Jumat, 31 Desember 2010

KEBENARAN YANG HILANG (DITEMUKAN KEMBALI/hsndwsp)

 

QOM TOWN IN ISLAM REPUBLIC OF IRAN



Bismillaahirrahmaanirrahiim




"KEBENARAN YANG HILANG"
SUATU PENEMUAN AGAMA YANG REDHA ALLAH, 
SYIAH IMAMIAH 12
by
Mu'tashim



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Sejarah Hidupku

Hari-Hari Masa Kecilku

Minat keagamaan telah muncul sejak aku kecil, ada fitrah yang menarikku untuk berpegang teguh kepada aga ma. Dalam bayanganku ke masa depan, pikiranku tidak pernah keluar dari ke rangka agama. Aku melihat diri ku sebagai pahlawan dan mujahid Islam yang mampu mengem balikan kehormatan agama dan kemuliaan Is lam. Pada saat itu aku belum lulus dari sekolah tingkat pertama. Maklum, pemikiranku waktu itu masih dang kal. Begitu pula pengetahuanku tentang sejarah kaum Muslimin dan peradabannya masih sangat terbatas. Aku belum menge tahui kecuali beberapa kisah tentang Rasulullah saww dan peperangan yang dilakukannya terha dap orang-orang kafir, dan kisah tentang kepahlawanan dan keberanian Imam Ali as. Aku mem pelajari peme rintahan Mahdiyyah di Sudan, aku merasa kagum dengan kepribadian Usman Daqnah. Dia adalah salah seo rang komandan pasukan Mahdi yang pemberani di daerah timur Sudan. 

Jihad yang telah membangkitkan minat saya manakala guru sejarah kami menggam barkan keberanian dan ke agungan kepribadiannya kepada kami. Dia seorang mujahid di antara bukit dan lembah. Begitulah hatiku terta rik kepadanya. Saya bercita-cita ingin menjadi seperti dirinya. Mulailah saya berpikir dengan pikiran saya yang masih dangkal, bahwa untuk bisa mencapai tujuan ini maka jalan satu-satunya yang terbayang di dalam benak saya ketika itu ialah saya harus menjadi lulusan akademi militer, sehingga saya terlatih dalam strategi pe rang dan penggunaan senjata. Bertahun-tahun saya hidup di atas angan-angan ini, hingga akhirnya saya pindah ke sekolah tingkatan menengah. Pada tingkatan ini, pemahaman dan pengetahuan saya mulai berkembang. Mulailah saya mengenal para pemimpin kemerdekaan dunia Islam, seperti Abdur­rahman al-Kawakibi, as -Sanusi, Umar Mukhtar dan Jamaluddin al-Afghani, seorang pejuang dan pemikir cemerlang yang bertolak da ri Afhghanistan, dan kemudian berpindah-pindah dari satu ibu kota negara Islam yang satu kepada ibu kota negara Islam yang lain, dan begitu juga ke negara-negara bukan Islam, untuk menyebarkan pemikiran yang hi dup, yang berbicara tentang sisi-sisi keterbelakangan dunia Islam dan bagaimana cara menyembuhkannya.

Yang amat menarik perhatian saya ialah metode jihad yang dilakukannya.Dia melakukannya me lalui hikmah, penyebaran pengetahuan dan pengembangan pemikiran di kalangan umat Islam, ti dak melalui jalan memang gul senjata.

Saya pernah berkeyakinan bahwa setiap orang yang hendak berjuang dan membela kaum Muslimin, mau ti dak mau dia harus menghunus pedang dan masuk ke dalam medan pepe rangan. Sementara cara yang ditem puh oleh Jamaluddin al-Afghani sama sekali berbeda dengan apa yang selama ini saya bayangkan. Metode ka ta dan pendidikan yang sadar adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran agama saya. Saya tidak mampu de ngan mudah melepaskan diri dari pemikiran dan cita-cita yang telah saya bangun selama ini di dalam benak saya, meskipun saya sadar bahwa krisis yang dialami umat ini ialah krisis pendi­dikan dan pemikiran. Karena pendidikanlah yang mampu menjadikan setiap individu mau mengemban tanggung jawabnya. Inilah Jamalud din, dia mengelilingi dunia untuk menebarkan cahaya dan keberkahan, dan menye barluaskan pemikiran-pemi kirannya, yang mendapat sambutan yang hangat dari kaum Musli min. Karena, pemikiran-pemikiran yang di lontarkannya mampu menyelesaikan berbagai perma salahan mereka dan sekaligus sejalan dengan kenyataan mereka. Yang demikian ini amat mence maskan kekuatan penjajah. Karena majalah al- 'Urwah al-Wutsqa [1] saja sudah merupakan tan tangan yang berat bagi mereka, yang memaksa mereka untuk melarang penerbitan nya.

Pertanyaan yang selalu menghantui benak saya ialah,
Bagaimana seorang individu mampu mengubah perimbangan ini, dan bagaimana seorang individu mampu mem buat takut seluruh kekuatan besar?!

Untuk menjawab pertanyaan ini, di hadapan saya terbuka beberapa pintu pertanyaan. Sebagiannya sederhana dan sebagiannya lagi tidak ada jawabannya di Sudan. Ini menjadikan saya beru saha untuk dapat lepas dari kenyataan ini, dan sekaligus melepaskan berbagai belenggu yang se lama ini mendorong saya untuk tunduk kepada kenyataan agama yang ada, supaya saya berja lan di dalam hidup ini sebagaimana yang telah dilaku kan oleh kakek-kakek saya. Akan tetapi, ra sa tanggung jawab yang ada di dalam diri saya, dan begitu juga kecintaan saya ke­pada Jama luddin al-Afghani membunyikan lonceng bahaya di dalam fitrah saya, sehingga menjadikan saya bertanya-tanya,

Bagaimana saya bisa menjadi seperti Jamaluddin al-Afghani? Apakah agama yang saya warisi ini mampu membawa saya kepada tingkatan itu? Kemudian saya berkata, "Kenapa tidak?!" Apakah Jamaluddin mempu nyai agama yang berbeda dengan agama kita?! Dan Islam yang berbeda dengan Islam kita?!"

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya terombang-ambing selama bertahun-tahun, dan setiap ka li saya sampai kepada sebuah jawaban, maka itu berarti perubahan pada pemahaman saya ten tang agama secara umum. Maka saya pun melihat Jamaluddin sebagai idola dan panutan, sete lah sebelumnya Usman Daqnah, sehingga dengan begitu tentunya berubah pula cara yang harus ditempuh. Setelah sebelumnya akademi militer sebagai jalan keluar satu-satunya dalam panda ngan saya, maka sekarang cara damailah yang memperkenalkan saya kepada pemikiran Islam yang orisinil, yang dari sela-selanya akan muncul kebangkitan Islam.

Bagaimana Permulaannya
Pembahasan tentang cara-cara dan pemikiran yang benar dan bertanggung jawab adalah sesua tu bahasan yang sulit. Tahapan ini adalah tahapan yang sulit, meski pun pembahasan yang saya bahas bersifat spontan. Sepanjang kehidupan saya, saya sering bertanya, berdiskusi dan lain se bagainya, dan tidak ada waktu yang kosong dari pembahasan.

Setelah serangan keras yang dilancarkan oleh kaum Wahabi ter­hadap Sudan, dan pengintensifan dis kusi dan dialog, serta semakin berkembangnya pergerakan agama, mulailah tersingkap ba nyak kebenaran,dan sema kin jelas berbagai perselisihan dan pertentangan sejarah, keyakinan dan fikih. Kemudian mulailah upaya- upaya pengkafiran terhadap beberapa kelompok dan kelu ar mereka dari tali ikatan Islam, yang mendorong kepada terbentuknya mazhab-mazhab yang berbeda.

Meskipun pahit apa yang telah terjadi, namun minat saya untuk melakukan pembahasan malah semakin ber tambah, dan saya merasakan realitas pertanyaan-pertanyaan spontan yang selama ini menggangu benak saya.

Besarnya perhatian saya kepada ajaran wahabi dikarenakan diskusi-diskusi dan seminar-semi nar yang mere ka laksanakan telah menarik perhatian saya. Hal terpenting yang saya pelajari dari mereka ialah keberanian menentang ajaran yang ada. Saya pernah meyakini bahwa ajaran adalah sesuatu yang sakral, yang tidak dapat diserang dan dikritik, meskipun saya banyak mem berikan catatan terhadap kenyataan yang ada, yang dida sari oleh pertimbangan nurani dan fitrah saya.

Saya terus berjalan bersama mereka, dan banyak sekali diskusi yang terjadi diantara saya dan mereka, yang pada kenyataannya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mem bingungkan benak saya. Saya memperoleh jawaban yang memuaskan bagi sebagian pertanyaan saya, sementara jawaban sebagian yang lain tidak dapat saya temukan pada mereka. Hal ini menjadi jaminan bagi saya untuk bersimpati dan membantu mereka, namun dengan tetap diser tai beberapa catatan yang merintangi saya untuk berpegang secara penuh kepada ajaran waha bi. Yang pertama dan yang terpenting dari itu ialah saya tidak menemukan di sisi mereka apa yang dapat memenuhi cita-cita risalah saya. Kadang-kadang, rasa was-was menghinggapi diri sa ya dengan mengatakan, sesungguhnya apa yang engkau pikirkan dan yang engkau cari adalah se suatu yang utopis yang tidak ada kenyata­annya, dan ajaran wahabi adalah ajaran yang paling de kat dengan Islam yang tidak ada tandingannya.

Saya berjalan mengikuti rasa was-was ini dan sekaligus membenarkannya, disebabkan ketidak tahuan saya terhadap pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran yang lain. Namun, dengan cepat saya sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Jamaluddin tidak mungkin merupakan pemikiran wahabi. Saya pernah berteriak lantang, "Sesungguhnya ajaran wahabi adalah jalan yang paling dekat kepada Islam — disebabkan mereka mengemu kakan dalil-dalil dan nas-nas yang mem benarkan mazhab mereka, yang tidak saya temukan pada kelompok-kelompok lain di Sudan namun kesulitan mereka ialah bahwa mazhab yang mereka bangun tidak ubahnya seperti rumus-rumus matematika. Yaitu berupa kaidah-kaidah yang kaku, yang tanpa memiliki refleksi perada ban yang jelas dalam kehidupan manusia, juga dalam meng-hadapi berbagai macam tata ran kehidupan. Baik dalam tataran individu, tataran sosial, tataran ekonomi atau tataran politik, dan bahkan di dalam tata cara berhubungan dengan Allah SWT. Bahkan sebaliknya, ajaran ini menjadikan manusia menjadi liar dan terasing dari masyarakat, dan sekaligus mem berikan surat jaminan untuk mengkafirkan kelompok masyarakat yang tidak sepaham dengan mereka. Setiap orang dari mereka tidak bisa hidup bersama dengan masyarakat. Dia selalu membedakan diri dari masyarakat dengan pakaian dan tingkah lakunya. Seluruh sisi kehidupannya tidak seja lan kecuali dengan teman-temannya. Saya merasakan kesombongan dan keangkuhan dari mere ka. Mere ka memandang manusia mempunyai kedudukan yang tinggi, namun dalam kehidupan nya mereka tidak mau bekerja sama dan membaur dengan masyarakat.

Bagaimana mungkin mereka dapat bekerja sama dengan masya­rakat?! Sementara seluruh yang dilakukan ma syarakat adalah bid'ah dan sesat dalam pandangan mereka.

Saya masih ingat benar manakala bantuan wahabi masuk ke desa kami, dalam jangka waktu yang tidak berapa lama, dengan tanpa didasari pengkajian dan kesadaran, sekelompok besar dari para pemuda ikut bergabung ke dalam barisan wahabi, namun tidak berapa lama kemudian mereka semua keluar dari barisan tersebut. Menurut perkiraan saya ini disebabkan karena maz hab baru ini melarang mereka berbaur dengan masyarakat, dan mengharamkan banyak sekali ke-biasaan yang sudah mendarah daging pada diri mereka, yang sebenarnya kebiasaan itu tidak bertentangan dengan agama.

Ada baiknya saya sebutkan, bahwa salah satu di antara yang menyebabkan para pemuda yang bergabung dengan mazhab wahabi menderita ialah bahwa ada kebiasaan di desa kami, dimana para pemudanya biasa duduk-duduk di atas hamparan pasir yang bersih di saat malam-malam bulan purnama, dimana mereka meng habiskan malamnya dengan mengobrol. Saat itulah me rupakan satu-satunya kesempatan bertemu bagi para pemuda desa setelah bekerja sepanjang had di ladang dan tempat-tempat kerja lainnya. Kini pemimpin mere ka melarang perbuatan itu dan mengharamkannya, dengan alasan bahwa Rasulullah saww telah mengharam kan perbuatan duduk-duduk di atas jalan. Padahal tempat-tempat tersebut tidak terhitung jalan. Kedua, dan ini merupakan masalah seluruh orang wahabi, yaitu bahwa setiap orang dari mereka dalam waktu yang singkat dan dengan ilmu yang sedikit telah menjadi seorang mujtahid yang berhak memberikan fatwa dalam masalah apapun. Saya masih ingat, pada satu hari saya duduk berdis kusi dengan salah seorang dari mereka mengenai banyak hal. Di tengah-tengah diskusi dia bangkit berdiri setelah mendengar azan Magrib di mesjid mereka. Saya katakan kepadanya, "Sabar, kita selesaikan dulu diskusi kita." Dia menjawab, "Tidak ada lagi diskusi. Telah datang waktu salat, mari kita salat di mesjid." Saya berkata kepadanya, "Saya salat di rumah", meski pun biasanya saya selalu salat bersama mereka. Dia berteriak lantang, "Batal salat Anda." Saya merasa heran dengan kata-kata ini dan sebelum saya sempat meminta penjelasan darinya dia telah berbalik dan pergi. Saya berkata kepadanya, "Sebentar, apa yang menyebabkan salat saya di rumah batal?"

Dia menjawab dengan penuh kesombongan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak ada salat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid.'" Saya berkata kepadanya, "Tidak ada perselisihan di dalam keutamaan salat berjamaah di mesjid, namun ini bukan berarti hilangnya kesahan salat di selain tempat ini. Hadis di atas sedang menekankan keutamaan di mesjid, bukan sedang menjelaskan hukum salat di rumah. Adapun dalilnya ialah kita belum pernah melihat di dalam fikih disebut kan bahwa salah satu yang membatalkan salat ialah salat di rumah, dan tidak ada seorang pun dari fukaha yang memberikan fatwa demikian. Adapun yang kedua, dengan hak apa Anda me ngeluarkan hukum ini?! Apakah Anda seorang fakih?! Karena sulit sekali bagi seorang manusia untuk bisa memberikan fatwa dan menjelaskan hukum tentang permasalahan tertentu. Seorang fakih harus mempelajari seluruh nas yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dia harus menge tahui petunjuk perintah (dilalah al-amr) dan petunjuk larangan (dilalah an-nahy) di dalam nas. Apakah perintah menunjukkan kepada hukum wajib atau hukum mustahab, apakah larangan menunjukkan kepada hukum haram atau hukum makruh. Sungguh, agama ini amat dalam, ma ka selamilah dengan kehati-hatian."

Tampak kegusaran pada wajahnya. Dia cemberut dan berkata, "Anda telah mentakwil hadis, dan takwil itu haram." Lalu dia pun pergi.

Saya serahkan urusaan saya kepada Allah SWT dari manusia dungu seperti ini, yang tidak me ma hami apa pun.

Pikiran inilah yang menjadi penyebab kedua yang menghalangi saya menjadi seorang wahabi, meski pun saya banyak terpengaruh dengan pikiran-pikiran mereka dan membelanya.

Dalam keadaan ini untuk beberapa waktu, saya bingung dan tidak mempunyai arah. Terkadang saya mendekati mereka dan terkadang pula saya menjauhi mereka. Saya melihat bahwa jalan satu-satunya yang ada di hadapan saya —sebagai ganti dari sekolah di akademi militer— ialah sa ya harus belajar di fakultas atau universitas Islam, sehingga saya dapat melanjutkan pengka jiaan saya dengan lebih teliti. Setelah menyelesaikan ujian masuk universitas, di mana di sana terdapat enam universitas atau institut yang diminati oleh para mahasiswa, saya memilih fakul tas Islam. Kini, saya telah selesai diterima di salah satu fakultas Keislaman (yaitu fakultas studi Islam dan bahasa Arab di universitas Wadi an-Nil di Sudan). Saya sangat senang dengan pene rimaan ini. Setelah menunaikan latihan kemiliteran (bela negara) —yang tidak mungkin sese orang dapat memasuki perguruan tinggi kecuali setelah menunaikan latihan militer ini— mulai lah para utusan dari seluruh penjuru Sudan datang ke Universitas, dan saya termasuk yang per tama dari mereka. Pada saat interview, direktur fakultas bertanya kepada saya, tokoh mana yang Anda kagumi? Saya katakan kepadanya, "Jamaluddin", dan saya jelaskan kepadanya alasan saya mengaguminya. Direktur fakultas merasa puas dengan jawaban saya. Setelah banyak mendapat pertanyaan, akhirnya secara resmi saya pun diterima di fakultas. Di fakultas, saya sering mengunjungi perpustakaan, terdapat banyak buku-buku dan ensiklopedia yang te bal-tebal. Akan tetapi, kesulitan yang saya hadapi ialah dari mana saya harus mulai? Dan apa yang harus saya baca?

Saya tetap dalam keadaan ini, berpindah dari suatu buku ke buku yang lain, tanpa mempunyai program yang jelas. Salah seorang dari kerabat saya telah membukakan pintu yang luas dan pen ting di dalam pembahasan dan penyelidikan, yaitu mempelajari sejarah dan mengkaji mazhab-mazhab Islam, untuk bisa mengetahui kebenaran di antara mereka. Sungguh ini merupakan pertolongan Allah SWT yang tidak saya duga, saya bisa bertemu dengan kerabat saya Abdul Mun'im —dia lulusan fakultas hukum— di rumah paman saya di kota Athbarah. Saat itu dia sedang berbincang-bincang di halaman rumah dengan seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang merupakan tamu di rumah paman saya. Saya menajamkan pendengaran saya untuk bisa melndengar apa yang sedang mereka perbincangkan.... Dengan segera saya menuju kepada mereka manakala saya tahu topik yang menjadi perbincangan mereka adalah masalah-masalah agama. Saya duduk di dekat mereka, dan memperhatikan perkembangan perbincangan. Tam pak sekali Abdul Mun'im begitu tenang di dalam perbincangan tersebut, meski pun begitu gen car provokasi dan serangan dari pihak lawan. Saya tidak mengetahui secara menyeluruh watak diskusi yang sedang berlangsung, hingga akhirnya anggota Ikwanul Muslimin itu berkata, "Sy'i ah itu kafir dan zindiq!!"

Di sini saya mulai mengerti, dan timbul pertanyaan di benak saya....

Siapakah Syi'ah itu? Kenapa mereka kafir?

Apakah Abdul Mun'im orang Syi'ah?

Apa yang dikatakannya sesuatu yang asing. Apakah itu perkataan Syi'ah?!

Harus diakui bahwa Abdul Mun'im telah dapat mengalahkan lawannya pada setiap masalah yang dikemukaan di dalam diskusi, di samping tampak sekali kemampuan logika dan kekuatan argumentasinya.

Setelah selesai diskusi dan mengerjakan salat magrib, saya mendekati Abdul Mun'im. Saya ber tanya kepadanya dengan penuh hormat, "Apakah Anda seorang Syi'ah? Siapakah orang Syi'ah itu? Dan, dari mana Anda mengenal mereka?"

Abdul Mun'im berkata, "Pelan-pelan, satu pertanyaan demi satu pertanyaan”.

Saya berkata kepadanya, "Maaf, saya masih bingung dengan apa yang saya dengar dari Anda."

Abdul Mun'im menjawab, "Ini sebuah pembahasan yang panjang, yang merupakan hasil kerja ke ras selama empat tahun, dan itu pun masih belum sampai kepada kesimpulan yang diinginkan."

Saya potong pembicaraannya, "Kesimpulan apakah itu?"

Abdul Mun'im menjawab, "Kita hidup di atas timbunan kebodohan dan pembodohan sepanjang hidup kita. Kita berjalan di bela kang masyarakat kita dengan tanpa bertanya, apakah agama yang ada di sisi kita ini ada lah yang dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu Islam? Setelah me lakukan pengkajian, menjadi jelas bagi saya bahwa kebenaran sejauh dalam pandangan saya, yai tu Syi'ah.

Saya berkata kepadanya, "Mungkin Anda tergesa-gesa, atau Anda salah... !"

Mendengar itu dia tersenyum sambil berkata, "Kenapa Anda sendiri tidak mengkajinya dengan teliti dan penuh kesabaran? Apalagi Anda mempunyai perpustakaan di universitas, yang akan memberikan manfaat yang banyak sekali kepada Anda."

Saya berkata dengan penuh keheranan, "Perpustakaan kami perpustakaan Ahlus Sunnah, ba gaimana mungkin saya dapat mengkaji Syi'ah?"

Abdul Mun'im menjawab, "Salah satu bukti dari kebenaran Syi'ah ialah mereka berargumentasi atas kebe naran mereka dengan menggunakan kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah. Karena di dalam nya banyak sekali hal-hal yang menjelaskan kebenaran mereka dengan je las sekali."

Saya menimpali, "Kalau begitu, sumber-sumber rujukan Syi'ah adalah sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah itu sendiri?"

Abdul Mu'im menjawab, "Tidak, Syi'ah mempunyai sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya ber kali-kali lipat dibandingkan sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dan semua nya diriwayatkan dari Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demi-kian, mereka berargu mentasi kepada Ahlus Sunnah dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di dalam sum ber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dikarenakan Ahlus Sunnah tidak percaya kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau mereka harus berhujjah dengan apa-apa yang diya kini oleh kalangan Ahlus Sunnah."

Pembicaraannya menyenangkan saya dan membuat saya tambah berminat untuk melakukan pembahasan. Saya tanya kepadanya, "Kalau begitu, bagaimana saya harus memulai?"

Abdul Mu'in menjawab, "Apakah di perpustakaan Anda terdapat kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad, Turmudzi dan Nasa'i?"

Saya menjawab, "Tentu saja, di perpustakaan kami terdapat sekumpulan besar kitab-kitab ha dis rujukan."

Abdul Mu'im berkata, "Mulailah dari sini. Kemudian, bacalah kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab sejarah, kare na di dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya me ngikuti ajaran Ahlul Bait as."

Mulailah dia menyebut beberapa contoh darinya, dengan tidak lupa menyebutkan sumbernya, sekaligus de ngan nomer jilid dan nomer halamannya. Saya terheran-heran. Dengan penuh per hatian saya mendengarkan hadis-hadis yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya ragu apakah hadis-hadis ini benar-benar ada di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Namun dengan se gera Abdul Mun'im memotong keraguan saya itu dengan mengatakan, "Catat hadis-hadis ini oleh Anda, dan kemudian carilah di perpustakaan. Nanti kita ketemu lagi pada hari Kamis yang akan datang —Insya Allah.''

Pada Hari Jumat
Setelah saya merujuk hadis-hadis tersebut ke dalam Sahih Bukhari, Muslim dan Turmudzi di perpustakaan universitas kami, saya menjadi yakin akan kebenaran apa yang dikatakannya. Saya kaget dengan serangkaian hadis-hadis lain yang lebih menunjukkan kepada wajibnya me ngikuti Ahlul Bait, yang membuat saya menjadi shok. Kenapa kita belum pernah mendengar ha dis-hadis ini sebelumnya?!

Maka saya pun menunjukkan serangkaian hadis ini kepada sebagian teman-teman saya, supaya mereka pun ikut serta berpartisipasi di dalam kesulitan ini. Sebagian dari mereka memberikan perhatian, sementara seba giannya lagi tidak begitu peduli. Namun saya telah bertekad untuk melanjutkan pengkajian, meski pun untuk itu saya harus menghabiskan seluruh umur saya. Keti ka tiba hari Kamis, saya pergi ke Abdul Mun'im. Dia me nyambut kedatangan saya dengan penuh senang hati. Dia berkata, "Anda tidak boleh tergesa-gesa, Anda ha rus melanjutkan pengkajian Anda dengan penuh kesadaran."

Kemudian kami mulai membahas permasalahan-permasalahan lain yang beraneka macam, dan itu terus berlangsung hingga Jumat sore. Saya banyak mendapatkan manfaat dari pembahasan-pembahasan itu, dan ba nyak mengetahui sesuatu yang sebelumnya saya tidak ketahui. Sebelum saya kembali ke kampus dia meminta saya untuk membahas beberapa masalah. Demikianlah hal itu berlangsung hingga beberapa waktu. Diskusi yang berlangsung di antara saya dengan dia selalu berubah dari waktu ke waktu. Terkadang saya berbicara keras kepadanya, dan terkadang saya membantah beberapa permasalahan yang sudah amat jelas. Sebagai contoh, ketika saya merujuk beberapa hadis di dalam kitab-kitab rujukan, dan saya meyakini keberadaannya, saya katakan kepadanya, "Hadis-hadis ini tidak ada." Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang mendorong saya melakukan itu, selain dari pe-rasaan merasa terdesak dan menginginkan keme nangan.

Dengan cara ini, dan dengan semakin bertambahnya pembahasan, tersingkaplah kebenaran di hadapan saya yang tidak saya perkirakan sebelumnya. Sepanjang periode ini saya banyak me lakukan diskusi dengan te man-teman. Ketika meraka tidak mampu lagi menghadapi saya, me reka meminta saya untuk berdiskusi de ngan doktor yang mengajarkan mata kuliah ilmu fikih kepada kami. Saya katakan, "Tidak ada halangan bagi saya, namun terdapat penghalang di anta ra saya dengan dia yang menghalangi saya dapat berbicara bebas de ngannya." Mereka tidak merasa puas dengan jawaban saya. Mereka mengatakan, "Di antara kami dan Anda ada dosen, jika argumentasi Anda dapat memuaskannnya maka kami akan bersama Anda..!"

Saya katakan, "Yang menjadi masalah bukanlah memuaskan atau tidak memuaskan, yang men jadi masalah ialah dalil dan argumentasi, dan pencarian akan kebenaran...."

Pada permulaan mata kuliah fikih mulailah saya berdiskusi dengan dosen saya dalam bentuk me ngajukan per tanyaan-pertanyaan. Nampak dia tidak banyak menentang saya, bahkan sebalik nya dia menekankan kecin taan kepada Ahlul Bait as dan keharusan mengikuti mereka, serta me nyebut keutamaan-keutamaan mereka. Selang be­berapa hari dia meminta saya untuk menemui nya di kantornya, di kantor pusat universitas. Setelah saya pergi menemuinya, dia menyodor kan kepada saya sebuah kitab yang terdiri dari beberapa juz, yaitu kitab Sahih al-Kafi, yang ter masuk kitab rujukan hadis yang paling dipercaya di kalangan Syi'ah. Dia meminta kepada saya untuk tidak semberono terhadap kitab ini, karena kitab ini merupakan warisan dari Ahlul Bait. Saya tidak dapat berbicara sepatah kata pun karena saking gugupnya, lalu saya ambil kitab itu dan mengu capkan terima kasih kepadanya. Saya pernah mendengar kitab ini namun saya belum pernah melihatnya. Hal ini menjadikan saya ragu apakah doktor ini seorang Syi'ah, meski pun saya tahu dia itu seorang Maliki. Sete lah bertanya ke sana ke mari, menjadi jelas bagi saya bah wa dia itu se­orang sufi yang mencintai Ahlul Bait as.

Ketika teman-teman saya melihat kesesuaian di antara saya dengan dosen tersebut, mereka me minta kepada saya untuk berdiskusi dengan dosen lain, yang mengajarkan mata kuliah hadis. Dosen mata kuliah hadis terse but adalah seorang laki-laki yang taat beragama, sangat tawadu dan baik akhlaknya. Saya amat mencintainya. Maka saya pun memenuhi permintaan mereka. Mulailah terjadi diskusi di antara kami dalam banyak masalah. Saya menanyakan kepadanya tentang kesahihan beberapa hadis, dan dia pun menguatkan kesahihan ha dis-hadis tersebut. Setelah berjalan beberapa waktu, saya merasakan ketidaksukaan dia dengan diskusi-dis kusi saya, dan begitu juga teman-teman saya merasakan hal yang sama. Maka saya pun berpikir bahwa cara yang paling baik untuk melanjutkan diskusi ialah melalui tulisan. Lalu saya tulis se kumpulan hadis dan riwayat yang menunjukkan secara jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait as, dan saya minta kepadanya untuk mem bahas kesahihan hadis-hadis ini. Setiap hari saya me minta jawaban darinya, namun dia membela diri dengan mengatakan tidak ada pembahasan. Sa ya terus mengikutinya dengan cara ini, hingga dia merasakan rasa ke gelisahan saya.

Dia mengatakan kepada saya, "Semuanya sahih."

Saya katakan, "Semuanya jelas menunjukkan wajibnya mengikuti Ahlul Bait."

Dia tidak menjawab, melainkan bergegas pergi ke kantor. Tindakannya ini merupakan gonca ngan bagi saya, dan menjadikan saya merasakan kebenaran akan perkataaan Syi'ah. Namun sa ya ingin perlahan-lahan dan tidak ingin tergesa-gesa di dalam memutuskan.

Kebetulan, dekan fakultas kami adalah Profesor 'Alwan. Dia mengajar mata kuliah tafsir bagi ka mi. Pada suatu hari dia berbicara tentang tafsir firman Allah SWT yang berbunyi, "Seorang pe minta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi",

"Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala berada di Ghadir khum dia menyeru manusia, maka me reka pun ber kumpul. Lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as seraya berkata, 'Barang siapa yang aku sebagai pe mimpinnya maka inilah Ali sebagai pemimpinnya.' Berita itu pun ter sebar ke seluruh pelosok negeri, dan sam  pai kepada Harits bin Nukman al-Fihri. Lalu dia men datangi Rasulullah saw dengan menunggang untanya. Ke mudian dia menghentikan untanya dan turun darinya. Harits bin Nukman al-Fihri berkata,

'Hai Muhammad, kamu telah menyuruh kami tentang Allah, supaya kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa kamu adalah utusan-Nya, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menu naikan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menunaikan zakat, dan kami pun menerimanya. Kamu peritahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadhan, dan kami pun meneri manya. Kamu perintahkan kami untuk melaksakan ibadah haji, dan kami pun menerimanya. Kemudian kamu tidak merasa puas dengan semua ini sehingga kamu mengangkat tangan sepupumu dan mengutamakannya atas kami semua dengan mengatakan, 'Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pe mimpinnya. 'Apakah ini dari kamu atau dari Allah?'

Rasulullah saw menjawab, 'Demi Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah SWT.' Mendengar itu Hants bin Nukman al-Fihri berpaling dari Rasulullah saw dan bermaksud menuju ke kendaraannya sambil berkata, 'Ya Allah, seandainya apa yang di katakan Muhammad itu benar maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.' Maka sebelum Harits bin Nukman al-Fihri sampai ke kendara­annya tiba-tiba Allah menurunkan sebuah batu dari langit yang tepat mengenai ubun-ubunnya dan ke mudian tembus keluar dari duburnya, dan dia pun mati. Kemudian Allah SWT menurun kan firman-Nya,

'Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.' "[2]

Setelah selesai pelajaran salah seorang teman saya menemuinya dan berkata kepadanya, "Apa yang telah Anda katakan adalah perkataan Syi'ah." Bapak dekan tertegun sejenak, kemudian me mandang ke arah pemerotes seraya berkata, "Panggil Mu'tashim ke ruang kantor...!"

Saya merasa heran dengan permintaan ini, dan merasa takut bertemu bapak dekan. Namun saya cepat-cepat menguasai diri saya dan pergi menemuinya. Sebelum sempat saya duduk, ba pak dekan berkata kepada saya, "Anda orang Syi'ah!"

Saya menjawab, "Saya semata-mata hanya seorang yang sedang mengkaji."

Bapak dekan berkata, "Pengkajian itu sesuatu yang bagus, dan sesuatu yang harus."

Bapak dekan mulai menyebutkan beberapa kecurigaan tentang Syi'ah yang banyak disebut orang. Namun dengan pertolongan Allah SWT saya bisa menjawab semua itu dengan sekuat-kuatnya dalil dan argumentasi, dan dapat lancar berbicara melebihi dari yang saya duga. Sebe lum menutup pembicaraan kami, dia berpesan kepada saya akan kitab al-Muraja 'at. Dia menga takan, "Kitab al-Muraja 'at termasuk kitab yang bagus dalam hal ini."

Setelah saya membaca kitab al-Muraja 'at, Ma'alim al-Madrasatain dan beberapa kitab yang lain, maka kebenaran pun menjadi jelas bagi saya dan tersingkaplah kebatilan dari hadapan sa ya, disebabkan dalil-dalil yang jelas, dan argumentasi-argumentasi yang terang, yang menun jukkan kebenaran mazhab Ahlul Bait as, yang terkandung di dalam kedua kitab ini. Dengan begi tu, kekuatan saya di dalam berdiskusi dan mengkaji pun menjadi semakin bertambah, sehingga Allah SWT membukakan cahaya kebenaran di dalam hati saya, dan saya pun mengumumkan Ke syi'ahan saya.

Selanjutnya mulailah periode baru dari pergumulan. Orang orang yang tidak mampu berdiskusi, mereka tidak menemukan jalan lain selain dari jalan olok-olok, caci maki, ancaman, fitnah dan jalan-jalan kebodohan lainnya. Saya serahkan seluruh urusan saya kepada Allah SWT, dan saya sabar dengan apa yang terjadi, meskipun serangan-serangan yang dialamatkan kepada saya itu berasal dari teman-teman saya, yang telah mengharamkan makan dan tidur dengan saya dalam satu atap.

Mereka mengasingkan saya secara penuh, kecuali sebagian teman yang lebih paham dan lebih terbuka. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya saya bisa menormalkan kembali hubungan saya dengan semuanya, dan dalam bentuk yang lebih baik dari yang semula. Bahkan saya men jadi orang yang dihormati dan dihargai di tengah-tengah mereka. Sebagian mereka meminta per timbangan saya di dalam setiap masalah yang kecil maupun yang besar, dari masalah-masalah kehidupannya. Namun ini semua tidak berlangsung lama. Api fitnah pun kembali menyala, sete lah tiga orang mahasiswa lainnya mengumum­kan Kesyi'ahan mereka, di samping sekelompok besar mahasiswa yang menampakkan simpati dan dukungan mereka kepada Syi'ah. Serang kaian konflik dan guncangan pun mengelilingi kami, dan kami menghadapi semua itu dengan ber pegang teguh kepada akhlak dan hikmah, sehingga kami mampu menghilangkan kemarahan de ngan sesegera mungkin.

Selanjutnya






Tidak ada komentar:

Posting Komentar