Senin, 22 Mei 2017

SYSTEM PEMERINTAHAN ISLAM

WILAYAT AL-FAQIH SEBUAH KONSEP
PEMERINTAHAN TEO-DEMOKRASI
by
Khalid Al-Walid
Jurnal  Review Politik Volume 03, No 01, Juni 2013





Dalam prinsip Syiah, otoritas dan kedaulatan hanya hak prerogatif Allah                                                                                        (QS al-Araf: 54, al-Imran: 154, Yusuf: 40). Baru kemudian Allah mendelega                                                                                    sikan Nabi Saww. (QS al-Nisa: 80, al-Ahzab: 36).


Abstract
The political system of wilayatul faqih was a new scientific discourse in the political world of Islam. This research seeks to explore the meaning of wilayatul faqih, as well as its association with the concept of theodemocracy. The findings of this study indicate that wilayatul faqih was the highest leadership held by a jurist who has qualified to lead the community in a country (Iran) during the period of Imam al-Mahdi raptures.Wilayatul faqih principle associated with awareness of the possibility of absolutism of a faqih. Therefore, the system wilayatul faqih in Iran coupled with the republican system. The incorporation of the systems led to a theo-democratic form of government. Thus, although the system wilayatul faqih implement the teachings of the Lord, which may have occurred errors and irregularities, but there are assemblies faqih that contains the scholars and intellectuals in charge of selecting and overseeing the performance of and policy faqih. Keywords: Imamate, marja'iyyah, wilayat al-faqih, theo-democracy

Abstrak
Sistem politik wilayatul faqih adalah wacana ilmiah yang baru dalam dunia politik Islam. Riset ini berupaya menggali makna wilayatul faqih berikut keterkaitannya de ngan konsep teo-demokrasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa wilayatul fa qih adalah kepemimpinan tertinggi yang dipegang oleh seorang faqih yang telah memenuhi kualifikasi tertentu untuk memimpin umat selama periode keghaiban Imam al-Mahdi. Prinsip wilayatul faqih ini digali dari kesadaran akan munculnya berbagai kemungkinan yang terjadi, seperti absolutisme dari seorang faqih. Oleh karena itu, dalam sistem wilayatul faqih di Iran, dipilih sistem republik. Penggabu ngan ini melahirkan bentuk pemerintahan yang mirip dengan teo-demokrasi. Dalam mengawasi kinerja dan kebijakan faqih dibentuk majelis faqih, yakni majelis yang berisikan para ulama dan cendekiawan. Kata Kunci:  Imamah, marja’iyyah, wilayat al-faqih, teo-demokrasi

Pendahuluan
Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini atau Imam Khomeini adalah sosok yang luar biasa besar pada Abad ini. Dalam usianya yang hampir satu kurun ia mampu menggetarkan sendi-sendi jagat raya dengan menumbangkan sebuah rezim yang didukung penuh oleh kekuatan adi daya Amerika. Rezim yang telah menjadikan Iran sebagai kekuatan ke-5 di dunia masa itu, dan memerintah Iran dengan kekua tan tangan besinya dapat tumbang begitu saja oleh gelombang revolusi. Bahkan Amerika yang mendukung penuh rezim Syah Reza Pahlevi tidak dapat merubah takdir kemenangan Revolusi Islam Iran. Revolusi itu bukan hanya menggulung rezim yang berkuasa sebelumnya, akan tetapi juga merubah politik dunia dan menghem buskan angin semangat kebangkitan Islam di seluruh penjuru dunia dan menjadi simbol perlawanan kaum mustad’afin terhadap kaum mustakbirin.

Lebih menakjubkan lagi, referendum rakyat Iran sepakat untuk melakukan eksperi men dengan menjadikan sistem politik wilayat al-faqih sebagai model pemerinta han Iran berikutnya. Disebut eksperimen karena baru inilah model pemerintahan wilayat al-faqih dijadikan sebuah sistem pemerintahan sebuah negara di dunia mo dern. Sistem ini tentu membawa kontroversi di kalangan pemikir dunia sehingga memancing banyak komentar terutama tentu dikalangan pemikir muslim. Karena selama ini konsep ketatanegaraan Islam selalu merujuk kepada al-Mawardi atau pun al-Maududi dan Muhammad Iqbal. Tetapi dengan hadirnya sistem wilayat al-faqih, hadir sebuah sistem ketatanegaraan Islam yang tidak pernah dikenal selama ini.

Jika diteliti secara lebih mendalam, akan ditemukan bahwa sistem ini bukan sistem yang asing, karena sistem ini berang– kat dari konsep dasar aqidah Syiah yaitu Imamah. Imamah adalah prinsip dasar dari mazhab Syiah. Prinsip dasar ini yang membedakan antara mazhab Syiah dan mazhab Ahlussunnah. Dalam keyakinan Syiah, Rasulullah tidak membiarkan ummat Islam berada dalam kekacauan tanpa seorang pemimpin setelahnya, dan pemimpin yang ditunjuk itu adalah Ali bin Abi Thalib dengan sebelas keturunannya. Pada periode Imam ke-12 terjadi keghaiban (ocultation) dalam dua tahap, keghaiban sughra dan keghaiban kubra. Pada masa keghaiban sughra, Imam al-Mahdi masih menunjuk empat orang naib (wakil) yang berfungsi sebagai perantara antara dirinya dengan ummat. Sedang pada masa keghaiban kubra, Imam tidak menunjuk seorang pun sebagai naib atau perantaranya. Pada masa ini peran seorang faqih menjadi sangat substansial, karena urusan keagamaan, sosial, ekonomi, dan politik dikendalikan oleh seorang faqih. Karena itu secara de facto, faqih mengemban peran sebagai pemimpin ummat sebagaimana peran para naib Imam pada periode keghaiban sughra.


Dasar-dasar Wilayat Al-faqih; Negara Islam
Sulit untuk menemukan sumber pertama yang mengangkat isu ini, karena secara substansial isu ini dapat dilacak mulai dari masa awal Islam baik ketika terjadi kontroversi kepemimpinan Islam, maupun pasca perang Siffin yang membuat tiga partai besar ummat Islam  dengan konsep kepemimpinan tersendiri. Negara Islam adalah sebuah bentuk negara yang menjadikan Islam sebagai landasan ideologi dan hukum bagi pelaksanaan pemerintahan negara tersebut. Hal ini juga sebagai mana yang dirumuskan oleh Muhammad Ali Taskhiri dalam kitabnya ad-Daulah Isla miyah. Meskipun demikian, negara-negara yang mendasarkan dirinya pada Islam secara lebih tepat sebenarnya melandaskan dirinya terhadap interpretasi pendiri maupun pemikir negeri itu terhadap Islam. beberapa argumentasi tentang keharu san negara Islam yang ditulis beberapa pemikir Islam termasuk tentunya Imam Khomeini. Argumentasi tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam memiliki dasar bimbingan dan petunjuk, amar ma’ruf nahi munkar. Islam memiliki aturan penetapan hukum kriminal, aturan sosial dan masyarakat yang tidak hanya dalam persoalan personal antara seorang hamba dengan Tuhannya tetapi hubungan dengan sesamanya, Islam mem berikan petunjuk terha dap jalan yang harus ditempuh dan disampingnya ter dapat tuntutan tanggung jawab, Islam datang berhadapan dengan semua keyakinan dan memerangi keza liman dan kebatilan, maka tidak mungkin Islam tidak memiliki sistem pemerintahan dan politik sendiri (Amuli, 1378:1).

 Kedua, kumpulan dari aturan-aturan untuk memperbaiki masyarakat tidak cukup, karena itu diperlukan juga kekuatan untuk merealisasikannya. Atas dasar ini, Allah di samping mewahyukan sekumpulan aturan-aturan yang disebut hukumhukum syariat, juga menetapkan sarana pelaksanaan dan pengaturan (pemerintahan). Demikian pula yang dilakukan Rasulullah (Khomeini, 1373: 22).

 Ketiga, dalam fiqh terdapat banyak aturan yang berkaitan dengan kehidu pan sosial, seperti misalnya hukum harta benda dan pajak, hukum memper tahankan negara atau hukum penegakan hak-hak serta hukuman terhadap pelanggaran, yang semua itu tidak mungkin terlaksana kecuali dengan ada nya negara Islam.

Keempat, Nabi Muhammad mendirikan pemerintahan dengan Madinah se bagai pusat pemerintahannya. Madinah merupakan contoh dasar dari nega ra Islam, dimana ajaran Islam menjadi rujukan dalam pengaturan dan pe ngendalian. Madinah dan Rasulullah langsung sebagai pemimpin utama. Se lain argumentasi aqliah di atas ada banyak dalil naqliah yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Islam yang sepakat dengan wacana negara Islam, yang tidak dapat disebutkan pada kesempatan ini. Dengan argumentasi-argumen tasi di atas, dapat disimpulkan pentingnya pendirian negara Islam.

Selain pentingnya pendirian negara Islam, konsep imamah dan Marja’iyah memiliki peran sentral dalam konsep wilayat al-faqih. Karena pada prinsip nya, wilayat al-faqih adalah cerminan dari prinsip imamah dan marja>i yah . Imamah adalah ushul mazhab yang utama membedakan Ahlussunnah dan Syiah. Dalam prinsip Syiah, otoritas dan kedaulatan hanya hak prerogatif Allah (QS al-Araf: 54, al-Imran: 154, Yusuf: 40). Baru kemudian Allah mendele gasikan Nabi Saw. (QS al-Nisa: 80, al-Ah zab: 36). Setelah berakhirnya nubuw wah, hak-hak tersebut beralih kepada ulu al-amr yang dalam keyakinan Syiah, mereka adalah para Imam Ahlul Bait. Selain itu Keyakinan ini didasari asumsi sebagai berikut.

Pertama, tidak mungkin Rasulullah meninggalkan ummat begitu saja tanpa menunjuk pemimpin ummat setelahnya padahal Rasulullah Saw mengetahui akan terjadi fitnah yang besar dalam persoalan ini. Sebagai contoh dalam hal ini hadis 73 golongan.

Kedua, banyaknya isyarat Al-Quran dan al-Hadis yang merujuk Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunannnya sebagai Imam setelah Rasulullah. Dalil-dalil yang memberikan isyarat tersebut antara lain al-Quran surat al-Maidah ayat 55.  Berdasarkan hadis-hadis dan asbabun nuzul ayat tersebut, orang tersebut adalah Imam Ali bin Abi Thalib. 

Ketiga, hadis manzilah yang diriwayatkan Imam Bukhari meriwayatkan bah wa Rasulullah bersabda, “Ya Ali tidakkah engkau ridha kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, akan tetapi tidak ada Nabi setelahku”. Kedudukan Harun di sisi Musa disebutkan dalam al-Quran Surat Thaha ayat 29-32, Jadikanlah bagiku wakil dari keluargaku, Harun saudaraku....

Keempat, hadis Ghadir Khum. Pada peristiwa haji wada, Rasulullah menyam pai kan khutbah di sebuah tempat yang disebut Ghadir Khum. Di antara khut bah ter sebut Rasulullah Saww bersabda, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla (pemimpinnya) maka Ali adalah pemimpinnya.” Selain isyarat tentang ima mah Ali bin Abi Thalib, ada banyak hadis lain yang mem berikan isyarat tentang 12 pemimpin setelah Rasulullah. Hadis tersebut antara lain, “Tidak akan hilang kemu liaan agama selama ada 12 khalifah.” Demikian juga hadis, “Pemimpin setelahku ada dua belas.” Selain hadis di atas, ada banyak hadis-hadis juga yang menyebut kan secara khusus nama-nama dari ke dua belas Imam tersebut. Dalam hal ini kita dapat merujuk kitab Yanabi’ al-Mawaddah yang ditulis oleh Allamah al-Qunduzi al-Hanafi.
  
Kedua belas Imam tersebut adalah Imam Ali bin Abi Thalib, Imam al-Hasan bin Ali, Imam al-Husain bin Ali, Imam Ali Zaynal Abidin bin Ali, Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali, Imam Jafar As-Shadiq bin Muhammad, Imam Musa al-Kadzim bin Jafar, Imam Ali Ar-Ridho Bin Musa, Imam Muhammad alJawad bin Ali, Imam Ali An-Naqi bin Muhammad, Imam Hasan al-Askari bin Ali, dan Imam Muhammad al-Mahdi bin Hasan. Imam Muhammad al-Mahdi, adalah al-Mahdi sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah sebagai pemimpin akhir zaman yang akan menegakkan keadilan di seluruh penjuru dunia. Selama periode ini, Imam al-Mahdi mengalami dua keghaiban seperti yang telah dijelaskan di sebelumnya.


Keghaiban pertama disebut dengan keghaiban sughra, dan keghaiban kedua disebut dengan keghaiban kubra. Pada Masa Keghaiban sughra, Imam al-Mahdi menunjuk empat orang wakilnya yang bertugas menjadi perantara antara dirinya dengan ummatnya. Keempat wakil tersebut adalah Utsman bin Said al-Amri (260 H/874 M), Muhammad bin Utsman al-Amri (w. 304H/916 M), Husain bin Ruh an-Naubakhti (w. 326 H/937 M), dan Ali bin Muhammad al-Samari (w. 329 H/940 M).

Setelah wafatnya wakil keempat, Imam Al-Mahdi memasuki periode keghaiban kubra dan akan muncul kembali pada akhir zaman. Dalam periode ini, para ulama atau fuqaha yang memiliki peran untuk membimbing ummat baik dalam persoalan keagamaan maupun sosial politik. Mereka memegang otoritas kepemimpinan ummat mewakili Imam al-Mahdi dalam masa keghaibannya. Ummat menjadikan para faqih sebagai rujukan dalam kehidupan mereka dan melakukan taqlid dalam persoalan fiqhiyyah serta menyerahkan khumus kepada fuqaha yang menjadi rujukan mereka.

Karena itu muncul sebuah konsep baru pada masa itu, yaitu marja’iyyah. Seorang faqih yang sudah mencapai posisi sebagai mujtahid, menjadi marja’ taqlid (rujukan) dari para pengikutnya. Dalam setiap masa ada satu atau beberapa orang marja’ taqlid. Di antara mereka ada satu yang menjadi rujukan utama dari semua, baik karena ilmu yang dimiliki maupun kesucian diri. Secara khusus marja’ taqlid yang utama itulah yang memimpin ummat dalam seluruh persoalannya termasuk dalam upaya penentangan terhadap pemimpin yang zalim. Salah satu dari marja’ taqlid yang utama itu adalah Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini, yang kemudian berhasil memimpin rakyat Iran untuk melakukan revolusi Islam dan berhasil melahirkan konsep wilayat al-faqih.

Konsep Wilayat al-Faqih Bagi seorang Syiah, bukanlah sesuatu yang asing ide wila yat al-faqih yang dikemukakan Imam Khomeini. Konsep wilayat al-faqih dikemuka kan Imam Khomeini ketika berada di Najaf Irak melalui ceramah-ceramahnya dari tanggal 13 Zulqaidah 1389 sampai dengan 2 Zulhijjah 1389. Secara sederhana su dah didapatkan gambaran umum bahwa yang dimaksud Imam Khomeini dengan wilayat al-faqih tidak lebih dari sebuah bentuk kepemimpinan faqih (ahli agama) selama masa keghaiban Imam. Otoritas yang dimiliki oleh seorang faqih sama dengan otoritas imam, hanya saja seorang faqih tidak ma’sum (terjaga dari dosa) sebagaimana imam dan berdasarkan hasil pemilihan dewan ahli (Majelis Khubre gan) bukan berdasarkan penetapan. Karena dalam pandangan Imam Khomeini, tidak mungkin Allah membiarkan ummat ini tanpa pemimpin yang membimbing mereka dalam melaksanakan hukum-hukum Tuhan.

Sebelumnya sudah dikemukakan beberapa argumen pentingnya negara Islam. Imam Khomeini memandang bahwa negara Islam hanya dapat dijalankan jika yang menjadi pemimpin tertingginya adalah seorang faqih, karena faqih adalah orang yang pantas dan memiliki otoritas untuk itu. Negara Islam haruslah menjadi cerminan dari pelaksanaan prinsip-prinsip Islam, dan prinsip utama dalam kepemim pinan adalah Imamah. Meskipun ada pandangan bahwa urusan kepemimpinan politik mutlak milik Imam al-Mahdi, dan dalam masa keghaibannya tidak ada yang memiliki otoritas tersebut, akan tetapi dalam pandangan Imam Khomeini, hal itu sangat tidak berdasar dan keliru. 


1. Siapakah  al-Faqih?
Untuk menjelaskan siapakah yang dimaksud dengan faqih, “Imam“ Khomeini mengutip beberapa hadis dan riwayat Imam Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi berkata: 

“Ya Allah kasihilah para khalifahku (tiga kali). Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah sia pakah khalifahmu? Rasulullah bersabda, Mereka yang datang kemudian sete lahku, meriwayatkan hadits dariku, dan mengajarkannya kepada manusia sete lahku.

Dalam penjelasan hadits ini, Imam Khomeini menyatakan bahwa yang dimaksud Rasulullah sebagai khalifahnya adalah para faqih, karena dalam hadis lain Rasu lullah bersabda, “Barang siapa menjaga atas umatku empat puluh hadits, Allah akan menjadikannya seorang faqih.” (Imam Khomeini, 1373: 52) 

Hadis lain yang dikemukakan Imam Khomeini,  “Fuqaha adalah pengemban ama nah para Rasul jika mereka belum memasuki dunia. Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau maksud dengan sebelum mereka memasuki dunia?” Rasulullah bersabda, “menaati sultan, jika mereka melakukannya maka jagalah agama kalian dari mereka” (Imam Khomeini, 1373:  58).

Imam Khomeini dengan hadits ini ingin menjelaskan bahwa para ulama sebagai pewaris Nabi dalam bahasa lain adalah fuqaha dan mereka memiliki otoritas se bagai pengemban amanat Rasul selama mereka menjaga diri mereka dari ketun dukan kepada penguasa. Menurut Imam Khomeini, sepeninggal Nabi Muhammad, kendatipun tak ada kesepa–katan mengenai identitas khalifahnya, semua Muslim sepakat bahwa, selain memiliki kualifikasi umum, seperti kecerdasan dan kemam puan memerintah (kafa’ah), orang tersebut harus memiliki kriteria berupa faqahah (berpengetahuan mengenai ketentuan dan aturan Islam), ‘adalah (bersifat adil, yaitu sangat terpuji iman dan moralnya). 

Ayatullah Jawadi Amuli dalam kitabnya “Wilayate Faqih, Wilayate Faqahast va Adalat”, menyebutkan bahwa maksud dari faqih dalam pembahasan wilayat al-faqih, yaitu mujtahid yang memenuhi seluruh persyaratan, bukanlah setiap orang yang mempelajari dan mengetahui fiqih dapat disebut faqih (dalam konteks ini). Faqih yang memenuhi seluruh persyaratan tersebut haruslah memenuhi tiga ke khususan utama berupa ijtihad mutlaq dan adalah mutlaq, serta mempunyai kemampuan mengatur dan memimpin. Orang tersebut menguasai secara menda lam, argumentatif, dan mengetahui secara terperinci proses dalam istinbat hukum Islam, dari sisi lain dalam seluruh aspek kehidupan memelihara dan menjaga bata san dan ketentuan Ilahi dan tidak melakukan kesalahan ataupun pelanggaran di dalamnya. Ketiga orang tersebut memiliki kemampuan dalam mengatur dan me ngendalikan negeri dan halhal yang berkaitan dengan itu (Jawadi Amuli, 1378:136-137).

Jika seseorang memiliki kualitas sebagaimana di atas, maka orang tersebut memiliki kepantasan untuk menjaga amanat para Rasul Nabi dalam mem bimbing dan memimpin ummat. Dalam Pandangan Imam Khomeini, seba gaimana juga yang dikutip Yamani, 

“Nalar juga menetapkan bahwa kualitas-kualitas seperti ini adalah niscaya. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan (berdasarkan) hukum, bukan pe merintahan sewenang-wenang seseorang atas rakyat, bukan pula dominasi kelompok tertentu atas rakyat. Jika penguasa tak mengetahui isi hukum, ma ka dia tak patut memerintah. Karena jika dia mengikuti pernyataan dan keputusan pihak lain, kemampuannya memerintah menjadi berkurang. Na mun jika sebaliknya, dia tidak mengikuti bimbingan seperti itu, dia tidak mampu memerintah dengan benar dan tidak mampu menerapkan hukum Islam. Sudah merupakan prinsip yang disepakati bahwa faqih memiliki oto ritas atas penguasa. Kalau penguasa menganut Islam, tentu saja dia harus tunduk kepada faqih dan bertanya kepada faqih soal hukum dan aturan Islam agar dapat menerapkannya. Dengan demikian, sejatinya penguasa adalah faqih itu sendiri, dan resminya yang berkuasa itu faqih, bukan mereka yang berkewajiban mengikuti bimbingan faqih lantaran mereka tak tahu hukum.” (Yamani, 2002:125) 

Atas dasar di atas yang disebut sebagai faqih oleh Imam Khomeini dalam konteks konsepnya tentang wilayat al-faqih adalah mereka yang memenuhi kualitas-kualitas di atas. Jika yang memenuhi kriteria tersebut lebih dari satu, maka mereka dapat memilih satu di antaranya.


2. Wilayah milik para Faqih
Kata wilayah mempunyai makna dasar berupa datangnya sesuatu kepada sesuatu yang lain, tanpa perantara di antara keduanya sehingga menjadi kan dekat tanpa batas satu dengan lainnya (Mustafawi, tt: 7). Dari dasar makna ini muncullah beberapa makna yang merujuk kepada kata tersebut antara lain kecintaan dan kekasih, penolong, yang diikuti atau tauladan dan pemelihara atau pengendali.

Dalam persoalan wilayat al-faqih, kata wilayah yang dimaksud bermakna sebagai pemelihara dan pengendali. Ayatullah Jawadi Amuli membagi wilayah ke dalam tiga kategori utama, yaitu sebagai berikut.

Pertama, wilayah takwini, yakni pengendalian dan pengaturan terhadap keberada an semesta dan alam eksternal, seperti wilayah jiwa manusia ter hadap potensi-potensi dirinya. Setiap manusia potensi pencerapan, seperti imajinasi dan khayalan atau potensi penggerak dirinya seperti syahwat dan kemarahan, yang sepenuhnya berada dalam pengendalian dirinya. Manusia dapat menyebutkan bahwa dirinya memiliki wilayah terha dap potensi-potensi tersebut. Hakekatnya wilayah takwini ini kembali kepada persoalan kausalitas, sebab memiliki wilayah terhadap akibat yang ditimbulkannya. Ini adalah yang dimaksud dengan wilayah takwini.

Kedua, wilayah tasri’, yakni wilayah untuk menetapkan hukum-hukum bagi kehidupan yang merupakan ini ruang yang berbeda dari wilayah sebelum nya. Manusia mungkin saja dapat menetapkan hukum-hukum tertentu da lam kehidupannya, te tapi yang paling sempurna dalam menetapkan hukum dalam kehidupan manusia adalah Sang Maha Pencipta yaitu Allah swt. Karena itu Allah berfirman, “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah.”  

Ketiga, wilayah Tasri’i, yakni wilayah dalam batasan hukum syaria dan pelak sanaan aturan-aturan Ilahi. Wilayah jenis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) wilayah bagi yang tidak memiliki kemampuan karena keterbatasan ilmu atau karena ketidakmampuan tertentu, dan tidak memiliki kemampuan dalam melaksanakan hak-haknya; 2)wilayah bagi yang memiliki kemampu an secara khusus dimiliki oleh mereka yang memiliki kualitas dan kemampuan tertentu untuk menjalankan aturan-aturan hukum, baik berkenaan dengan individu maupun sosial. Sebagai contoh al-Quran menyebutkan,

Sesungguhnya wali kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang yang beriman yang mengerjakan sholat dan menyerah kan zakatnya dalam keadaan ruku’.
Dalam fiqh, fungsi wali memiliki peranan penting baik dalam urusan sosial kemasyarakatan, juga dalam urusan individual. Atas dasar pembagian di atas, Jawadi Amuli menyimpulkan bahwa wilayat al-faqih bukan dari jenis wilayah takwini dan bukan juga dari jenis wilayah tasri’. Karena kedua wilayah tersebut  kembali pada Allah. Demikian pula bukan dari wilayah bagi yang tidak mampu. Tetapi wilayat al-faqih adalah wilayah pengendalian dan pengaturan terhadap masyarakat Islam dalam arti pelaksanaan hukum-hukum dan realisasi dari nilai-nilai agama dan mengembang–kan potensi masyarakat untuk berkembang menuju Allah (Amuli, 1378:129).

Penutup
Dari definisi tentang faqih dan wilayah, dapat disimpulkan bahwa pemerin tahan Islam dalam konsep wilayat al-faqih adalah kepemimpinan tertinggi dipegang oleh seorang faqih yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan. Faqih atau ulama yang memiliki otoritas untuk memim pin ummat yang berada dalam negara yang dia pimpin selama periode ke ghaiban Imam al-Mahdi. Prinsip ini sebenarnya sangat dekat dengan ide negara yang diungkapkan Plato, bahwa kepemimpinan tertinggi haruslah dipegang oleh seorang Filosof.

Tapi perlu diingat, Imam Khomeini dalam menerapkan sistem politik ini, sadar betul dengan berbagai kemungkinan yang terjadi, seperti absolutisme dari se orang faqih, karena itu ia memilih sistem Republik bagi Iran. Penggabungan keduanya ini melahirkan satu bentuk baru dalam jenis pemerintahan yaitu „teodemokrasi, walaupun menjalankan ketentuan-ketentuan Tuhan, faqih tidaklah terjaga dari dosa sebagaimana para Imam. Artinya, mungkin saja terjadi kekeliruan dan penyimpangan. Karena itu dibentuk juga majelis faqih, yang berisikan para marja’i taqlid dan majelis khubregon, yakni majelis yang berisikan para ulama dan cendekiawan yang bertugas memilih dan menga wasi kinerja dan kebijakan faqih (kecuali Imam Khomeini yang tidak melalui proses pemilihan, karena merupakan kasus khusus).

Kekuasaan yang dimiliki faqih meliputi kekuasaan untuk mengangkat otoritas yudisial tertinggi dan panglima angkatan bersenjata, kekuasaan menyata kan perang dan damai, kekuasaan untuk memobilisasi angkatan bersenjata, dan kekuasaan untuk memecat presiden. Selain faqih memiliki otoritas ilmiah dan ruhaniah, unsur lain yang dibangun oleh Iran adalah mengadopsi sistem Republik dengan unsur demokrasi di dalamnya. Hal ini dapat disebutkan se perti pemilihan yang dilakukan rakyat terhadap tiga elemen penting yaitu de wan ahli (majelis khobregon), anggota parlemen (majelis syuroye Islomi) dan pemilihan presiden secara langsung. Di luar itu juga dalam penetapan un dang-undang, konstitusi Iran mewajibkan referendum dalam kaitan undang-undang sosial-politikekonomi dan budaya.

Meskipun anggota parlemen memiliki kebebasan penuh dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada rakyat, akan tetapi dalam membuat legislasi lembaga ini perlu memperhatikan rambu-rambu syariat Islam berdasarkan interpretasi faqih. Artinya legislasi di luar syariah adalah bentuk turunan dari syariah itu sendiri dan tidak boleh bertentangan dengannya. Karena itu ada sebuah lembaga khusus yang mengkaji hal tersebut yang disebut dewan wali (syuroye negahbon), yang anggotanya enam orang ditunjuk oleh wali faqih dan setengahnya para pakar hukum yang ditunjuk oleh parlemen. 

Presiden selain bertanggung jawab terhadap rakyat dalam hal ini parlemen juga kepada wali faqih (individu yang menjabat sebagai wilayat al-faqih).Wali faqih bahkan berhak memecat presiden yang dianggap tidak kapabel atau menyimpang, sebagaimana yang telah diterapkan Imam Khomeini terhadap Bani Sadr. Bagaimana pun usaha yang dilakukan Republik Islam Iran dengan sistem wilayat al-faqih adalah penggabungan dua hal penting yaitu otoritas Ilahiah dan demokrasi, karena itu kita pantas disebut wilayat al-faqih sebagai bentuk teodemokrasi.

Daftar Rujukan
Ali Taskhiri, Muhammad. 1414 H. Ad-Daulah al-Islamiyah MuawiniyahalAlaqat ad-Dauliyah fi Munazhamati al-Alam al-Islami, Tehran 
Amuli, Jawadi. 1378 H.S.Wilayate Faqih: Wilayat Faqahast wa Adalat, Markaze Nasr Isra’, Qum.
Amini, Ibrahim. 1997. Imam Mahdi, Jakarta: Al-Huda.
Khomeini, Imam. 1373 H.S. Wilayate Faqih, Tehra: Muaseseh Tandzim wa Nasr Otsor Imam Khomeini. 
Muntazeri. 1409 H. Wilayat al-Faqih, Fiqh al-Dawlah al-Islamiyah, Qum: Maktab al-Alam al-Islamiy.
Mustavawi, Tahqiq fi Kalimah al-Qur’an” Qum.
Subhani, Ja’far. 1416 H.Muhadarat fi al-Ilahiyat, Qum: Muasasah an-Nasr alIslami. 
Yamani. 2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan.



STFI Sadra Jakarta, Paramadina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar