Minggu, 22 Mei 2011

ALMARHUM SYAHID DR 'ALI SYARI'ATI SANG ARSITEK REVOLUSI ISLAM IRAN

ALMARHUM, SYAHID DR 'ALI SYARI'ATI


Rausyanfikr yang belum ada duanya
sampai detik ini

SAKSIKANLAH PERKAMPUNGAN RII DEKAT ISFAHAN
KOTA PRODUKSI KARPET PERTAMA DI DUNIA



Bismillaahirrahmaanirrahiim


 ALMARHUM DR A'LI SYARI'ATI
AHLI PIKIR ISLAM IRAN YANG BELUM ADA DUANYA DI ZAMAN KITA
ADALAH
ARSITEK REVOLUSI ISLAM IRAN
YANG TIDAK DAPAT KITA PISAHKAN DENGAN IMAM KHOMAINI
SEBAGAI BINTANG REVOLUSI DAN PENDIRI RII 
DENGAN KONSEP WILAYATUL FAKIHNYA
(hsndwsp)
Acheh - Sumatra


  
Salah satu pernyataan Syari’ati adalah ”Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuang kan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke pro gram revolusioner untuk mengubah dunia”(h.119)

Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertang gungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mem punyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.

Meski menekankan tindakan etis perorangan, Syari’ati menyatakan bahwa setiap individu mem punyai tanggungjawab untuk perubahan masyarakatnya. Sayri’ati percaya bahwa revolusi digerakkan pertama-tama dengan menggerakkan masing-masing individu. Gerakan individual itu akan mengarah pada gerakan massa. Hal ini terlihat secara konkrit dalam ibadah haji. Syari’ati memberikan tafsiran haji pada penekanan pentingnya kualitas individual, tapi pada akhirnya harus melebur dengan gerakan massa. Sayri’ati memandang revolusi dapat digerakkan saat individu mampu menjalankan kewajibannya masing-masing, yang kemudian melebur dengan gerakan mass itu.

Syari’ati dan Eksistensialisme
Ciri-ciri umum eksistensialisme barat sangat terasa dalam beberapa pandangan Syari’ati. Pandangan Syari’ati secara khas membicarakan persoalan eksistensi yang berpusat perhatian kepada manusia. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan dan selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Manusia dipandang terbuka, realitas yang belum selesai (h. 50). Jika Sartree membatasi manusia pada becoming sebagai proses untuk mem bentuk esensinya, Syari’ati lebih jauh lagi, yaitu potensi manusia menjadi lebih tinggi (h. 40). Inti pemikirannya bermula pada pandangan dunia Tauhid, dengan Tuhan sebagai sentralnya. Sebagai mana pemikiran eksistensialis lainnya, baginya manusia dapat dilihat sebagai being dan becoming. Untuk itu ia menafsirkan kosa kata bahasa arab bashar sebagai being dan insan untuk becoming (h.7).

Untuk berakhlak dengan akhlak Tuhan, manusia harus senantiasa melakukan proses evolusi (becoming) menuju Tuhan itu. Karena hanya dalam modus berada dalam bentuk Insan sajalah manu sia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi khalifah (wakil) Tuhan. Syari’ati menya takan bahwa Insan mengandung nilai-nilai etis, sementara basyar mengandung nilai-nilai hewani. Ha nya dengan menjadi insan sajalah manusia bisa memaksimalkan atribut ketuhanannya, yaitu kesada ran-diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Hanya manusia saja yang bisa bertindak seperti Tuhan, teta pi manusia tidak bisa menjadi Tuhan (h. 110)

Syari’ati menyatakan bahwa manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia harus men jadi insan, tidak sekedar basyar (mahluk fisiologis). Basyar adalah mahluk yang sekedar ‘bera da’ (being), sedangkan insan adalah mahluk yang ‘menjadi’ (becoming). Dalam konteks ini Syari’ati menafsirkan ayat “Inna lillahi wainnailaihi rojiun” (dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya) menyatakan bahwa perjalanan kembali kepada-Nya bukanlah berarti di dalam-Nya atau pada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti, yang segala sesuatu menuju kepadanya.

Manusia yang ‘menjadi’ ini memiliki tiga sifat yang saling berkaitan dan dapat menyesuaikian diri dengan sifat-sifat ketuhanan. Ketiga sifat itu adalah kesadaran-diri (selft-awareness), kehendak bebas (free-will), dan kreativitas (creativiness). (h.36).

Syari’ati dan Marxisme
Ada hubungan cinta-benci antara Syari’ati dan Marxisme (h. 46). Ia menerima analisa Marx tentang kesadaran pertentangan kelas antara kaum penindas dan tertindas, misalnya antara kaum Habil dan kaum Qabil, tetapi terutama bukan antara buruh melawan Kapitalis, tetapi antara dunia ketiga melawan Imperialisme Barat. Sayri’ati juga banyak menggunakan paradigma, kerangka dan analisis Marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Ia berpendapat bahwa Marx hanyalah seorang matrerialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal yang bersifat materi belaka. Namun Syari’ati menyanjung Marx yang jauh lebih tidak “materialistik” ketimbang mereka yang mengklaim “idealis” atau “beriman dan religius”. Prespektif lain, Syari’ati mengecam Marxisme yang mengejawantah dalam partai Sosial dan Komunis.

Syari’ati berusaha menyelesaikan kontradiksi pandangannya itu dengan membagi kehidupan Marx dalam tiga fase. Pertama Marx muda sebagai filosof ateistik yang mengembangkan materialisme dealektis. Kedua, Marx dewasa, seorang ilmuwan sosial yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang dikuasai. Ketiga Marx tua yang merupakan politisi. Dari tiga fase itu, Syari’ati menerima banyak gagasan dari Marx fase kedua, dan menolak fase pertama dan ketiga.

Syari’ati juga secara terang-terangan mengkritik ulama konvensional yang disebutnya sebagai “Borjuasi kecil” dan “Depotisme Spiritual”. Di satu pihak, penguasa telah menindas keimanan atas nama Islam Syi’ah, tetapi dipihak lain para ulama tradisional juga harus dikritik karena apatis terhadap kezaliman. Sebagian dari mereka bersikap oportunistik, sebagian lagi bersifat pasif karena mengharapkan Imam yang tersembunyi, Imam Mahdi (h. 22).

Biografi
Ali Syari’ati lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, propinsi Khorasan Iran dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman Ali Al-Ridha. Kehidupan Syari’ati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan di sanalah pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertama kalinya adalah ayahnya sendiri yang memutuskan mengajar di kota Masyhad. Pada awal 1940-an, ayah Ali Mazinani mendirikan usaha penerbitan bernama “Pusat Penyebaran Kebenaran Islam” (The Center for Propagation of Islamic Truth) yang bertujuan untuk kebangkitan Islam sebagai agama yang sarat dengan kewajiban dan komitmen sosial. Pada dekade ini, ayah Syari’ati membentuk cabang organisasi Nehzat-I Khodapa rastan-I Sosiyalist (The Movement of God-worshiping Socialist, Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis. Ia membahas gagasan pemikir modern, khususnya para pemikir Sosialisme Arab dan sejarahwan Khazrawi, tokoh yang dibenci para Mullah Iran. Karenanya ia dicap sebagai “sunni”, “wahabi”, bahkan “baabisme” oleh beberapa ulama (h. 13). Dari ayahnya inilah semangat non-konvensional – dan oposisi – Ali Mazinani terbentuk.

Sementara dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya turut menginspirasi Ali Mazinani. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri, yang se telah belajar filsafat, fiqh, dan sastra, – mengikuti jejak leluhurnya – memilih kembali ke Mazinan.

Pada periode 1950-1951, Ali Mazinani seperti ayahnya, bergabung dalam Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis dan mengikuti gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Mushadiq. Ketika gerakan itu pecah menjadi Liga Kemedekaan Rakyat Iran tahun 1953, ia juga ikut bergabung. Setelah Mushadiq gagal melancarkan kudeta tahun 1953, ia ikut dalam Gerakan Per lawanan Nasionalis (National Resistance Movement). Karena gerakan itulah ia bersama ayahnya dipenjara di rumah tahanan Qazil Qala’ah, Teheran selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisi nya melawan Rezim Syah Reza Pahlevi.

Tahun 1956, Ali Mazinani melanjutkan studi di Fakultas Sastra universitas Masyhad. Tahun 1960 ia mendapat beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis. Di Sorbonne inilah ia menjalin hubungan secara pribadi dengan intelek.

Diringkas dari buku ”Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern” Ekky Malaky, 2004

Oleh: Faqih Al Asy'ari
Penulis adalah Alumnus Pondok Ngunut, Bantu2 di Averroes, mahasiswa Sosiologi UMM, dan anggota Trotoar House. Mempunyai cita-cita sosial membangun kemandirian ekonomi masyarakat pedesaan, berbasis kemandirian, berbekal iman dan kearifan lokal. Amiinn.


*******

"Orang pintar mudah menilai orang lain, apalagi untuk menilai orang yang tidak pintar". Pertama, Rasulullah plus (1) plus Para Imam yang diutus pastinya benar 100 % ketika menilai siapapun sedangkan orang-orang yang konsekwen mengikuti atau meneladani Rasulullah saww dapat dipastikan identik dengan kemampuan para Imam dalam  menilai orang lain (baca 99 %). Sebaliknya orang yang kapasitas daya pikirnya berada dibawah kapasitas orang yang hendak dinilainya, besar kemungkinan akan melenceng ketika memberikan penilainnya. Dalam kontek berpikir seperti ini saya yakin bahwa banyak orang yang melenceng ketika menilai Al Marhum Syahid DR Ali Syariati. Sebahagian pengamat ada yang mengira  bahwa Syariati adalah Islam Marxis, Islam Sosialis, Sufi yang revolusioner dan sebagainya. Andaikata ditulis dalam tanda petik, pastinya dapat diterima. Saya akan menilai Syariati sebagaimana Syariati sendiri menilai Fatimah az Zahara: "......tidak ada satupun penilaian saya yang benar terhadap Fatimah. Yang benar, Fatimah adalah.Fatimah" .  Syariati bukan Islam Marxis, Syariati bukan Islam Sosialis dan Syariati bukan Sufi Revolusioner tetapi "Syariati adalah Syariati"(hsndwsp)

*******  

"Melarikan diri dari kesepian, kutekuni sejarah; segera kucari saudaraku Ain Al-Quzat. Pada puncak perkembangan usia remajanya dia harus menjalani hukuman bakar hidup-hidup. Kesalahannya: memiliki kesadaran, kepekaan dan keberanian berpikir. Dalam masa kejahilan kesadaran memang merupakan dosa. Dalam masyarakat tertindas lagi tehina keluhuran jiwa serta kekuatan kalbu, sebagaimana kata Buddha, 'menjadi sebuah pulau di negeri danau', adalah dosa tanpa ampun".


Ali Syari'ati - Mukaddimah dalam Kavir (Gurun Pasir)
dikutip dari - Ali Syari'ati, "Tentang Sosiologi Islam", Ananda, Yogyakarta, 1982

Ain Al-Quzat Hamadani adalah seorang sufi Parsi yang dihukum di Baghdad pada tahun 1132 M, atas tuduhan menyebarkan bid'ah. Seperti halnya "saudara" yang dikaguminya itu, Syari'ati pun dihukum oleh rezim Pahlevi yang panas kuping oleh pidato dan ceramah-ceramahnya, baik di kampus maupun di masjid. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.


Shari'ati pun menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya serta pergi ke Inggris. Namun, rezim Syah Pahlevi tidak menghendaki dia ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara bebas, lalu menawan istri dan anak Ali Syari’ati, yang ditinggalkannya dengan penuh kepedihan. Tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syari’ati ditemukan tewas di rumah kerabatnya di Southampton, Inggris.


Muncul spekulasi kemudian, bahwa ia dibunuh oleh agen-agen SAVAK, atau bahkan oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang fanatik, yang menganggap sepak terjang serta pikiran-pikiran Syari'ati yang anti terhadap feodalisme, telah menodai kewibawaan sang Ayatollah.


Itulah Ali Syari'ati, seperti halnya "saudara" nya, iapun telah menempatkan kebenaran pada tempatnya yang layak. Ia lah sang sufi yang revolusioner itu. Seorang sufi memang seharusnya juga seorang yang revolusioner! Begitulah seruannya berulang kali. Dia telah menempatkan dirinya sendiri di sana! Dan dia tidak munafik dengan apa yang dikatakannya.

-Yoga-





Tidak ada komentar:

Posting Komentar