KORBAN DARI PERSEKONGKOLAN FIR'UN, KARUN DAN BAL'AM
Bismillaahirrahmaanirrahiim
KEMISKINAN MENJADI TANAH SUBUR TUMBUHNYA PEMURTADAN DIMANAPUN DIBELAHAN PLANET BUMI INI
hsndwsp
Acheh - Sumatera
KUNTORO MANGKUSUBROTO SALAH SATUNYA PENYEBAB TERJADINYA PEMURTADAN DI ACHEH - SUMATERA
Sebenarnya misi Kristen itu sudah ada bahkan sudah terjadi sejak jauh sebelum GAM merebak seperti di kota Lhokseumawe. Ketka itu saya mengajar di Dayah Tgk Sulaiman Syaikhi Paloh Pidie. Umumnya orang-orang Dayah/Tgk seumeubeuet sangat khawatir kala itu atas misi yang juga dilibatkan 2 orang pendeta Acheh sendiri bernama Ali Husen Beureunuen dan Teuku Mahmud Paloh, Pendeta Pasar Tiga Jalan Rakyat Medan. Tentang pendeta Ali Husen itu saya tidak tau persis keberadaannya namun Teuku Mahmud Paloh konon juga persoalan ekonomi yang membuat dia terperangkap dalam ajaran Kristian. Sekitar tahun 1978, dia pernah merencanakan untuk kabur dari Pasar III Jalan rakyat setelah mengambil bantuan dari Jakarta sebanyak 5 juta rupiah. Namun ternyata tidak berhasil.
Menurut saya tidaklah seratus persen orang Kristen yang patut disalahkan dalam hal kristenisasi di Acheh, melainkan system hindunesia itu sendiri yang menyebabkan Acheh - Sumatera masuk perangkap kristenisasi. System Indonesia membiarkan rakyat jelata hidup miskin dan morat-marit, dimana kemiskinan menjadi lahan subur bagi misi Kristen. Dalam hal ini Rasulullah mengatakan bahwa kemiskinan itu dapat membuat manusia menjadi kafir. Lalu Imam 'Ali mengatakan: "Andaikata kemiskinan itu berbentuk makhluk, akan kubunuh dia". Kemudian Abu Dzar Ghifari melanjutkan: "Andaikata kemiskinan itu masuk ke dalam suatu rumah melalui pintu, maka iman akan keluar melalui jendela".
Logikanya andaikata orang Eropa itu semuanya beragama Islam lalu mendapat kesempatan untuk menolong bangsa Acheh yang "Kristen", pastilah orang-orang Eropa itu akan berdaya upaya juga untuk mengIslamkan anak-anak orang Acheh yang "kristen" itu. Logika yang lain dapat juga kita pahami bahwa pemabuk-pemabuk juga menginkan agar semua orang menjadi seperti mereka, demikian juga dunia pelacuran menginginkan semua orang kalau boleh menjadi pelacur seperti mereka, namun orang-orang yang anti pelacuran dan penzinaa sudah barang pasti berdaya upaya untuk melenyapkan itu semua. Demikian seterusnya. Tinggal lagi kita harus 'arif menggali akar permasalahannya agar tidak terjebak dalam dugaan yang keliru.
Jadi secara logika, itu system Hindunesia hipokrit yang bertanggung jawab sebagai akar tunggal penyebab kemiskinan khususnya di Acheh dan di Indonesia pada umumnya, sehingga kristenisasi tumbuh subur di tanah Rencong. Ironisnya justru Sontoloyo - sontoloyo itu juga yang mengkambing hitamkan misi tersebut untuk mengusir LSM asing keluar melalui propokasi murahan. Mengapa? Dengan cara demikianlah tuannya sontoloyo-sontoloyo itu dapat melanggengkan penjajahannya di bumi Acheh - Sumatra. Sontoloyo-sontoloyo itu menamakan diri sebagai "Komando Jihad". Padahal mereka itu merupakan "Komando Jahat" yang bekerja sama dalam system penjajahan itu sendiri
Kehancuran di Acheh - Sumatra ini ditambah pula dengan munculnya Kuntoro Mangkusubroto Jawa yang dipercayakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Acheh - Nias pasca Tsunami. Ternyata banyaknya bantuan luar negeri untuk Acheh tidak dapat menjawab kepedihan para musibah itu, apalagi musibah pasca TNI/POLRI Non organik yang dirasakan keseluruh Acheh - Sumatra. Jadi dalam hal ini Kuntoro Mangku subroto telah turut menyengsarakan para musibah Tsunami dengan cara ikut melahab gaji bulanannya yang melangit sampai Rp 65 juta perbulan plus fasilitas yang aduhai lainnya, disamping para stafnya yang bergajih antara 25 – 60 juta rupiah perbulan.
Kemudian kalau dibandingkan dengan para musibah yang hanya mendapat Rp 3000 per hari, maka patut dipertanyakan, apakah bantuan luar negeri itu untuk para musibah tsunami atau untuk Kuntoro Mangkusubroto cs, mengingat kerja mereka tidak sebanding dengan gaji yang melangit, sebagaimana yang telah menjadi anekdot masyarakat di Acheh, yang dipublikasikan oleh jurnalis Acheh hingga terbaca: "Kondisi proyek itu sempat menjadi bahan olok-olokan warga di kampung-kampung. "Ini baru BRR yang kepanjangannya, Baru (tapi) Retak-Retak," ujar seorang pemuda di sana. "Atau Bolong Retak Rusak," sahut warga lain. Istilah baru itu muncul setelah sebelumnya warga Acheh memplesetkan kepanjangan BRR (yang seharusnya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) menjadi, Buet Rame-Rame, Bek Rioh-Rioh, Badan Rapat-Rapat, Badan Rilis-Rilis, dan sebagainya."
Jadi yang perlu dipertanyakan sekarang, apakah kita hanya menjadi penonton "sandiwara" yang sedang dimainkan Kuntoro Mangkusubroto cs itu saja ? Apakah betul orang-orang pribumi tidak memiliki ketrampilan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi di Acheh paska Tsunami ? Mengapa terlalu mahal ongkos yang dibayarkan untuk membangun daripada harga bangunan itu sendiri? (besar pasak daripada tiang) Bukankah yang demikian itu kinerjanya "pemborong" yang dapat dipelintirkan menjadi pembohong?
Keadaan yang sedang berlangsung di Acheh kala itu makin membuat rakyat Acheh - Sumatra terus menderita. Kondisi ekonomi rakyat jelata yang "senin kamis" itu dilanjutkan oleh penguasa paska tsunami hingga masyarakat Internasional sepertinya tidak melihat lagi perbedaan yang signifikan antara pejuang Acheh yang dulu gigih memperjuangkan kemerde kaan Acheh dengan sontoloyo-sontoloyo yang mewarisi sepakterjang Belanda putih alias koloni sawomatang.
Untuk menghilangkan penderitaan rakyat Acheh kelihatannya makin jauh dari harapan, apalagi didalamnya telah dimasuki para koruptor profesional yang perbuatannya sangat menyelimet dan sulit diberantas karena bersembunyi dibalik system Hindunesia hipokrit itu. Disamping itu korupsi dalam system yang menzalimi kaum du'afa itu sudah membudaya dan berakomulasi dengan system itu sendiri. Mengapa raja korupsi terbesar di dunia (baca Suharto) susah untuk diseret ke meja hijau, merupakan sebagai indikasi yang mustahil terbantah bahwa koruptor sudah membudaya di Indonesia.
Terakhir, Gerakan Acheh Merdeka (GAM) konon berdamai dengan Hindunesia tetapi secara filosofis itu bukan perdamaian melainkan menyerah diri kepada musuh. Inilah salah satu ciri-ciri pihak penguasa Indunesia yang memakai system hipokrit dengan moral gandanya. Wahai bangsa Acheh - Sumatra, yakinlah bahwa tanpa merdeka bangsa manapun mustahil meraih kemuliaan, sebaliknya tetap saja melutut di kaki musuh betapapun tingginya pendidikan mereka. Makin tinggi pendidikan mereka dalam suatu system dimana penduduknya yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, makin besar kesempatan untuk menipu kaum dhuafa.............
hsndwsp