menafikan agama, sekaligus Tuhan. Penelitian lain yang agak mirip dengan karya Eko Supriyadi adalah yang dilakukan oleh Munawar Anwar Firdausi dengan judul Analisis Tipologi Pemikiran Karl Marx dalam Pandangan Ali Syari’ati yang dia ajukan sebagai tesis di pascasarjaan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004.

Kedua penelitian di atas lebih menekankan pada pengaruh pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati dan kritik Syari’ati terhadap Marxisme. Penelitian itu tidak memotret secara utuh bagaimana wacana Islam dan politik yang diusung Syari’ati apalagi mengaitkannya dengan revolusi Iran. Tetapi paling tidak dari penelitian itu dapat dilacak akar geneologis pemikiran revolusioner Syari’ati, sehingga lebih memudahkan untuk merekonstruksi pemikirannya dan mengaitkannya dengan revolusi Iran 1979.

Adalah terlalu sempit jika memposisikan Syari’ati sebatas tokoh yang mampu mensitesakan antara Islam dan Marxisme. Realitas sosial, politik dan budaya yang melingkupi Syari’ati dalam menelorkan karya-karya intelektualnya begitu komplek. Rezim Syah Pahlevi yang despotik, ajaran-ajaran Islam (Syi’ah) yang dibonsai ulama resmi menjadi sebatas ajaran ritual, serta kondisi umum masyarakat Islam yang berada dalam cengkraman hegemoni Barat adalah fenomena penting yang membentuk karakter pemikiran Syari’ati, sehingga wajar jika tampak karakter revolusioner dalam pemikirannya. Ali Syari’ati tergelisahkan oleh kondisi umat yang terus-menerus diposisikan sebagai pihak yang teraniaya (mustal’afîn), dan karya-karya Syari’ati seolah mewakili suara-suara itu.

Ali Rahmena yang telah melakukan pembacaan cukup komprehensif atas beberapa karya penting Syari’ati dalam bukunya Pioneer of Islamic Revival yang dalam edisi Indonesia oleh penerbit Mizan diberi judul Para Perintis Zaman Baru Islam. Buku Rahmena mereview pemikiran-pemikiran Syari’ati yang tertuang dalam beberapa karya penting, diantaranya adalah Eslamshenasi (Islamologi) dan Kavir (Gurun).[13]

Tulisan Rahnema cukup lengkap sebagai tulisan yang memotret sejarah kehidupan Ali Syari’ati yang sarat dengan petualangan khas seorang revolusioner. Penelitian ia yang bersumber dari data primer akurat dan berbahasa asli (Persia) memungkinkan Rahnema untuk menganalisis secara lebih tajam fenomena kesejarahan pemikiran dan aktivitas politik Syari’ati. Tetapi karena tulisan itu hanya sebuah tulisan biografi, bangunan pemikiran Ali Syari’ati yang kaya dan komplek tidak tertuang dengan utuh, dan sebaliknya, banyak konteks historis yang terlewatkan begitu saja, sehingga kesan yang muncul adalah fragmentasi dan distorsi. Tetapi tulisan Rahnema akan menjadi informasi awal yang cukup penting untuk memetakan secara historis warisan intelektual dan politik Ali Syari’ati.

Azyumardi Azra dalam salah satu bagian dari bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, menulis tentang filsafat pergerakan Ali Syari’ati. Azra menyatakan bahwa pandangan dunia Syari’ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik. Sehingga dalam konteks ini, Syari’ati dapat disebut politico–religio thinker (pemikir politik keagamaan)[14], yang buah pikirannya menjadi salah satu akar ideologi Revolusi Islam Iran. Azra juga menyorot bagaimana kritik Syari’ati terhadap ulama dan tawaran Syari’ati tentang ideologi Syi’ah revolusioner (Syi’ah Alawi) sebagai lawan dari Syi’ah konservatif (Syi’ah Safavi).

Sama dengan tulisan Rahnema, Azra hanya memotret pemikiran Syari’ati pada segmen tertentu saja. Ketika ia menulis tentang pengaruh penting pemikiran Ali Syari’ati terhadap Revolusi Islam, Azra tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana proses pengaruh-mempengaruhi itu berjalan. Tulisan Azra hanya menambah informasi tentang karakter pemikiran Syari’ati dan komentar-komentar para tokoh terhadap pemikiran dan kiprah Syari’ati dalam gerakan oposisi di Iran saat itu.

Temuan Azra dalam bukunya itu, bahwa Ali Syari’ati mempunyai andil yang cukup signifikan dalam Revolusi Islam Iran mendapat pembenaran dari beberapa tokoh lain seperti John L. Esposito dan John O. Voll dalam bukunya Islam and Democracy, khususnya dalam bab III yang berbicara tentang berkuasanya Islam revolusioner di Iran. Esposito dan Voll menyebut Syari’ati sebagai seorang cendekiawan yang tafsir reformisnya atas Islam Syi’ah telah menggabungkan sikap anti imperialisme Dunia Ketiga, bahasa ilmu sosial Barat, dan ajaran Syi’ah Iran untuk menghasilkan suatu ideologi Islam revoluioner bagi reformasi sosial-politik.[15] Dan Ideologi macam ini yang telah mengerakkan para mahasiswa dan profesional muda yang berorientasi Islam bergabung dengan kaum ulama, santri dan pedagang melancarkan oposisi radikalnya terhadap rezim Syah.

Senada dengan John L. Esposito dan John O. Voll, Abdulaziz Sachedina dalam tulisannya, Ali Syari’ati: Ideologue of Iranian Revolution, menyatakan bahwa Syari’ati adalah salah satu tokoh yang berhasil merumuskan ideologi perjuangan bagi Revolusi Iran. Syari’ati, tulis Sachedina, menawarkan satu bentuk penafsiran baru dalam pemikiran Islam yang mendorong umat Islam untuk bersikap progresif dan anti status quo.[16] Progresifitas dan anti status quo inilah yang menjadi ruh dalam ideologi perlawanan yang ditawarkan Syari’ati, dan itu diterima baik oleh – khususnya – kelompok mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya di Iran saat itu.

John L. Esposito dan John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina telah menulis tentang pengaruh pemikiran Ali Syari’ati terhadap revolusi Iran, tetapi seperti juga tulisan-tulisan para tokoh terdahulu, apa yang ditulis oleh John L. Esposito dan John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina tidak lebih hanya sekadar asumsi atau tesis yang tidak dilengkapi dengan fakta historis secara detail. Apa yang mereka tulis tidak utuh menggambarkan fakta historis dan sosio-politik disaat pemikiran Syari’ati mengalami pergolakan.

Hamid Dabashi menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”[17]. Dalam bukunya, Theology of Discontent: The Idelogical Foundation of The Islamic Revolution in Iran, Dabashi menyatakan bahwa Ali Syari’ati adalah salah satu ideolog terkemuka Iran yang mengusung aliran dan ideologi utama dan penting yang berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi[18]. Dalam kajian beberapa sarjana yang concern dengan Revolusi Iran, ada beberapa aliran dan ideologi menonjol yang berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi 1978-1979, diantaranya adalah ideologi sosialis-sekuler yang diusung diantaranya oleh Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), dan ideologi sosialis-religius (Syi’ah progresif) yang diusung oleh Ali Syari’ati.

Partai Tudeh memang disebut-sebut oleh Zuyar dalam bukunya, Iranian Revolution: Past, Present and Future, sebagai elemen penting dalam revolusi Iran, disamping beberapa kelompok gerakan sosialis lainnya, diantaranya adalah Fadaeen (Organisasi Rakyat Iran).[19] Tidak hanya itu, Zuyar bahkan menempatkan Khomeini hanya sebagai tokoh yang datangnya lebih belakangan yang ambil bagian dalam gerakan revolusi. Khomeini tidak lebih dari “pembajak revolusi” tulis Zayar.[20]

Apa yang ditulis oleh Dabashi dan Zayar memberi jalan masuk yang lebar atas potret historis revolusi Iran. Tetapi masing-masing kurang menyinggung, bahkan dalam tulisan Zayar tidak disinggung sama sekali peran Ali Syari’ati dalam revolusi itu. Sehingga apa yang ditulis Zayar, lebih menampakkan peran penting kelompok Marxis Iran, dan ini seakan seperti menafikan fakta historis-sosiologis bahwa masyarakat Iran adalah mayoritas Syi’ah.
Penelitian ini mengambil fokus pada pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dan pengaruhnya terhadap Revolusi Islam Iran. Berbeda dengan apa yang telah diteliti oleh Eko Supriyadi dan Munawar Anwar Firdausi yang lebih fokus pada pengaruh pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati, penelitian ini lebih fokus pada pengaruh pemikirannya terhadap gerakan revolusi di Iran yang berhasih menumbangkan rezim Syah. Begitu pula dengan apa yang telah dikaji oleh Ali Rahmena yang lebih menyorot karya-karya penting Syari’ati. Tulisan Azyumardi Azra memang memberi inspirasi untuk melacak pengaruh pemikiran Syari’ati terhadap Revolusi Iran, tetapi apa yang disampaikan Azra lebih sekedar hipotesis awal dari pada sebuah analisa yang mendalam. Karya Hamid Dabashi memang memberi informasi detail tentang berbagai aliran dan ideologi yang berpengaruh dalam Revolusi Iran, tetapi dari kesekian aliran itu mana yang paling berpengaruh, dan sejauhmana pengaruh ideologi yang digagas Syari’ati dalam revolusi tampaknya belum dikupas secara memadai oleh para peneliti dan penulis itu.

BAB IV
KERANGKA TEORITIK

Selama ini revolusi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu perubahan fundamental di pemerintahan atau konstitusi politik sebuah negara, terutama yang terjadi karena sebab-sebab internal dan lewat suatu pergolakan bersenjata, dan rusuh. Menurut Funk & Wagnalls New Encyclopedia, revolusi adalah sebuah perubahan sosial atau politik dengan memakai kekerasan dan secara paksa, dipengaruhi oleh kekejaman dan bentrok senjata; revolusi juga berarti perubahan sistem politik, namun secara cepat dan total, melalui cara-cara di luar konstitusi dan pengingkaran atas lembaga pemerintahan.[21] Senada dengan pengertian itu, dalam Black’s Law Ditionary, revolusi diartikan “on overthrow of a government usu. Resulting in fundamental political change, a successful rebellion” (meruntuhkan pemerintah yang ada, menghasilkan perubahan politik secara fundamental, dan sebuah pemberontakan yang sukses).[22]

Eugene Camenka adalah salah satu yang menyatakan bahwa kekerasan dalam revolusi adalah sebuah keniscayaan, tetapi, ia buru-buru memberi penjelasan lanjutan, seandainya revolusi itu tanpa menimbulkan kekerasan, masih tetap dianggap revolusi.[23] Akhirnya Samuel Huntington merumuskan revolusi sebagai “suatu penjungkirbalikan nilai-nilai, mitos, lembaga-lembaga politik, struktur sosial, kepemimpinan, serta aktifitas maupun kebijaksanaan pemerintah yang telah dominan di masyarakat”.[24] Dan secara prinsip dari berbagai definisi yang diberikan para pakar politik, revolusi terkait dengan gagasan perubahan menyeluruh, pembaharuan dan diskontinuitas menyeluruh dan juga menganut asumsi bahwa revolusi erat hubungannya dengan transformasi sosial.[25]

Dari beberapa definisi tentang revolusi di atas dapat diambil beberapa kata kunci (key words) dalam diskursus revolusi diantaranya adalah; perubahan politik secara fundamental (fundamental change in the political system), kekuatan massa (extra-legal mass actions), pemberontakan (rebellion and revolt), dan oposisi. Dalam banyak kasus oposisi senantiasa menimbulkan kekacauan (chaos) dan kekerasan (violence), tetapi terminologi itu bukan karakter pokok dalam revolusi, tetapi hanya sebagai akibat samping saat revolusi itu dijalankan.

Bagaimana revolusi dapat dijelaskan menjadi satu strategi politik dalam mencapai suatu tujuan? Tentu ada banyak perspektif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Salah satu perspektif untuk melihat masalah itu adalah tesis Gramsci tentang hegemoni. Pada prinsipnya, dalam teori hegemoni ala Gramsci disebutkan bahwa para elite membutuhkan cara untuk dapat melakukan kontrol efektif terhadap pihak yang dikuasainya. Cara-cara elit ini penting dalam rangka tetap terus menjaga posisi kekuasannya dari ancaman-ancaman ketidakpatuhan. Hegemoni yang dilakukan para penguasa/elite tidak sebatas hegemoni cara-cara pruduksi, tetapi juga hegemoni ideologi. Dengan demikian, melalui hegemoni ideologis, kepatuhan bisa dipaksakan dan perlawanan bisa dipatahkan atau dilenyapkan oleh elite. Pada akhirnya ketika hegemoni itu mengalami titik kulminasi, demikian kata Gramsci, pada saat yang sama, perlawanan bisa mengambil bentuk berupa upaya-upaya kontra hegemoni oleh kelas yang dikuasai untuk melawan formasi sosial yang ada.[26]

Bagaimana kontra hegemoni bisa dilakukan oleh mereka yang tertindas? Kerkvliet adalah salah satu pakar politik yang mampu melihat fenomena kontra- hegemoni sebagai sesuatu yang mungkin terjadi yang asal-muasalnya adalah dari sikap kritisisme masyarakat bawah (yang tertindas) terhadap ideologi dominan yang dipaksakan oleh elite kekuasaan. Lebih jelas Kerkvliet menulis :
“Masyarakat dari kelas yang dikuasai tidak harus selalu tunduk kepada ideologi dominan, karena mereka mempunyai gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan alternatif yang mampu menampilkan tantangan signifikan kepada pandangan kelompok dominan tentang bagaimana hak milik dan sumber-sumber lainnya bisa digunakan oleh siapa saja. Mereka mempunyai gagasan tentang hak-hak mereka dan apa itu keadilan, yang sekali lagi menentang keyakinan banyak orang yang berkuasa”.[27]

Singkatnya, gagasan bahwa ideologi kelas yang dikuasai bisa menyusup dan melawan ideologi hegemonik adalah mungkin. Banyak contoh yang membenarkan tesis ini, seperti yang diperlihatkan oleh buruh tambang di Indian. Mereka mengembangkan ideologi mereka sendiri melalui elaborasi atas kebudayaan tradisional Indian dan mereka menggunakan idiom-idiom budaya untuk melakukan perlawanan terhadap pemilik-pemilik tambang dan negara.[28]

Apakah agama bisa menjadi sumber kekuatan dan inspirasi ideologis untuk melakukan oposisi dan revolusi terhadap kekuatan elite yang hegemonik? Bagi Gramsci, fungsi agama salah satunya adalah memberikan bentuk-bentuk kesadaran baru yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan sosial yang baru. Menurut Gramsci, sesuatu yang memiliki nilai penting khusus adalah agama atau ideologi yang bisa mewujudkan suatu ‘kehendak kolektif nasional-populer’ seperti yang ia lihat pada protestanisme dalam revolusi Perancis.[29]

Oliever Roy dalam bukunya yang sangat populer The Failure of political Islam mengemukakan suatu fakta bahwa keyakinan tertentu terhadap agama (Islam) ternyata membawa implikasi terhadap sikap politik tertentu. Kaum Islamisis[30], begitu Roy menjelaskan, memiliki argumen politik yang berpijak pada asas bahwa Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh. Menurut mereka, masyarakat yang terdiri dari orang-orang Islam saja tidak cukup, tetapi juga harus Islami dalam landasan maupun strukturnya. Konsekwensinya, lanjut Roy, setiap orang punya kewajiban untuk memberontak terhadap negara Muslim yang dinilai korup; bahkan juga keharusan untuk mengekskomunikasikan (takfir) penguasa yang dipandang murtad serta untuk melakukan tindakan kekerasan (revolusi) terhadapnya.[31]

Peneliti tidak bermaksud memperdebatkan apakah gerakan kelompok Islamisis itu kontra produktif terhadap upaya-upaya gerakan Islam yang ramah dan toleran, tetapi sekadar mencari bukti kebenaran tesis Gramsci di atas bahwa agama bisa, bahkan menjadi faktor penting dalam menumbuhkan kekuatan oposisi dan revolusi. Mungkin ini yang ingin dieksplorasi secara akademis oleh Ali Syari’ati. Ia berupaya untuk merumuskan tradisi keberagamaan Islam yang tidak melulu mengurus akherat, seperti yang ditunjukkan oleh perilaku mayoritas Muslim. Akan tetapi yang lebih berarti dari itu semua adalah bagaimana menjadikan agama sebagai kekuatan revolusi yang membebaskan umat dari penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa Ali Syari’ati adalah sosok intelektual Muslim yang revolusioner. Pandangan dunia Syari’ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya.[32] Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Ali Syari’ati adalah – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus di fungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural maupun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merasakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka.[33]

Hassan Hanafi senafas dengan Ali Syari’ati dalam memberdayakan Islam sebagai kekuatan revolusi. Untuk mewujudkan idealisme Islam pembebasan itulah, Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasâr al-Islâmi : Kitâbât fi al-Nahdla Al-Islâmiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan dari Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manâr, yang menjadi agenda Al-Afghani dalam melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur.[34] Jurnal ini juga terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979. Sehingga, peristiwa besar itu memang telah membangkitkan Hassan Hanafi dalam meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Namun, menganggap peristiwa itu sebagai satu-satunya penyebab, adalah tidak benar karena kita juga harus memperhitungkan faktor pergerakan Islam modern dan lingkungan Arab-Islam.[35] Demikian pula, kata Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri.[36] Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas.[37]

Tokoh Islam lain yang senafas dengan Ali Syari’ati dan Hassan Hanafi adalah misalnya Ashar Ali Engineer. Asghar menyatakan bahwa kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara signifikan dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, begitu keterangan selanjutnya dari Asghar, setelah meninggalnya Nabi Muhammad, terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi kepada kepentingan pribadi.[38] Saat kekuasaan itu menjadi instrumen kepentingan pribadi, muncullah dalam wilayah kekuasaan Islam, penguasa-penguasa despotik seperti yang dipertontonkan secara nyata oleh Reza Syeh Pahlevi yang menjadi obyek kritik dan oposisi Ali Syari’ati atau para penguasa Mesir yang juga menjadi ladang kritisisme seorang anak bangsa seperti Hassan Hanafi yang dikenal sebagai pengusung al-yasar al-islami (kiri Islam). Watak perlawanan Islam terhadap kesewenang-wenangan sekaligus keberpihakan Islam terhadap kelompok tertindas (mustad’afîn)[39] telah menjadi watak dasar Islam sebagai agama rahmatan li al-’âlamîn. Maka akan banyak dijumpai dalam al-Qur’an, kitab pedoman umat Islam, pelbagai anjuran bahkan perintah tegas untuk melakukan pembelaan terhadap mustad’afîn.[40] Pembelaan terhadap mustad’afîn ini dilakukan secara simultan dengan larangan secara tegas pula atas segala bentuk ketidakadilan, baik kultural maupun struktural.[41]

Sebagaimana yang menjadi fokus kajian para pemikir Islam revolusioner, bahwa Islam tidak hanya sebatas agama yang melangit, hanya sekadar kumpulan doktrin, tetapi lebih dari itu, Islam adalah agama yang sarat dengan dimensi praksis. Istilah yang sering digunakan untuk ini adalah faith in actions, keyakinan yang diwujudkan dalam aksi-aksi nyata. Berangkat dari kerangka berfikir ini, para pemikir Islam revolusioner, termasuk di dalamnya Ali Syari’ati berupaya agar buah pikirannya dapat diserap sebanyak mungkin lapisan masyarakat untuk mempengaruhi pola pikir mereka. Setelah masyarakat mengalami revolusi pemikiran, maka harapan selanjutnya adalah mewujudkan sebuah gerakan sosial-politik yang radikal untuk merevolusi struktur sosial politik yang dominan.

BAB V
METODE PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu kajian terhadap pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan Revolusi serta pengaruhnya terhadap Revolusi Iran, maka penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), sehingga data-data sepenuhnya diambil dari buku-buku atau karya lain yang ditulis Ali Syari’ati, sebagai sumber primer. Diantara buku-buku dan tulisan tersebut adalah Buku-buku Ali Syari’ati dalam edisi Inggris diantaranya: Islamology; And Once again Abu Dhar; Fatima is Fatima; Man and Islam; Martyrdom; On The Sociology of Islam; Red shi’ism; Retlection of A Concerned Muslim on The Plight of Oppressed Peoples; The Visage of Mohammed; A waiting the Religion of Protest; What is to be done?; Jihad and Syahadat; Hajj; dan Where shall we begin?.

Untuk mendukung data primer penulis menggunakan buku-buku baik yang ditulis oleh tokoh yang sedang diteliti atau buku-buku yang ditulis oleh orang lain yang mengupas dan memberi komentar-komentar tentang pemikiran Ali Syari’ati sebagai data sekunder. Data sekunder juga diambil dari buku-buku, makalah-makalah, majalah, jurnal dan sebagainya yang berkaitan dengan fokus penelitian.

Dalam menganalisis data yang diperoleh, peneliti menggunakan metode kajian isi (content analisys) yaitu metode yang digunakan untuk mengungkapkan isi sebuah buku atau pemikiran seseorang yang menggambarkan situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis atau pemikiran itu ditelorkan[42]. Melalui metode content analisys dapat diketahui ide-ide dan pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi yang semuanya tertuang dalam buku-buku atau tulisan lainnya yang terdokumentasi. Dengan metode ini semua bentuk lambang yang terdokumentasi itu dapat dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan konsepsi-konsepsi yang lebih baru.[43]

Untuk mengetahui latar belakang pemikiran tokoh yang diteliti, digunakan metode historis.[44] Melalui metode ini, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi suatu fakta, dan melakukan rekonstruksi genesis: perubahan dan perkembangan. Dengan demikian pemikiran Ali Syari’ati dapat dipahami secara kesejarahan, dalam arti dapat dilacak asal mula situasi yang melahirkan pemikiran Syari’ati, baik dari aspek internal berupa ide, keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, tetapi juga oleh keadaan eksternal.[45] Dalam melakukan telaah historis, peneliti mengambil lima langkah tahapan: 1) pemilihan topik; 2) pengumpulan sumber; 3) verifikasi (kritik sejarah); 4) interpretasi: analis dan sintesis; dan 5) penulisan.[46]

Karena yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemikiran tokoh (Ali Syari’ati) dan pengaruh pemikiran tersebut pada sebuah peristiwa besar (Revolusi Iran), maka metode historis yang digunakan adakah history of thought (sejarah pemikiran). Tugas sejarah pemikiran, disamping menelaah pemikiran-pemikiran besar yang berpengaruh terhadap kejadian sejarah, juga melihat konteks sejarah tempat pemikiran itu muncul, tumbuh dan berkembang.[47]

Agar metode sejarah pemikiran dapat dioperasionalisasikan, digunakan tiga macam pendekatan, yaitu kajian teks, kajian konteks sejarah dan kajian hubungan antara teks dan konteks.[48] Kajian teks digunakan untuk melihat akar geneologis pemikiran Ali Syari’ati, konsistensi, evolusi, sistematika, varian, sosialisasi, dan internal dialectics pemikirannya. Kajian konteks digunakan untuk melihat konteks sejarah, politik, budaya dan sosial pemikiran Ali Syari’ati. Dan kajian hubungan antara teks dan konteks digunakan untuk melihat pengaruh pemikiran Ali Syari’ati terhadap Revolusi Iran.

Lihat lanjutannya disini:
http://londo43ver.wordpress.com/category/sejarah-dunia/page/3/

Kamis, 13 Juni 2013

ALMARHUM DR ALI SYARIATI ADALAH AHLI PIKIR ISLAM YANG SANGAT BRILLIANT


 


SEBAGAIMANA DULU SAYA BERTANYA-TANYA KENAPA IMAM ALI AS
DIBENCI KEBANYAKAN "SAHABAT" RASULULLAH SAWW
SAYA JUGA BERTANYA - TANYA SEKARANG
BENARKAH SYAHID DR ALI SYARIATI DIBENCI ORANG
SEBAGAIMANA KETERANGAN TULISAN BERIKUT INI?
(hsndwsp)
Acheh - Sumatra


Bismillaahirrahmaanirrahiim


Biografi Ali Syari’ati
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyatakan bahwa sulit menemukan biografi intelektual Syari’ati yang otoritatif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Sejak ia wafat, setiap tahun memang banyak karyanya yang diterbitkan di Iran untuk mengenangnya, namun datanya tidak lengkap, tersebar, dan bercorak hagiografis, sehingga agak sulit dibedakan antara kebenaran dan legenda.

Ali Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemekaman Imam Ali Al-Ridha(w 818), Imam ke delapan dari kepercayaan Islam Syi’ah.

Kehidupan Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.

Guru pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya seperti tradisi leluhurnya. Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya. Di masa kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’atikecil juga mulai menyukai filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.

Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandangan tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya analisa tentang kelas social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.

Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.

Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para Nabi dan menyadarkan ummatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran, istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London. Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona, anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang telah disewa di daerah Southampton, Inggris.

Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.

ISLAM AGAMA PEMBEBASAN
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).

Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.

Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata "politik" berasal dari bahasa Yunani "polis" (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah "siyasah", yang secara harfiyah berarti "menjinakkan seokor kuda liar,", suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.

Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:

"Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujahid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama" .
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:

" Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Dzar Ghifari atau Islam Usman bin Affan, sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara kedu anya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan" .

Ali Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya, bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan masyarakat Islam sejati tidak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.

Syariati mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari'ati bahkan mencetuskan formula baru: ''Saya memberontak maka saya ada.''. .

Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner ini kemudian mengalami "penjinakan" di tangan kelas atas – penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas "Islam" versi penguasa. Ulama, menurut Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan melembagakannya sebagai "pemenang" (pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas sosial.

Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi, Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan pencari keadilan. Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi menjadi penjara.

Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, "Islam sejati tetap tidak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah".

Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan ritual yang tidak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.

Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril Ummatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan.

Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembahasan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.

Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.

Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm (penindasan).

Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).

Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati "menuduh" ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama "orang mati" yang tidak berdaya melawan "orang-orang yang serakah". Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta.

Karena ulama Syi’ah memperoleh pemasukan dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm (bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.

Kritik terhadap Syari’ati
Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.


Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan.
Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rohani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.


Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr
 atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.


DAFTAR PUSTAKA

The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Esposito: 2001, 294

Ekky Malaky, Ali Syari’ati ; Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern. (TERAJU;Jakarta, 2004)

Ali Rahnema, "Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta:Erlangga, 2002)

Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)

Muhammad Nafis, "Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami "Kemelut" Tokoh Pemberontak", dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)

Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Mizan, Bandung, 1985)

Robert D. Lee, "Ali Shari’ati", dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)

Michael Lowy, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)

Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000)

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III
Diposkan oleh Cecep Sopandi, 09 Mei 1986 di 00:47

Oleh : Cecep Sopandi
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Jakarta

Michael Lowy, Liberation Theology (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Wahono Nitiprawiro, Theology of Liberation: History, Methods, Praxis, and the contents (Yogyakarta: LKIS, 2000)
Asghar Ali Engineer, Islam and the Theology of Liberation, trans. Great Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III
Posted by Cecelia Sopandi, May 9, 1986
at 00:47

# Mohon jawaban dari pihak yang berwenang dari RII tentang kebenarannya.

Sabtu, 08 Juni 2013

KETELADANAN RASULULLAH HANYA BARU KITA SAKSIKAN PADA DIRI MAHMOUD AHMADINEJAD IRAN


ANDAIKATA IMAN ITU BERADA DI BINTANG SURAYYA
MEREKA DARI GOLONGAN INI (BANGSA PARSI)
SANGGUP MENGGAPAINYA
(HADIST)

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Kisahnya dua kekuatan super power yang pernah menakutkan Dunia, dikalahkan oleh bangsa yang tidak terpengaruh sedikitpun dengan kemewahan Dunia serta bersatupadu pada satu poros dibawah pimpinan seorang pengembala yang dianggap remeh oleh musuh-musuh sebelumnya.

Itulah Muhammad saww yang memilih lapar satu hari dan kenyang dihari yang lain ketika Malaikat Jibril menawarkan kemewahan Dunia tanpa mengurangi haknya di Akhirat kelak.

Itulah Muhammad saww yang tidak akan makan kenyang sebelum Ummat mendahuluinya. Itulah Muhammad saww yang memiliki kepalan tinju nabi Musa as, namun menyimpan hati Nabi Isa as yang kasih di dadanya.

Itulah Muhammad yang memiliki pedang ditangan kanannya (Power), namun memiliki Al Qur-an (Petunjuk) ditangan yang lainnya. Qur-an tanpa pedang akan mandul didepan musuh-musuhnya. Pedang tanpa Qur-an akan membuat manusia bagaikan seorang pemabuk yang akan melibas siapa saja yang melintas didepan matanya.

Itulah Muhammad saww yang dipersiapkan Allah sebagai UtusanNya yang terakhir, dilengkapi dengan Kitab, Mizan (neraca) dan Besi (Power). (Q.S. al Hadid : 25).

Itulah Muhammad saww yang mengawini wanita-wanita untuk melindungi anak yatim, bukan untuk memenuhi nafsunya sebagaimana tuduhan manusia-manusia yang tidak memahaminya.

Itulah Muhammad saww yang melarang memerangi negara manapun kecuali didalam negara tersebut terdapat kaum dhu’afa yang diperlakukan semena-mena oleh kaum mutaqabbirun, hingga mereka berseru: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!" (Q.S An Nisaa: 75)

Kepemimpinan yang dimiliki Muhammad saww lah yang dapat membawa manusia kepada rahmatan lilalamin.

Sayangnya setelah Islam menjadi Superpower tunggal sepeninggalnya tidak akan membawa kekal disebabkan mereka tidak mengikuti Imam yang haq untuk diikuti agar senantiasa memahami buat apa sesungguhnya hidup di Dunia. Akibatnya mereka mencintai Dunia secara berlebih-lebihan. Itulah yang membuat mereka akhirnya dengan mudah dikalahkan oleh bangsa Monggolia dibawah Panglima Holakokhan yang hanya memiliki kekuatan ratusan balatentara. Jaman itu terkenal dengan Pembumihangusan kota Bagdad oleh bangsa Tartar atau Monggolia dibawah Panglima Holakokhan.

"Angin badai berhembus di gunung, mengapa pohon itu dan pohon ini saja yang tumbang. Tumbangnya pohon ini dan pohon itu bukan karena angin badai tetapi karena pohon itu sendiri yang sudah keropos akarnya (dimakan rayab)".

Kalahnya Superpower Tunggal Islam kala itu bukan karena Holakokhan tetapi karena orang Islam sendiri kala itu sudah keropos ’aqidahnya (akibat dari mencintai dunia secara berlebih-lebihan). Tujuan hidup mereka bukan lagi untuk mencari redha Allah tetapi untuk mencari kesenangan semata-mata.

Sejak kepemimpinan Rasulullah diambil alih oleh orang-orang hypocrite sejak saat itulah komunitas Islam tinggal namanya saja sementara sepak terjang para pemimpin silih berganti menggunakan gaya musuh-musuh Islam yang ditentang Islam, dibawah kepemimpinan Rasulullah dan Imam Ali yang dibenci kebanyakan manusia-manusia hipocrite.

Barulah kini kita saksikan kepemimpinan Rasulullah muncul kembali di Republik Islam Iran dibawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad. Saya gagal memahami kenapa di RII kepemimpinan itu hanya berlaku dalam kurun waktu 4 tahun dan maksimal 2 kali 4 tahun, sementara Rasulullah dan penerusnya baik yang ditunjukkan beliau maupun yang dipilih rakyat, memimpin selama hidup kecuali dilengserkan rakyatnya yang sadar akibat penyelewengan kekuasaan yang sudah mencapai klmaksnya.

Mengapa kita menggarisbawahi kepemimpinan Ahmadinejad?

Realitanya Nabi muhammad memilih kehidupan yang sangat sederhana sungguhpun Allah swt telah mengutuskan Malaikat untuk menanyakan beliau apakah mengingin kan kerajaan macam Nabi Sulaiman tanpa dikurangi sedikitpun haknya diakhirat ke lak? Nabi menjawab bahwa beliau lebih senang hidup "Lapar satu hari dan kenyang dihari lainnya".

Beliau menjelaskan bahwa saat lapar beliau dapat merasakan bagaimana penderita an orang-orang miskin hingga beliau berdaya upaya untuk membebaskan mereka dari "belenggu penindasan" yang datang dari penguasa yang menjauhkan mereka dari pembendaharaan Dunia (baca bahwa milik negara sama dengan milik Rakyat tetapi dibawah kepemimpinan hypocrite hanya digunakan sebagai selogan kosong belaka). Disaat beliau kenyang, beliau dapat merasakan bagaimana nikmatnya anugerah Ilahi.

Ketika Imam Ali memimpin komunitas Islam "gudang baitalmal" dibuka dan dibagi kan kepada seluruh rakyat, sama jumlahnya tanpa pandang bulu. Demikian juga gaji bulanan yang membuat sebahagian 'pembesar' bawahannya membelot dengan alasan yang tidak masuk akal. Ketika pembesar itu ditanyakan kenapa membelot, mereka menjawab bahwa Imam tidak bijak sana dimana menurut pembelot tersebut seharusnya Imam bermusyawarah dengan mereka ketika mengambil suatu keputu san. Mereka juga menuduh Imam menghina mereka dimana gaji mereka disamakan dengan rakyat yang yunior.

Imam menjawab: "Kalau ada hal yang tidak kuketahui hukumnya baru kuajak kalian bermusyawarah. Aku menyaksikan sendiri Rasulullah tidak pernah membedakan hak rakyatnya baik kepada senior maupun yunior"

Nampaknya kebiasaan yang ditempuh Umar membedakan para senior dan yunior yang tidak dipraktekkan zaman Nabi dan Abubakar, dilanjutkan oleh Usman hingga para senior sudah terbiasa hidup lumaian dalam kurun waktu yang lama (baca prio de Umar dan Usman). Tidak pernah mereka duga bahwa Imam Ali akan mengem balikan persis sebagaimana diterapkan Rasulullah sendiri.

Para senior itu adalah Talhah bin Ubaidillah dan Zbubair bin Awwam cs. Mereka akhirnya masuk "perangkap" Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb.

 Akhirnya kepemimpinan garis keturunan Rasulullah yang digugat sebahagian 'para Senior' yang dianggap bertentangan dengan paham 'demokrasi', diserobot oleh keturunan Abu Sofyan bin Harb yang ternenal dengan nama "Bani Umaiyyah" dimana para pengikut Ahlulbayt dianggap manusia kelas dua. Mereka tidak mampu berpikir bahwa kedaulatan Allah dan Rsulnya tidak dapat dinafikan oleh kedaulatan rakyat (demokrasi). Kedaulatan rakyat yang benar adalah kedaulatan yang berplatformkan kedaulatan Allah. Saat itulah kalimat "fi sabilinnas sama dengan fi sabilillah", dimana "Ummah dan Imamah" berada pada poros Allah dan Rasulnya (Ali Syariati - Ummah dan Imamah). Realitanya fenomena tersebut baru kita saksikan dibawah kepemimpinan Dr Mahmoud Ahmadinejad Iran)

Apa yang membuat Zubeir cs berobah sepak terjangnya, dimana dulunya beliau pengikut setia Imam Ali? Jawabnya "materi". Manusia kerap dicoba Allah swt dengan tahta, harta dan wanita (3 ta)

Kebanyakan politikus jaman kita ini mengira bahwa kewibawaan pemimpin terletak pada harta (baca mobil mewah, Rumah luck (istana), gaji tinggi dan pakaian atau penampilan yang mentreng. Realitanya Ahmadinejad mampu menafikan ke empat faktor tersebut.

Pertama Ahmadinejad tidak mengambil gaji sebagai presiden. Beliau hanya hidup dengan honor mengajar di suatu University sekitar 2,5 juta rupiah perbulan. Adakah pemimpin lainnya yang mampu berbuat macam Ahmadinejad? Akankah calon presi den Iran kali ini juga tidak mengambil gajinya? Mari kita "wait and see"

Ahmadinejad tinggal dirumah warisan orang tuanya yang sangat sederhana dan menolak pindah kerumah mewah 'tawaran negara', sebagaimana lazimnya budaya yang menyimpang dari budaya Rasulullah dan para Ahlulbaytnya sendiri.

Ahmadinejad tidak mau menggunakan mobil mewah sebagai kendaraan pribadinya, apalagi helikopter pribadi macam kebanykan presiden lainnya. Kendaraan pribadinya mobil merek Paygon buatan tahun 1966, namun akhirnya dilelang buat kaum mustadhafin.

Ahmadinejad berpakaian yang sangat sederhana (baca pakaian rakyat). Beliau masih sering menggunakan sepatu bolong yang sepertinya dianggap mustahil bagi presiden negara manapun sekarang ini.

Ahmadinejad tidak makan makanan mewah dan mampu menahan diri dari maka nan yang mewah. Bayangkan bagaimana isterinya membara ransum kekantor presi den dan Ahmadinejad makan dengan nikmatnya, sementara di kebanyakan negara lain tingkat Camat saja hampir tidak lagi makan makanan buatan isterinya tetapi terbiasa makan diwarung-warung mewah.

Ahmadinejad, Contoh Pemimpin yang Tidak Takut Ancaman.

Saat berpidato di Libanon beliau tidak menggunakan podium jaminan teror tetapi memilih berdiri di tempat terbuka dan realitanya beliau selamat. Saat dirinya ber kunjung ke kota pesisir selatan Bandar Abbas, ada rekaman video berita tersebut kemudian diunggah oleh seseorang di situs youtube. Dalam sehari, sedikitnya 200 ribu orang sudah menontonnnya. Dalam video itu, Ahmadinejad tampak berdiri dengan kepala menyembul di atap mobilnya. Beberapa orang dalam kerumunan itu tampaknya pendukung presiden dan ingin menjabat tangannya.

  Mobil berjalan melalui jalan di tengah lalu lintas yang padat, dikelilingi oleh penjaga. Laju mobil terhenti ketika sekelompok orang menahannya. Seorang pria mulai berteriak berulang-ulang, “Ahmadinejad, aku lapar!”. Para penjaga dan orang-orang di sekitarnya kemudian bersalawat. Pasukan Garda Revolusi juga berteriak pada kerumunan, “Kembalilah!”

 Hal ini semakin menegaskan sosok Ahmadinjead sebagai seorang pemimpin yang tidak takut ancaman. Banyak tulisan yang menggambarkan hal tersebut, namun bagi sebagian orang mungkin akan dinilai sebagai mitos atau sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan oleh pendukung Ahmadinejad. Kini justru pihak baratlah yang se cara tidak langsung ikut menegaskan hal itu. Perlu kita pertanyakan, mungkinkah hal tersebut terjadi dan dilakukan oleh presiden negara-negara lain? Sangat sulit me nemukan contoh yang lain. Mungkin Evo Morales (Presiden Bolivia) dan Hugo Chavez (Presiden Venezuela) adalah sosok yang relatif mirip Mahmoud Ahmadinejad, tetapi tidak banyak informasi yang menguatkannya. Sementara presiden-presiden lain hanya melakukannya pada saat kampanye penca lonannya, bukan pada saat menjabat. Setelah itu seorang presiden adalah seorang figur yang seperti menara gading, yang tak terjangkau oleh rakyatnya. Komunikasi presiden dengan rakyatnya hanya melalui media, baik elektronik maupun cetak, yang sekaligus digunakan sebagai media pencitraan.

Kita cukupkan sampai disini saja kepemimpinan Rasulullah saww yang baru mampu diteladani bangsa Iran, Mahmoud Ahmadinejad, semoga paska Ahmadinejad akan muncul 'Ahmadinejad-ahmadinejad' lainnya. Andaikata kali ini tidak ada yang mam pu macam Ahmadinejad, semoga 4 tahun kemudian rakyat mayoritas akan menam pilkan kembali Mahmoud Ahmadinejad hingga RII tetap jaya, Aamin ya Rabbal 'aa lamin.

(angku di Tampok Donja; Acheh - Sumatra)




Story two superpowers ever daunting world power, was defeated by a nation that is not affected at all by the World opulence and bersatupadu on the shaft under the leadership of a shepherd who underestimated by previous enemies.

That Muhammad saww who chose hungry one day and another full on the day when the Angel Gabriel offers a world of luxury without prejudice to its rights in the Hereafter later.

That Muhammad saww who will not eat well before the Ummah preceded it. That Muhammad saww with a clenched fist as the prophet Moses, but keep the heart as the love of Jesus in his chest.

That was Muhammad who had his right hand a sword (Power), but has Al Qur-an (Hint) hands of others. Qur'an without the sword will be weak in front of his enemies. Sword without the Qur'an would make like a drunk man who would crush anyone who passes in front of his eyes.

That Muhammad saww which God prepared as messengers latter, equipped with the Book, Mizan (balance sheet) and Iron (Power). (Q.S. al-Hadid: 25).

That Muhammad saww that married women to protect orphans, not to satisfy his lust as allegations of human beings who do not understand it.

That Muhammad saww which prohibits any state except fighting in the country there are people who dhu'afa mistreated by the mutaqabbirun, until they cried out: "Our Lord, remove us from the country that unjust people and give us protection from You , and give us a helper from You! " (Q.S An-Nisa: 75)

Muhammad saww held leadership that drives humans to rahmatan lilalamin.

Unfortunately, after Islam became the sole superpower after his death will not bring eternal because they do not follow the Imam of truth to be followed in order to always understand why actually live in the World. As a result, they love World superfluous. That's what makes them ultimately easily defeated by Monggolia nation under Commander Holakokhan which only has the power of hundreds of troops. The era is famous for its scorched-earth campaign of Baghdad by the Tartars or Monggolia under Commander Holakokhan.

"The wind storm blows in the mountains, the trees and why these trees are uprooted. Collapse of the tree and the tree was not because of the wind storm, but as the tree itself that is rotten roots (edible rayab)".

Sole Superpower defeat of Islam at that time not because Holakokhan but since Muslims at the time is porous' sound belief (due to the world of love superfluous). The purpose their lives no longer to seek God redha but to find sheer pleasure.

Since the leadership of the Prophet was taken over by the hypocrite since that's when the Islamic community living lunge name alone while successive leaders to use force the enemies of Islam who opposed Islam, under the leadership of the Prophet and Imam Ali the most hated men hipocrite.

It was only now we see leadership Prophet reappeared in the Islamic Republic of Iran under the leadership of Mahmoud Ahmadinejad. I fail to understand why the leadership in RII is only valid within a period of 4 years and a maximum of 2 times 4 years, while the Prophet and his successors both indicated and are elected by the people, led for life unless people are aware ousted due to abuse of power that has reached klmaksnya .

Why do we underline Ahmadinejad's leadership?

Reality Prophet muhammad chose a very simple life even though Allah has angels delegate wanted to ask him if the kingdom of Solomon sorts without the slightest right Hereafter reduced later?
The Prophet replied that he preferred to remain "Hunger and satiety on the day the other day".

He explained that when he can feel how the hungry poor people suffering until he endeavored to liberate them from "the shackles of oppression" that come from the rulers who keep them away from the World pembendaharaan (read that same state-owned but under the leadership of the People hypocrite only used as an empty slogan). While he was satisfied, he can feel how good divine grace.

When Imam Ali to lead the Islamic community "barn baitalmal" opened and distributed to all the people, equal numbers indiscriminately. Similarly, the monthly salary that makes sebahagian 'magnifying' subordinates defected for reasons that make no sense. When asked why the princes defected, they replied that the Imam is not wise there where, according to the renegade priest ought to consult with them when taking a decision. They also accuse Imam insulting them where their salaries are comparable to junior people.

Imam replied: "If there are things you do not know me show you the new legal deliberation. I witnessed the Prophet never distinguish the right people to both senior and junior"

Umar adopted the habit seems to distinguish the seniors and juniors are not practiced time of the Prophet and Abubakar, followed by Uthman to seniors lumaian was used to living in a long period of time (read period Umar and Uthman). They never thought that Ali would return exactly as applied to the Prophet himself.

The senior was Talhah bin Ubaidullah and Zbubair bin Awwam cs. They finally got "trap" Mu'awiya bin Abi Sofyan ibn Harb. Finally leadership lineage Prophet who sued partly 'the seniors' contrary to the understanding of 'democracy', appropriated by the descendants of Abu Sufyan ibn Harb who ternenal with the name "Bani Umaiyyah" where the followers of Ahlulbayt considered second-class human beings. They are not able to think that the sovereignty of God and messengers can not be disclaimed by popular sovereignty (democracy). True popular sovereignty is the sovereignty of God's sovereignty berplatformkan. That's when the phrase "fi fi sabilinnas with sabilillah", where the "Umma and Imamate" are on the shaft Allah and His Messenger (Ali Shariati - Umma and Imamate). New reality of the phenomenon we are witnessing under the leadership of Dr. Mahmoud Ahmadinejad of Iran)


What makes Zubeir cs changed his behavior, which he used to be a loyal follower of Imam Ali? He replied, "material". Humans often try to Allah Almighty throne, possessions and women (3 ta)

Most politicians of our time that the authority of the leaders of thought lies in the property (see luxury cars, luck house (palace), high salaries and mentreng clothing or appearance. Ahmadinejad able to deny reality to the four factors.

Ahmadinejad heritage stay at home parents who refused to move very simple and luxurious home 'state bid', as it is common culture that deviates from the Prophet and the Ahlulbaytnya culture itself.

Ahmadinejad did not want to use a luxury car as his personal vehicle, let alone a private helicopter sorts kebanykan other presidents. Paygon personal vehicle car brand made in 1966, but was eventually auctioned off for the mustadhafin.

Ahmadinejad dressed very modest (read people's clothes). He still often use broad shoes that seem impossible for any president of any country today.

Ahmadinejad did not fancy eating and able to stop myself from eating fancy. Ima gine how his wife simmer ration office to the president and Ahmadinejad eat with pleasure, while at another level kebanykan nnegara Head just barely made food his wife anymore but used to eat diwarung-deluxe stalls.

Ahmadinejad, the leader Sample No Fear Threat.

In a speech in Lebanon he did not use terror security podium but choose to stand in the open and reality he survived. When he visited the southern coastal city of Bandar Abbas, the news is no video footage was uploaded by someone on youtube. Within a day, at least 200 thousand people already menontonnnya. In the video, Ahmadinejad seemed to stand with his head sticking out the roof of his car. Some people in the crowd seemed to support the president and wanted to shake his hand.
Car runs through the middle of the road in heavy traffic, surrounded by guards. The pace car stalled when a group of people hold. A man started yelling over and over, "Ahmadinejad, I'm hungry!" The guards and the people around him then bersalawat. Revolutionary Guards also shouted at the crowd, "Come back!"

This further confirms the figure Ahmadinjead as a leader who is not afraid of threats. Many texts describing this, but for some people it may be considered as a myth or something that is exaggerated by supporters of Ahmadinejad. Now it baratlah party who has indirectly confirmed it. We need to question, could it happen and made by presidents of other countries? Very difficult to find another example. Maybe Evo Morales (President of Bolivia) is a figure similar to Ahmadinejad, but not a lot of information to support this. While other presidents just do it at the time of his nomination campaign, not when served. After that a president is a figure such as ivory tower, which is not affordable by the people. President of communications with people only through the media, both electronic and print, which was also used as an imaging medium.

It is enough to be here the new leadership of the Prophet saww able to emulate the people of Iran, Mahmoud Ahmadinejad, hopefully after Ahmadinejad will appear 'Ahmadinejad-ahmadinejad' other. If the time is not capable of sorts Ahmadinejad, hopefully 4 years later the majority of people will show up to back Mahmoud Ahmadinejad RII remain victorious, Aamin yes Rabbal 'aalamin.

(Angku at the end of the World; Acheh - Sumatra)