Bismillaahirrahmaanirrahiim
SEMUT YANG HIDUP SEPULUH ABAD YANG LALU
DAPAT DIPASTIKAN BAHWA MEREKA MEMBUAT SARANGNYA
SAMA SEPERTI SARANG SEMUT
DI JAMAN KITA SEKARANG INI
(TIDAK PERNAH BEROBAH)
hsndwsp
DI
TAMPOK DONJA
DAPAT DIPASTIKAN BAHWA MEREKA MEMBUAT SARANGNYA
SAMA SEPERTI SARANG SEMUT
DI JAMAN KITA SEKARANG INI
(TIDAK PERNAH BEROBAH)
hsndwsp
DI
TAMPOK DONJA
Itu bukan binatang, bung Murthalamuddin tapi "Basyar" . Kemungkinan besar yang masih memiliki senjata api di Acheh selain tentara dan polisi adalah TNA yang merasa sangat kecewa terhadap ketidakadilan paska MoU Helsinki sebagaimana keterangan bung Murthalamuddin di akhir tulisan nya. Andaikata bung Murthala TNA yang kecewapun saya yakin akan bertindak seperti itu juga, termasuk saya. Sikap mereka sangat wajar sama wajarnya dengan perjuangan Acheh Merdeka dulu dalam meluluhlantakkan Hindunesia Jawa, bukankah tidak demikian dalam pandangan TNI dan Polri?
Basyar adalah level yang tepat terhadap pihak yang melavelkan "teroris" kepada TNA yang masih asli itu, kendatipun mayoritas TNA yang sudah bergabung dengan Hindunesia mencomoohi nya. Kalau pandangan Amerika Serikat dan konconya, teroris itu merupakan level yang paling terkutuk. Namun ironisnya mereka mengira kaum teroris itu bermarkas di Afganistan dan Irak. Tak ajal lagi negara tersebut tadipun dihajar sampai hari ini tidak kunjung selesai dan bahkan belakangan terke san sepertinya justru Amerika Serikat dan konconya sendiri yang terperangkap ala teroris. Andai kata AS dan konconya langsung meninggalkan Irak setelah tertangkapnya Saddam, prototipe Ya zid bin Muawiyah, pembantai keluarga Rasulullah saww, klaim AS dan konco-konconya itu dapat ditolerir tetapi ternyata ada mahunya yang lain dibalik pelavelan tersebut.
Persoalan teroris sesungguhnya belum objektif. Israel juga melavelkan pejuang Palestina sebagai teroris. Sebaliknya justru Israel yang teroris dalam pandangan orang Palestina. Jadi pelavelan Isra el dan Polisi Hindunesia sepertinya sangat subjektive. Adalah hal yang sama dalam pandangan Rakyat Irak dan Afganistan, justru AS dan konconya yang teroris. Saya sendiri sangat mengutuk pihak yang menteror masyarakat umum seperti teror terhadap menara tinggi di Amerika Serikat dan teror yang menciderai masyarakat sipil dimanapun. Keyakinan saya ini sesuai dengan persepsi Islam itu sendiri dimanha jangankan teror yang menzalimi masyarakat sipil dalam situasi biasa, dalam situasi perang saja dilarang meledakkan tempat dimana banyak orang sipil yang tidak berdo sa ikut terzali mi. Justru itulah ketika RII melawan tindakan brutalnya Saddam, senantiasa membu at pengumuman agar pihak sipil meninggalkan daerah yang akan mendapat serangan balik RII. Islam juga me larang memproduksikan senjata pemusnah massal. Justru itulah RII tidak akan mem produksikan senjata Nuklir kecuali Nuklir non militer.
Sepertinya masih banyak masyarakat Dunia yang belum mampu membedakan teror yang terkutuk dan dianjurkan. Hal itu sama juga seperti membunuh, dimana terkutuk pada umumnya namun ada kecuali yaitu membunuh demi membela diri dan membunuh dalam perang Jihad fi sabilillah, yang pada hakikatnya adalah membela diri juga atau demi membela kaum dhuafa. Teror yang dibenar kan adalah terornya orang Palestina, meledakkan bom dalam kerumunan tentara Israel yang da tang ke Palestina, tidak ada tujuan yang haq kecuali membunuh orang Palestina.
Kemabali kepersoalan sepakterjang polisi Hindunesia yang melavelkan pihak yang mereka zalimi paska MoU Helsinki sebagai teroris, benarkah? Sebagaimana sering saya ulang bahwa manusia yang mendiami planet Bumi ini terbagi kepada dua golongan, yaitu golongan manusia Qabil dan go longan manusia Habil. Golongan penindas dan yang tertindas. Golongan penjajah dan yang terja jah. Adakalanya terjajah secara terang terangan melalui intervensi suatu negara maupun penjajah yang terselubung, dimana penjajahnya berlagak terhormat namun pada hakikatnya mereka tidak memiliki hati nurani. Mereka inilah yang kita lavelkan dengan "Basyar". Menurut DR Ali Syariati bahwa Basyar itu tidak pernah berubah pola pikir piciknya, dari itu ke itu juga. Basyar secara kasar berarti binatang berkaki dua dan tidak berbulu di telapak tangannya. Mawas dan Gorella juga memiliki dua kaki tapi berbulu di telapak tangannya. Mawas dan Gorella juga Islami dimana kita haram membunuhnya kecuali benar-benar mengganggu kemuslihatan umum dan tidak ada cara lain selain terpaksa dibunuh. Sedangkan Basyar adalah makhluk yang tidak Islami. Mereka sekedar exist di Dunia ini dan dapat dipastikan tidak pernah beresensi.
Semut yang hidup sepuluh abad yang lalu dapat dipastikan bahwa mereka membuat sarangnya sama seperti sarang semut di jaman kita sekarang ini. Dari itu kita dapat menganalisa sepakterjang orang-orang yang bersatupadu dalam system Hindunesia yang taghuti, zalim, hipokrit dan korrup. Di jaman Suharto mereka membunuh jutaan orang yang tidak berdosa dengan menggunakan lavel PKI. Mereka juga telah membunuh banyak orang diseluruh Nusantara Melanesia dengan melavelkan Suppersiv. Belakangan mereka melavelkan separatis dan pengacau keamanan kepada siapa saja yang mereka klaim berpihak kepada Pejuang Acheh Merdeka, West Papua dan RMS. Ketika mereka tidak sanggup menghabisi pejuang Acheh Merdeka yang merasakan tidak adanya keadilan paska MoU Helsingki, para basyar tersebut melavelkan mereka sebagai Teroris, betapa dungunya. Demikianlah sepakterjang para basyar dimanapun mereka berada, mengklaim kebena ran sebagai milik mereka tanpa peduli suara mereka yang terzalimi.
Dulu ketika DR Hasan ditiro, Malik Mahmud dan Zaini Abdullah berada di Swedia juga pernah dituduhkan kepada mereka sebagai Teroris. Namun disebabkan Pemerintah Swedia bertindak jujur, klaim mereka ternyata nihil. Ironisnya setelah mereka tidak berhasil dengan lavel Teroris, tidak merasa malu sedikitpun mengajak orang yang pernah diklaim teroris itu untuk berdamai. Lebih ironis lagi mereka tidak bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka janjikan sebagai self Government, mereka sulap dengan otonomi basi. Allah berkata: "Dan diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian", padahal mereka bukanlah orang yang beriman (baca munafiq)" (QS. 2 : 8)
Andaikata mereka bukan basyar, pastinya tidak berbuat seperti itu terhadap GAM yang merasakan ketidak adilan paska MoU Helsinki. Sebaliknya berdaya upaya untuk memahami, apa persoalan mereka, bukan dengan cara kekerasan. Kekerasan tidak pernah menyelesaikan persoalan di Acheh. Hemat saya untuk Acheh, kalaulah tidak merdeka seratus persen, minimal keadilan disegala bidang dapat dirasakan oleh seluruh orang Acheh. Nampaknya apa yang saya katakan bagi para basyar itu sepertinya 'jauh panggang dari api'. Besar kemungkinan mereka yang dituduh teroris itu akan menjadi semacam pengikut Abu Sayaf di Moro. Mereka berani mempertaruhkan nyawanya. Semoga mereka mendapat bimbingan Allah, hingga benar-benar karena Allah, bukan berjuang demi kekuasaan sebagaimana banyak kita saksikan di permukaan planet Bumi ini, dimana setelah mereka menggapai kekuasaan tidak berbeda sepakterjangnya sebagaimana musuh yang mereka perangi sebelumnya.
Basyar adalah level yang tepat terhadap pihak yang melavelkan "teroris" kepada TNA yang masih asli itu, kendatipun mayoritas TNA yang sudah bergabung dengan Hindunesia mencomoohi nya. Kalau pandangan Amerika Serikat dan konconya, teroris itu merupakan level yang paling terkutuk. Namun ironisnya mereka mengira kaum teroris itu bermarkas di Afganistan dan Irak. Tak ajal lagi negara tersebut tadipun dihajar sampai hari ini tidak kunjung selesai dan bahkan belakangan terke san sepertinya justru Amerika Serikat dan konconya sendiri yang terperangkap ala teroris. Andai kata AS dan konconya langsung meninggalkan Irak setelah tertangkapnya Saddam, prototipe Ya zid bin Muawiyah, pembantai keluarga Rasulullah saww, klaim AS dan konco-konconya itu dapat ditolerir tetapi ternyata ada mahunya yang lain dibalik pelavelan tersebut.
Persoalan teroris sesungguhnya belum objektif. Israel juga melavelkan pejuang Palestina sebagai teroris. Sebaliknya justru Israel yang teroris dalam pandangan orang Palestina. Jadi pelavelan Isra el dan Polisi Hindunesia sepertinya sangat subjektive. Adalah hal yang sama dalam pandangan Rakyat Irak dan Afganistan, justru AS dan konconya yang teroris. Saya sendiri sangat mengutuk pihak yang menteror masyarakat umum seperti teror terhadap menara tinggi di Amerika Serikat dan teror yang menciderai masyarakat sipil dimanapun. Keyakinan saya ini sesuai dengan persepsi Islam itu sendiri dimanha jangankan teror yang menzalimi masyarakat sipil dalam situasi biasa, dalam situasi perang saja dilarang meledakkan tempat dimana banyak orang sipil yang tidak berdo sa ikut terzali mi. Justru itulah ketika RII melawan tindakan brutalnya Saddam, senantiasa membu at pengumuman agar pihak sipil meninggalkan daerah yang akan mendapat serangan balik RII. Islam juga me larang memproduksikan senjata pemusnah massal. Justru itulah RII tidak akan mem produksikan senjata Nuklir kecuali Nuklir non militer.
Sepertinya masih banyak masyarakat Dunia yang belum mampu membedakan teror yang terkutuk dan dianjurkan. Hal itu sama juga seperti membunuh, dimana terkutuk pada umumnya namun ada kecuali yaitu membunuh demi membela diri dan membunuh dalam perang Jihad fi sabilillah, yang pada hakikatnya adalah membela diri juga atau demi membela kaum dhuafa. Teror yang dibenar kan adalah terornya orang Palestina, meledakkan bom dalam kerumunan tentara Israel yang da tang ke Palestina, tidak ada tujuan yang haq kecuali membunuh orang Palestina.
Kemabali kepersoalan sepakterjang polisi Hindunesia yang melavelkan pihak yang mereka zalimi paska MoU Helsinki sebagai teroris, benarkah? Sebagaimana sering saya ulang bahwa manusia yang mendiami planet Bumi ini terbagi kepada dua golongan, yaitu golongan manusia Qabil dan go longan manusia Habil. Golongan penindas dan yang tertindas. Golongan penjajah dan yang terja jah. Adakalanya terjajah secara terang terangan melalui intervensi suatu negara maupun penjajah yang terselubung, dimana penjajahnya berlagak terhormat namun pada hakikatnya mereka tidak memiliki hati nurani. Mereka inilah yang kita lavelkan dengan "Basyar". Menurut DR Ali Syariati bahwa Basyar itu tidak pernah berubah pola pikir piciknya, dari itu ke itu juga. Basyar secara kasar berarti binatang berkaki dua dan tidak berbulu di telapak tangannya. Mawas dan Gorella juga memiliki dua kaki tapi berbulu di telapak tangannya. Mawas dan Gorella juga Islami dimana kita haram membunuhnya kecuali benar-benar mengganggu kemuslihatan umum dan tidak ada cara lain selain terpaksa dibunuh. Sedangkan Basyar adalah makhluk yang tidak Islami. Mereka sekedar exist di Dunia ini dan dapat dipastikan tidak pernah beresensi.
Semut yang hidup sepuluh abad yang lalu dapat dipastikan bahwa mereka membuat sarangnya sama seperti sarang semut di jaman kita sekarang ini. Dari itu kita dapat menganalisa sepakterjang orang-orang yang bersatupadu dalam system Hindunesia yang taghuti, zalim, hipokrit dan korrup. Di jaman Suharto mereka membunuh jutaan orang yang tidak berdosa dengan menggunakan lavel PKI. Mereka juga telah membunuh banyak orang diseluruh Nusantara Melanesia dengan melavelkan Suppersiv. Belakangan mereka melavelkan separatis dan pengacau keamanan kepada siapa saja yang mereka klaim berpihak kepada Pejuang Acheh Merdeka, West Papua dan RMS. Ketika mereka tidak sanggup menghabisi pejuang Acheh Merdeka yang merasakan tidak adanya keadilan paska MoU Helsingki, para basyar tersebut melavelkan mereka sebagai Teroris, betapa dungunya. Demikianlah sepakterjang para basyar dimanapun mereka berada, mengklaim kebena ran sebagai milik mereka tanpa peduli suara mereka yang terzalimi.
Dulu ketika DR Hasan ditiro, Malik Mahmud dan Zaini Abdullah berada di Swedia juga pernah dituduhkan kepada mereka sebagai Teroris. Namun disebabkan Pemerintah Swedia bertindak jujur, klaim mereka ternyata nihil. Ironisnya setelah mereka tidak berhasil dengan lavel Teroris, tidak merasa malu sedikitpun mengajak orang yang pernah diklaim teroris itu untuk berdamai. Lebih ironis lagi mereka tidak bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka janjikan sebagai self Government, mereka sulap dengan otonomi basi. Allah berkata: "Dan diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian", padahal mereka bukanlah orang yang beriman (baca munafiq)" (QS. 2 : 8)
Andaikata mereka bukan basyar, pastinya tidak berbuat seperti itu terhadap GAM yang merasakan ketidak adilan paska MoU Helsinki. Sebaliknya berdaya upaya untuk memahami, apa persoalan mereka, bukan dengan cara kekerasan. Kekerasan tidak pernah menyelesaikan persoalan di Acheh. Hemat saya untuk Acheh, kalaulah tidak merdeka seratus persen, minimal keadilan disegala bidang dapat dirasakan oleh seluruh orang Acheh. Nampaknya apa yang saya katakan bagi para basyar itu sepertinya 'jauh panggang dari api'. Besar kemungkinan mereka yang dituduh teroris itu akan menjadi semacam pengikut Abu Sayaf di Moro. Mereka berani mempertaruhkan nyawanya. Semoga mereka mendapat bimbingan Allah, hingga benar-benar karena Allah, bukan berjuang demi kekuasaan sebagaimana banyak kita saksikan di permukaan planet Bumi ini, dimana setelah mereka menggapai kekuasaan tidak berbeda sepakterjangnya sebagaimana musuh yang mereka perangi sebelumnya.
Kolom Analisis Harian Aceh, Selasa 2 Maret 2010
TERORIS, BINATANG APA LAGI INI
OLEH
MURTHALAMUDDIN
“Tho bileh kareng leubot, peunyaket sot meuriwang teuma”. Minggu-minggu ini Aceh kembali dihebohkan dengan isu baru. Kali ini sungguh sangat menyeramkan karena Aceh telah dilabelkan sebagai daerah beroperasinya kaum teror yang disebut teroris.
Entah apa yang salah dengan negeri keuneubah Iskandar Muda ini? Sehingga, selalu saja mendapat musibah yang rada-rada menakutkan dan selalu terkait dengan cerita bunuh membunuh.
Kasus penggerebekan sarang teroris di Aceh besar kembali membuka nuansa baru di Aceh. Sebelumnya tidak terpikir bahwa di Aceh akan menjadi ladang baru bagi musuh kemanusiaan ini. Anehnya, kali ini aparat keamanan langsung melabelkan mereka kaum teroris. Hal ini jelas sangat menakut. Pasalnya, sekarang ini di atas planet bumi ini, inilah label yang sangat dimusuhi oleh dunia barat dan kaum antifanatisme.
Dalam kisah Aceh pelabelan ini bukan hal baru. Di masa lalu kita dicekoki dengan label Cumbok, DI/TII, Gerakan Pengacau Keamanan, Gerakan Separatis Bersenjata dan label-label lain yang menyeramkan. Kali inipun pelabelan teroris ditanggapi masyarakat dengan negatif thinking. Selama ini semua pelabelan di atas memberi adjustment bagi pihak keamanan untuk melakukan tindakan-tindakan yang di luar patron resmi. Di masa lalu pelabelan itu berujung hilangnya nyawa dan pelanggaran HAM besar-besaran.
Pengungkapan kasus-kasus kekerasan bersenjata atau kepemilikan senjata api sejak perdamaian selalu dikaitkan dengan kriminalitas. Tapi kali ini aparat kepolisian langsung menyatakan mereka kelompok teroris. Definisi kejahatan bersenjata dengan teroris mungkin hanya dibedakan pada tujuan dari tindakan si pelaku. Oleh karenanya bisa saja para pelaku yang ditangkap itu hanya numpang tenar saja. Bisa saja mereka cuma pelaku kriminal biasa.
Amat tidak arif bila kasus ini diseret ke wilayah politis dengan pelabelan begitu. Bagi masyarakat Aceh tindakan itu bukan malah memberi semacam pemahaman yang baik terhadap penindakan itu. Rakyat Aceh sudah sangat anti segala sesuatu yang bersifat pelabelan. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa semasa konflik dulu setiap ada yang kehilangan nyawa karena kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum selalu dibuat pembenaran dengan pelabelan.
Kinipun banyak pihak menduga ini menjadi permainan baru untuk membuat Aceh setengah stabil. Jangan salah kira yang dimaksud di sini bukan langsung menuding ini hanya rekayasa polisi, walaupun mugkin ini bisa saja terjadi. Yang kita ingin katakan bahwa kelompok ini memang diset untuk berada dan bergerak di Aceh. Kemudian ini dibocor untuk ditindak oleh polisi. Karena mereka bukan murni warga Aceh maka dipastikan lebel teroris jadi lebih mudah di umbarkan.
Benar atau tidaknya asumsi di atas tidak begitu penting. Yang paling kita prihatinkan nanti kasus ini menjadi ajustment bagi penindakan di luar hukum terhadap warga lainnya yang kemudian dituduh teroris. Begitu juga imej bagi Aceh setelah kasus ini ter-blow up. Mainan lama bahwa ada separatisme di Aceh telah berakhir. Jualan ini jelas tak laku lagi untuk memojokkan Aceh di tingkat nasional maupun internasional. Nah yang paling seksi untuk mendapat dukungan adalah label teroris. Kelompok ini memang sedang menjadi musuh bersama di atas muka bumi ini. Maka bila ini berhasil dijual dan diamini pihak luar maka nanti akan lahir operasi baru untuk menumpas kaum “keparat” ini. Bilapun kemudian jatuh korban pihak yang tidak terlibat, tinggal tempel saja di jidatnya label teroris.
Siapapun yang memegang kendali keamanan di Aceh saat ini harus sadar bahwa Aceh tidak bisa dikerasi. Semua penyelesaiaan konflik Aceh tidak pernah berhasil dipadamkan dengan senjata. Apapun tindakan penegakan hukum jangan dibawa ke wilayah yang politis. Karena dipastikan resitensi masyarakat akan menjadi tinggi. Sebagai contoh bagaimana sulitnya polisi mendapat informasi masyarakat untuk pengungkapan kasus-kasus pelaku perampokan bersenjata. Tidak ada artinya blow up yang megah bila ternyata rakyat malah mencurigai ini sebagai awal mereka akan kembali diawasi dan dicurigai.
Selama ini berkembang dari mulut ke mulut bahwa Aceh dan Papua adalah alat bergaining bagi pihak otoritas keamanan dengan pemerintah. Maka bila benar ada unsur rekayasa dalam kasus teroris ini tudingan di atas akan mendapat pembenaran. Kita berharap cukup sudah Aceh menjadi alat bagi pihak-pihak yang haus legalitas dan kekuasaan. Jangan jadikan Aceh untuk memperkuat bergaining politis. Jangan jadikan Aceh lahan uji coba atau sarana latihan intilijen. Kasus-kasus kepemilikan senjata api di sini sudah berlangsung lama. Maka bila sekarangpun terjadi harus dilihat bagaimana ini tidak lari dari koridor penegakan hukum kelabelitas. Rakyat trauma setiap pergerakan besar-besar atau operasi aparat keamanan.
Semua pihak terutama para pengambil kebijakan harus sadar, bahwa buruknya situasi keamanan atau tingginya tingkat kriminalitas karena ketidakmampuan mereka memberi jaminan hidup bagi rakyat yang mereka pimpin. Selama masih ada disparitas sosial yang tinggi antar kelompok di masyarakat, selama itu akan lahir kelompok sakit hati. Bila sudah begitu tinggal disulut saja, maka mereka segera menjadi pelaku kriminal. Sadar atau tidak saat ini banyak di antara rekan ”seperjuangan” yang terpuruk han glah meukeu bakong asoe pih. Sementara bagi yang lain yang berhasil mengakses kekuasaan berpesta dengan gelimangan rupiah.
MURTHALAMUDDIN
Tanah Rencong
Tanah Rencong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar