WILAYAT AL-FAQIH SEBUAH KONSEP
PEMERINTAHAN TEO-DEMOKRASI
by
Khalid Al-Walid
Jurnal
Review Politik Volume 03, No 01, Juni 2013
Dalam
prinsip Syi‟ah, otoritas dan kedaulatan hanya hak
prerogatif Allah (QS al-A‟raf: 54, al-Imran: 154, Yusuf: 40). Baru
kemudian Allah mendelega sikan Nabi Saww. (QS al-Nisa: 80, al-Ahzab: 36).
Abstract
The political system of wilayatul faqih
was a new scientific discourse in the political world of Islam. This research
seeks to explore the meaning of wilayatul faqih, as well as its association
with the concept of theodemocracy. The findings of this study indicate that
wilayatul faqih was the highest leadership held by a jurist who has qualified
to lead the community in a country (Iran) during the period of Imam al-Mahdi
raptures.Wilayatul faqih principle associated with awareness of the possibility
of absolutism of a faqih. Therefore, the system wilayatul faqih in Iran coupled
with the republican system. The incorporation of the systems led to a
theo-democratic form of government. Thus, although the system wilayatul faqih
implement the teachings of the Lord, which may have occurred errors and
irregularities, but there are assemblies faqih that contains the scholars and
intellectuals in charge of selecting and overseeing the performance of and
policy faqih. Keywords: Imamate, marja'iyyah, wilayat al-faqih, theo-democracy
Abstrak
Sistem politik wilayatul faqih adalah
wacana ilmiah yang baru dalam dunia politik Islam. Riset ini berupaya menggali
makna wilayatul faqih berikut keterkaitannya de ngan konsep teo-demokrasi.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa wilayatul fa qih adalah kepemimpinan
tertinggi yang dipegang oleh seorang faqih yang telah memenuhi kualifikasi
tertentu untuk memimpin umat selama periode keghaiban Imam al-Mahdi. Prinsip
wilayatul faqih ini digali dari kesadaran akan munculnya berbagai kemungkinan
yang terjadi, seperti absolutisme dari seorang faqih. Oleh karena itu, dalam
sistem wilayatul faqih di Iran, dipilih sistem republik. Penggabu ngan ini
melahirkan bentuk pemerintahan yang mirip dengan teo-demokrasi. Dalam mengawasi
kinerja dan kebijakan faqih dibentuk majelis faqih, yakni majelis yang
berisikan para ulama dan cendekiawan. Kata
Kunci: Imamah, marja’iyyah, wilayat
al-faqih, teo-demokrasi
Pendahuluan
Ayatullah
Ruhullah al-Musawi al-Khomeini atau Imam Khomeini adalah sosok yang luar biasa
besar pada Abad ini. Dalam usianya yang hampir satu kurun ia mampu menggetarkan
sendi-sendi jagat raya dengan menumbangkan sebuah rezim yang didukung penuh
oleh kekuatan adi daya Amerika. Rezim yang telah menjadikan Iran sebagai
kekuatan ke-5 di dunia masa itu, dan memerintah Iran dengan kekua tan tangan
besinya dapat tumbang begitu saja oleh gelombang revolusi. Bahkan Amerika yang
mendukung penuh rezim Syah Reza Pahlevi tidak dapat merubah takdir kemenangan
Revolusi Islam Iran. Revolusi itu bukan hanya menggulung rezim yang berkuasa
sebelumnya, akan tetapi juga merubah politik dunia dan menghem buskan angin
semangat kebangkitan Islam di seluruh penjuru dunia dan menjadi simbol
perlawanan kaum mustad’afin terhadap kaum mustakbirin.
Lebih
menakjubkan lagi, referendum rakyat Iran sepakat untuk melakukan eksperi men
dengan menjadikan sistem politik wilayat al-faqih sebagai model pemerinta han
Iran berikutnya. Disebut eksperimen karena baru inilah model pemerintahan
wilayat al-faqih dijadikan sebuah sistem pemerintahan sebuah negara di dunia
mo dern. Sistem ini tentu membawa kontroversi di kalangan pemikir dunia sehingga
memancing banyak komentar terutama tentu dikalangan pemikir muslim. Karena
selama ini konsep ketatanegaraan Islam selalu merujuk kepada al-Mawardi atau pun
al-Maududi dan Muhammad Iqbal. Tetapi dengan hadirnya sistem wilayat al-faqih,
hadir sebuah sistem ketatanegaraan Islam yang tidak pernah dikenal selama ini.
Jika
diteliti secara lebih mendalam, akan ditemukan bahwa sistem ini bukan sistem
yang asing, karena sistem ini berang– kat dari konsep dasar aqidah Syi‟ah yaitu Imamah.
Imamah adalah prinsip dasar dari mazhab Syi‟ah. Prinsip dasar ini yang membedakan antara mazhab Syi‟ah dan mazhab
Ahlussunnah. Dalam keyakinan Syi‟ah, Rasulullah tidak membiarkan ummat Islam berada dalam
kekacauan tanpa seorang pemimpin setelahnya, dan pemimpin yang ditunjuk itu
adalah Ali bin Abi Thalib dengan sebelas keturunannya. Pada periode Imam ke-12
terjadi keghaiban (ocultation) dalam dua tahap, keghaiban sughra dan keghaiban
kubra. Pada masa keghaiban sughra, Imam al-Mahdi masih menunjuk empat orang
naib (wakil) yang berfungsi sebagai perantara antara dirinya dengan ummat.
Sedang pada masa keghaiban kubra, Imam tidak menunjuk seorang pun sebagai naib
atau perantaranya. Pada masa ini peran seorang faqih menjadi sangat
substansial, karena urusan keagamaan, sosial, ekonomi, dan politik dikendalikan
oleh seorang faqih. Karena itu secara de facto, faqih mengemban peran sebagai
pemimpin ummat sebagaimana peran para naib Imam pada periode keghaiban sughra.
Dasar-dasar
Wilayat Al-faqih; Negara Islam
Sulit
untuk menemukan sumber pertama yang mengangkat isu ini, karena secara
substansial isu ini dapat dilacak mulai dari masa awal Islam baik ketika terjadi
kontroversi kepemimpinan Islam, maupun pasca perang Siffin yang membuat tiga
partai besar ummat Islam dengan konsep
kepemimpinan tersendiri. Negara Islam adalah sebuah bentuk negara yang
menjadikan Islam sebagai landasan ideologi dan hukum bagi pelaksanaan
pemerintahan negara tersebut. Hal ini juga sebagai mana yang dirumuskan oleh
Muhammad Ali Taskhiri dalam kitabnya ad-Daulah Isla miyah. Meskipun demikian,
negara-negara yang mendasarkan dirinya pada Islam secara lebih tepat sebenarnya
melandaskan dirinya terhadap interpretasi pendiri maupun pemikir negeri itu
terhadap Islam. beberapa argumentasi tentang keharu san negara Islam yang
ditulis beberapa pemikir Islam termasuk tentunya Imam Khomeini. Argumentasi tersebut adalah sebagai
berikut:
Pertama, Islam memiliki dasar bimbingan
dan petunjuk, amar ma’ruf nahi munkar. Islam memiliki aturan penetapan hukum
kriminal, aturan sosial dan masyarakat yang tidak hanya dalam persoalan
personal antara seorang hamba dengan Tuhannya tetapi hubungan dengan sesamanya,
Islam mem berikan petunjuk terha dap jalan yang harus ditempuh dan disampingnya
ter dapat tuntutan tanggung jawab, Islam datang berhadapan dengan semua
keyakinan dan memerangi keza liman dan kebatilan, maka tidak mungkin Islam tidak
memiliki sistem pemerintahan dan politik sendiri (Amuli, 1378:1).
Kedua,
kumpulan dari aturan-aturan untuk memperbaiki masyarakat tidak cukup, karena
itu diperlukan juga kekuatan untuk merealisasikannya. Atas dasar ini, Allah di samping mewahyukan sekumpulan
aturan-aturan yang disebut hukumhukum syari‟at, juga menetapkan sarana pelaksanaan dan pengaturan
(pemerintahan). Demikian pula yang dilakukan Rasulullah (Khomeini, 1373: 22).
Ketiga, dalam fiqh terdapat banyak aturan yang
berkaitan dengan kehidu pan sosial, seperti misalnya hukum harta benda dan
pajak, hukum memper tahankan negara atau hukum penegakan hak-hak serta hukuman
terhadap pelanggaran, yang semua itu tidak mungkin terlaksana kecuali dengan
ada nya negara Islam.
Keempat, Nabi Muhammad mendirikan pemerintahan
dengan Madinah se bagai pusat pemerintahannya. Madinah merupakan contoh dasar
dari nega ra Islam, dimana ajaran Islam menjadi rujukan dalam pengaturan dan pe
ngendalian. Madinah dan Rasulullah langsung sebagai pemimpin utama. Se lain
argumentasi aqliah di atas ada banyak dalil naqliah yang dikemukakan oleh
pemikir-pemikir Islam yang sepakat dengan wacana negara Islam, yang tidak dapat
disebutkan pada kesempatan ini. Dengan argumentasi-argumen tasi di atas, dapat
disimpulkan pentingnya pendirian negara Islam.
Selain
pentingnya pendirian negara Islam, konsep imamah dan Marja’iyah memiliki peran
sentral dalam konsep wilayat al-faqih. Karena pada prinsip nya, wilayat
al-faqih adalah cerminan dari prinsip imamah dan marja>i yah . Imamah adalah
ushul mazhab yang utama membedakan Ahlussunnah dan Syi‟ah. Dalam prinsip Syi‟ah, otoritas dan
kedaulatan hanya hak prerogatif Allah (QS al-A‟raf: 54, al-Imran: 154, Yusuf: 40). Baru kemudian Allah mendele gasikan
Nabi Saw. (QS al-Nisa: 80, al-Ah zab: 36). Setelah berakhirnya nubuw wah,
hak-hak tersebut beralih kepada ulu al-amr yang dalam keyakinan Syi‟ah, mereka adalah para
Imam Ahlul Bait. Selain itu Keyakinan ini didasari asumsi sebagai berikut.
Pertama, tidak mungkin Rasulullah meninggalkan
ummat begitu saja tanpa menunjuk pemimpin ummat setelahnya padahal Rasulullah
Saw mengetahui akan terjadi fitnah yang besar dalam persoalan ini. Sebagai
contoh dalam hal ini hadis 73 golongan.
Kedua,
banyaknya isyarat Al-Qur‟an
dan al-Hadis yang merujuk Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunannnya sebagai
Imam setelah Rasulullah. Dalil-dalil yang memberikan isyarat tersebut antara
lain al-Qur‟an
surat al-Ma‟idah
ayat 55. Berdasarkan hadis-hadis dan
asbabun nuzul ayat tersebut, orang tersebut adalah Imam Ali bin Abi
Thalib.
Ketiga,
hadis manzilah yang diriwayatkan Imam Bukhari meriwayatkan bah wa Rasulullah
bersabda, “Ya Ali tidakkah engkau ridha kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan
Harun di sisi Musa, akan tetapi tidak ada Nabi setelahku”. Kedudukan Harun di sisi Musa disebutkan
dalam al-Qur‟an Surat Thaha ayat 29-32, “Jadikanlah bagiku wakil dari keluargaku,
Harun saudaraku....”
Keempat, hadis Ghadir Khum. Pada
peristiwa haji wada‟, Rasulullah menyam pai kan khutbah di
sebuah tempat yang disebut Ghadir Khum. Di antara khut bah ter sebut Rasulullah
Saww bersabda, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla (pemimpinnya)
maka Ali adalah pemimpinnya.” Selain isyarat tentang ima mah Ali bin Abi Thalib,
ada banyak hadis lain yang mem berikan isyarat tentang 12 pemimpin setelah
Rasulullah. Hadis tersebut antara lain, “Tidak akan hilang kemu liaan agama
selama ada 12 khalifah.” Demikian juga hadis, “Pemimpin setelahku ada dua
belas.” Selain hadis di atas, ada banyak hadis-hadis juga yang menyebut kan
secara khusus nama-nama dari ke dua belas Imam tersebut. Dalam hal ini kita
dapat merujuk kitab Yanabi’ al-Mawaddah yang ditulis oleh Allamah al-Qunduzi
al-Hanafi.
Kedua belas Imam tersebut adalah Imam
Ali bin Abi Thalib, Imam al-Hasan bin Ali, Imam al-Husain bin Ali, Imam Ali
Zaynal Abidin bin Ali, Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali, Imam Ja‟far As-Shadiq bin Muhammad, Imam Musa
al-Kadzim bin Ja‟far, Imam Ali Ar-Ridho Bin Musa, Imam
Muhammad alJawad bin Ali, Imam Ali An-Naqi bin Muhammad, Imam Hasan al-Askari
bin Ali, dan Imam Muhammad al-Mahdi bin Hasan. Imam Muhammad al-Mahdi, adalah
al-Mahdi sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah sebagai pemimpin akhir zaman
yang akan menegakkan keadilan di seluruh penjuru dunia. Selama periode ini,
Imam al-Mahdi mengalami dua keghaiban seperti yang telah dijelaskan di
sebelumnya.
Keghaiban pertama disebut dengan
keghaiban sughra, dan keghaiban kedua disebut dengan keghaiban kubra. Pada Masa
Keghaiban sughra, Imam al-Mahdi menunjuk empat orang wakilnya yang bertugas
menjadi perantara antara dirinya dengan ummatnya. Keempat wakil tersebut adalah
Utsman bin Sa‟id al-Amri (260 H/874 M), Muhammad bin
Utsman al-Amri (w. 304H/916 M), Husain bin Ruh an-Naubakhti (w. 326 H/937 M),
dan Ali bin Muhammad al-Samari (w. 329 H/940 M).
Setelah wafatnya wakil keempat, Imam
Al-Mahdi memasuki periode keghaiban kubra dan akan muncul kembali pada akhir
zaman. Dalam periode ini, para ulama atau fuqaha yang memiliki peran
untuk membimbing ummat baik dalam persoalan keagamaan maupun sosial politik.
Mereka memegang otoritas kepemimpinan ummat mewakili Imam al-Mahdi dalam masa
keghaibannya. Ummat menjadikan para faqih sebagai rujukan dalam kehidupan
mereka dan melakukan taqlid dalam persoalan fiqhiyyah serta menyerahkan khumus
kepada fuqaha yang menjadi rujukan mereka.
Karena
itu muncul sebuah konsep baru pada masa itu, yaitu marja’iyyah. Seorang faqih
yang sudah mencapai posisi sebagai mujtahid, menjadi marja’ taqlid (rujukan)
dari para pengikutnya. Dalam setiap masa ada satu atau beberapa orang marja’
taqlid. Di antara mereka ada satu yang menjadi rujukan utama dari semua, baik
karena ilmu yang dimiliki maupun kesucian diri. Secara khusus marja’ taqlid
yang utama itulah yang memimpin ummat dalam seluruh persoalannya termasuk dalam
upaya penentangan terhadap pemimpin yang zalim. Salah satu dari marja’ taqlid
yang utama itu adalah Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini, yang kemudian
berhasil memimpin rakyat Iran untuk melakukan revolusi Islam dan berhasil
melahirkan konsep wilayat al-faqih.
Konsep
Wilayat al-Faqih Bagi seorang Syi‟ah, bukanlah sesuatu yang asing ide wila yat al-faqih yang
dikemukakan Imam Khomeini. Konsep wilayat al-faqih dikemuka kan Imam Khomeini
ketika berada di Najaf Irak melalui ceramah-ceramahnya dari tanggal 13
Zulqaidah 1389 sampai dengan 2 Zulhijjah 1389. Secara sederhana su dah
didapatkan gambaran umum bahwa yang dimaksud Imam Khomeini dengan wilayat
al-faqih tidak lebih dari sebuah bentuk kepemimpinan faqih (ahli agama) selama
masa keghaiban Imam. Otoritas yang dimiliki oleh seorang faqih sama dengan otoritas
imam, hanya saja seorang faqih tidak ma’sum (terjaga dari dosa) sebagaimana
imam dan berdasarkan hasil pemilihan dewan ahli (Majelis Khubre gan) bukan
berdasarkan penetapan. Karena dalam pandangan Imam Khomeini, tidak mungkin
Allah membiarkan ummat ini tanpa pemimpin yang membimbing mereka dalam
melaksanakan hukum-hukum Tuhan.
Sebelumnya
sudah dikemukakan beberapa argumen pentingnya negara Islam. Imam Khomeini
memandang bahwa negara Islam hanya dapat dijalankan jika yang menjadi pemimpin
tertingginya adalah seorang faqih, karena faqih adalah orang yang pantas dan
memiliki otoritas untuk itu. Negara Islam haruslah menjadi cerminan dari
pelaksanaan prinsip-prinsip Islam, dan prinsip utama dalam kepemim pinan adalah
Imamah. Meskipun ada pandangan bahwa urusan kepemimpinan politik mutlak milik
Imam al-Mahdi, dan dalam masa keghaibannya tidak ada yang memiliki otoritas
tersebut, akan tetapi dalam pandangan Imam Khomeini, hal itu sangat tidak
berdasar dan keliru.
1. Siapakah al-Faqih?
Untuk menjelaskan siapakah yang dimaksud dengan faqih, “Imam“
Khomeini mengutip beberapa hadis dan riwayat Imam Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi
berkata:
“Ya
Allah kasihilah para khalifahku (tiga kali). Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah
sia pakah khalifahmu?‟
Rasulullah bersabda, “Mereka yang datang
kemudian sete lahku, meriwayatkan hadits dariku, dan mengajarkannya kepada
manusia sete lahku.”
Dalam
penjelasan hadits ini, Imam Khomeini menyatakan bahwa yang dimaksud Rasulullah
sebagai khalifahnya adalah para faqih, karena dalam hadis lain Rasu lullah
bersabda, “Barang siapa menjaga atas umatku empat puluh hadits, Allah akan
menjadikannya seorang faqih.” (Imam Khomeini, 1373: 52)
Hadis
lain yang dikemukakan Imam Khomeini,
“Fuqaha adalah pengemban ama nah para Rasul jika mereka belum memasuki
dunia. Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau maksud dengan
sebelum mereka memasuki dunia?” Rasulullah bersabda, “menaati sultan, jika
mereka melakukannya maka jagalah agama kalian dari mereka” (Imam Khomeini, 1373: 58).
Imam
Khomeini dengan hadits ini ingin menjelaskan bahwa para ulama sebagai pewaris
Nabi dalam bahasa lain adalah fuqaha dan mereka memiliki otoritas se bagai
pengemban amanat Rasul selama mereka menjaga diri mereka dari ketun dukan kepada
penguasa. Menurut Imam Khomeini, sepeninggal Nabi Muhammad, kendatipun tak ada
kesepa–katan mengenai identitas khalifahnya, semua Muslim sepakat bahwa, selain
memiliki kualifikasi umum, seperti kecerdasan dan kemam puan memerintah
(kafa’ah), orang tersebut harus memiliki kriteria berupa faqahah
(berpengetahuan mengenai ketentuan dan aturan Islam), ‘adalah (bersifat adil,
yaitu sangat terpuji iman dan moralnya).
Ayatullah
Jawadi Amuli dalam kitabnya “Wilayate Faqih, Wilayate Faqahast va Adalat”,
menyebutkan bahwa maksud dari faqih dalam pembahasan wilayat al-faqih, yaitu
mujtahid yang memenuhi seluruh persyaratan, bukanlah setiap orang yang
mempelajari dan mengetahui fiqih dapat disebut faqih (dalam konteks ini). Faqih
yang memenuhi seluruh persyaratan tersebut haruslah memenuhi tiga ke khususan
utama berupa ijtihad mutlaq dan adalah mutlaq, serta mempunyai kemampuan
mengatur dan memimpin. Orang tersebut menguasai secara menda lam, argumentatif,
dan mengetahui secara terperinci proses dalam istinbat hukum Islam, dari sisi
lain dalam seluruh aspek kehidupan memelihara dan menjaga bata san dan ketentuan
Ilahi dan tidak melakukan kesalahan ataupun pelanggaran di dalamnya. Ketiga
orang tersebut memiliki kemampuan dalam mengatur dan me ngendalikan negeri dan
halhal yang berkaitan dengan itu (Jawadi Amuli, 1378:136-137).
Jika
seseorang memiliki kualitas sebagaimana di atas, maka orang tersebut memiliki
kepantasan untuk menjaga amanat para Rasul Nabi dalam mem bimbing dan memimpin
ummat. Dalam
Pandangan Imam Khomeini, seba gaimana juga yang dikutip Yamani,
“Nalar
juga menetapkan bahwa kualitas-kualitas seperti ini adalah niscaya.
Pemerintahan Islam adalah pemerintahan (berdasarkan) hukum, bukan pe merintahan
sewenang-wenang seseorang atas rakyat, bukan pula dominasi kelompok tertentu
atas rakyat. Jika penguasa tak mengetahui isi hukum, ma ka dia tak patut
memerintah. Karena jika dia mengikuti pernyataan dan keputusan pihak lain,
kemampuannya memerintah menjadi berkurang. Na mun jika sebaliknya, dia tidak
mengikuti bimbingan seperti itu, dia tidak mampu memerintah dengan benar dan
tidak mampu menerapkan hukum Islam. Sudah merupakan prinsip yang disepakati
bahwa faqih memiliki oto ritas atas penguasa. Kalau penguasa menganut Islam,
tentu saja dia harus tunduk kepada faqih dan bertanya kepada faqih soal hukum
dan aturan Islam agar dapat menerapkannya. Dengan demikian, sejatinya penguasa
adalah faqih itu sendiri, dan resminya yang berkuasa itu faqih, bukan mereka
yang berkewajiban mengikuti bimbingan faqih lantaran mereka tak tahu hukum.”
(Yamani, 2002:125)
Atas
dasar di atas yang disebut sebagai faqih oleh Imam Khomeini dalam konteks
konsepnya tentang wilayat al-faqih adalah mereka yang memenuhi
kualitas-kualitas di atas. Jika yang memenuhi kriteria tersebut lebih dari
satu, maka mereka dapat memilih satu di antaranya.
2. Wilayah milik para Faqih
Kata
wilayah mempunyai makna dasar berupa datangnya sesuatu kepada sesuatu yang
lain, tanpa perantara di antara keduanya sehingga menjadi kan dekat tanpa batas
satu dengan lainnya (Mustafawi, tt: 7). Dari dasar makna ini muncullah beberapa
makna yang merujuk kepada kata tersebut antara lain kecintaan dan kekasih,
penolong, yang diikuti atau tauladan dan pemelihara atau pengendali.
Dalam persoalan wilayat al-faqih, kata wilayah
yang dimaksud bermakna sebagai pemelihara dan pengendali. Ayatullah Jawadi
Amuli membagi wilayah ke dalam tiga kategori utama, yaitu sebagai berikut.
Pertama,
wilayah takwini, yakni pengendalian dan pengaturan terhadap keberada an semesta
dan alam eksternal, seperti wilayah jiwa manusia ter hadap potensi-potensi
dirinya. Setiap manusia potensi pencerapan, seperti imajinasi dan khayalan atau
potensi penggerak dirinya seperti syahwat dan kemarahan, yang sepenuhnya berada
dalam pengendalian dirinya. Manusia dapat menyebutkan bahwa dirinya memiliki
wilayah terha dap potensi-potensi tersebut. Hakekatnya wilayah takwini ini
kembali kepada persoalan kausalitas, sebab memiliki wilayah terhadap akibat
yang ditimbulkannya. Ini adalah yang dimaksud dengan wilayah takwini.
Kedua,
wilayah tasri’, yakni wilayah untuk menetapkan hukum-hukum bagi kehidupan yang
merupakan ini ruang yang berbeda dari wilayah sebelum nya. Manusia mungkin saja
dapat menetapkan hukum-hukum tertentu da lam kehidupannya, te tapi yang paling
sempurna dalam menetapkan hukum dalam kehidupan manusia adalah Sang Maha
Pencipta yaitu Allah swt. Karena itu Allah berfirman, “Tidak ada hukum kecuali
hukum Allah.”
Ketiga, wilayah Tasri’i, yakni wilayah
dalam batasan hukum syari‟a
dan pelak sanaan aturan-aturan Ilahi. Wilayah jenis ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: 1) wilayah bagi yang tidak memiliki kemampuan karena
keterbatasan ilmu atau karena ketidakmampuan tertentu, dan tidak memiliki
kemampuan dalam melaksanakan hak-haknya; 2)wilayah bagi yang memiliki kemampu an
secara khusus dimiliki oleh mereka yang memiliki kualitas dan kemampuan
tertentu untuk menjalankan aturan-aturan hukum, baik berkenaan dengan individu
maupun sosial. Sebagai contoh al-Qur‟an menyebutkan,
“Sesungguhnya wali kalian adalah Allah,
Rasul-Nya dan orang yang beriman yang mengerjakan sholat dan menyerah– kan zakatnya dalam keadaan ruku’.“
Dalam fiqh, fungsi wali memiliki peranan
penting baik dalam urusan sosial kemasyarakatan, juga dalam urusan individual.
Atas dasar pembagian di atas, Jawadi Amuli menyimpulkan bahwa wilayat al-faqih
bukan dari jenis wilayah takwini dan bukan juga dari jenis wilayah tasri’.
Karena kedua wilayah tersebut kembali
pada Allah. Demikian pula bukan dari wilayah bagi yang tidak mampu. Tetapi
wilayat al-faqih adalah wilayah pengendalian dan pengaturan terhadap masyarakat
Islam dalam arti pelaksanaan hukum-hukum dan realisasi dari nilai-nilai agama
dan mengembang–kan potensi masyarakat untuk berkembang menuju Allah (Amuli,
1378:129).
Penutup
Dari definisi tentang faqih dan wilayah,
dapat disimpulkan bahwa pemerin tahan Islam dalam konsep wilayat al-faqih
adalah kepemimpinan tertinggi dipegang oleh seorang faqih yang telah memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan. Faqih atau ulama yang memiliki
otoritas untuk memim pin ummat yang berada dalam negara yang dia pimpin selama
periode ke ghaiban Imam al-Mahdi. Prinsip
ini sebenarnya sangat dekat dengan ide negara yang diungkapkan Plato, bahwa
kepemimpinan tertinggi haruslah dipegang oleh seorang Filosof.
Tapi
perlu diingat, Imam Khomeini dalam menerapkan sistem politik ini, sadar betul
dengan berbagai kemungkinan yang terjadi, seperti absolutisme dari se orang
faqih, karena itu ia memilih sistem Republik bagi Iran. Penggabungan keduanya
ini melahirkan satu bentuk baru dalam jenis pemerintahan yaitu „teodemokrasi‟, walaupun menjalankan
ketentuan-ketentuan Tuhan, faqih tidaklah terjaga dari dosa sebagaimana para
Imam. Artinya, mungkin saja terjadi kekeliruan dan penyimpangan. Karena itu
dibentuk juga majelis faqih, yang berisikan para marja’i taqlid dan majelis
khubregon, yakni majelis yang berisikan para ulama dan cendekiawan yang
bertugas memilih dan menga wasi kinerja dan kebijakan faqih (kecuali Imam
Khomeini yang tidak melalui proses pemilihan, karena merupakan kasus khusus).
Kekuasaan
yang dimiliki faqih meliputi kekuasaan untuk mengangkat otoritas yudisial
tertinggi dan panglima angkatan bersenjata, kekuasaan menyata kan perang dan
damai, kekuasaan untuk memobilisasi angkatan bersenjata, dan kekuasaan untuk
memecat presiden. Selain faqih memiliki otoritas ilmiah dan ruhaniah, unsur
lain yang dibangun oleh Iran adalah mengadopsi sistem Republik dengan unsur
demokrasi di dalamnya. Hal ini dapat disebutkan se perti pemilihan yang
dilakukan rakyat terhadap tiga elemen penting yaitu de wan ahli (majelis
khobregon), anggota parlemen (majelis syuroye Islomi) dan pemilihan presiden
secara langsung. Di luar itu juga dalam penetapan un dang-undang, konstitusi
Iran mewajibkan referendum dalam kaitan undang-undang sosial-politikekonomi dan
budaya.
Meskipun
anggota parlemen memiliki kebebasan penuh dan bertanggung jawab sepenuhnya
kepada rakyat, akan tetapi dalam membuat legislasi lembaga ini perlu
memperhatikan rambu-rambu syari‟at Islam berdasarkan interpretasi faqih. Artinya legislasi di
luar syari‟ah
adalah bentuk turunan dari syari‟ah itu sendiri dan tidak boleh bertentangan dengannya. Karena
itu ada sebuah lembaga khusus yang mengkaji hal tersebut yang disebut dewan
wali (syuroye negahbon), yang anggotanya enam orang ditunjuk oleh wali faqih
dan setengahnya para pakar hukum yang ditunjuk oleh parlemen.
Presiden
selain bertanggung jawab terhadap rakyat dalam hal ini parlemen juga kepada
wali faqih (individu yang menjabat sebagai wilayat al-faqih).Wali faqih bahkan
berhak memecat presiden yang dianggap tidak kapabel atau menyimpang,
sebagaimana yang telah diterapkan Imam Khomeini terhadap Bani Sadr. Bagaimana
pun usaha yang dilakukan Republik Islam Iran dengan sistem wilayat al-faqih
adalah penggabungan dua hal penting yaitu otoritas Ilahiah dan demokrasi,
karena itu kita pantas disebut wilayat al-faqih sebagai bentuk teodemokrasi.
Daftar Rujukan
Ali
Taskhiri, Muhammad. 1414 H. Ad-Daulah al-Islamiyah MuawiniyahalAlaqat ad-Dauliyah fi
Munazhamati al-Alam al-Islami, Tehran
Amuli, Jawadi. 1378 H.S.Wilayate Faqih:
Wilayat Faqahast wa Adalat, Markaze Nasr Isra’, Qum.
Amini, Ibrahim. 1997. Imam Mahdi,
Jakarta: Al-Huda.
Khomeini, Imam. 1373 H.S. Wilayate
Faqih, Tehra: Muaseseh Tandzim wa Nasr Otsor Imam Khomeini.
Muntazeri. 1409 H. Wilayat al-Faqih,
Fiqh al-Dawlah al-Islamiyah, Qum: Maktab al-Alam al-Islamiy.
Mustavawi, Tahqiq fi Kalimah al-Qur’an”
Qum.
Subhani, Ja’far. 1416 H.Muhadarat fi
al-Ilahiyat, Qum: Muasasah an-Nasr alIslami.
Yamani.
2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan.
STFI
Sadra Jakarta, Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar