Jumat, 31 Desember 2010

KEBENARAN YANG HILANG (DITEMUKAN KEMBALI/hsndwsp)

 

QOM TOWN IN ISLAM REPUBLIC OF IRAN



Bismillaahirrahmaanirrahiim




"KEBENARAN YANG HILANG"
SUATU PENEMUAN AGAMA YANG REDHA ALLAH, 
SYIAH IMAMIAH 12
by
Mu'tashim



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Sejarah Hidupku

Hari-Hari Masa Kecilku

Minat keagamaan telah muncul sejak aku kecil, ada fitrah yang menarikku untuk berpegang teguh kepada aga ma. Dalam bayanganku ke masa depan, pikiranku tidak pernah keluar dari ke rangka agama. Aku melihat diri ku sebagai pahlawan dan mujahid Islam yang mampu mengem balikan kehormatan agama dan kemuliaan Is lam. Pada saat itu aku belum lulus dari sekolah tingkat pertama. Maklum, pemikiranku waktu itu masih dang kal. Begitu pula pengetahuanku tentang sejarah kaum Muslimin dan peradabannya masih sangat terbatas. Aku belum menge tahui kecuali beberapa kisah tentang Rasulullah saww dan peperangan yang dilakukannya terha dap orang-orang kafir, dan kisah tentang kepahlawanan dan keberanian Imam Ali as. Aku mem pelajari peme rintahan Mahdiyyah di Sudan, aku merasa kagum dengan kepribadian Usman Daqnah. Dia adalah salah seo rang komandan pasukan Mahdi yang pemberani di daerah timur Sudan. 

Jihad yang telah membangkitkan minat saya manakala guru sejarah kami menggam barkan keberanian dan ke agungan kepribadiannya kepada kami. Dia seorang mujahid di antara bukit dan lembah. Begitulah hatiku terta rik kepadanya. Saya bercita-cita ingin menjadi seperti dirinya. Mulailah saya berpikir dengan pikiran saya yang masih dangkal, bahwa untuk bisa mencapai tujuan ini maka jalan satu-satunya yang terbayang di dalam benak saya ketika itu ialah saya harus menjadi lulusan akademi militer, sehingga saya terlatih dalam strategi pe rang dan penggunaan senjata. Bertahun-tahun saya hidup di atas angan-angan ini, hingga akhirnya saya pindah ke sekolah tingkatan menengah. Pada tingkatan ini, pemahaman dan pengetahuan saya mulai berkembang. Mulailah saya mengenal para pemimpin kemerdekaan dunia Islam, seperti Abdur­rahman al-Kawakibi, as -Sanusi, Umar Mukhtar dan Jamaluddin al-Afghani, seorang pejuang dan pemikir cemerlang yang bertolak da ri Afhghanistan, dan kemudian berpindah-pindah dari satu ibu kota negara Islam yang satu kepada ibu kota negara Islam yang lain, dan begitu juga ke negara-negara bukan Islam, untuk menyebarkan pemikiran yang hi dup, yang berbicara tentang sisi-sisi keterbelakangan dunia Islam dan bagaimana cara menyembuhkannya.

Yang amat menarik perhatian saya ialah metode jihad yang dilakukannya.Dia melakukannya me lalui hikmah, penyebaran pengetahuan dan pengembangan pemikiran di kalangan umat Islam, ti dak melalui jalan memang gul senjata.

Saya pernah berkeyakinan bahwa setiap orang yang hendak berjuang dan membela kaum Muslimin, mau ti dak mau dia harus menghunus pedang dan masuk ke dalam medan pepe rangan. Sementara cara yang ditem puh oleh Jamaluddin al-Afghani sama sekali berbeda dengan apa yang selama ini saya bayangkan. Metode ka ta dan pendidikan yang sadar adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran agama saya. Saya tidak mampu de ngan mudah melepaskan diri dari pemikiran dan cita-cita yang telah saya bangun selama ini di dalam benak saya, meskipun saya sadar bahwa krisis yang dialami umat ini ialah krisis pendi­dikan dan pemikiran. Karena pendidikanlah yang mampu menjadikan setiap individu mau mengemban tanggung jawabnya. Inilah Jamalud din, dia mengelilingi dunia untuk menebarkan cahaya dan keberkahan, dan menye barluaskan pemikiran-pemi kirannya, yang mendapat sambutan yang hangat dari kaum Musli min. Karena, pemikiran-pemikiran yang di lontarkannya mampu menyelesaikan berbagai perma salahan mereka dan sekaligus sejalan dengan kenyataan mereka. Yang demikian ini amat mence maskan kekuatan penjajah. Karena majalah al- 'Urwah al-Wutsqa [1] saja sudah merupakan tan tangan yang berat bagi mereka, yang memaksa mereka untuk melarang penerbitan nya.

Pertanyaan yang selalu menghantui benak saya ialah,
Bagaimana seorang individu mampu mengubah perimbangan ini, dan bagaimana seorang individu mampu mem buat takut seluruh kekuatan besar?!

Untuk menjawab pertanyaan ini, di hadapan saya terbuka beberapa pintu pertanyaan. Sebagiannya sederhana dan sebagiannya lagi tidak ada jawabannya di Sudan. Ini menjadikan saya beru saha untuk dapat lepas dari kenyataan ini, dan sekaligus melepaskan berbagai belenggu yang se lama ini mendorong saya untuk tunduk kepada kenyataan agama yang ada, supaya saya berja lan di dalam hidup ini sebagaimana yang telah dilaku kan oleh kakek-kakek saya. Akan tetapi, ra sa tanggung jawab yang ada di dalam diri saya, dan begitu juga kecintaan saya ke­pada Jama luddin al-Afghani membunyikan lonceng bahaya di dalam fitrah saya, sehingga menjadikan saya bertanya-tanya,

Bagaimana saya bisa menjadi seperti Jamaluddin al-Afghani? Apakah agama yang saya warisi ini mampu membawa saya kepada tingkatan itu? Kemudian saya berkata, "Kenapa tidak?!" Apakah Jamaluddin mempu nyai agama yang berbeda dengan agama kita?! Dan Islam yang berbeda dengan Islam kita?!"

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya terombang-ambing selama bertahun-tahun, dan setiap ka li saya sampai kepada sebuah jawaban, maka itu berarti perubahan pada pemahaman saya ten tang agama secara umum. Maka saya pun melihat Jamaluddin sebagai idola dan panutan, sete lah sebelumnya Usman Daqnah, sehingga dengan begitu tentunya berubah pula cara yang harus ditempuh. Setelah sebelumnya akademi militer sebagai jalan keluar satu-satunya dalam panda ngan saya, maka sekarang cara damailah yang memperkenalkan saya kepada pemikiran Islam yang orisinil, yang dari sela-selanya akan muncul kebangkitan Islam.

Bagaimana Permulaannya
Pembahasan tentang cara-cara dan pemikiran yang benar dan bertanggung jawab adalah sesua tu bahasan yang sulit. Tahapan ini adalah tahapan yang sulit, meski pun pembahasan yang saya bahas bersifat spontan. Sepanjang kehidupan saya, saya sering bertanya, berdiskusi dan lain se bagainya, dan tidak ada waktu yang kosong dari pembahasan.

Setelah serangan keras yang dilancarkan oleh kaum Wahabi ter­hadap Sudan, dan pengintensifan dis kusi dan dialog, serta semakin berkembangnya pergerakan agama, mulailah tersingkap ba nyak kebenaran,dan sema kin jelas berbagai perselisihan dan pertentangan sejarah, keyakinan dan fikih. Kemudian mulailah upaya- upaya pengkafiran terhadap beberapa kelompok dan kelu ar mereka dari tali ikatan Islam, yang mendorong kepada terbentuknya mazhab-mazhab yang berbeda.

Meskipun pahit apa yang telah terjadi, namun minat saya untuk melakukan pembahasan malah semakin ber tambah, dan saya merasakan realitas pertanyaan-pertanyaan spontan yang selama ini menggangu benak saya.

Besarnya perhatian saya kepada ajaran wahabi dikarenakan diskusi-diskusi dan seminar-semi nar yang mere ka laksanakan telah menarik perhatian saya. Hal terpenting yang saya pelajari dari mereka ialah keberanian menentang ajaran yang ada. Saya pernah meyakini bahwa ajaran adalah sesuatu yang sakral, yang tidak dapat diserang dan dikritik, meskipun saya banyak mem berikan catatan terhadap kenyataan yang ada, yang dida sari oleh pertimbangan nurani dan fitrah saya.

Saya terus berjalan bersama mereka, dan banyak sekali diskusi yang terjadi diantara saya dan mereka, yang pada kenyataannya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mem bingungkan benak saya. Saya memperoleh jawaban yang memuaskan bagi sebagian pertanyaan saya, sementara jawaban sebagian yang lain tidak dapat saya temukan pada mereka. Hal ini menjadi jaminan bagi saya untuk bersimpati dan membantu mereka, namun dengan tetap diser tai beberapa catatan yang merintangi saya untuk berpegang secara penuh kepada ajaran waha bi. Yang pertama dan yang terpenting dari itu ialah saya tidak menemukan di sisi mereka apa yang dapat memenuhi cita-cita risalah saya. Kadang-kadang, rasa was-was menghinggapi diri sa ya dengan mengatakan, sesungguhnya apa yang engkau pikirkan dan yang engkau cari adalah se suatu yang utopis yang tidak ada kenyata­annya, dan ajaran wahabi adalah ajaran yang paling de kat dengan Islam yang tidak ada tandingannya.

Saya berjalan mengikuti rasa was-was ini dan sekaligus membenarkannya, disebabkan ketidak tahuan saya terhadap pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran yang lain. Namun, dengan cepat saya sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Jamaluddin tidak mungkin merupakan pemikiran wahabi. Saya pernah berteriak lantang, "Sesungguhnya ajaran wahabi adalah jalan yang paling dekat kepada Islam — disebabkan mereka mengemu kakan dalil-dalil dan nas-nas yang mem benarkan mazhab mereka, yang tidak saya temukan pada kelompok-kelompok lain di Sudan namun kesulitan mereka ialah bahwa mazhab yang mereka bangun tidak ubahnya seperti rumus-rumus matematika. Yaitu berupa kaidah-kaidah yang kaku, yang tanpa memiliki refleksi perada ban yang jelas dalam kehidupan manusia, juga dalam meng-hadapi berbagai macam tata ran kehidupan. Baik dalam tataran individu, tataran sosial, tataran ekonomi atau tataran politik, dan bahkan di dalam tata cara berhubungan dengan Allah SWT. Bahkan sebaliknya, ajaran ini menjadikan manusia menjadi liar dan terasing dari masyarakat, dan sekaligus mem berikan surat jaminan untuk mengkafirkan kelompok masyarakat yang tidak sepaham dengan mereka. Setiap orang dari mereka tidak bisa hidup bersama dengan masyarakat. Dia selalu membedakan diri dari masyarakat dengan pakaian dan tingkah lakunya. Seluruh sisi kehidupannya tidak seja lan kecuali dengan teman-temannya. Saya merasakan kesombongan dan keangkuhan dari mere ka. Mere ka memandang manusia mempunyai kedudukan yang tinggi, namun dalam kehidupan nya mereka tidak mau bekerja sama dan membaur dengan masyarakat.

Bagaimana mungkin mereka dapat bekerja sama dengan masya­rakat?! Sementara seluruh yang dilakukan ma syarakat adalah bid'ah dan sesat dalam pandangan mereka.

Saya masih ingat benar manakala bantuan wahabi masuk ke desa kami, dalam jangka waktu yang tidak berapa lama, dengan tanpa didasari pengkajian dan kesadaran, sekelompok besar dari para pemuda ikut bergabung ke dalam barisan wahabi, namun tidak berapa lama kemudian mereka semua keluar dari barisan tersebut. Menurut perkiraan saya ini disebabkan karena maz hab baru ini melarang mereka berbaur dengan masyarakat, dan mengharamkan banyak sekali ke-biasaan yang sudah mendarah daging pada diri mereka, yang sebenarnya kebiasaan itu tidak bertentangan dengan agama.

Ada baiknya saya sebutkan, bahwa salah satu di antara yang menyebabkan para pemuda yang bergabung dengan mazhab wahabi menderita ialah bahwa ada kebiasaan di desa kami, dimana para pemudanya biasa duduk-duduk di atas hamparan pasir yang bersih di saat malam-malam bulan purnama, dimana mereka meng habiskan malamnya dengan mengobrol. Saat itulah me rupakan satu-satunya kesempatan bertemu bagi para pemuda desa setelah bekerja sepanjang had di ladang dan tempat-tempat kerja lainnya. Kini pemimpin mere ka melarang perbuatan itu dan mengharamkannya, dengan alasan bahwa Rasulullah saww telah mengharam kan perbuatan duduk-duduk di atas jalan. Padahal tempat-tempat tersebut tidak terhitung jalan. Kedua, dan ini merupakan masalah seluruh orang wahabi, yaitu bahwa setiap orang dari mereka dalam waktu yang singkat dan dengan ilmu yang sedikit telah menjadi seorang mujtahid yang berhak memberikan fatwa dalam masalah apapun. Saya masih ingat, pada satu hari saya duduk berdis kusi dengan salah seorang dari mereka mengenai banyak hal. Di tengah-tengah diskusi dia bangkit berdiri setelah mendengar azan Magrib di mesjid mereka. Saya katakan kepadanya, "Sabar, kita selesaikan dulu diskusi kita." Dia menjawab, "Tidak ada lagi diskusi. Telah datang waktu salat, mari kita salat di mesjid." Saya berkata kepadanya, "Saya salat di rumah", meski pun biasanya saya selalu salat bersama mereka. Dia berteriak lantang, "Batal salat Anda." Saya merasa heran dengan kata-kata ini dan sebelum saya sempat meminta penjelasan darinya dia telah berbalik dan pergi. Saya berkata kepadanya, "Sebentar, apa yang menyebabkan salat saya di rumah batal?"

Dia menjawab dengan penuh kesombongan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak ada salat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid.'" Saya berkata kepadanya, "Tidak ada perselisihan di dalam keutamaan salat berjamaah di mesjid, namun ini bukan berarti hilangnya kesahan salat di selain tempat ini. Hadis di atas sedang menekankan keutamaan di mesjid, bukan sedang menjelaskan hukum salat di rumah. Adapun dalilnya ialah kita belum pernah melihat di dalam fikih disebut kan bahwa salah satu yang membatalkan salat ialah salat di rumah, dan tidak ada seorang pun dari fukaha yang memberikan fatwa demikian. Adapun yang kedua, dengan hak apa Anda me ngeluarkan hukum ini?! Apakah Anda seorang fakih?! Karena sulit sekali bagi seorang manusia untuk bisa memberikan fatwa dan menjelaskan hukum tentang permasalahan tertentu. Seorang fakih harus mempelajari seluruh nas yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dia harus menge tahui petunjuk perintah (dilalah al-amr) dan petunjuk larangan (dilalah an-nahy) di dalam nas. Apakah perintah menunjukkan kepada hukum wajib atau hukum mustahab, apakah larangan menunjukkan kepada hukum haram atau hukum makruh. Sungguh, agama ini amat dalam, ma ka selamilah dengan kehati-hatian."

Tampak kegusaran pada wajahnya. Dia cemberut dan berkata, "Anda telah mentakwil hadis, dan takwil itu haram." Lalu dia pun pergi.

Saya serahkan urusaan saya kepada Allah SWT dari manusia dungu seperti ini, yang tidak me ma hami apa pun.

Pikiran inilah yang menjadi penyebab kedua yang menghalangi saya menjadi seorang wahabi, meski pun saya banyak terpengaruh dengan pikiran-pikiran mereka dan membelanya.

Dalam keadaan ini untuk beberapa waktu, saya bingung dan tidak mempunyai arah. Terkadang saya mendekati mereka dan terkadang pula saya menjauhi mereka. Saya melihat bahwa jalan satu-satunya yang ada di hadapan saya —sebagai ganti dari sekolah di akademi militer— ialah sa ya harus belajar di fakultas atau universitas Islam, sehingga saya dapat melanjutkan pengka jiaan saya dengan lebih teliti. Setelah menyelesaikan ujian masuk universitas, di mana di sana terdapat enam universitas atau institut yang diminati oleh para mahasiswa, saya memilih fakul tas Islam. Kini, saya telah selesai diterima di salah satu fakultas Keislaman (yaitu fakultas studi Islam dan bahasa Arab di universitas Wadi an-Nil di Sudan). Saya sangat senang dengan pene rimaan ini. Setelah menunaikan latihan kemiliteran (bela negara) —yang tidak mungkin sese orang dapat memasuki perguruan tinggi kecuali setelah menunaikan latihan militer ini— mulai lah para utusan dari seluruh penjuru Sudan datang ke Universitas, dan saya termasuk yang per tama dari mereka. Pada saat interview, direktur fakultas bertanya kepada saya, tokoh mana yang Anda kagumi? Saya katakan kepadanya, "Jamaluddin", dan saya jelaskan kepadanya alasan saya mengaguminya. Direktur fakultas merasa puas dengan jawaban saya. Setelah banyak mendapat pertanyaan, akhirnya secara resmi saya pun diterima di fakultas. Di fakultas, saya sering mengunjungi perpustakaan, terdapat banyak buku-buku dan ensiklopedia yang te bal-tebal. Akan tetapi, kesulitan yang saya hadapi ialah dari mana saya harus mulai? Dan apa yang harus saya baca?

Saya tetap dalam keadaan ini, berpindah dari suatu buku ke buku yang lain, tanpa mempunyai program yang jelas. Salah seorang dari kerabat saya telah membukakan pintu yang luas dan pen ting di dalam pembahasan dan penyelidikan, yaitu mempelajari sejarah dan mengkaji mazhab-mazhab Islam, untuk bisa mengetahui kebenaran di antara mereka. Sungguh ini merupakan pertolongan Allah SWT yang tidak saya duga, saya bisa bertemu dengan kerabat saya Abdul Mun'im —dia lulusan fakultas hukum— di rumah paman saya di kota Athbarah. Saat itu dia sedang berbincang-bincang di halaman rumah dengan seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang merupakan tamu di rumah paman saya. Saya menajamkan pendengaran saya untuk bisa melndengar apa yang sedang mereka perbincangkan.... Dengan segera saya menuju kepada mereka manakala saya tahu topik yang menjadi perbincangan mereka adalah masalah-masalah agama. Saya duduk di dekat mereka, dan memperhatikan perkembangan perbincangan. Tam pak sekali Abdul Mun'im begitu tenang di dalam perbincangan tersebut, meski pun begitu gen car provokasi dan serangan dari pihak lawan. Saya tidak mengetahui secara menyeluruh watak diskusi yang sedang berlangsung, hingga akhirnya anggota Ikwanul Muslimin itu berkata, "Sy'i ah itu kafir dan zindiq!!"

Di sini saya mulai mengerti, dan timbul pertanyaan di benak saya....

Siapakah Syi'ah itu? Kenapa mereka kafir?

Apakah Abdul Mun'im orang Syi'ah?

Apa yang dikatakannya sesuatu yang asing. Apakah itu perkataan Syi'ah?!

Harus diakui bahwa Abdul Mun'im telah dapat mengalahkan lawannya pada setiap masalah yang dikemukaan di dalam diskusi, di samping tampak sekali kemampuan logika dan kekuatan argumentasinya.

Setelah selesai diskusi dan mengerjakan salat magrib, saya mendekati Abdul Mun'im. Saya ber tanya kepadanya dengan penuh hormat, "Apakah Anda seorang Syi'ah? Siapakah orang Syi'ah itu? Dan, dari mana Anda mengenal mereka?"

Abdul Mun'im berkata, "Pelan-pelan, satu pertanyaan demi satu pertanyaan”.

Saya berkata kepadanya, "Maaf, saya masih bingung dengan apa yang saya dengar dari Anda."

Abdul Mun'im menjawab, "Ini sebuah pembahasan yang panjang, yang merupakan hasil kerja ke ras selama empat tahun, dan itu pun masih belum sampai kepada kesimpulan yang diinginkan."

Saya potong pembicaraannya, "Kesimpulan apakah itu?"

Abdul Mun'im menjawab, "Kita hidup di atas timbunan kebodohan dan pembodohan sepanjang hidup kita. Kita berjalan di bela kang masyarakat kita dengan tanpa bertanya, apakah agama yang ada di sisi kita ini ada lah yang dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu Islam? Setelah me lakukan pengkajian, menjadi jelas bagi saya bahwa kebenaran sejauh dalam pandangan saya, yai tu Syi'ah.

Saya berkata kepadanya, "Mungkin Anda tergesa-gesa, atau Anda salah... !"

Mendengar itu dia tersenyum sambil berkata, "Kenapa Anda sendiri tidak mengkajinya dengan teliti dan penuh kesabaran? Apalagi Anda mempunyai perpustakaan di universitas, yang akan memberikan manfaat yang banyak sekali kepada Anda."

Saya berkata dengan penuh keheranan, "Perpustakaan kami perpustakaan Ahlus Sunnah, ba gaimana mungkin saya dapat mengkaji Syi'ah?"

Abdul Mun'im menjawab, "Salah satu bukti dari kebenaran Syi'ah ialah mereka berargumentasi atas kebe naran mereka dengan menggunakan kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah. Karena di dalam nya banyak sekali hal-hal yang menjelaskan kebenaran mereka dengan je las sekali."

Saya menimpali, "Kalau begitu, sumber-sumber rujukan Syi'ah adalah sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah itu sendiri?"

Abdul Mu'im menjawab, "Tidak, Syi'ah mempunyai sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya ber kali-kali lipat dibandingkan sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dan semua nya diriwayatkan dari Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demi-kian, mereka berargu mentasi kepada Ahlus Sunnah dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di dalam sum ber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dikarenakan Ahlus Sunnah tidak percaya kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau mereka harus berhujjah dengan apa-apa yang diya kini oleh kalangan Ahlus Sunnah."

Pembicaraannya menyenangkan saya dan membuat saya tambah berminat untuk melakukan pembahasan. Saya tanya kepadanya, "Kalau begitu, bagaimana saya harus memulai?"

Abdul Mu'in menjawab, "Apakah di perpustakaan Anda terdapat kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad, Turmudzi dan Nasa'i?"

Saya menjawab, "Tentu saja, di perpustakaan kami terdapat sekumpulan besar kitab-kitab ha dis rujukan."

Abdul Mu'im berkata, "Mulailah dari sini. Kemudian, bacalah kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab sejarah, kare na di dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya me ngikuti ajaran Ahlul Bait as."

Mulailah dia menyebut beberapa contoh darinya, dengan tidak lupa menyebutkan sumbernya, sekaligus de ngan nomer jilid dan nomer halamannya. Saya terheran-heran. Dengan penuh per hatian saya mendengarkan hadis-hadis yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya ragu apakah hadis-hadis ini benar-benar ada di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Namun dengan se gera Abdul Mun'im memotong keraguan saya itu dengan mengatakan, "Catat hadis-hadis ini oleh Anda, dan kemudian carilah di perpustakaan. Nanti kita ketemu lagi pada hari Kamis yang akan datang —Insya Allah.''

Pada Hari Jumat
Setelah saya merujuk hadis-hadis tersebut ke dalam Sahih Bukhari, Muslim dan Turmudzi di perpustakaan universitas kami, saya menjadi yakin akan kebenaran apa yang dikatakannya. Saya kaget dengan serangkaian hadis-hadis lain yang lebih menunjukkan kepada wajibnya me ngikuti Ahlul Bait, yang membuat saya menjadi shok. Kenapa kita belum pernah mendengar ha dis-hadis ini sebelumnya?!

Maka saya pun menunjukkan serangkaian hadis ini kepada sebagian teman-teman saya, supaya mereka pun ikut serta berpartisipasi di dalam kesulitan ini. Sebagian dari mereka memberikan perhatian, sementara seba giannya lagi tidak begitu peduli. Namun saya telah bertekad untuk melanjutkan pengkajian, meski pun untuk itu saya harus menghabiskan seluruh umur saya. Keti ka tiba hari Kamis, saya pergi ke Abdul Mun'im. Dia me nyambut kedatangan saya dengan penuh senang hati. Dia berkata, "Anda tidak boleh tergesa-gesa, Anda ha rus melanjutkan pengkajian Anda dengan penuh kesadaran."

Kemudian kami mulai membahas permasalahan-permasalahan lain yang beraneka macam, dan itu terus berlangsung hingga Jumat sore. Saya banyak mendapatkan manfaat dari pembahasan-pembahasan itu, dan ba nyak mengetahui sesuatu yang sebelumnya saya tidak ketahui. Sebelum saya kembali ke kampus dia meminta saya untuk membahas beberapa masalah. Demikianlah hal itu berlangsung hingga beberapa waktu. Diskusi yang berlangsung di antara saya dengan dia selalu berubah dari waktu ke waktu. Terkadang saya berbicara keras kepadanya, dan terkadang saya membantah beberapa permasalahan yang sudah amat jelas. Sebagai contoh, ketika saya merujuk beberapa hadis di dalam kitab-kitab rujukan, dan saya meyakini keberadaannya, saya katakan kepadanya, "Hadis-hadis ini tidak ada." Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang mendorong saya melakukan itu, selain dari pe-rasaan merasa terdesak dan menginginkan keme nangan.

Dengan cara ini, dan dengan semakin bertambahnya pembahasan, tersingkaplah kebenaran di hadapan saya yang tidak saya perkirakan sebelumnya. Sepanjang periode ini saya banyak me lakukan diskusi dengan te man-teman. Ketika meraka tidak mampu lagi menghadapi saya, me reka meminta saya untuk berdiskusi de ngan doktor yang mengajarkan mata kuliah ilmu fikih kepada kami. Saya katakan, "Tidak ada halangan bagi saya, namun terdapat penghalang di anta ra saya dengan dia yang menghalangi saya dapat berbicara bebas de ngannya." Mereka tidak merasa puas dengan jawaban saya. Mereka mengatakan, "Di antara kami dan Anda ada dosen, jika argumentasi Anda dapat memuaskannnya maka kami akan bersama Anda..!"

Saya katakan, "Yang menjadi masalah bukanlah memuaskan atau tidak memuaskan, yang men jadi masalah ialah dalil dan argumentasi, dan pencarian akan kebenaran...."

Pada permulaan mata kuliah fikih mulailah saya berdiskusi dengan dosen saya dalam bentuk me ngajukan per tanyaan-pertanyaan. Nampak dia tidak banyak menentang saya, bahkan sebalik nya dia menekankan kecin taan kepada Ahlul Bait as dan keharusan mengikuti mereka, serta me nyebut keutamaan-keutamaan mereka. Selang be­berapa hari dia meminta saya untuk menemui nya di kantornya, di kantor pusat universitas. Setelah saya pergi menemuinya, dia menyodor kan kepada saya sebuah kitab yang terdiri dari beberapa juz, yaitu kitab Sahih al-Kafi, yang ter masuk kitab rujukan hadis yang paling dipercaya di kalangan Syi'ah. Dia meminta kepada saya untuk tidak semberono terhadap kitab ini, karena kitab ini merupakan warisan dari Ahlul Bait. Saya tidak dapat berbicara sepatah kata pun karena saking gugupnya, lalu saya ambil kitab itu dan mengu capkan terima kasih kepadanya. Saya pernah mendengar kitab ini namun saya belum pernah melihatnya. Hal ini menjadikan saya ragu apakah doktor ini seorang Syi'ah, meski pun saya tahu dia itu seorang Maliki. Sete lah bertanya ke sana ke mari, menjadi jelas bagi saya bah wa dia itu se­orang sufi yang mencintai Ahlul Bait as.

Ketika teman-teman saya melihat kesesuaian di antara saya dengan dosen tersebut, mereka me minta kepada saya untuk berdiskusi dengan dosen lain, yang mengajarkan mata kuliah hadis. Dosen mata kuliah hadis terse but adalah seorang laki-laki yang taat beragama, sangat tawadu dan baik akhlaknya. Saya amat mencintainya. Maka saya pun memenuhi permintaan mereka. Mulailah terjadi diskusi di antara kami dalam banyak masalah. Saya menanyakan kepadanya tentang kesahihan beberapa hadis, dan dia pun menguatkan kesahihan ha dis-hadis tersebut. Setelah berjalan beberapa waktu, saya merasakan ketidaksukaan dia dengan diskusi-dis kusi saya, dan begitu juga teman-teman saya merasakan hal yang sama. Maka saya pun berpikir bahwa cara yang paling baik untuk melanjutkan diskusi ialah melalui tulisan. Lalu saya tulis se kumpulan hadis dan riwayat yang menunjukkan secara jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait as, dan saya minta kepadanya untuk mem bahas kesahihan hadis-hadis ini. Setiap hari saya me minta jawaban darinya, namun dia membela diri dengan mengatakan tidak ada pembahasan. Sa ya terus mengikutinya dengan cara ini, hingga dia merasakan rasa ke gelisahan saya.

Dia mengatakan kepada saya, "Semuanya sahih."

Saya katakan, "Semuanya jelas menunjukkan wajibnya mengikuti Ahlul Bait."

Dia tidak menjawab, melainkan bergegas pergi ke kantor. Tindakannya ini merupakan gonca ngan bagi saya, dan menjadikan saya merasakan kebenaran akan perkataaan Syi'ah. Namun sa ya ingin perlahan-lahan dan tidak ingin tergesa-gesa di dalam memutuskan.

Kebetulan, dekan fakultas kami adalah Profesor 'Alwan. Dia mengajar mata kuliah tafsir bagi ka mi. Pada suatu hari dia berbicara tentang tafsir firman Allah SWT yang berbunyi, "Seorang pe minta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi",

"Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala berada di Ghadir khum dia menyeru manusia, maka me reka pun ber kumpul. Lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as seraya berkata, 'Barang siapa yang aku sebagai pe mimpinnya maka inilah Ali sebagai pemimpinnya.' Berita itu pun ter sebar ke seluruh pelosok negeri, dan sam  pai kepada Harits bin Nukman al-Fihri. Lalu dia men datangi Rasulullah saw dengan menunggang untanya. Ke mudian dia menghentikan untanya dan turun darinya. Harits bin Nukman al-Fihri berkata,

'Hai Muhammad, kamu telah menyuruh kami tentang Allah, supaya kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa kamu adalah utusan-Nya, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menu naikan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menunaikan zakat, dan kami pun menerimanya. Kamu peritahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadhan, dan kami pun meneri manya. Kamu perintahkan kami untuk melaksakan ibadah haji, dan kami pun menerimanya. Kemudian kamu tidak merasa puas dengan semua ini sehingga kamu mengangkat tangan sepupumu dan mengutamakannya atas kami semua dengan mengatakan, 'Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pe mimpinnya. 'Apakah ini dari kamu atau dari Allah?'

Rasulullah saw menjawab, 'Demi Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah SWT.' Mendengar itu Hants bin Nukman al-Fihri berpaling dari Rasulullah saw dan bermaksud menuju ke kendaraannya sambil berkata, 'Ya Allah, seandainya apa yang di katakan Muhammad itu benar maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.' Maka sebelum Harits bin Nukman al-Fihri sampai ke kendara­annya tiba-tiba Allah menurunkan sebuah batu dari langit yang tepat mengenai ubun-ubunnya dan ke mudian tembus keluar dari duburnya, dan dia pun mati. Kemudian Allah SWT menurun kan firman-Nya,

'Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.' "[2]

Setelah selesai pelajaran salah seorang teman saya menemuinya dan berkata kepadanya, "Apa yang telah Anda katakan adalah perkataan Syi'ah." Bapak dekan tertegun sejenak, kemudian me mandang ke arah pemerotes seraya berkata, "Panggil Mu'tashim ke ruang kantor...!"

Saya merasa heran dengan permintaan ini, dan merasa takut bertemu bapak dekan. Namun saya cepat-cepat menguasai diri saya dan pergi menemuinya. Sebelum sempat saya duduk, ba pak dekan berkata kepada saya, "Anda orang Syi'ah!"

Saya menjawab, "Saya semata-mata hanya seorang yang sedang mengkaji."

Bapak dekan berkata, "Pengkajian itu sesuatu yang bagus, dan sesuatu yang harus."

Bapak dekan mulai menyebutkan beberapa kecurigaan tentang Syi'ah yang banyak disebut orang. Namun dengan pertolongan Allah SWT saya bisa menjawab semua itu dengan sekuat-kuatnya dalil dan argumentasi, dan dapat lancar berbicara melebihi dari yang saya duga. Sebe lum menutup pembicaraan kami, dia berpesan kepada saya akan kitab al-Muraja 'at. Dia menga takan, "Kitab al-Muraja 'at termasuk kitab yang bagus dalam hal ini."

Setelah saya membaca kitab al-Muraja 'at, Ma'alim al-Madrasatain dan beberapa kitab yang lain, maka kebenaran pun menjadi jelas bagi saya dan tersingkaplah kebatilan dari hadapan sa ya, disebabkan dalil-dalil yang jelas, dan argumentasi-argumentasi yang terang, yang menun jukkan kebenaran mazhab Ahlul Bait as, yang terkandung di dalam kedua kitab ini. Dengan begi tu, kekuatan saya di dalam berdiskusi dan mengkaji pun menjadi semakin bertambah, sehingga Allah SWT membukakan cahaya kebenaran di dalam hati saya, dan saya pun mengumumkan Ke syi'ahan saya.

Selanjutnya mulailah periode baru dari pergumulan. Orang orang yang tidak mampu berdiskusi, mereka tidak menemukan jalan lain selain dari jalan olok-olok, caci maki, ancaman, fitnah dan jalan-jalan kebodohan lainnya. Saya serahkan seluruh urusan saya kepada Allah SWT, dan saya sabar dengan apa yang terjadi, meskipun serangan-serangan yang dialamatkan kepada saya itu berasal dari teman-teman saya, yang telah mengharamkan makan dan tidur dengan saya dalam satu atap.

Mereka mengasingkan saya secara penuh, kecuali sebagian teman yang lebih paham dan lebih terbuka. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya saya bisa menormalkan kembali hubungan saya dengan semuanya, dan dalam bentuk yang lebih baik dari yang semula. Bahkan saya men jadi orang yang dihormati dan dihargai di tengah-tengah mereka. Sebagian mereka meminta per timbangan saya di dalam setiap masalah yang kecil maupun yang besar, dari masalah-masalah kehidupannya. Namun ini semua tidak berlangsung lama. Api fitnah pun kembali menyala, sete lah tiga orang mahasiswa lainnya mengumum­kan Kesyi'ahan mereka, di samping sekelompok besar mahasiswa yang menampakkan simpati dan dukungan mereka kepada Syi'ah. Serang kaian konflik dan guncangan pun mengelilingi kami, dan kami menghadapi semua itu dengan ber pegang teguh kepada akhlak dan hikmah, sehingga kami mampu menghilangkan kemarahan de ngan sesegera mungkin.

Selanjutnya






Senin, 27 Desember 2010

POINT APPROACH ADALAH METODE RASULULLAH SENDIRI SAAT MENYAMPAIKAN DAKWAHNYA YANG PERTAMA


SEKILAS MENYOROT METODE CIRCLE APPROACH DAN POINT APPROACH
DALAM TABLIGH ISLAM
hsndwsp
Acheh - Sumatera


ANTARA METODE CIRCLE APPROACH DAN POINT APPROACH DALAM
PENYAMPAIAN/DAKWAH ISLAM



Bismillaahirrahmaanirrahiim

Dapatkah Shalat diterjemahkan dengan Sembahyang?
Sembahyang adalah bahasa Sangskerta/bahasa Hindu yang artinya sembah dewa. Du lu hampir seluruh kepulauan Melanesia beragama Hindu. Islam masuk ke kepulauan Melanesia itu melalui pendekatan "Circle Approach". Sementara Islam yang diapli kasikan Rasulullah sendiri melalui pendekatan "Point Approach". Pendekatan point approach adalah pendekatan revolusioner sementara pendekatan circle approach ada lah pendekatan reformasi.

Pendekatan reformasi dapat digunakan secara efektif andaikata di kawasan tersebut sudah man tap pemahaman Islamnya kecuali sebahagian masyarakat sudah mengalami dekaden. Untuk me reka-mereka yang dekaden itulah diperlukan reformasi. Sementara di kawasan yang sudah begitu rusak seperti di Indonesia yang zalim dan corrupt, Reformasi akan menjadi permainan di tangan orang-orang hipocrite. Hal ini dapat kita saksikan sendiri kemana larinya "Reformasi" Amin Rais dan Kampusnya. Dengan kata lain reformasi adalah tambal sulam yang sudah barang pasti tidak akan efektif untuk menambal baju yang sudah begitu lusuh seperti Indonesia. Namun yang diperlukan buat Indonesia Hipocrite adalah "Revolusi". Adakah Imam benaran disana un tuk membebaskan kaum Dhu'afa dari belenggu-belenggu yang menimpa kuduk-kuduk mereka? (Q.S,7:157)



Orang yang benar Ïmannya sangat tidak dapat menerima ketika menyaksikan kaum dhuafa Jawa hidup morat marit serta hina di bawah titi kota Metropolitan, di gubuk-gubuk derita dan di kawasan-kawasan kumuh la innya, dimana mereka juga sebetulnya memiliki hak yang sama de ngan orang Jawa lainnya, andaikata system nya benar secara Islami. Kalau seorang ex Biarawati yang brillian,. Irene  Handono mencemaskan kebanya kan anak-anak pengomel di jalanan dan juga kaum dhuafa lainnya sudah menjadi Kristian, sesungguhnya pe nguasa Hindunesialah yang bertanggung jawab telah mem buat mereka menjadi kristian. Sayangnya  Irene tidak mampu memahami bahwa regime yang hypocrite   di Indonesia itu jauh lebih parah   dibandingkan pe nguasa yang non Islam, dimana mereka memang belum memahami Islam sementara penguasa yang munafiq mengetahuinya tetapi mereka fasiq, hingga Allah menutup hati mereka. Untuk lebih jelas temui Irene di sini:   http://www.youtube.com/watch?v=YDTC5n8mfzI&feature=related


 Kata Rasulullah kemis kinan itu dapat membuat seseorang men jadi kafir, lalu Imam Ali berkata, andaikata kemiskinan itu berwujud makhluk akan kubunuh dia. Kemudian Abu Dzar Ghifari menim pali, disaat kemiskinan masuk dalam suatu rumah mela lui pintunya, iman keluar melalui jendela.


Dalam rentangan sejarah, Rasulullah sebagai utusan Allah dimana tugas utamanya untuk mem bebaskan kaum dhuafa dari belenggu yang menimpa kuduk-kuduk mere ka, Imam Ali sebagai perpanjangan keimamahan Rasulullah juga sangat konsekwen dalam membela kaum dhuafa, de mikian juga Abu Dzar Ghigari sampai dia sendiri di buang Usman bin Affan ke Ravadah hingga mati kelaparan. Itu akibat menentang penguasa zalim di zamannya demi membela kaum dhuafa. Adakah "Abu Dzar Ghifari" Di Jawa dan Acheh - Sumatera? Sepertinya tidak, mereka enggeh-enggeh saja dengan penguasa disebabkan mereka masih mengharapkan rezki melalui kerja dalam system yang zalim, hipocrite dan corrupt itu, hingga senantiasa menempuh metode circle approach.

Ketika Rasulullah memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat luas di Mekkah, mendapat tantangan langsung dari Abu Lahab, Abu Jahal dan Abu Sofyan. Konon menurut beberapa "Pakar" yang mengaku diri sebagai intelektual Islam, hal itu tidak akan terjadi andaikata Rasulullah saww tidak menjampaikannya secara revolusioner, dimana Rasulullah langsung menembak sembahan mereka: "Wahai kaum Quraisy ! Andai kata kukatakan pada kalian bahwa dibalik gunung ini ada seekor harimau, percayakah kalian ?" Mereka dengan serentak menja wab: "Percaya, bukankan anda ter kenal dengan El Amin?" Kalau demikian kalian juga "haq" meyakini bahwa sesung guhnya itu berhala yang kalian sembah, jangankan menolong kalian, menolong diri sendirpun tidak mampu. Justru itu sembahlah Allah Tuhan yang satu, dimana aku di utus untuk menjampaikan risalah ini".

Begitu selesainya Rasulullah mengucapkan kalimat-kalimat tersebut secepat itu pulalah Paman nya Abu Lahap menapik: "Muhammad! Sama siapa kamu meminta izin un tuk mengucapkan kata-kata yang sesat itu? Untuk itukah kamu mengundang kami sekalian kemari? Tabballak ya Muhammad". Mendengar tantangan Abu Lahap yang demikian keras dengan ucapan "celaka", kata yang paling keji menurut kultur Arab, Rasulullah berlinang airmata. Namun airmata Rasul segera dihapuskan Allah dengan menurunkan wahyunja yang berkenaan dengan kecelakaan bagi Abu Lahab: "Tabbat yada Abi lahabiw watabba........"(QS. 111: 1 s/d 5)

Bagi orang-orang yang benar-benar beriman tentu berkjeyakinan bahwa justru Rasu lullahlah yang "Pakar" dan bahkan "Pakar diatas Pakar". Artinya Rasulullah meneri ma langsung ilmunya dari Allah swt, sementara pakar-pakar itu menerimanya lewat "Penelitiannya" dilapangan dan perpustakan yang juga mengandalkan pendapat-pen dapat manusia itu sendiri, kendatipun memang ada yang benar, namun banyak juga yang keliru. Kalam Tuhan adalah mutlak kebenarannya sementara pikiran manusia harus meruju'k kepada Qur-an itu sendiri, Hadist Nabi suci dan para Imam yang diutus untuk mendapatkan keabsahannya.

Pendekatan yang diaplikasikan penjebar-penyebar Islam di kepulauan Melanesia itu, menggu nakan tekhnik Circle Approach, dimana mereka menjebarkan keyakinannya secara pelan-pelan agar tidak terbentur dengan adat pribumi yang notabenenya ada lah Hindu dan Budha. Sebagai contoh dapat kita lihat realitanya sampai sekarang di P Jawa, dimana sampai sekarang masih terlalu banyak praktek-praktek yang bertenta ngan dengan ajaran Islam itu sendiri kendatipun mereka mengaku beragama Islam. Misalnya kebiasaan rakyat jelata, menjabung ayam atau melaga ayam, membuat sesa jian, mengadakan acara tepung tawar khas Hindu dengan perci kan air rumput khu sus (naleueng sambo), memanggil "sembahyang" kepada orang yang "Shalat" dan masih banyak lagi adat Hindu lainnya yang tetap dipertahankan. Sementara "Kiyai" yang berindehoi dengan perempuan dikantor (baca sibuta yang taktau diri), pembu nuh berdarah dingin dan para koruptor masih saja dihormati ke banyakan orang disa na (baca kerejanya pencuri berdasi) baik itu dikalangan Legislatif (baca Dewan Perwakilan Rakyat hingga berobah menjadi Dewan Penipu Rakyat), Eksekutif (baca penguasa dan segenap jajarannya) danYudikatif (baca badan Hukum).

Hal ini terjadi disebabkan pendekatan "Circle Approach" atau reformasi. Ketika penje bar Islam melihat kerumunan orang yang sudah mengakui masuk Islam asik menya bung ayam, tidak titegurnya. Beliau hanya mengingatkan saja agar mereka tidak ter lambat Shalatnya. Konon ada juga kiyai yang meminta mereka agar mengucapkan Bismillah ketika mereka melepaskan ayamnya. Akibatnya sebahagian orang alim pal su berargumen bahwa semua perbuatan itu sudah di Islamkan dengan mengucapkan Bismillah (argumentasi yang demikian dhaif, bukan?).

Demikian juga di Acheh ketika penyebar Islam itu melihat kerumunan orang yang sedang me lan tunkan syair Hindunya di iringi musik tradisionalnya: "Pocut di Timu.... Pocut di Ba rat......Preung-preung- pre". Penjebar Islam ketika itu hanya menukarkan sya'irnya saja dengan: " La ila ha illallah......Preung-preung-pre". Sampai hari ini ma sih berlangsung hal yang demikian dengan kerap kali terjadi pelesetan kata: "La ila ha et lallah......Preung-preung-pre". Padahal bila kita analisa dengan cermat tidaklah di benarkan mengiringi kalimah syahadah itu dengan musik, kendatipun kita masih mampu mengucapkannya dengan benar. Jangankan Kalimah syahadah, ayat Al Qur-an saja tidak dibenarkan.

Kenapa juga penyebar-penyebar agama dari Gujarat Arab itu tidak melarangnya keti ka itu ? Sebabnya mereka menggunakan pendekatan "Circle Approach". Mereka kha watir terbentur dengan adat-istiadat kaum pribumi yang terkenal kuat mempertahan adat kebiasaannya. Disamping itu penyebar Islam itu juga sudah trauma dimana me reka diperlakukan demikian kejam oleh penguasa Zalim di negara asalnya kala itu. Itulah sebabnya mereka hijrah ke Acheh dan keseluruh kepulauan Nusantara. Juste ru itulah sampai hari ini masih kita dengar dari orang-orang Acheh sendiri dimana mereka lebih mementingkan "Adat istiadat" daripada hukum Islam itu sendiri.

Bayangkan andaikata masih banyak orang Acheh yang terpengaruh ide yang keliru itu, dapatkah diharapkan Islam yang benar akan tegak di sana ? Bila kita tegur, mere ka marah dan mencari-cari kesalahan kita untuk membela diri. Mereka bersatupadu dengan orang-orang yang berbuat zalim. Mereka menggunakan (Qur-an) hanya seba gai alat bacaan bukan sebagai Petunjuk (Pedoman Hidup). Akibatnya mereka tidak mengetahui kalau Allah mengutuk orang-orang yang membiarkan kezaliman di lingkungan Komunitasnya sendiri (QS. 5:79)


Billahi fi sabililhaq
hsndwsp
di Ujung Dunia



Dengarkan apa kata Ali Syariati yang telah mempersaksikan perjuangannya (Syahid):
"Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Dzar Ghifari atau Islam Marwan bin Hakam (menantu Usman bin Af fan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat signi fikan diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya ada lah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup sah dengan sekadar ber kata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerin tahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan" . 



Ali Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya, bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih me rupakan ideology emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan masyarakat Islam sejati tidak me ngenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.  
 


                 IRENE HANDONO

Kamis, 16 Desember 2010

SETIAP HARI ADALAH ASYURA, SETIAP BULAN ADALAH MUHARRAM DAN SETIAP TEMPAT ADALAH KARBALA.

INILAH KARBALA DAN DISINILAH IMAM HUSSEIN AS CUCU RASULULLAH

SERTA KELUARGA DAN SAHABAT SETIANYA DIBANTAI ATAS PERINTAH
YAZID BIN MUAWIYAH



Bismillaahirrahmaanirrahiim


JADILAH HUSSEIN ATAU ZAINAB AL KUBRA,
KALAU TIDAK ANDA ADALAH YAZID.
HUSSEIN MENYIRAMI POHON ISLAM DENGAN DARAH DAN AIRMATA. ZAINAB MENYAMPAIKAN MISSI HUSSEIN HINGGA DIKETAHUI MANUSIA
DI DUNIA SEJAK DULU HINGGA KINI
BAHKAN SAMPAI MENEMUINYA
DI PANCUTAN KAUTSAR.
hsndwsp

Acheh - Sumatera








Kalimat demi kalimat baris demi baris dan alinia demi alinia telahpun berlalu hingga goresan bung Novendra Dj ini terbaca habis tanpa terasa lelah sedikitpun. Mengapa tidak, kisah yang diangkat adalah cucuanda Nabiullah, Imam Hussein as, Imam ke 3, ayahanda dari Imam Ali Zainal Abidin bin Hussein as. Sayang di Acheh sepertinya tak terbaca peristiwa yang demikian dahsyat dan menyayat hati bagi pribadi yang benar-benar beriman, bukan hipokrit alias hanya mengaku saja beriman sementara sepakterjangnya sepertinya tidak jauh berbeda dengan dupli kat Yazid bin Muawiyah itu sendiri.



Sebahagian orang yang mengaku bermazhab Syiah di pulau Jawa hanya terbatas dengan mengeluarkan airmata ketika memperingati hari syahidnya Imam Hussein di medan Karbala, tetapi setelah itu merekapun sepertinya tidak berbeda dengan pengikut Yaziz bin Muawiyah bin abu Sofyan, bersatupadu dalam system Hindune sia yang Yaziddin itu. Ini membuktikan bahwa mereka baru sebatas ilmu Syiah hingga mereka hanya mengetahui kalau Imam Hussein teranianya di Padang Karbala, namun tidak memiliki Ideology Imam Hussein yang pantang bersatupadu dalam system taghut zalim dan hipokrit. Sebahagian mereka memiliki banyak il mu tentang Syiah dan 12 Imamnya hingga mereka layak disebut Ilmuwan Syiah namun sebetulnya mereka masih belum apa-apa dan tidak jauh berbeda dengan Islam non Syiah. Untuk berguru tentang Syiah, tentang Karbala tentang Imam Hussein memang mudah tetapi untuk memahami Syiah Alawi (baca Syiah me rah), Imam Hussein dan Karbala diperlukan mendalami Ideologynya.



Kalau kita terbatas pada ilmu Syiah, Imam dan Karbala, kita belum mampu meli hat fenomena yang ditentang Syiah, para Imam dan Hussein di Karbala di jaman kita masing-masing. Justru itulah kita masih saja bersatu padu dan bahkan meng identifikasi dirikita sebagai fenomena dimana Yazid menjadi prototipenya fenome na tersebut. Itulah yang dinamakan Syiah hitam atau syiah dekaden. Syiah sejati atau syiah Alawi adalah syiah merah. Mereka bukan saja berilmu Syiah tetapi juga berideology syiah, para Imam dan Karbala.



Agama manapun memiliki dua wajah yang saling bertentangan, wajah dekaden dan wajah ideology. Islam berwajah dekaden seolah-olah melibatkan dirinya dalam kejahatan, menumbuhkan reaksionerisme, kelambanan, dan kelumpuhan. Agama Islam macam ini telah mengekang spirit kebebasan dan secara culas membenarkan status quo. Sedangkan Islam yang type lain, Islam ideology yang pantang bersatupadu dalam system Islam yang dekaden. Sudah barang pasti Islam Ideology tidak diperbolehkan tumbuh dan berkembang dalam sejarah oleh Islam dekaden. Justru di jantung bangsa-bangsa Muslim, sebagaimana kita keta hui, kebenaran dan cita-cita Islam sedang dikorbankan.



Dalam bentuknya yang tidak ideologis agama adalah suatu kumpulan keperca yaan turun-temurun dan perasaan individual, suatu imitasi terhadap upacara-upacara, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan agama dan praktek-praktek yang sudah berurat berakar dari satu generasi kegenerasi lainnya. Jenis agama sema cam ini menunjukkan semangat kolektif dari suatu kelompok masyarakat. Agama seperti ini tidak pernah nenemukan esensinya hingga memperlihatkan penen tangannya terhadap spirit dan semangat kemanusiaan yang sesungguhnya.



Praktek agama seperti ini sampai hari ini berkembang dan tumbuh subur dalam system yang hipokrit, dimana mereka mengaku beragama Muhammad tetapi mereka tidaklagi memiliki ideology Muhammad, Ali dan Hussein di Karbala. Sebahagian mereka dari kampung berpindah ke kota. Dikota mereka menimba ilmu diberbagai perguruan hingga memungkinkan mereka menjadi "orang besar" setelah bergabung dengan orang-orang pemerintahan. Mereka menjadi kaya, memiliki rumah yang luck, gaji yang tinggi dan mobil mewah. Namun kebanyakan mereka hidup miskin dan menderita tetapi mereka tetap berdaya upaya agar tidak ketinggalan ketika musim maulid tiba kendatipun Rasulullah sendiri melarangnya, namun mereka sepertinya tidak pernah mengetahui adanya larangan.
Tak obahnya seperti kebiasaan orang Kristian memperingati hari lahirnya Yesus, mereka tidak pernah memahami bahwa tgl 25 Desemeber itu bukan hari lahirnya Nabi Isa as tetapi hari lahirnya dewa matahari. Demikian juga pohon cemara yang mereka hias sebagai pohon Natal, padahal pohon tersebut takpernah eksist ditempat kelahiran Nabi Isa bin Maryam.http://www.youtube.com/watch?v=YDTC5n8mfzI&feature=related




Dikalangan Syiah jaman Syah Redha Palevi juga demikian kondisi masyarakat, dimana orang-orang miskin walau makanpun tak menentu, berdaya upaya walau dengan cara menabung guna membeli lampu pompa, rantai untuk flagelasi (me mukul - mukul tubuh dalam peringatan syahidnya Imam Hussein di Karbala), alat bunyi-bunyian dan jubah hitam. Ironisnya acara tersebut dikordinir penguasa. Pada hari Asyura malah semua orang dipaksakan harus mengalir airmata tetapi satu hari setelah itu atau esoknya pemerintah membuat hari bergembira dimana tidak dibenarkan seorangpun menangis kecuali ditangkap polisi. Jadi semua me reka (baca penguasa plus rakyatnya memang syiah tetapi syiah Safawi bukan syiah Alawi. Syiah Alawi tidak di benarkan berkembang sampai Imam Khomaini, Dr Ali Syariati, Murtadha Mutahhari cs muncul hingga mampu menggulingkan pe nguasa Safavid dan berdirinya system Islam Syiah Alawi yang sangat cemerlang sekarang ini.


Mudah - mudahan tulisan singkat ini menjadi renungan bagi banbgsa-bangsa yang sedang ter tindas di jaman kita ini. Kita harus belajar memahami Karbala hing ga menemukan fenomena karbala dikalangan kita masing-masing. Kita harus mampu memahami mana sosoknya Yazid di jaman kita, dikalangan kita dan mana sosok Hussein dikalangan kita masing-masing. Lalu bersatulah "Hussein-hussein" untuk meluluhlantakkan "yazid-yazid". Dengan cara demikianlah kita terlepas dari api Neraka, bukan hanya dengan mengalirkan air mata di hari Asyura dan berpu asa agar dapat pahala sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kita bersatupadu dalam system yang sama dengan system yang ditentang Imam Hussein as di Karbala.







Billahi fi sabililhaq

hsndwsp

di Ujung Dunia


notice:
Ketika kita menemui suatu fenomena yang haqqul yakin kebenarannya, kita harus haqqul yakin juga bahwa Allah mengharapkan kepada kita agar menyampaikan kepada orang lain. Pabila pihak yang sampai seruan kita itu tidak menggubrisnya sementara hal tersebut benar disisi Allah, menjadi saksi kelak di hari Kemudian (baca saat Allah menempelak manusia dengan Surah Yasin ayat 60 - 65). Sebaliknya, andaikata tidak kita sampaikan kepada orang lain kita ter masuk yang menyembunyikan kebenaran ilmu Allah. yang berakibat celaka dia khirat kelak. Justeru itulah Allah menuntut pada hambaNya yang telah menemukan kebenaran agar me nyampaikan ke pihak lain, betapapun resikonya, terkadang dicemoohi, dibenci dan bahkan dibu nuh sebagaimana mereka membunuh Ahlulbayt Rasulul lah, konon pula kita pe ngikut ahlulbayt nya. Andaikata fenomena yang haq itu tidak kita sampaikan kepihak lain, kita termasuk orang egois sejati disisi Allah, hendak masuk syurga sendirian. Allah tidak akan memasukkan ke dalam Syurga orang yang egois demikian. Allah memasukkan seseorang da lam Syurga melalui ajakan kita kepada orang lain. Justeru keyakinan seperti itulah saya berda ya upaya untuk menyam pai kan apa yang telah saya yakinkan ini, betapapun resikonya. Read more about tempelakan Allah: http://achehkarbala.blogspot.com/2009/09/tempelkan-yang-sangat-menyakitkan-bagi.html ngat-menyakitkan-bagi.html



Pentas Karbala,
Simbol PerlawananAtas Kebatilan
Refleksi Atas Kesyahidan Imam Husain bin ‘Ali
Oleh; Novendra Dj






Catatan sejarah umat Islam mengabadikan satu tragedi yang memilukan dan menohok jantung orang-orang muslim yang peka dengan agama dan hakikat kemanusiaan. Tepat pada hari ke-10 dibulan Muharram tahun 61 H, suatu peristiwa pembantaian sadis menimpa al Husain bin ‘Ali bin Abithalib beserta para pengikut setianya. Tragedi yang mengambil tempat di padang Karbala, Iraq ini menyisakan kepiluan dan kepedihan hati kaum mu’min. Bagaimana tidak, karena yang dibantai adalah cucunda Rasulullah saw, anak putri tercinta beliau, Fathimah az Zahra. Dan yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku umat Muhammad saw.

Sang kesatria dan hujjatullah dibantai oleh Yazid bin Mu’awiyah, salah seorang khalifah dinasti Umayyah. Mereka membunuh seorang putra Bani Hasyim demi memadamkan cahaya Islam dan memuluskan jalan nafsu keserakahan atas kekuasaan dan harta benda. Kesilauan dunia telah memperdayakan dinasti Umayyah, hingga mereka tega menumpahkan darah suci keturunan Rasulullah saw. Bala tentara kezaliman itu menggenangi tanah Nainawa (nama lain dari Karbala) dengan darah yang dialiri dari tubuh Imam Husain beserta pendukung setianya.

Perang antara Imam Husain bersama pengikut setianya dengan pasukan Yazid berlangsung tidak seimbang. Puluhan orang dari barisan beliau melayani serangan ribuan prajurit Yazid yang dibekali persenjataan lengkap. Sangat tidak adil jika dikatakan peristiwa Karbala tersebut adalah peperangan, melainkan sebentuk pembantaian. Sang petempur terakhir yang hidup (Husain) merenggang nyawa dalam keadaan teraniaya. Pribadi agung ini menjadi tonggak keteladanan, merelakan dirinya syahid dalam keadaan teraniaya demi pengabdiannya kepada Islam. Ia menjawab panggilan dan menjalankan dengan sempurna amanat Allah dan Rasulnya.

Tragedi Karbala sebuah peristiwa yang tidak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Bentuk pengorbanan dan ketabahan yang ditampilkan Imam Husain menjadi energi dahsyat bagi orang-orang yang yakin dengan janji-janji Rabba nya. Husain menjemput ajalnya di Karbala bukanlah berlatar putus asa atau pasrah pada takdir yang ditentukan Allah Swt untuknya. Tetapi dia datang dengan visi dan misi yang jelas, yaitu upaya penyelamatan dan mengembalikan eksistensi serta kemurnian agama kakeknya, Muhammad saw.

Kemurnian Islam sejak wafatnya Rasulullah saw mulai terkikis. Pelbagai penyelewengan terjadi akibat nafsu serakah sebagaian kalangan elit yang masih menyimpan dihati mereka bongkahan-bongkahan kebencian dan dendam kepada al Mustafa dan ahlulbaitnya, terutama kepada ‘Ali bin Abithalib. Keadaan yang mencederai citra Islam ini mendorong Imam Husain bangkit dan melawan, terutama setelah Mu’awiyah mencabik-cabik traktat perdamaian antara ia dengan Imam Hasan. Dimana traktat tersebut berisi kesepakatan bahwa kaum muslim akan memilih khalifahnya setelah meninggalnya Mu’awiyah. Namun Mu’awiyah dibalik itu berusaha memperoleh bai’at bagi Yazid, putranya. Dan mulai menebar fitnah atas ahlulbait Nabi, secara khusus terhadap pribadi Imam ‘Ali.

Namun pribadi seperti al Husain tidak tinggal diam dan pasrah membiarkan cahaya Islam redup. Dia tidak akan sudi membai’at dan membiarkan urusan umat Islam ditangan orang seperti Yazid. Al Husain memandang perlu membangun simbol lebih jelas antara kebenaran dan keadilan yang diwakili dirinya, dengan simbol kebatilan dan kezaliman yang diwakili Yazid bin Mu’awiyah. Tentunya langkah yang diambil al Husain tersebut membawa konsekuensi besar mengenaskan. Dimana kepedihan dan kedukaan dahsyat akan menimpa Rasulullah dan keluaganya beserta orang-orang yang setia pada agama yang hanif. Karena tipe Yazid tidak sungkan menumpahkan darah orang-orang yang menghalanginya, meskipun itu manusia agung seperti al Husain.

Kita bisa bayangkan bagaimana Imam Husain, cucunda kesayangan Rasulullah saw, dibantai dengan sangat biadab. Begitu juga sangat memilukan saat Ali Al Ashgar, bayi Imam Husain syahid dengan panah beracun menembus lehernya. Kekejaman terhadap keturunan Rasul saw ini senantiasa membuat kesedihan mendalam.

Tetapi di balik kesedihan itu, banyak makna lain terkandung dibalik pengorbanan dan syahidnya Imam Husain beserta para pengikutnya. Disitu tersimpan kisah heroik, sebelum menjemput syahidnya, Imam Husain dengan gagah berani melawan ribuan prajurit seorang diri. Ini mengisyaratkan pesan bahwa seorang muslim mesti tetap tegar melawan kezaliman. Bagaimana pun keadaannya.

Peristiwa karbala memotret dua sisi yang saling bertolak belakang. Barisan pengusung bendera haq satu pihak dan barisan kebatilan dipihak lain. Imam Husain beserta rombongannya datang ke tanah Karbala demi menegaskan tapal batas haq dan batil. Ia datang dengan kesadaran ilahiah, bahwa pengorbanan dan kucuran darahnya akan merobek tabir-tabir kejahilan dan kezaliman. Beliau menyadari bahwa umat Islam selanjutnya membutuhkan suatu tonggak inspirasi yang akan memompa spirit mereka dalam menentang penindasan dan ketidak adilan.
Disisi lain, perlakuan Yazid dan bala tentaranya terhadap Imam Husain, putri-putri Bani Hasyim, dan para pengikut setianya adalah mempertontonkan budaya ala rezim penindas. Peristiwa ini sungguh menegaskan bahwa antara haq dan kebatilan tidak akan pernah bisa bercampur. Haq tidak akan pernah tunduk dihadapan lawannya, keduanya senantiasa berhadap-hadapan. Semangat perlawananan atas kezaliman mesti senantiasa dipupuk, dijadikan spirit yang mengakar dikalangan umat Islam. Jika tidak, maka kezaliman akan merasa aman memegang kendali, dan ia juga bisa menyelubungi dirinya dengan jubah kebenaran, dan topeng keadilan.

Keprihatinan kita, Peristawa Karbala seperti terlupakan oleh umat Islam mayoritas. Entah karena sengaja demi menyelamatkan muka umat Islam dari rona buram lembaran sejarah pilu. Namun demikian, tidak bisa dihindari, sejarah umat ini ternyata tidak semulus dalam lembaran buku-buku yang popular beredar ditengah-tengah kita. Pelbagai fakta terkait tragedi-tragedi menyayat hati turut memburamkan fenomena umat ini. Diantara peristiwa besar dan terpenting serta layak dikenang, adalah tragedi Karbala.

Tragedi menyesakkah hati ini memang hanya akrab dan selalu dikenang oleh umat Islam dari mazahab Syiah. Kalangan umat Islam yang memiliki loyalitas tinggi pada ahlulbait Nabi saw ini melihat peristiwa tersebut sebagai pembuka mata umat Islam atas batasan haq dan batil yang tidak mungkin dicapur satu sama lain.

Membangunkan kesadaran umat bahwa Islam beserta kebenaran dan keadilan yang diusungnya mesti senantiasa diperjuangkan, meskipun harus dibayar dengan penderitaan dan darah sekalipun. Dan mereka senantiasa menjadikan kenangan Asyura sebagai wadah membangun spirit untuk bangkit, loyalitas pada kebenaran, dan senantiasa menolak kezaliman dan penindasan.

Namun demikian, pembelajaran ataupun hikmah Asyura bukanlah monopoli Islam Syiah saja. Sejatinya peristiwa ini menjadi spirit bersama umat Islam dari kalangan manapun yang setia dengan ajaran Rasulullah saw, yang menginginkan batasan haq dan batil tetap dikenali, dan keadilan ditegakkan. Karena Imam Husain telah menggoreskan tonggak keteladanan – dengan kemuliaan pengorbanannya demi kemurnian dan tegaknya agama Muhammad saww – dan men jadikannya sebagai pesan agung, bahwa duduk bersanding dengan penindas dan keza liman itu sendiri adalah aib dan kehinaan. Dan ummat Islam dituntut untuk senantiasa berada dalam kemuliaan, penyampai kebenaran, dan pengimplementasi keadilan. Labbaika ya Imam Hussain...


English translation
Bismillaahirrahmaanirrahiim


BE AL-Kubra Zainab Hussein OR,
IF YOU ARE NOT Yazid.
Hose Hussein TREE WITH BLOOD AND ISLAM tears. Zainab Hussein mission SUBMIT TO KNOW PEOPLE
IN THE WORLD SINCE FIRST UP NOW
EVEN UNTIL meet
IN PANCUTAN Kauthar.
hsndwsp
Aceh - Sumatra







Sentence by sentence and line by line by alinia telahpun alinia passed up to scratch Dj Novendra bung it unreadable without felt tired out a bit. Why not, the story raised was cucuanda Nabiullah, as Imam Hussein, Imam to 3, father of Imam Hussein bin Ali Zainal Abidin as. Unfortunately in Acheh seem indecipherable event so devastating and heartbreaking for the person who really believe, not only claimed to be hypocritical aka faith while sepakterjangnya not seem much different from Yazid bin Muawiyah dupli kat itself.

Sebahagian people who claim to bermazhab Shia on the island of Java is limited only by shedding tears when commemorate the martyrdom of Imam Hussein in Karbala field, but after that they seemed no different from the followers of Muawiyah bin ash bin Yaziz Sofyan, bersatupadu in vain Hindune system that Yaziddin it. This proves that they had limited knowledge Shiites until they just know when Imam Hussein teranianya in Padang Karbala, but does not have an abstinence Ideology of Imam Hussein in the system taghut bersatupadu unjust and hypocritical. They will have a lot il mu of Shia and 12 priests until they deserve to be called scientists Shia but in fact they still do not nothing and not much different from non-Shiite Islam. To sit on the Shia, the Karbala of Imam Hussein is easy but to understand the Shi'ite Alawi (read Shiite me angry), Imam Hussein and Karbala required Ideologynya deepen.

If we are limited on the science of Shia, Imam and Karbala, we are not able to saw a hat phenomenon Shia opposition, the Imam Hussein in Karbala and in our own era. That's the whole we are still united and even identified him as a phenomenon whereby dirikita Yazid became the prototype phenomenological na. That is what is called black Shiite or Shiite decadent. True or Shiite Shiite Shiite Alawi is red. They are not only knowledgeable but also berideology Shiite Shiites, the Imam and Karbala.

Any religion has two opposing faces, face and facial decadent ideology. Islam faced decadent as if involved in the crime, grow reaksionerisme, inaction, and paralysis. Islam Religion of this kind have been reined in a deceitful spirit of freedom and justify the status quo. Meanwhile, another type of Islam, Islam ideology that abstinence bersatupadu in the Islamic system is decadent. Of Islamic Ideology must not be allowed to grow and flourish in Islamic history by decadent. Precisely at the heart of Muslim nations, as we fear hui, truth and ideals of Islam is being sacrificed.

In a form that is not ideological belief religions is a collection of hereditary wealth and individual feelings, an imitation of the ceremonies, rules, habits and religious practices that are already entrenched kegenerasi other than one generation. Type of religion sema cam shows the collective spirit of a community group. Religion like this had ever nenemukan essence to show opponents hands against the spirit and the true spirit of humanity.

Religious practices like this to this day to develop and thrive in a hypocritical system, where they claim religion tidaklagi Muhammad but they have a ideology of Muhammad, Ali and Hussein in Karbala. They will move from village to town. They gain knowledge in various city colleges to enable them to become "great man" after joining the people reign. They became wealthy, owning a house of luck, high salaries and luxury cars. But most of them live in poverty and suffering but they still make an effort to not miss when the season comes in spite of the Prophet's birthday itself forbidden, but they never seem to know of any restrictions. Not obahnya such as customs of Kristian commemorate the birth of Jesus, they never understand that it's not Desemeber 25th birthday of Prophet 'Isa but today the birth of the sun god. Likewise, they are fir tree as a decorative Christmas tree, whereas tree takpernah eksist birth place of Prophet 'Isa ibn Mar yam. http://www.youtube.com/watch?v=YDTC5n8mfzI&feature=related

Among the Shia Shah era Redha Palevi likewise the condition of society, in which poor people makanpun although erratic, despite attempts by way of saving money to buy a light pump, chain to flagelasi (hit me - hit the body in the martyrdom anniversary of Imam Hussein in Karbala), musical instrument and a black robe. Ironically event dikordinir ruler. On the day of Ashura in fact all people should be forced to flow tears but the same day or next day after that happy day in which the government makes one cry is not justified unless arrested by police. So all they had (read ruler plus citizens are Shiite, but not the Shiite Safavid Shi'ite Alawi. Shi'ite Alawi not justify developing until the Imam Khomaini, Dr Ali Shari'ati, Murtadha Mutahhari cs appear to be able to overthrow his ruler and the establishment of Safavid Shi'ite Alawi Islamic system is very brilliant today.

Easy - I hope this short article a muse for banbgsa being oppressed peoples of our age. We must learn to understand the phenomenon of Karbala Karbala Hing ga find among our own. We must be able to understand where the figure Yazid of our time, among us and where the figure of Hussein among our own. Then unite "Hussein-Hussein" to crush "-Yazid Yazid." That was how we separated from the fire of Hell, not only by flowing tears on the day of Ashura and berpu hope for to reward while in our daily lives bersatupadu in the same system with the system as opposed to Imam Hussein in Karbala.



Billahi fi sabililhaq
hsndwsp
at the End of the World





notice:
When we see a phenomenon that haqqul believe the truth, we must haqqul believe also that God expects us to convey to others. Sovereign, when the party until the appeal we were ignored while it is right hand of God, as witnesses later in the day then (read: When God menempelak man with Surah Yasin verses 60-65). Conversely, if we do not convey to others we too into the science of hiding the truth of God. which result in harm him khirat later. Precisely why God holds in His servants who have discovered the truth for me convey to the other party, however the risk, sometimes dicemoohi, hated and even murdered as they kill dibu Ahlulbayt the Messenger was, we also said his ahlulbayt its adherents. If the phenomenon of truth that we do not tell other kepihak, we included the true selfish side of God, about to enter heaven alone. God will not enter into heaven so selfish person. God da lam someone enter heaven through our invitation to others. Indeed, such confidence that I attempt to greet arriving pie ya what I have been convinced of this, however the risk. Read more about tempelakan God: http://achehkarbala.blogspot.com/2009/09/tempelkan-yang-sangat-menyakitkan-bagi.html very-painful-bagi.html





Pentas Karbala,
Symbols PerlawananAtas kebatilan
Reflections on Martyrdom of Imam Husayn ibn 'Ali
By; Novendra Dj


The historical record of Muslims perpetuate a tragedy strikes the heart-wrenching and Muslim people who are sensitive to religion and the nature of humanity. Exactly on the day of the 10th month of Muharram in 61 AH, a sadistic massacre happened al Husayn ibn 'Ali ibn Abithalib and his loyal followers. The tragedy that took place in the desert of Karbala, Iraq is leaving the heartache and pain the hearts of the believers. How not, because that is slaughtered cucunda Prophet, the son of his beloved daughter, Fatima Zahra. And who do it are those who claim Muhammad's people.

The knight and hujjatullah massacred by Yazid bin Mu'awiyah, one of the caliph of the Umayyads. They killed a son of Bani Hashim to extinguish the light of Islam and pave the way lust greed for power and possessions. Glare of the world has beguile the Umayyad dynasty, until they have the heart to shed the blood of the holy descendants of the Prophet. The armies of tyranny that flooded the ground Nainawa (another name of Karbala) with blood which flowed from the body of Imam Husayn and their loyal supporters.

The war between the followers of Imam Hussain with forces loyal to Yazid took place not in balance. Dozens of people from the ranks, he served thousands of soldiers attack Yazid equipped armor. It is not fair to say it is a battle of Karbala incident, but a kind of massacre. The last living fighters (Hussain) lives in a state battered stretch. Great personal example of this was the base, volunteered himself a martyr in a state of being persecuted for his devotion to Islam. He answered the call and run with the perfect message of Allah and His messenger.

The tragedy of Karbala is an event that is unrivaled in human history. Form of sacrifice and steadfastness of Imam Husayn be displayed tremendous energy for people who believe in his promises Rabba. Husayn in Karbala to pick up his end is not set in despair or surrender to the destiny that Allah prescribed for her. But he comes with a clear vision and mission, namely efforts to rescue and restore the existence and purity of the religion of his grandfather, Muhammad PBUH.

The purity of Islam since the death of the Messenger of Allah began to erode. Various deviations in part due to greedy lust among the elite who still keep their hearts chunks of hatred and vengeance against al Mustafa and ahlulbaitnya, especially to 'Ali bin Abithalib. Things that hurt the image of Islam has led Imam Husain stood up and fought back, especially after Mu'awiyah tearing it with a peace treaty between Imam Hasan. Where the treaty contains an agreement that the Muslims would vote after the death of Mu'awiyah khalifahnya. However Mu'awiyah behind it trying to get bai'at to Yazid, son. And began to spread slander upon Prophet ahlulbait, specifically the person of Imam 'Ali.

But as al Husayn personally did not stay silent and resigned to let the dim light of Islam. He will not willingly let membai'at and Muslim affairs in the hands of people like Yazid. Al-Hussain sees the need to build a clearer symbol of truth and justice who represented himself, with the symbol of evil and tyranny, which is represented by Yazid bin Mu'awiyah. Of course, the steps taken by al-Husain was brought tragic consequences. Where pain and sorrow of terrible will befall the Prophet and keluaganya with those who are faithful to the religion of hanif. Because type Yazid not hesitate to spill the blood of people who block it, even though it was great man like al-Husayn.

We can imagine how the Imam Husayn, the Prophet's favorite cucunda, were slaughtered by a very barbarous. So is very heartbreaking when Ali Al Ashgar, baby martyrdom of Imam Hussain with poisoned arrows pierce his neck. Atrocities against the descendants of the Prophet is always a deep sadness.

But the sadness behind it, many other meanings contained behind the sacrifice and the martyrdom of Imam Husayn and his followers. There is saved the heroic story, prior to pick up martyrdom, Imam Husain valiantly against thousands of soldiers alone. This implies a message that Muslims should remain strong against tyranny. In any circumstances.

Event of Karbala photographing two conflicting sides. Rows of flag bearers haq one side and evil on the other line. Imam Husayn and his entourage came to the land of Karbala for the sake of truth and assert boundaries vanity. It comes with divine consciousness, that sacrifice and their blood running will tear the veil-the veil of ignorance and tyranny. He further realized that Muslims need an inspiring milestone that will pump up their spirit in opposing oppression and injustice.
On the other hand, treatment of Yazid and his army of Imam Hussain, the daughters of Bani Hashim, and his loyal followers are exposing oppressive regimes a la culture. This event was confirmed that between truth and falsehood can never be mixed. Haq would never subject before his opponents, both of them always face to face. Perlawananan spirit of tyranny must be constantly nurtured, made by deep-rooted spirit among Muslims. If not, then tyranny will feel secure in control, and he also can cloak himself with the robe of truth, and the mask of justice.

Our concern, such as Karbala Peristawa forgotten by the majority Muslims. Whether it was deliberate in order to save Muslims from the face of history sadly opaque hue. However, it is inevitable, the history of this people was not as smooth as in the piece of popular books that circulate in our midst. The various facts related to heart-wrenching tragedies also cloud the people of this phenomenon. Among the major events and important and worthy remembered, is the tragedy of Karbala.

Tragedy menyesakkah this heart is only familiar and always remembered by the Muslims of the Shiite mazahab. Among Muslims who have a high loyalty to the Holy Prophet ahlulbait this view these events as an eye opener Muslims on truth and falsehood limitation that is not possible dicapur each other.

Awaken the awareness of Islam and its people that truth and justice must always strive diusungnya, although it should be paid for with suffering and even blood. And they always make the memories of Ashura as a place to build spirit to rise up, loyalty to truth, and always reject the tyranny and oppression.

However, learning or wisdom is not the monopoly of Ashura Shiite Islam alone. Indeed the spirit of this event together Muslims from among any of the faithful to the teachings of the Prophet, who wanted the restrictions remain recognizable truth and falsehood, and justice is done. Because of Imam Husain has scraped exemplary milestone - with the glory of sacrifice for the sake of purity and the establishment of religion Muhammad saww - and to jadikannya as great message, that sit side by side with the oppressor and keza liman itself is a disgrace and humiliation. And Muslims are required to always be in glory, messenger of truth, justice and implementers. Labbaika yes Imam Hussain ...