Jumat, 08 Januari 2010

JADILAH DIRIMU SEBAGAI HUSSEIN ATAU ZAINAB AL KUBRA KALAU TIDAK ENGKAU ADALAH YAZID. TIDAK ADA ALTERNATIF LAINNYA

  


Bismillaahirrahmaanirrahiim




Kisah syahidnya Imam Hussein di Karbala mengundang kita untu menganalisa bagaimana hal itu bisa terjadi, bukankah Imam Hussein itu cucunya Rasulullah? Bukankah sahabat Rasulullah masih banyak dikala itu yang seharusnyaa siap memberikan bantuan kepada Hussein tapi realitanya mereka diam seribu satu bahasa. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Sebelum Imam pergi ke Karbala terlebih dahulu pergi Haji.. Untuk apa Imam pergi Haji duluan sebelum bertempur di medan Karbala? Apakah kepergian Imam ke Haji sebelum Karbala kita abaikan begitu saja tanpa kita analisa tujuan yang signifikan hingga bermanfaat buat kita yang hidup belakangan setelah tragedi Karbala? Perginya Imam ke Haji sebelum Karbala tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang berideology dengan Ideology Hussein. Kepergian Imam ke Haji adalah untuk memberitahukan para Haji kendatipun kebanyakan dari mereka adalah sahabat Rasulullah sendiri yang sepakterjangnya tidak jauh berbeda dengan sepakterjang orang-orang yang dihadapi Imam Hussein di Karbala, bahwa tanpa Imam yang haq, taaf di Baitullah adalah perbuatan sia-sia. Hal ini menjadi i'tibar buat kita bangsa Acheh - Sumatra bahwa Haji sekarang masih diku asai keturunan Yazid bin Muawiyah. Maksudnya mereka tidak jauh berbeda sepakterjangnya dengan Yazid bin Muawiyah. Me reka membenci keluarga Rasulullah/ahlulbaytnya.

Baru 3 kali Imam melakukan tawaf bersama keluarga dan pengikut setianya, Imam berhenti yang membuat jamaah Haji lain juga berhenti total. Imam mulai berkhutbah. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah, selawat kepada Rasulullah dan keluarganya, berkhutbah panjang lebar mengingatkan bahwa tampa Imam yang haq, melingkari Ka'bah (baca tawaf) adalah sama dengan melingkari istana Hijau Yazid bin Muawiyah. Dalam hati orang yang tidak berideology, kendatipun mereka me ngaku sebagai sahabat Rasulullah sekalipun, menertawakan ucapan Imam itu. Mereka meyakini Istana Yazid adalah istana Yazid, takmungkin pernah sama dengan Ka'bah, sebagai tonggak kiblatnya ummat Islam. Demikian cara orang lugu berpikir. Mereka hanya mampu menangkap yang tersurat, tidak mampu menangkap yang tersirat. Mereka itu memang berilmu dan menyaksikan Rasulullah dalam hidupnya tapi mereka tidak memahami ideology Rasulullah, demikian juga dengan ideology Imam Hussein, pewaris Rasulullah.

Termasuk hal yang perlu digarisbawahi dari khutbah Imam Hussein itu adalah ketika beliau mengatakan:"Sekarang aku akan hijrah ke Karbala, aku akan hijrah ke Mati. Mati merah adalah mati berdarah, mati yang paling indah bagaikan kalung yang me lingkar di leher gadis nan rupawan". Setelah mengucapkan kata tersebut, setelah menutup khutbahnya, Imam sekeluarga dan sahabat setianya langsung ke Karbala. Ini menunjukkan bahwa Imam telah mengetahui bahwa beliau akan syahid di Karbala (berbeda dengan tulisan yang diforward dibawah tulisan saya ini, tidak mengandung muatan Ideology.

Kemabali kepada alimpalsu yang tidak ikut bersama Imam, kendatipun demikian jelas khutbahnya itu, mengundang kita untuk merenungkan bahwa demikian jugalah alimpalsu dalam system Hindunesia - Jawa, kendatipun mereka mengetahui bahwa Suharto itu Koruptor nomor wahid di Dunia tapi tetap saja brsatupadu dalam system yang menjejaskan kehidupan kaum Dhu afa itu. Mereka hidup mewah akibat berdaya upaya membela penguasa dhalim itu. Mereka berfungsi sebagaimana ulama Bal'am di jaman Fir'un dulu, tidak memihak kepada Nabi Musa dan Harun tapi berjingkrak-jingkrak dalam 'ketiak' penguasa dhalim tidak berbeda dengan Abu Hurairah yang berjingkrak-jingkrak dalam 'ketiak' Muawiyah, penguasa dhalim yang menja min kehidupan Abu Hurairah. Adakah kita heran melihat para alimpalsu di jaman kita sekarang? Ironisnya kita juga takberda ya memahami sepakterjang para alimpalsu itu hingga tergambar dalam benak kita bahwa mereka itu adalah ulama yang ber dosa membelakangi mereka. Justru itulah system Dhalim, hipokrit dan korrup itu tetap langgieng sampai hari ini dan bahkan sampai turunnya Imam Mahdi untuk meluluhlantakkan penguasa-penguasa dhalim dimanapun diseluruh Dunia. Sayangnya dikalangan kita terlalu sedikit kita miliki ilmu tentang Imam Muntazhar al Mahdi as itu.

Di Acheh muncul DR Hasan Muhammad Ditiro untuk menyadarkan bangsa Acheh - Sumatra. Beliau juga terinspirasi Karbala, perjuangan Imam Hussein yang mampu menyirami "pohon" Islam yang hampir punah ketika "kebunnya" berada di tangan Yazid bin Muawiyah., yang membuat Islam bagaikan perahu terbalik, yang menumpahkan segala isinya. DR Hasan Muham mad Ditiro mampu menganalisa peristiwa Imam Hussein di Karbala, kalau Imam Hussein yang pengikut setianya hanya ber kisar sekitar 70 orang, berani melawan kedhaliman Yazid, kenapa kita orang Acheh yang kwantitasnya demikian lumaian.tidak sanggup? Rupanya pejuang kita, Acheh - Sumatra kwantitasnya, ya tapi kwalitasnya, no. Realitanya dapat kita saksikan seka rang bahwa kebanyakan mereka berpatahbalik kebelakang, herankah kita? Herankah kita orang yang kita sangka ulama ter nyata badut-badut yang 'menjilat' kaki penguasa, sambil mengatakan: "ampun delat tuanku, kami tetap setia kepadamu". ke manakah marwah bangsa Acheh - Sumatra kita? Bercerminlah dengan peristiwa Karbala agar kita sadar siapakah kita ini a gar dapat bertaubat hingga dapat menjumpai Imam Hussein di pancutan Kautsar kelak, bukan terbaring bersama Yazid dan "Samiri cs" dalam Neraka (nauzubillaahi minzalik).

Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) membujuk Imam untuk tidak pergi ke Karbala (Kofah). Dia mengatakan bahwa penduduk Kufah yang telah memintanya datang adalah terkenal jahat dan tak dapat dipercaya. Dia memintanya agar pergi saja ke Ya man. Disana Imam Hussein mempunyai ramai pengikut sehingga dia boleh hidup dengan aman. Imam Hussein mengatakan bahwa sahabat setianya, keluarga dan juga adiknya Muhammad Hanafiah telah berkata yang benar. "Saya juga tahu bahwa saya tidak akan mencapai apa-apa kuasa sebab saya pergi bukan untuk penaklukan dunia. Saya pergi hanya untuk dibunuh. Saya berharap bahwa melalui penderitaan yang saya tanggung dari penindasan ini, dapat mencabut keluar asas bagi segala kekejaman dan kedhaliman. Saya berjumpa dengan datuk, nabi Allah didalam mimpi memberi tahu saya agar membuat perja nlanan ke Irak. Allah mahu melihat saya dibunuh". Muhammad Hanafiah dan Ibnu Abbas berkata: "Jika begitu kenapa membawa anak-anak dan wanita bersama kamu?". Imam menjawab: "Datuk saya mengatakan bahwa Allah mahu melihat mereka ditawan. Saya membawa mereka sesuai arahan Nabi Allah"

Patut kita renungkan disini bahwa Haji bukanlah sekedar ibadah Ritual, tetapi juga Sosial, Siasah, Sejarah, Ekonomi, Kehidupan, Kebangkitan dan Ideology. Haji adalah evolusi manusia menuju kepada Allah. Wahai Haji menceburlah dirimu kedalam lautan manusia agar kamu dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dengan cara yang demikianlah kamu mendapat redhaNya. Demikian hebatnya Ibadah yang satu ini. Namun siapakah orangnya yang begitu berani memandang rendah dan sia-sia terhadap Haji tersebut ? Dia tidak berbuat sebagaimana orang-orang "Islam" yang lain. Padahal Tonggak bersejarah yang dibangun Nabi Ibrahim bersama dengan anaknya, Nabi Ismail itu telah banyak mengambil korban untuk dihidupkan kembali oleh nabi Muhammad saww, datuknya. Salahkah Imam Hussein mengabaikan Haji itu demi untuk syahid di Karbala ? Atau kitakah yang belum mampu memahami Ideology Imam Hussein dan Karbalanya ? "Setiap bulan adalah Muharram, setiap hari adalah 'Asyura dan setiap tempat adalah Karbala". Karbala adalah symbolisasi medan pertempuran antara yang haq dan yang bathil. Imam Hussein, keluarga dan sahabat setianya begitu gagah berani mengorbankan darah dan air mata untuk menyirami kembali "Pohon" Islam yang telah dimatikan Yazid, duplikat fir'aun atau Namrud.

Ideology inilah yang perlu dipahami oleh bangsa Acheh - Sumatra dewasa ini bahwa kita pantang hidup dibawah symbul-symbul kedhaliman. Kita dituntut untuk berjuang dibawah satu poros, pemimpin yang membebaskan kaum dhu'afa dari be lenggu-belenggu yang menimpa kuduk-kuduk mereka (Q.S,7:157). Apa artinya kita demikian rajin mencangkul di tengah sawah yang terbentang lebar, sementara kita lupa bahwa sebentar lagi airbah akan menyapu semua tanaman yang kita ta nam tadi. Justru itu kita perlu memperbaiki bendungan terlebih dahulu agar usaha kita tidak menjadi sia-sia.



Billahi fi sabililhaq
Muhammad al Qubra
Acheh - Sumatra

http://achehkarbala.blogspot.com/
--------------------------------------------------------------------------------
Fra: r i m a
Til: IACSF@yahoogroups.com
Sendt: tir, januar 5, 2010 8:40:15 AM
Emne: IACSF Kisah: SYAHIDNYA IMAM HUSEIN DI PERTEMPURAN KARBALA




SYAHIDNYA IMAM HUSEIN DI PERTEMPURAN KARBALA
KISAH HARI ASHURA 10 MUHARRAM 61 H
Sumber: www.eramuslim. com



PENDAHULUAN



Pertengahan abad pertama Hijirah, yaitu masa pasca kekhalifahan Abu Bakar bin Abu Quhafah, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Imam Ali bin Thalib, Muawiyah yang tadinya menjabat Gubernur Syam (Suriah) atas pilihan Utsman bin Affan mengangkat dirinya sebagai khalifah setelah berhasil menyingkirkan khalifah yang sah, Imam Hasan bin Ali yang menggantikan Imam Ali dan berbasis di Madinah.

Ketika Muawiyah Bin Abi Sufyan menemui ajalnya, anaknya yang bernama Yazid menggantikan kedudukannya di atas singgasana khalifah yang saat itu sudah benar-benar menyerupai kerajaan tiran dan sarat ironi. Seperti ayahnya, karena naik tanpa restu umat dan syariat, Yazid mencari baiat dengan cara paksa dari umat. Di pihak lain, sebagai tokoh yang paling berpengaruh di tengah umat, putera Fatimah Azzahra dan cucu tercinta Rasul, Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib yang tinggal di Madinah, diincar oleh Yazid. Beliau dikirimi surat dan pesan agar memilih satu diantara dua pilihan; baiat kepada Yazid atau mati.

Saat menolak pilihan pertama, baiat, Imam Husain tiba-tiba diserbu ribuan surat dari penduduk Kufah, Irak. Mereka menyatakan siap mengadakan perlawanan bersenjata atas Yazid bin Muawiyah dan membaiat Imam Husain sebagai khalifah dengan syarat beliau datang ke Kufah untuk mengoordinasi dan mengomandani pasukan perlawanan. Tadinya Imam keberataan memenuhi ajakan itu karena orang Kufah sudah lama beliau ketahui sulit dipegang janjinya.

Namun, keberatan itu membuat beliau semakin dibanjiri surat sampai akhirnya beliau tak kuasa untuk menolak saat surat-surat terakhir penduduk Kufah berisikan ancaman mereka untuk mengadukan beliau kepada Allah di hari kiamat kelak bahwa beliau telah menolak kebangkitan melawan penguasa tiran, bahwa beliau telah menyia-nyiakan kekuatan dan kesempatan yang tersedia untuk menumbangkan penguasa zalim dan kejam, bahwa beliau tidak mengindahkan jeritan, derita, dan harapan kaum mustahd'afin, dan bahwa beliau tidak berani mengorbankan jiwa dan raga demi melawan penguasa durjana. Sang Imam tak berkutik, meskipun beliau tahu semua itu belum tentu mencerminkan loyalitas penduduk Kufah dengan resiko apapun. Saat itulah Imam merasa dihadapkan pada ketajaman lensa sejarah yang hanya mau merekam bukti dan kenyataan di depan mata umat, bukan dogma-dogma sakral tentang hakikat non-derawi. Jadi, kebangkitan Imam tadinya bukan berarti harus keluar dari menuju Kufah, tetapi karena secara kasat mata di Kufah sudah tersedia kesempatan dan kekuatan untuk menumbangkan Yazid, beliau harus keluar untuk memastikan benarkah kesempatan itu memang ada.

Maka, meskipun dengan berat hati dan keyakinan penuh bahwa beliau akan menghadapi marabahaya, undangan penduduk Kufah itu akhirnya beliau penuhi. Beliau mengirim utusannya, Muslim bin Aqil untuk meninjau keadaan yang sesungguhnya di Kufah. Di Kufah, Muslim mendapati rakyat benar-benar sedang diterjang gelora semangat perlawanan.. Karenanya, Muslim menyampaikan berita gembira itu kepada Imam Husain lewat surat. Imam berangkat menuju Kufah bersama rombongannya yang berjumlah ratusan orang, setelah beliau singgah terlebih dahulu ke Mekkah.

Ketika Imam sedang dalam perjalanan panjang menuju Kufah, keadaan di kota ini berubah total. Nyali penduduk tiba-tiba ciut dan keder setelah diancam habis-habisan oleh gubernur Kufah yang berdarah dingin, Ubaidillah bin Ziyad. Semua menutup pintu rapat-rapat dan tak ada yang berani keluar untuk bicara dan berkumpul lagi soal gerakan perlawanan. Hanya segelintir orang yang masih setia kepada Muslim bin Aqil dan siap menyongsong segala resiko. Namun akhirnya mereka ditangkap.

Muslim dihabisi dengan cara yang sangat sadis. Jasadnya yang tanpa kepala dipertontonkan di pasar Kufah, dan penduduk terpaksa pura-pura ikut bergembira atas kematian Muslim.

Perubahan itu tercium Imam Husain dan rombongannya ketika sudah mendekati Kufah. Mendengar itu, rombongan Imam banyak yang terguncang kemudian memilih mundur dan keluar dari barisan Imam. Jumlah pengikut beliau akhirnya surut drastis, hanya tinggal beberapa wanita dan anak kecil serta puluhan orang. Putera pasangan suci Imam Ali dan Fatimah Azzahra itu tetap melanjutkan perjalanan sampai kemudian berhadapan dengan pasukan kiriman gubernur Kufah pimpinan Hur bin Yazid Arriyahi. Pasukan itu dikirim sengaja untuk menghadang rombongan Imam. Berikut ini adalah penggalan kisah akhir perjalanan beliau yang kami sadur dari buku Husain, Beheshti-e Mau'ud (Husain, Surga yang Dijanjikan), karya penulis Iran Ny. Farida Gulmohammadi.



BAB 1

PERTEMUAN IMAM HUSAIN AS DENGAN HUR BIN YAZID ARRAYAHI

Tak lama setelah memasang tenda, rombongan Imam Husain as didatangi seribu pasukan kuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid Arrayahi. Pasukan yang tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam Husain dan para sahabatnya yang juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang masing-masing dipinggang.

Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap kepala. Imam Husain dan para sahabatnya memerintahkan para pengikutnya supaya air yang masih tersisa diminum dan minumkan kepada kuda-kuda mereka. Hingga tengah hari itu suasana yang masih relatif tenang. Begitu waktu shalat dhuhur tiba, Imam memerintah seorang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin Masruq Al-Ja'fi untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri di depan pasukan Hur untuk menyampaikan suatu kata kepada mereka yang beliau pandang sebagai orang-orang Kufah tersebut.

"Hai orang-orang!" Seru Imam Husain setelah menyatakan pujian kepada Allah dan salawat kepada rasul-Nya. "Aku tidaklah kepada kalian kecuali setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian, orang-orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian merasa tidak memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian kepada jalan yang benar. Oleh sebab inilah aku pun bergerak ke arah kalian. Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji kalian, maka aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke negeriku."

Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Imam Husain as itu terdiam seribu basa. Tak ada seorang yang angkat bicara. Beliau kemudian memerintahkan muazzin tadi untuk mengumandangkan iqamah setelah meminta Hur supaya menunaikan shalat bersama pasukannya sebagai Imam Husain as juga shalat bersama para pengikut setianya. Uniknya, Hur menolak shalat sendiri. Dia meminta shalat berjamaah di belakang beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam shalat dhuhur berjamaah yang dipimpin Imam Husain as.

Seusai shalat, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-masing. Beberapa lama kemudian kedua rombongan ini bergabung kembali untuk menunaikan shalat asar berjemaah dipimpin oleh Imam Husain as. Seusai shalat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian kepada Allah dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:

"Amma bakdu. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah jika kalian memang bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah) bahwa kami, Ahlul Bait Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian."



Hur menjawab:
"Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu."

Imam Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam'an untuk mengambil surat-surat itu supaya diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu, Hur mengatakan: "Aku bukan bagian dari mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong balatentaramu dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad."

Kata-kata Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam Husain as. Kata-kata ini mengundang kegeraman beliau. Beliau memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda yang terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah Imam Husain as pun mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan rombongan Imam Husain as dihadang oleh pasukan Hur.

"Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang kamu inginkan dari kami?" Seru Imam Husain as gusar.

"Engkau menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku pasti juga mengucapkan kata-kata yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah wanita yang sangat patut dimuliakan." Kata Hur.

"Lantas apa maumu?" Tanya Imam lagi.
"Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyad."
"Aku tidak akan pernah bersamamu."


"Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke Kufah dan aku serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan terbunuh jika kamu berperang."

"Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah urusan kalian akan selesai jika aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila kebenaran sudah diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan orang-orang yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan para pendurhaka."

Kata-kata Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as sambil memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara beliau dan Hur hingga ketika sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: "Kalau kamu hendak berperang denganku maka aku siap berduel denganmu."


Hur menjawab: "Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya ditugaskan menyerahkan dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau kembali ke Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau tidak, maka aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia menentukan apa yang harus aku lakukan."

Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-masing.
Sakinah puteri Imam Husain mengisahkan: "Dari dalam tenda aku mendengar suara seseorang tersedu menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ayahkulah yang menangis di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: 'Kalian telah keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang akan membaiatku dengan lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu sekarang sudah berubah, setan telah memperdayai mereka, mereka melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku dan orang-orang yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta tertawannya kaum wanita dan anak-anakku. Yang aku khawatirkan sekarang ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita lakukan ini. Oleh sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan perjalanan ini jika kalian kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku, ketahuilah bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga. Ketahuilah bahwa kakekku Rasulullah pernah berdabda:

"Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang diri. Barangsiapa yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan barangsiapa yang menolongku, maka dia menolong putera keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam golonganku.'"[3]

Sakinah melanjutkan, "Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para pengikut beliau banyak yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar 70-an orang.[4] Aku mendatangi ayahku dengan hati yang sangat kesal dan kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya hanya bisa menengadahkan wajahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyia-nyiakan kami, maka sia-siakanlah mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit, janganlah Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah kepada mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan kepada mereka syafaat kakek kami pada hari kiamat. Kabulkan doa orang yang suci dari noda dan dosa."[5]

Sehari kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur sambil menyerahkan surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam Husain as dan menggiring beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim balatentara bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.

Mendengar pernyataan yang tertera dalam surat Ubaidillah, seorang sahabat Imam Husain as yang bernama Yazid bin Muhajir Al-Kindi berseru kepada utusan Ibnu Ziyad: “Semoga ibumu meratapi kematianmu, betapa celakanya isi surat yang kamu bawa itu!”

Utusan itu menjawab:

“Aku mematuhi perintah imamku. Apa saja yang diperintahkannya akan aku laksanakan.”


Muhajir berseru lagi:

“Kamu telah durhaka kepada Tuhanmu, karenanya api jahanam layak membakarmu.”


Salah seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. “Wahai putera Rasul!” Seru sahabat bernama Zuhair bin AlQein itu. “Izinkan aku berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai mereka tak berkutik.”


Imam menjawab:

“Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada mereka.”

Sahabat Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru:

“Demi Allah, kami akan berjihad membelamu walaupun tubuh kami akan tercincang.”

Imam Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khutbah Al-Gharra’ii untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini, setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah, Imam Husain berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mendapati penguasa zalim yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menentang sunnah Rasulullah, memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan tindakan maupun kata-kata, maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu disemayamkan.”

Beberapa lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ketika tiba di suatu gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. Hur berkata: “Aku tidak mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku harus melaksanakan segala perintahnya.”

Kedua pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu daerah bernama Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah daerah yang dialiri sungai Elfrat.



BAB 2

KARBALA, PESINGGAHAN TERAKHIR



Tentang keberadaan Imam Husain as di Karbala diriwayatkan bahwa ketika beliau tiba di padang ini kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku kendati beliau sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakiknya. Karena itu, Imam Husain as nampak mulai curiga sehingga bertanya: “Apakah nama daerah ini?”



Orang-orang menjawab: “Qadisiah.”



“Adakah nama lain?” Tanya Imam lagi.



“Shati’ Al-Furat.”



“Selain itu ada nama lain lagi?”



“Karbala.”



Mendengar jawaban terakhir ini Imam Husain as segera berucap:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan malapetaka.”



Imam lalu berseru kepada para pengikutnya:

“Kita berhenti disini, karena di sinilah akhir perjalanan kita, di sinilah tempat tumpahnya darah kita, dan di sinilah tempat kita dikebumikan.”



Di tanah itu, Ummu Kaltsum as adik Imam Husain as berkeluh kesah kepada beliau. “Padang sahara terlihat menyeramkan, aku tiba-tiba dicekam ketakutan yang amat besar.”



Imam menjawab:

“Adikku, dalam perjalanan untuk Perang Siffin, bersama ayahanda kami pernah berhenti di sini. Di sini ayah merebahkan kepalanya ke pangkuan kakakku, Hasan, kemudian tertidur. Aku juga kebetulan ada di sisinya. Begitu terjaga, ayah tiba-tiba menangis sehingga kakakku bertanya mengapa ayah menangis. Ayah menjawab: “Aku bermimpi sahara ini berubah menjadi lautan darah dan Husain tenggelam ke dalamnya sambil berteriak-teriak meminta pertolongan tetapi tak seorangpun mengindahkan teriakannya.” Ayah kemudian bertanya kepadaku: “Bagaimanakah kalian jika seandainya ini terjadi?” Aku menjawab: “Tidak ada jalan lain, aku akan sabar.”



Imam Husain as kemudian berkata:

“Sesungguhnya Bani Umayyah telah mencemarkan nama baikku, tetapi aku bersabar. Mereka merampas harta bendaku, aku juga bersabar. Mereka kemudian menuntut darahku, tetapi juga tetap sabar. Demi Allah, mereka akan membunuhku sehingga Allah akan menimpakan kepada mereka kehinaan yang amat sangat dan akan menghunjam kepada mereka pedang yang amat tajam.”



Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad sudah mendapat laporan bahwa Imam Husain as berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid. Ubaidillah mengancam Imam Husain as pasti akan mati jika tetap menolak memberikan baiat.



Imam Husain as membaca surat itu kemudian melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir Ubaidillah bahwa surat itu tidak akan dibalas oleh beliau. Ubaidillah murka setelah mendengar laporan sang kurir tentang sikap Imam Husain ini. Dipanggilnya Umar bin Sa’ad, orang yang sangat mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota Rey. “Cepat pergi!” Seru Ubaidillah kepada Umar. “Habisi Husain, setelah itu datanglah kemari lalu pergilah ke Rey untuk menjabat di sana selama 10 tahun.



Umar bin Sa’ad meminta waktu satu hari untuk berpikir, dan Ubaidillah pun memberinya kesempatan itu. Umar kemudian berunding dengan teman-temannya. Dia disarankan supaya tidak menerima tugas untuk membunuh cucu Rasul itu. Namun, saran itu tidak meluluhkan hatinya yang sudah dilumuri ambisi untuk bertahta. Maka, dengan memimpin 4.000 pasukan dia bergerak menuju Karbala. Begitu tiba di Karbala, mulai adegan-agedan penganiayaan terjadi terhadap Imam Husain beserta rombongannya. Umar bin Sa’ad bahkan tak segan-segan mencegah mereka untuk mendapatkan seteguk air minum.



Hur dan pasukannya bergabung di bawah pasukan pimpinan Umar bin Sa’ad. Umar memerintahkan seseorang bernama Azrah bin Qais. “Cepat datangi Husain, dan tanyakan kepadanya untuk apa datang kemeri.” Kata Umar. Azrah kebingungan dan malu karena dia termasuk orang yang mengirim surat kepada Imam Husain as supaya beliau datang ke Kufah.



Umar bin Sa'ad kemudian menyuruh beberapa orang lain untuk bertanya seperti itu, tetapi tak ada satupun diantara mereka yang bersedia. Mereka keberatan karena mereka juga seperti Azrah bin Qais; ikut mengundang Imam Husain as tetapi malah berada di barisan pasukan yang memusuhi beliau.



Diriwayatkan bahwa Barir bin Khudair meminta izin Imam Husain as untuk berbicara dengan Umar bin Sa'ad mengenai penggunaan air sungai ElFrat. Beliau mengizinkannya dan Barir pun pergi mendatangi Umar bin Sa'ad. Di depan Bin Sa'ad Barir langsung duduk tanpa mengucapkan salam. Karena itu Umar bin Sa'ad langsung naik pitam.



"Kenapa kamu tidak mengucapkan salam kepadaku? Bukankah aku ini seorang muslim yang mengenal Allah dan rasul-Nya?" Tegur Ibnu Sa'ad geram.



"Kalau kamu memang seorang Muslim," jawab Barir, "kamu tentu tidak akan keluar untuk memerangi keluarga Nabimu, Muhammad bin Abdullah, untuk membunuh mereka, untuk menawan para anggota keluarga mereka. Di saat orang-orang Yahudi dan Nasrani bisa menikmati air sungai ElFrat, Husain putera Fatimah beserta keluarga dan sahabatnya justru terancam maut akibat kehausan karena kamu mencegah mereka meneguk air sungai tersebut, tetapi di saat yang sama kamu mengaku mengenal Allah dan rasul-Nya."



Ibnu Sa'ad sejenak menunjukkan kepada kemudian mendongak lagi sambil berkata: "Hai Barir, saya yakin siapapun akan masuk neraka jika memerangi dan membunuh Husain dan kaum kerabatnya. Namun, apa yang bisa aku lakukan nanti untuk ambisiku di Ray? Apakah aku akan membiarkannya jatuh ke tangan orang lain? Demi Allah, hatiku tidak berkenan untuk yang demikian."



Barir kemudian kembali menghadap Imam Husain as dan melaporkan apa yang dikatakan Umar bin Sa'ad. Imam pun berkomentar: "Dia tidak bisa mencapai kekuasaan di Ray. Dia akan terbunuh di tempat tidurnya sendiri.."



BAB 3

PERTEMUAN IMAM HUSAIN AS DENGAN UMAR BIN SA'AD



Demi menuntaskan hujjahnya, Imam Husain as menyampaikan pesan kepada Umar bin Sa'ad bahwa beliau ingin bertemu dengannya. Umar setuju. Maka, diadakanlah sebuah pertemuan antara keduanya. Umar bin Sa'ad ditemani 20 orang dari pasukannya sebagaimana Imam Husain as juga ditemani oleh 20 pengikutnya. Namun, di tengah pertemuan ini keduanya memerintahkan semua pengikut masing-masing itu untuk keluar dari ruang pertemuan kecuali dua orang dari mereka masing-masing. Dari pihak Imam Husain yang dizinkan untuk terus terlibat dalam pertemuan adalah Abbas dan Ali Akbar as, sedangkan dari pihak Umar bin Sa'ad yang diperbolehkan tinggal adalah puteranya, Hafs, dan seorang budaknya.



Dalam pertemuan 6 orang ini terjadi dialog sebagai berikut:



Imam Husain as:

"Hai putera Sa'ad, adakah kamu tidak takut kepada Allah, Tuhan yang semua orang akan kembali kepada-Nya. Kamu berniat memerangiku walaupun kamu tahu aku adalah cucu Rasulullah, putera Fatimah Azzahra, dan Ali. Hai putera Sa'ad, tinggalkanlah mereka (Yazid dan pengikutnya) itu, dan kamu lebih baik bergabung denganku karena ini akan mendekatkanmu dengan Allah."



Umar bin Sa'ad:

"Aku takut mereka menghancurkan tempat tinggalku."



Imam Husain as:

"Aku akan membangunnya kalau mereka merusaknya.."



Umar bin Sa'ad:

"Aku takut mereka merampas kebunku."



Imam Husain as:

"Kalau mereka merampasnya, aku akan menggantinya dengan yang lebih baik."



Umar bin Sa'ad:

"Aku punya keluarga dan sanak famili, aku takut mereka disakiti."



Imam Husain as terdiam dan tak mau menyambung jawaban lagi. Sambil bangkit untuk keluar meninggalkan ruang pertemuan beliau berucap: "Allah akan membinasakanmu di tempat tidurmu. Aku berharap kamu tidak akan dapat memakan gandum di Ray kecuali sedikit."



Dengan nada mengejek, Umar bin Sa'ad menjawab:

"Kalau aku tidak dapat menyantap gandumnya, barley-nya sudah cukup bagiku."



"Hai putera Sa'ad, jadi kamu hendak membunuhku dengan harapan dapat berkuasa di Ray dan Jirjan seperti yang dijanjikan Ibnu Ziyad. Demi Allah kamu tidak akan dapat menggapai ambisimu itu karena ayahku sudah memberitahuku tentang ini. Lakukan segala apa yang kamu inginkan karena sepeninggalku di dunia ini nanti kamu tidak akan pernah bahagia lagi. Aku seakan sudah melihat kepalamu tertancap di ujung tombak dipajang di Kufah. Kepalamu itu dilempari oleh anak-anak kecil."



Imam Husain as kemudian pergi meninggalkan Umar bin Sa'ad tanpa membawa hasil apapun dari pertemuan tersebut. Umar bin Sa'ad memang dikenal sebagai pria pandir, pengkhianat, dan pendusta. Sifat-sifat buruk ini antara lain dia perlihatkan dalam surat yang dikirimnya kepada Ibnu Ziyad. Dalam surat ini dia menyatakan: "Husain telah memutuskan untuk pulang kembali ke negerinya atau jika tidak dia akan pergi menghadap Yazid untuk menyatakan baiat." Ini jelas satu kebohongan yang dikaitkan dengan Imam Husain as, dan karenanya beliau berkali-kali menegaskan: "Sesungguhnya si anak zina (Umar) putera si anak zina itu (Sa'ad) telah menghadapkanku pada dua pilihan, mati atau hidup secara terhina. Tetapi kehinaan bagiku adalah pantangan. Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang mukmin dan salih tidak mungkin akan menerima kehinaan dan tidak menganggap kehinaan lebih baik daripada kematian dengan penuh kehormatan…"



Setelah membaca surat ini, Ubaidillah bin Ziyad berkata:

"Ini adalah surat seorang pendamba kebaikan dan penyayang untuk kaumnya."



Akan tetapi, begitu Ibnu Ziyad hendak membalas surat ini, Syimir bin Dzil Jausyan bangkit dan berkata kepadanya: "Apakah engkau percaya kepada kata-kata Ibnu Sa'ad sementara engkau tahu Husain tidak menjabat tanganmu untuk menyatakan baiat?" Kata-kata Syimir segera mengubah pandangannya tentang Ibnu Ziyad. Karena itu dalam surat balasannya dia menuliskan:

"Aku mengirimmu bukan untuk perdamaian, kompromi, dan mengulur urusan. Ketahuilah, jika dia menuruti perintahku maka kirimkan dia kepadaku sebagai orang yang sudah menyerah. Jika tidak, maka sikapilah dia dengan kekerasan, perangilah dia, dan jika dia sudah mati letakkan jasad di bawah injakan kaki-kaki onta….

"Jika ini kamu lakukan, berarti kamu sudah dekat denganku dan aku akan memberimu imbalan yang besar. Jika tidak maka menyingkirlah kamu dan jabatan panglima perang akan aku serahkan kepada Syimir."



Surat ini disusul dengan satu surat lagi yang menyatakan:

"Aku sudah mengirimkan pasukan yang cukup untukmu. Kamu harus melaporkan apa yang terjadi siang dan malam. Husain dan para pengikutnya jangan diberi jalan untuk mendatangi sungat ElFrat. Jangan biarkan mereka menngambil walaupun setetes."



Pada hari ketujuh bulan Muharram, Ubaidillah bin Ziyad mengirim 500 pasukan berkuda dipimpin Amr bin Hajjaj untuk memperketat penjagaan sungai ElFrat dari jangkauan Imam Husain as dan para pengikutnya. Belum cukup dengan itu, Ubaidillah alias Ibnu Ziyad itu mengirim lagi 4000 pasukan ke Karbala disertai dengan surat untuk Umar bin Sa'ad. Seperti sebelumnya, surat ini menekan Umar supaya melaksanakan tugasnya sebaik mungkin, jika tidak maka Umar harus menyingkir dan posisinya akan digantikan Syimir. Namun, kepada Syimir Umar mengatakan: "Aku akan tetap memegang komando pasukan, dan posisi terhormat ini tidak akan jatuh ke tanganmu. Biarlah kamu tetap memimpin pasukan pejalan kaki."



Syimir yang merasa sudah tidak ada lagi waktu untuk berbasa-basi segera menghampiri perkemahan Imam Husain as kemudian berteriak: "Hai, dimana kalian wahai anak-anak saudara perempuanku?"



Mendengar suara teriakan manusia keparat itu, Imam Husain as berkata kepada beberapa orang saudara, termasuk Abu Fadhl Abbas as: "Aku tahu Syimir adalah manusia yang fasik, tetapi karena dia masih tergolong kerabat kalian, maka jawablah teriakannya." Maka, empat orang yang bersangkutan pun menjawab: "Apa kamu maukan dari kami?!"



"Kalian adalah anak-anak saudara perempuanku. Kalian saya jamin aman asalkan kalian melepaskan diri kalian dari Husain dan patuh kepada Amirul Mukminin Yazid bin Muawiah" Pekik Syimir.



Abu Fadhl Abbas menjawab: "Apakah kamu akan mengamankanku sedangkan putera Rasul tetap diberi keamanan?! Semoga Allah melaknatmu beserta keamanan yang kamu miliki itu?"



BAB 4

HARI TASYU’A



Detik-detik masa di padang Karbala terus bergulir. Kamis 9 Muharram Umar bin Sa’ad mendatangi pasukannya dan berseru: “Wahai lasykar Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian! Semoga surga membahagiakan kalian.”



Pasukan Umar segera mengendarai kuda dan bergerak ke arah daerah perkemahan Imam Husain as. Saat itu, Imam Husain as sedang duduk tertidur dalam posisi merebahkan kepala di atas lututnya. Beliau terjaga saat didatangi adindanya, Zainab Al-Kubra as yang panik mendengar suara ribut ringkik dan derap kaki kuda.



“Kakanda, adakah engkau tidak mendengar suara bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju kita?!” Seru Zainab as.



Imam Husain as menjawab: “Adikku, aku baru saja bermimpi melihat kakekku Rasalullah, ayahku Ali, ibundaku Fatimah, dan kakakku Hasan. Mereka berkata kepadaku: ‘Hai Husain, sesungguhnya kamu akan menyusul kami.’ Rasulullah juga berkata kepadaku: ‘Hai puteraku, kamu adalah syahid keluarga Mustafa, dan semua penghuni langit bergembira menyambut kedatanganmu. Cepatlah datang kemari karena besok malam kamu harus berbuka puasa bersamaku, dan sekarang para malaikat turun dari langit untuk menyimpan darahmu dalam botol hijau ini.’”



Mendengar kata-kata Imam Husain ini, Zainab hanyut dalam suasana haru yang amat dalam.. Suara rintih dan tangis keluar dari tenggorokannya yang kering. Keuda telapak tangannya menampar-nampar wajahnya. Imam Husain as mencoba menghibur adiknya.



“Tenanglah adikku, kamu tidak celaka. Rahmat Allah pasti bersamamu.” Ujar Imam Husain as.



Beliau kemudian berkata kepada adik lelakinya, Abbas: “Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada mereka untuk apa mereka kemari?”



Abbaspun pergi ke arah musuh dan menyampaikan pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh menjawab: “Sang Amir telah memerintahkan agar kalian patuh kepada perintahnya. Jika tidak maka kami akan berperang dengan kalian.”



Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as dan menceritakan apa jawaban musuh. Imam berkata lagi kepada Abbas: “Adikku, demi engkau aku rela berkorban, datangilah lagi pasukan musuh itu dan mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam untuk kami penuhi dengan munajat, doa, dan istighfar. Dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai shalat, membaca ALQuran, berdoa, dan beristighfar.”



Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-orang dekatnya. Sebagian orang ada yang menolak permintaan Imam Husain tersebut. Namun, Amr bin Hajjaj yang termasuk salah satu pemuka kaum berkata kepada Umar:

“Subhanallah, seandainya mereka adalah orang-orang kafir Dailam dan mengajukan permintaan seperti ini, kamu pasti akan memenuhinya!” Umar bin Sa’ad berpikir sejenak kemudian memenuhi permintaan tersebut. Dia mengirim utusan kepada Imam Husain as. Sesampainya di perkemahan Imam Husain as, utusan Umar itu berteriak lantang: “Kami beri waktu kalian hingga besok. Jika kalian menyerah, kami akan memboyong kalian ke hadapan Sang Amir. Jika tidak maka kami tidak akan melepaskan kalian.”



BAB 5

IMAM HUSAIN AS DAN PARA PENGIKUT SETIANYA



Karena Imam Husain as dan rombongannya diberi waktu satu malam, maka pasukan dari masing-masing pihak kembali ke perkemahan masing-masing dengan tenang. Pada malam Asyura itu, adegan-adegan yang semakin memilukan terjadi. Rintih tangis, munajat, doa, pembicaraan, dan puisi-puisi duka dan perjuangan Ahlul Bait mengiringi putaran detik-detik gulita malam sahara Karbala. Tentang ini, Imam Ali Zainal Abidin as putera Imam Husain as antara lain berkisah:



“Saat itu aku sedang menderita sakit. Akan tetapi, aku mencoba mendekati ayahku untuk mendengarkan apa yang beliau katakan kepada para sahabatnya. Aku mendengar beliau berkhutbah dimana setelah menyampaikan ucapan puji dan syukur kepada Allah, beliau berkata: ‘Amma ba’du, sesungguhnya aku tidak pernah mengetahui adanya sahabat yang lebih setia dan baik daripada sahabat-sahabatku, dan tidak pula mengenal keluarga yang lebih taat dan penyayang daripada keluargaku. Maka dari itu, Allah akan memberi kalian pahala…. Aku sudah memastikan bahwa aku tidak akan bisa selamat dari (kejahatan) orang-orang itu. Sekarang, kalian aku perbolehkan untuk meninggalkan dan membiarkan aku sendirian melawan orang-orang itu, karena yang mereka inginkan hanyalah membunuhku.”



Tawaran Imam Husain as ini ditolak oleh saudara-saudara, anak-anak, dan segenap anggota keluarga serta sahabat-sahabat setia beliau. Salah seorang dari mereka mengatakan:

"Untuk apa kami harus meninggalkanmu? Apakah supaya kami hidup sepeninggalmu? Tidak.. Semoga Allah tidak sekali-kali menciptakan hari seperti itu untuk kami. Kami tidak akan berpisah denganmu. Kami akan mengorbankan jiwa kami untuk membelamu. Kehidupan sepeninggalmu adalah kehidupan yang buruk di mata Allah."



Imam Husain as kemudian mendoakan mereka semua. Beliau memberi semangat mereka dengan besarnya kenikmataan di sisi Allah, kejayaan di akhirat. Karenanya, pedihnya hujaman pedang dan tombak kemudian menjadi sesuatu yang kecil di mata mereka. Sedemikian kecilnya sehingga mereka bahkan tidak merasakan kepedihan itu. Mereka berlomba bahu membahu untuk menggapai kemuliaan sebagai seorang yang gugur sebagai syahid membela agama dan keluarga suci Rasulullah saaw.



Imam Husain as kemudian berkata:

"Demi Allah, setelah semua kejadian ini kita alami, masa akan terus berjalan hingga kita semua keluar (hidup lagi) bersama Al-Qaim kita untuk membalas kaum yang zalim. Kami dan kalian akan menyaksikan rantai, belenggu, dan siksaan-siksaan lain yang membantai musuh kita."



Seseorang bertanya: "Siapakah AlQaim itu?"



Imam Husain as menjawab:

"Dari kami (Ahlul Bait) terdapat dua belas orang Mahdi dimana yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah orang yang (merupakan generasi) kesembilan dari anak keturunanku dan dialah Imam AlQaim Bilhaq. Dengannyalah Allah akan menghidupkan bumi ini setelah kematiannya, dengannyalah Allah akan menjayakan agama kebenaran ini atas seluruh agama lain, walaupun orang-orang musyrik membencinya. Dia (AlQaim) akan mengalami masa kegaiban dimana sepanjang masa ini sebagian kaum ada yang murtad sementara yang lain tetap teguh pada agama dan mencintai (AlQaim), dan mereka akan ditanya: 'Kapankah janji (kebangkitan) ini (akan terpenuhi) jika kalian memang orang-orang yang jujur?' Akan tetapi orang yang sabar pada masa kegaibannya akan mengalami banyak gangguan dan didustakan. Kedudukan orang itu sama dengan pejuang yang mengangkat pedang bersama Rasulullah."



Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di alam maknawi Allah SWT menampakkan dosa-dosa makhluk-Nya. Kemudian, untuk menghapus dosa-dosa ini, Allah bertanya kepada ruh para nabi dan wali-Nya:

"Siapakah diantara kalian yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan keluarnya agar dosa-dosa ini terampuni?"



Sang pahlawan terkemuka Karbala menjawab:

"Aku siap berkorban dengan semua itu?"



Allah berfirman:

"Wahai Husain, apakah kamu siap untuk gugur sebagai syahid dalam keadaan haus dan lapar?"



Imam Husain as menjawab:

"Aku rela untuk itu?"



Allah berfirman:

"Kepalamu akan ditancapkan diujung tombak lalu dipertontonkan di kota-kota, di padang sahara, dan di dalam pertemuan-pertemuan ."



Imam Husain as menjawab:

"Aku rela."



Allah berfirman:

"Jasadmu akan dicincang dan dicampakkan ke tanah tanpa pakaian."



Imam Husain menjawab:

"Aku rela."



Allah berfirman:

"Para sahabatmu juga harus terbunuh."



Imam Husain menjawab:

"Aku pasrah."



Allah berfirman:

"Hamba-hambaku (saat itu) adalah para pemudan, dan pemudamu yang berusia 18 tahun akan terbunuh di depan matamu."



Imam Husain tetap pasrah.



Allah berfirman:

"Di tengah mereka terdapat kaum wanita, dan keluargamu akan menjadi tawanan yang terbelenggu dan pertontonkan dari kota ke kota, dari rumah ke rumah, dari lorong ke lorong."



Imam Husain pasrah.



Allah berfirman:

"Puteramu dalam keadaan sakit akan terbelenggu dan dipertontonkan di atas onta dalam keadaan tanpa baju dari lembah ke lembah, dari rumah ke rumah."



Imam Husain pasrah.



Tentang penebusan dosa ini, orang-orang yang bisa berharap mendapat syafaat dari Imam Husain as tentu saja orang-orang yang beriman kepada risalah para nabi dan ajaran suci serta mengamalkannya. Oleh sebab itu, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata:

"Penuhilah seruan para nabi, pasrahlah kepada urusan mereka, dan taatilah mereka niscaya kalian akan masuk ke dalam syafaat meeka."



Allah berfirman:

"Pada hari tidak berguna syafaat kecuali (syafaat) orang yang Allah Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya."



"Dan berapa banyak nya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya."



"Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya."



Tentang ini harus diakui bahwa banyak sekali hamba-hamba Allah yang tidak memahami kebenaran ajaran Ilahi sehingga banyak kehormatan ajaran ini dicemari dengan dosa-dosa mereka. Karena itu jelas mereka tidak mungkin akan mendapatkan syafaat.



BAB 6

PERISTIWA MALAM ASYURA



Syeikh Mufid meriwayatkan kisah peristiwa malam Asyura dari Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as yang menceritakannya antara lain sebagai berikut:



"Pada malam sebelum hari dimana ayahku syahid aku sedang sakit dan dirawat oleh bibiku, Zainab. Tanpa kuduga, tiba-tiba ayahku memasuki kemahku. Saat itu terdapat Jun, seorang budak yang sudah dibebaskan oleh Abu Dzar, sedang membenahi pedang milik ayahku. Saat itu, ayahku sempat melantunkan syair yang mengatakan:



'Hai zaman, persahabatan bukanlah sesuatu yang abadi, kecintaan tanpa permusuhan bukan sesuatu yang berarti. Cukuplah siang dan malam sebagian dari sahabat menghendaki pembunuhan sambil menyembunyikan permusuhan. Namun, setiap kehidupan pastilah bergerak menuju kematian sebagaimana aku, kecuali Tuhan Yang Maha Agung.”



"Begitu mendengar syair ini aku yakin bahwa bencana akan segera tiba dan akan membuat manusia mulia itu pasrah kepada kematian. Karena itu, aku tak kuasa menahan tangis meski aku dapat menahan rasa takut. Namun, bibiku tak kuasa menahannya sehingga dia menangis keras dan membuka kerudungnya sambil beranjak mendekati ayahku dan berkata:



'Hai kakakku dan cendera mataku! Hai khalifah para pemimpin terdahulu! Hai keindahan orang-orang yang akan datang, alangkah bahagianya seandainya kematian dapat mengakhiri kehidupanku sekarang juga.'



"Ayahku berkata: 'Alangkah beratnya musibah ini. Alangkah indahnya seandainya kematian mengakhiri kehidupanku. Kini aku bagai menyaksikan lagi kematian ibundaku, ayahandaku, dan kakandaku Hasan. Hai generasi orang-orang terdahulu! Hai penolong generasi yang menyusul, hanya kamulah yang aku miliki..' "



Diriwayatkan pula bahwa saat itu Imam Husain as memandangi adik perempuannya, Zainab, dan berkata:

"Hai adikku, syaitan tidak akan menghilangkan kesabaranmu. Sebagaimana penghuni langit juga akan mati, penghuni bumi tidak akan ada yang tersisa. Segala sesuatu akan binasa kecuali Allah. Ketentuan ada ditangan-Nya dan kepada-Nya-lah segala sesuatu akan kembali."



Kata-kata terucap dari bibir Imam Husain as sementara kedua matanya menitikkan air mata. Beliau berkata lagi:

"Burung belibispun akan tentram dalam sarangnya bila ditinggalkan."



Hazrat Zainab as terus menangis sambil merintihkan kata-kata:

"Betapa malangnya nasibku. Engkau terpaksa pasrah kepada kematian. Orang-orang telah meremukkan batinku. Segala sesuatu kini sangat menyakitkan jiwaku." Sedemikian pedihnya perasaannya Hazrat Zainab sehingga dia akhirnya terjatuh ke tanah.



Imam Husain as menghampirinya dan mengusapkan sisa air ke wajah adiknya sambil berkata:

"Tenanglah adikku. Bersabarlah karena kesabaran adalah suatu kebaikan yang diciptakan Allah.. Ketahuilah sesungguhnya penghuni langit dan bumi pasti akan mati. Tak ada sesuatu yang abadi kecuali Allah. Kakekku, ayahku, dan saudaraku yang lebih baik dariku telah pergi meninggalkan dunia. Bagiku dan bagi setiap muslim ketataan kepada Rasulullah."



"Demi hakku atasmu aku bersumpah semoga engkau sepeninggalku tidaklah mencakari wajahmu dan mengharapkan kebinasaan."



"Sesungguhnya aku akan telah menyaksikan tak lama lagi engkau akan diperlakukan seperti budak. Orang-orang menggiringmu di depan iring-iringan kuda dan menyiksamu dengan siksaan yang amat buruk."



Imam Ali Assajjad as berkisah:

"Ayahku membawa bibiku ke hadapanku kemudian beliau kembali mendatangi para sahabatnya untuk berunding tentang hari Asyura nanti.."



BAB 7

PERUNDINGAN PERTENGAHAN MALAM ASYURA



Hazrat Zainab as mengisahkan:

"Pertengahan malam Asyura aku mendatangi tenda adikku, Abu Fadhl Abbas. Aku menyaksikan para pemuda Bani Hasyim berkumpul mengelilinginya. Abu Fadhl berkata mereka:



'Saudara-saudaraku sekalian, jika besok perang sudah dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas ke medan pertempuran adalah kalian sendiri agar masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah meminta pertolongan orang lain tetapi mereka (Bani Hasyim) ternyata lebih mementingkan kehidupan mereka sendiri ketimbang kematian orang-orang lain….'



"Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: 'Kami taat kepada perintahmu.'"



Hazrat Zainab juga berkisah:

"Dari kemah itu kemudian aku mendatangi tenda Habib bin Madhahir. Aku mendapatinya sedang berunding dengan beberapa orang non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada mereka:

'Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan sampai kalian didahului oleh satupun orang dari Bani Hasyim, karena mereka adalah para pemuka dan junjungan kita semua…' "

"Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: 'Kata-katamu benar, dan kami akan setia mentaatinya. ' "



Malam Asyura itu seakan diharapkan segela berlalu untuk menyongsong pagi dan siang yang akan mementaskan adegan keberanian pahlawan-pahlawan Karbala yang bersenjatakan keperkasaan iman dan semangat pengorbanan yang besar, semangat altruisme yang kelak terpahat dalam prasasti keabadian sejarah.



Namun demikian, kegagah beranian para pejuang Islam tentu saja mempersembahkan adegan haru biru yang merenyuhkan simpati, empati, dan hati nurani setiap insan sejati. Karenanya, dalam kitab Maqtal Al-Husain tercatat untaian syair yang menyatakan:

"Seandainya hari Asyura itu mengerti apa yang akan terjadi di dalamnya, niscaya fajarnya tidak akan menyemburat dan bersinar, sebagaimana mentarinya juga tak akan mengguyur cahaya untuk menyajikan siang."



Imam Husain as dan para pengikutnya kemudian menghabiskan saat-saat malam Asyura itu dengan ibadah dan munajat. Rintihan dan doa mereka terdengar bagai dengung lebah. Masing-masing melarutkan diri dalam suasana khusuk sujud, dan tengadah tangan doa di depan Allah SWT.



Malam Asyura adalah malam perpisahan keluarga suci Rasulullah saaw di alam fana. Saat itu adalah malam pembaharuan janji dan sumpah setia yang pernah dinyatakan di alam zarrah untuk kemudian dibuktikan pada hari Asyura..



Imam Husain as sendiri sangatlah mendambakan terlaksananya janji itu. Malam itu Allah mengutus malaikat Jibril as untuk membawakan catatan ikrar yang pernah dinyatakan Imam Husain as agar cucu Rasul ini memperbaharui janjinya itu. Saat tiba di depan Imam Husain as, Jibril as berkata:

"Hai Husain, Allah SWT telah berfirman: 'Jika kamu menyesali janjimu itu, maka boleh menggagalkannya, dan Aku akan memaafkanmu. ' "



Imam Husain as menjawab:

"Tidak, aku tidak menyesalinya."



Malaikat Jibril as kemudian kembali ke langit, dan tatkala fajar menerangi cakrawala untuk menyongsong pagi, Imam Husain as dan rombongannya yang sudah kehabisan bekal air terpaksa bertayammum untuk menunaikan shalat Subuh jamaah. Seusai tahiyat dan salam Imam Husain as berdoa kepada Al-Khalik:

"Wahai Engkau Sang Maha Penolong orang-orang suci, Wahai Sang Maha Pengampun di hari pembalasan, sesungguhnya ini adalah hari yang telah Engkau janjikan, dan hari dimana kakekku, ayahku, ibuku, dan kakakku ikut menyaksikan."



Imam Husain as kemudian membaca awal surat Al-waaqi'ah:

"Tatkala peristiwa besar (hari kiamat) terjadi, tidak ada seorangpun yang dapat mendustakan kejadiannya."



Malaikat Jibril as berkata:

"Hai Husain, hari ini engkau harus terjun ke medan laga dengan jiwa yang penuh kerinduan sebagaimana kerinduan setiap orang kepada kekasihnya."



Imam Husain as menjawab:

"Hai Jibril, sekarang lihatlah mereka yang terdiri dari orang-orang tua dan muda, kaya dan miskin, serta para wanita yang rambutnya sudah lusuh, para hamba sahaya, dan para anggota rumah tangga ini telah aku bina sedemikian rupa sehingga untuk menjadi tawananpun mereka siap. Mereka inilah Ali Akbar, Abbas, Qasim, 'Aun, Fadhl, Jakfar, serta para pemuda yang sudah dewasa, dan inilah mereka sekumpulan kaum wanita dan anak-anak, mereka semua telah aku bawa aku korbankan sebelum kemudian akupun akan menyerahkan nyawaku.."



Jibril as menjawab:

"Hujjahmu sudah sempurna, maka sekarang bersiaplah untuk menyambut cobaan besar.."



Jibril as kemudian terbang ke langit sambil berseru:

"Hai pasukan Allah, segeralah mengendarai kuda!"



Mendengar suara ini, segenap pasukan Imam Husain as bergegas mengendarai kuda kemudian membentuk barisan kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.



Saat pasukan Umar bin Sa'ad juga sudah mengendarai kuda dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya, Imam Husain as memerintahkan Barir bin Khudair untuk mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun, apalah artinya kata-kata Barir untuk musuh yang sudah menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang dikatakan Barir sama sekali tidak menyentuh jiwa dan perasaan mereka.



Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan untuk tidak memulai pertempuran antara pasukan hak dan pasukan batil itu. Sebaliknya, beliau masih membiarkan dirinya tenang manakala pasukan Umar bin Sa'ad sudah mulai berulah di sekeliling perkemahan Imam Husain as dengan menggali parit dan menyulut kobaran-kobaran api.



Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan berteriak keras memanggil Imam Husain as.



"Hai Husain!" Pekik Shimir, "Adakah kamu tergesa-gesa untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari kiamat nanti?!"



Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir, Imam Husain as membalas:

"Hai anak pengembala sapi, kamulah yang pantas menghuni neraka."



Melihat kebejatan Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim bin Ausajah mencoba melepaskan anak panahnya ke tubuh Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.



"Jangan!" Seru Imam Husain as. "Sesungguhnya aku tidak ingin memulai peperangan."



BAB 8

PENUNTASAN HUJJAH



Demi menuntaskan hujjahnya, Imam Husain as kemudian berseru kepada manusia-manusia durhaka itu:

"Hai orang-orang, coba kalian perhatikan kata-kataku. Kalian semua tahu siapa aku dan dengan siapakah nasabku bersambung. Kembalilah kalian hati nurani kalian, niscaya kalian akan mencela diri kalian. Cobalah kalian sadari, apakah maslahat untuk kalian jika kalian membunuhku?! Bukankah aku adalah petera dari puteri Nabi kalian? Bukankah aku adalah putera washi dan sepupu nabi kalian? Bukankah aku adalah putera washi Nabi yang telah beriman sebelum orang lain beriman serta mengakui kebenaran apa yang dibawa Nabi dari Allah? Bukankah Hamzah, pemuka kaum syuhada, adalah paman ayahku? Bukankah Jakfar yang terbang di dalam surga dengan kedua sayapnya itu adalah pamanku? Bukankah tentang aku dan kakakku, Hasan, kalian telah mendengar sabda Rasulullah SAWW: 'Sesungguhnya keduanya adalah pemuka kaum pemuda penghuni surga'?



"Hai orang-orang, jika kalian mengakui kebenaran kata-kataku, kalian akan pasti mengetahui mana yang hak. Demi Allah, Allah memusuhi para pendusta, dan karenanya aku tidak akan berdusta. Hai orang-orang, seandainya kalian meragukan kebenaran kata-kataku, apakah mungkin kalian meragukan bahwa aku adalah putera dari puteri Nabi kalian? Demi Allah, baik di tengah kalian maupun di tengah orang-orang lain, tidak ada putera dari puteri Nabi selain aku.



"Alangkah celakanya kalian. Adakah kalian hendak menuntut darahku sedangkan aku tidak pernah membunuh siapapun diantara kalian? Adakah kalian akan meng-qisasku sedangkan aku tidak pernah mengusik harta benda kalian atau melukai seseorang dari kalian?"



Semua orang terdiam mendengar kata-kata Imam Husain as. Tak seorang pun berani menjawab. Beliau berseru lagi:

"Hai Syaits bin Rab'ii, Hai Hajjar bin Ajbar, hai Qais bin Asy'ats, hai Zaid bin Harits, bukan kalian telah menulis surat kepadaku dan menyatakan: 'Buah di pohon-pohon kami telah matang, kebun-kebun kami telah hijau, dan jika engkau datang kepada kami niscaya kami akan mempersiapkan pasukan untukmu'?"



Qais bin Asy'ats tiba-tiba menjawab:

"Kata-katamu ini sudah tidak ada gunanya lagi. Kamu tak usah berperang dan lebih baik menyerah kepada anak-anak pamanmu itu karena mereka tidak akan berbuat buruk kepadamu."



Imam Husain as berkata:

"Demi Allah, aku tidak akan menyerah kepada kalian. Aku tidak bersedia menjadi orang hina di depan orang-orang durhaka. Aku tidak akan membebani diriku dengan ketaatan kepada aturan manusia-manusia yang terbelenggu."



Puteri Fatimah Azzahra ini kemudian membacakan dua ayat suci dalam AlQuran dengan suara lantang:

"Sesungguhnya aku hanya berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari kehendak kalian untuk merajamku."

"Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap manusia takabur yang tak beriman kepada hari pembalasan."



Imam Husain as kemudian meminta Umar bin Sa'ad datang mendekati beliau. Meski dengan berat hati dan gengsi, Ibnu Sa'ad itu memenuhi permintaan Imam Husain as.



"Hai Ibnu Sa'ad!" Cecar Imam Husain as. "Apakah kamu akan membunuhku supaya Abdullah bin Siyad si anak zina dan putera zina itu menyerahkan kekuasaan di Rey dan Jurjan kepadamu? Demi Allah, apa yang kamu harapkan itu tidak dapat kamu capai. Kamu tidak menyaksikan hari yang kamu harapkan akan menuai ucapan selamat atas kekuasaanmu di dua wilayah itu. Aku seakan sudah melihat bagaimana kepala tertancap diujung tombak kemudian dilempari oleh anak-anak kecil di Kufah."



Kata-kata Imam Husain as ini memancing emosi Umar bin Sa’ad. Dia segera berpaling ke arah pasukannya sambil berteriak: “Menunggu apa kalian? Cepat bereskan si pemalas ini. Seranglah Husain dan para pengikutnya yang jumlahnya hanya segelintir itu.”



Imam Husain as segera bergegas menunggangi kudanya. Orang-orang yang ada masih tetap dimintanya untuk tenang lagi. Ketika mereka masih bersedia diam, beliau menyampaikan sebuah khutbah yangn diawali dengan puja puji kepada Allah dan salam serta salawat kepada para nabi dan rasul serta para malaikat Allah. Dalam khutbahnya beliau antara lain berkata kepada pasukan musuh sbb:



“Celakalah kalian semua. Kemiskinan dan kesengsaraan adalah nasib kalian tadinya dengan penuh antusias telah menganggapku sebagai penyambung lidah kalian sehingga kamipun datang dengan maksud menolong kalian. Namun, pedang-pedang yang tadinya adalah milik kami lalu kami serahkan kepada kalian kini telah kalian hunus untuk menghabisi kami. Kobaran api yang tadinya kami kobarkan untuk melawan musuh kami dan kalian kini kalian kobarkan terhadap kami. Kalian berkomplot dengan musuh untuk menumpas teman-teman kalian sendiri. Padahal musuh-musuh itu tidaklah menerapkan keadilan di tengah kalian sehingga kalian pun tidak memiliki harapan yang baik di tengah mereka.



“Karena itu celakalah kalian semua! Di saat pedang-pedang masih tersimpan di dalam sarangnya, ketika jiwa semua orang masih tenang dan tak ada yang berpikir untuk berperang, mengapa sejak itu pula kalian enggan membiarkan kami tenang?! Sebaliknya kalian malah seperti gerombolan hama yang mengalir menuju bencana, dan ibarat kumpulan kupu-kupu yang terbang centang perenang di tengah bencana.



“Celakalah kalian, hai para budak dan orang-orang pinggiran! Hai orang-orang yang berpaling dari Kitab Allah! Hai para pendurjana! Hai air ludah yang mengalir dari mulut syaitan! Hai para pemadam sunnah Ilahiah! Adakah kalian masih akan membantu kelompok musuh dan membiarkan kami tertindas sendirian?”



Imam Husain as kemudian membacakan ayat-ayat suci AlQuran sbb:

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan. Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).”



“Demi Allah, perbuatan makar kalian ini bukanlah yang pertama kalinya. Perbuatan ini sudah mengakar dan mendarah daging dalam diri kalian. Darinyalah dahan-dahan kalian tumbuh dan terawat. Kalian adalah buah paling najis dari pohon ini dan kini sedang dikulum oleh pemilik yang mengawasinya, tetapi di saat kalian nanti sudah menjadi duri dan tulang yang mengganjal tenggorokan niscaya kalian akan ditelan begitu saja.”



“Ketahuilah, Ubaidillah bin Siyad, anak zina putera si anak zina itu telah menghadapkanku pada dua pilihan; berperang mengangkat pedang dan meneguk syahadah, atau pasrah kepada kehinaan, tetapi alangkah jauhnya kehinaan itu dari kami.



“Allah tidak menerima kehinaan menimpa kami. Rasulullah dan orang-orang yang beriman juga tidak menerimanya. Kesucian yang telah membina kami sama sekali tidak memperkenankan kami berada di bawah kezaliman dan penganiayaan. Mereka semua tidak akan merestui keputusan kami untuk lebih mengutamakan ketaatan kepada manusia-manusia durjana dan hina daripada kematian sebagai manusia agung dan mulia.



“Ketahuilah bahwa aku bersama segelintir jamaahku ini telah siap berperang walaupun jumlah kami kecil dan tak akan ada lagi orang yang membantu kami.



“Keengganan berkorban demi suatu kecintaan adalah pantangan bagi kami. Keengganan seperti ini agar kami dapat tidur nyenyak adalah pantangan bagi kami. Kamilah orang-orang yang tak kenal lelah. Dalam ajaran kami tidak akan ada pengenduran tali pinggang.”



Imam Husain as kemudian mengaitkan kata-katanya dengan bait-bait syair Farwah bin Musaik AlMuradi. Dari beberapa bait syair itu beliau mengungkapkan tamsil sebagai berikut:

"Seandainya kami menang dan berhasil mengalahkan musuh maka ini bukan sesuatu yang baru bagi kami karena sejak dulu kehendak dan kejadian seperti ini sudah pernah kami alami. Namun, seandainya kamipun tak berdaya maka itu bukan berarti kami telah kalah karena niat dan kehendak kami adalah demi kebaikan dan takwa, dan makna sedemikian ini tidak akan pernah mengenal kata kalah.



"Seandainya kematian menarik diri dari suatu kaum, maka kematian akan mereggut suatu kaum yang lain, dan sesungguhnya tak ada satupun manusia yang bisa lolos dari kematian. Kematian inilah yang telah meniadakan para pemuka kaum kami, sebagaimana ia telah meniadakan kaum-kaum terdahulu.



"Seandainya para raja dan penguasa bumi di alam dunia dapat hidup abadi, niscaya kamipun akan dapat hidup abadi. Seandainya orang-orang besar dapat bertahan hidup, maka kami pun juga akan bertahan hidup. Akan tetapi keabadian (di alam dunia) tidak akan pernah ada.



"Maka dari itu, katakanlah kepada mereka yang menghujat kami: 'Sadarlah kalian, dan ketahuilah bahwa kalian juga akan menyongsong kematian sebagaimana kami.'



"Demi Allah, setelah syahadahku nanti, kalian tidak akan bisa menggapai apa yang kalian dambakan. Kalian tidak akan bisa lama-lama di dunia ini. Seperti saat kalian berkelana dengan mengendarai, kalian akan merasakan waktu ini hanya seperti putaran batu penggilingan yang mengelilingi kalian. Dan karena porosnya berkutat pada kalian maka kalian tertambat pada keraguan. Ini adalah suatu perjanjian yang dijalin ayahku dengan restu kakekku.



"Sekarang coba kalian pertemukan pandangan kalian dengan pikran para komplotan kalian. Cobalah kalian pikirkan lalu ambillah keputusan karena kalian tahu pasti urusan kalian sendiri. Pikirkan matang-matang agar kalian tidak menyesal dan tertimpa beban pikiran. Jika ini sudah kalian pikirkan, maka kalian tak usah ragu-ragu dalam menyerangku. Habisilah aku sesegera mungkin!



"Aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian semua. Tak sesuatu yang bergerak di muka bumi ini kecuali sudah ditentukan dalam kodrat-Nya. Saya yakin bahwa Tuhanku ada di pihak yang benar."



Imam Husain as kemudian menghadapkan wajahnya ke arah para sahabatnya. Setelah mengucapkan pujian kepada Allah beliau berkata:



"Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Mulia telah meridhai terbunuhnya kalian dan aku pada hari ini, maka sabarlah kalian dan bersiaplah untuk berperang."



Demi menuntaskan hujjahnya lagi, beliau berkata kepada para sahabat dan pengikutnya:

"Hai putera-putera yang mulia, bertabah kalian, karena sesungguhnya kematian ini tak lain adalah jembatan yang akan kalian titi dari penderitaan menuju surga yang sangat luas, menuju kenikmatan yang abadi. Maka janganlah kalian khawatir untuk berpindah dari penjara menuju istana, sedangkan musuh-musuh kalian tak lain ibarat orang yang dipindahkan dari istana menuju penjara dan siksaan. Mengutipkan sabda Rasulullah, ayahku pernah berkata kepadaku: 'Sesungguhnya dunia adalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang yang kafir. Kematian adalah jembatan menuju surga bagi mereka yang beriman serta merupakan jembatan menuju neraka bagi mereka yang kafir. Aku tidaklah berdusta dan tidak pula didustai."



BAB 9

ISTIGHOTSAH IMAM HUSAIN AS DAN TAUBAT HUR



Imam Husain as kemudian berdoa:

“Ya Allah, janganlah Engkau turunkan air hujan dari langit untuk kaum ini. Azablah emreka dengan kekeringan dan kelaparan seperti pada zaman nabi yusuf. Kuasakan atas mereka nanti Astsaqafi agar mereka merasakan kegetiran karena mereka telah mendustakan kami, menisbatkan kebohongan kepada kami, dan menyia-nyiakan kami.



“Ilahi, kami bertawakkal kepada-Mu. Kepada-Mulah kami dan segala sesuatu pasti akan kembali.”



Imam Husain as kemudian mendekati para pengikutnya dan berkata:

“Bersabarlah, sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian untuk berperang hingga titik penghabisan. Sesungguhnya kalian semua akan terbunuh kecuali Ali bin Husain.”



Imam Husain as yang sudah siap bertempur berkata lagi:

“Adakah lagi seseorang yang akan menolongku demi mendapatkan keridhaan Allah? Adakah lagi seseorang yang siap membela kehormatan Rasulullah?”



Syaikh Mufid ra dalam kitabnya mengisahkan:

Saat mendengar istighotsah Imam Husain as, perasaan Hur bin Yazid tersentuh sehingga dia datang mendekati Umar bin Sa’ad.



“Hai Umar, apakah kamu akan tetap memerangi orang ini?” Tanya Hur.



“Ya, demi Allah” Jawab Umar Bin Sa’ad. “Kita akan kobarkan perang yang paling dahsyat dimana paling tidak kepala-kepala mereka harus terpenggal sebagaimana tangan-tangan mereka harus terpotong dari jasad-jasad mereka.” Tambah Umar.



“Apakah tidak mungkin perbuatan ini dipertimbangkan lagi?”



“Itu mungkin saja seandainya kekuasaan ada di tanganku, namun pemimpinmu, Ubaidillah, tidak menghendaki perdamaian dan pembenahan kebijakan seperti itu.”



Dengan hati kecewa Hur beranjak dari tempat Umar bin Sa’ad lalu terpaku di sebuah tempat di dekat Qurrah bin Qais, salah satu orang dekatnya. Hur bertanya kepada Qurrah: “Hai Qurrah, sudahkah kamu memberi minum kudamu hari ini?” “Belum.” Jawab Qurrah.



“Maukah kamu memberinya minum sekarang?” Tanya Hur lagi.



Dari pertanyaan ini, Qurrah curiga bahwa Hur berniat keluar dari rombongan pasukan, pergi, dan seterusnya. Namun, di luar dugaan itu, Hur ternyata perlahan-lahan bergerak mendekati Imam Husain as. Begitu sampai di hadapan beliau, Hur meletakkan telapak tangan di kepalanya sambil berseru:

“Ya Allah, aku kembali kepada-Mu. Ya allah, ampunilah aku yang telah membuat para pecinta dan putera-puteri rasul-Mu menderita dan ketakutan.”



Saat melihat Hur mendekati Imam Husain itu, sebagian orang menduganya akan memulai peperangan. Namun, mereka baru sadar dugaan itu salah setelah melihat Hur membalikkan perisainya. Saat itu Hur datang menyapa Imam Husain as dimulai dengan ucapan salam takzim dan hormat lalu menyusulnya dengan kata-kata:

“Hai putera Rasul, aku siap berkorban untukmu. Aku adalah orang yang beberapa waktu lalu telah mencegat perjalananmu, mencegahmu pulang, lalu menggiringmu ke tanah yang penuh dengan petaka ini tanpa aku tahu sebelumnya bahwa orang-orang ini akan menolak kata-katamu dan memperlakukan dirimu sedemikian rupa. Demi Allah, seandainya aku tahu inilah yang akan terjadi, tidak mungkin akan berbuat seperti itu kepadamu. Sekarang aku menyesal, tetapi apakah mungkin Allah akan menerima taubatku?”



Imam Husain as menjawab:

“Allah pasti akan menerima taubatmu.”



Beliau meminta Hur supaya beristirahat, namun Hur malah meminta restu beliau untuk segera memulai perjuangan di depan musuh. Imam pun berkata: “Semoga Allah merahmatimu.. Aku mengizinkanmu berjuang.”



Hur kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi mendekati pasukan Umar bin Sa’ad yang kini sudah menjadi musuhnya. Di depan mereka Hur memberondongkan kata-kata pedas dan kutukan. Begitu kata-kata Hur tuntang, beberapa orang pasukan Ibnu Sa’ad membidikkan anak panah ke arah Hur. Hur bergegas pergi menghadap Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.



Serentak dengan ini, Umar bin Sa’ad berteriak kepada budaknya: “Hai Darid, cepat maju!” Umar mengambil sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil berteriak lagi: “Hai orang-orang, saksikanlah bahwa akulah orang pertama yang membidikkan anak panah ke arah pasukan Husain.” Anak panah itupun melesat.



Sayid Ibnu Thawus meriwayatkan, melesatnya anak panah Umar bin Sa’ad segera disusul dengan hujan panah dari anak buahnya ke arah pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan instruksi untuk melakukan perlawanan.



BAB 10

DIMULAINYA PERANG TAK SEIMBANG



Pasukan dari pihak yang hak dan pihak yang batil akhirnya bergerak maju dalam posisi frontal. Dari pihak Imam Husain as, nampak wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar lagi untuk berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam keabadian di sisi Al-Khalik dengan kepakan sayap-sayap imannya yang lebar. Dengan jiwa yang membaja mereka siap mengarungi lautan darah membela kehormatan dan cita-cita mulia Al-Husain as, bintang kejora dari keluarga suci Rasul. Jiwa mereka yang sudah terpatri dalam semangat altruisme telah siap menyongsong kematian yang suci dan sakral sebelum Imam Husain as sendiri meneguk puncak kemuliaan derajat syahadah.



Saat bayangan kecamuk perang sudah nampak di depan mata itu, Hur datang mendekati Imam Husain sambil berkata:

"Hai Putera Rasul, saat Ubaidillah menggiringku untuk memerangimu, dan lalu aku keluar dari Darul Imarah aku mendengar suara lapat-lapat dari belakang mengatakan: 'Berita gembira tentang kebaikan untukmu, Hai Hur.' Saat aku berpaling ke belakang, aku tak melihat satu orangpun sehingga aku lantas berkata dalam hati bahwa demi Allah ini bukanlah berita gembira karena aku akan pergi untuk memerangi putera Rasul, dan aku tadinya tak pernah berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan bertaubat. Baru sekarang aku menyadari bahwa itu memang berita gembira.



"Hai Husain, aku adalah orang pertama yang berani menghadangmu. Karena itu sekarang perkenankan aku untuk menjadi orang pertama yang akan berkorban untukmu agar di hari kiamat kelak aku bisa menjadi orang pertama yang dapat berjabat tangan dengan Rasulullah saww."



Imam Husain as mengizinkan permohonan Hur untuk maju sebagai orang pertama untuk berjihad. Hur pun maju dengan gagah berani. Saat berhadapan dengan barisan pasukan musuh yang berjumlah besar itu, dia berteriak lantang:

"Hai orang-orang Kufah, laknat untuk kalian dan ibu yang melahirkan kalian. Kalianlah yang mengundang hamba salih Allah ini untuk mendatangi kalian tetapi kemudian melupakan begitu saja janji yang pernah kalian nyatakan.. Kalian sekarang malah mengepungnya. Kalian telah memjadikan bumi Allah yang luas ini sempit baginya sehingga tak ada lagi tempat yang aman bagi dia dan keluarganya. Kini mereka menderita bagai orang-orang tawanan. Kalian mencegah mereka untuk meneguk air sungai ElFrat sementara kalian membiarkan binatang-binatang liar meminumnya. Betapa celakanya perangai kalian terhadap anak keturanan Rasul. Di hari kiamat Allah pasti akan membiarkan kalian tercekik kehausan..."



Kata-kata Hur kembali menyengat telinga pasukan dari Kufah tersebut. Tak tak tahan digedor emosi, mereka menyerang Hur. Sambil melawan dan mengayun-ayunkan pedangnya Hur berteriak-teriak lagi:

"Rumahku selalu menjadi tempat singgahnya para tamu dan aku tahu adat menghormarti tamu. Namun, untuk membela para tamu yang lebih mulia daripada para tamu Allah di Makkah dan Mina ini pedangku tak akan segan-segan membabat siapa saja. Akulah orang yang tumbuh besar di tengah keluarga pemberani dan aku mewarisi mereka."



Selama melakukan perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hur sempat melihat anaknya yang juga termasuk satu diantara ribuan pasukan musuh. Hur meminta puteranya yang bernama Ali itu supaya bertobat, dan usaha Hur itu berhasil sebelum manusia yang terbebas dari angkara murka ini gugur sebagai syahid.



Dalam riwayat disebutkan bahwa saat melihat anaknya, Hur berkata:

"Puteraku, kini sudah tiba saatnya bagimu untuk mempertontonkan keberanianmu di jalan putera Rasulullah hingga kamu gugur." Kata-kata sang ayah segera membuat anaknya sadar. Putera bernama Ali dari keluarga pemberani itu segera menari-narikan pedangnya untuk membabat siapa saja dari pasukan musuh yang ada di dekatnya. Tak kurang dari 24 pasukan musuh mati terkapar akibat sabetan pedangnya sebelum dia sendiri kehabisan tenaga dan gugur dibantai musuh.



Saat menyaksikan anaknya tersungkur ke tanah tanpa nyawa, Hur memanjatkan puji syukur untuk anaknya: "Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi- Mu dengan syahadah di sisi putera dari puteri Rasulullah."



Hur kemudian bergegas lagi menghadapi pasukan musuh. Saat itu dia melihat saudaranya yang bernama Mash'ab yang bergerak mendekatinya. Pasukan Umar bin Sa'ad segera menduga akan terjadi duel antara kakak dan adik. Mereka menyoraki keduanya. Namun, ketika berhadapan dengan Hur, Mash'ab tiba-tiba berkata:

"Aku ucapkan selamat kepadamu yang telah berhasil membebaskan diri dari kesesatan dan mendapatkan hidayah. Sekarang bawalah aku ke hadapan Imam Husain agar taubatku diterima."



Hur lantas membawanya menghadap Imam Husain dan memperkenalkannya kepada beliau. Mash'ab pun bertaubat dan masuk ke dalam barisan pengikut Imam Husain as. Umar bin Sa'ad semakin naik pitam melihat ulah dua orang kakak beradik itu. Dia segera memerintahkan Sofwan bin Handalah, orang yang dikenal jagoan di Kufah, untuk menghabisi Hur jika Hur memanantang duel.



Maka, begitu Hur memacu kudanya ke arena pertempuran, Sofwan segera menghadangnya sambil berteriak:

"Hai Hur, betapa keparatnya perbuatanmu. Kamu berpaling dari khalifah Yazid dan menyebrang ke kelompok Husain."



Hur menjawab:

"Setahuku kamu adalah lelaki yang pintar, tetapi sekarang aku heran mengapa kamu sampai mengeluarkan kata-kata seperti ini. Kamu memintaku supaya meninggalkan Husain lalu memilih bergabung dengan Yazid, si tukang mabuk dan penzina itu?!"



Mendapati jawaban seperti ini, tanpa basa-basi lagi Sofwan menghunus pedang dan mengayunkannya ke arah tubuh Hur. Namun dengan tangkasnya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah itu. Belum sempat melancarkan serangan lagi, Sofwan tiba-tiba mengerang kesakitan begitu mendapat serangan balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat Hur. Dada Sofwan tertembus tombak yang dihunjamkan Hur. Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.



Tiga saudara Sofwan geram menyaksikan pemandangan itu. Hur segera dikeroyok oleh mereka. Tapi ketiga orang itu ternyata tak ada artinya di depan kehebatan Hur yang baru saja menjadi komandan pasukan musuh itu. Tiga-tiganya roboh menyusul Sofwan ke alam baka. Hur kemudian menantang orang-orang lain untuk duel. Tapi begitu tak seorang pun berani menjawab tantangannya, Hur segera mendobrak barisan musuh. Barisan itupun cerai-berai dan Hur segera kembali lagi menghadap Imam Husain dengan wajah ceria setelah berhasil menambah jumlah korban tewas di pihak musuh. Begitulah seterusnya apa yang dilakukan Hur hingga banyak korban yang berjatuhan akibat sabetan pedang Hur.



Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau diterjang pendekar bernama Hur itu, Umar bin Sa'ad segera memekikkan suara: "Hujani dia dengan panah. Jangan biarkan dia lolos!"



Hujan panah pun menyerbu tubuh sang pendekar bernama Hur itu. Dia tak kuasa menghalau serangan selicik itu. Tubuhnya menjadi sarang beberapa anak panah beracun itu. Sebelum tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju menerjang musuh dan sebagian lain membopong Hur yang dalam keadaan sekarat dan membawa ke hadapan Imam Husain as. Imam kemudian mengusap wajah Hur sambil berucap:

"Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan ibumu untukmu. Kamu hur di dunia dan di akhirat."



Hur sang manusia bijak dan pemberani itu kemudian menghembuskan nafas terakhir. Dan kini giliran Mash'ab, saudara Hur, yang meminta izin kepada Imam Husain as untuk berbuat seperti Hur. Imam mengizinkan dan Mash'ab pun menantang musuh untuk berduel. Setelah tak seorangpun dari pihak musuh yang berani berduel, Mash'ab memulai serangannya dengan mengobrak-abrik barisan musuh. Seperti Hur, Mash'ab juga ahli perang. Pedang Mash'ab berkelebat ke sana kemari dan mengimbas siapapun yang ada di dekatnya. Korbannya berjatuhan. Namun, apalah artinya seorang Hur dan Mash'ab di depan lautan pasukan kuffar itu. Tubuh Mash'ab akhirnya menerima tikaman-tikaman senjata musuh setelah tubuhnya lemas kehabisan tenaga. Mash'ab pun roboh menyusul saudara dan kemenakannya setelah berusaha menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati junjungannya, Imam Husain as. Dia mengakhiri kehidupannya di alam fana ini setelah mengucapkan kata-kata: "Salam atasmu wahai putera Rasul." Imam pun menjawab: "Salam pula atasmu, dan kami akan menyusulmu." Setelah itu beliau membacakan ayat suci AlQuran :

"Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya)."



Gugurnya beberapa orang bekas pasukan musuh itu kemudian disusul dengan terjunnya para sahabat Imam Husain as ke medan pertempuran. Mereka berguguran satu persatu setelah masing-masing berhasil merenggut ajal beberapa orang dari serdadu musuh. Diantara para sahabat setia itu adalah Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan musuh. Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sempat mengucapkan kata-kata indah kepada junjungannya, Imam Husain as.



“Wahai Putera Rasul!” Ucap Muslim. “Aku akan pergi untuk memberikan berita gembira kepada kakek dan ayahmu tentang ketibaanmu.” Arwah Muslim bin Ausajah terbang meninggalkan jasadnya yang fana setelah ucapan itu tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan anaknya. Darah sang anak mendidih menyaksikan kematian ayahnya dalam keadaan bersimbah darah. Dia segera menungangi kuda untuk memacunya ke arah pasukan musuh dan melancarkan serangan. Namun, gerakan itu dicegah oleh Imam Husain as. “Hai pemuda!” Panggil beliau. “Ayahmu telah gugur. Jika kamu juga gugur, siapakah nanti yang akan melindungi ibumu?”



Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri. “Apakah kamu lebih mementingkan kehidupan di dunia ini daripada kebersamaan dengan Putera Rasul? Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu.”



Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah segera menarik tali kendali dan memacu kudanya ke medan pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari belakang: “Bergembiralah anakku, tak lama lagi kamu akan meneguk air telaga Al-Kautsar!” Suara ini rupanya menambah semangat putera Muslim sehingga tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak kurang dari 30 tentara musuh. Pemuda itu kemudian tersungkur dalam keadaan penuh luka. Kepalanya kemudian dipenggal dan dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera mendekap dan menciuminya di depan beberapa pasang mata pengikut Imam Husain yang berlinang menyaksikan adegan tragis dan mengharukan itu.



Diriwayatkan pula bahwa saat kecamuk perang berlanjut hingga pertengahan hari Asyura, sahabat Imam yang bernama Abu Tsamamah Asshaidawi datang mendekati beliau sambil berkata: “Walaupun aku tahu musuh tidak akan memberi kesempatan, tetapi demi Allah, jangan sampai engkau terbunuh sebelum aku, wahai Putera Rasul. Walau demikian, aku ingin menghadap Allah dan kini aku ingin mendirikan shalat di belakangmu karena waktu dhuhur telah tiba.”



Wajah Imam Husain as menatap ke langit dan berucap: “Kamu telah mengingatkanku kepada shalat. Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golongan orang-orang yang shalat dan ingat kepada-Nya. Mintalah kesempatan kepada musuh untuk kita tunaikan shalat.”



Adalah Habib bin Madhahir yang menyampaikan permintaan Imam Husain itu kepada pihak musuh. Habib sendiri adalah orang yang pernah hidup menyaksikan Rasul serta termasuk sahabat dekat Imam Ali as, dan kini dia memendam kesetian yang luar biasa kepada Imam Husain as. Karenanya, dia termasuk orang yang gigih menyerukan kepada masyarakat kufah agar membaiat Muslim Bin Aqil yang datang mewakili Imam Husain as.



Dikisahkan bahwa setelah Habib menyampaikan permohonan tersebut, Hisshin bin Tamim, salah seorang komandan pasukan musuh berteriak: “Hai Husain, shalatlah sesuka hatimu, tapi ketahuilah shalatmu itu tidak akan diterima.”



Habib menjawab: “Hai si tukang mabok, apa mungkin Allah menerimamu tetapi menolak putera Rasul?!” Hisshin merasa dihina sehingga naik pitam. Tanpa basa-basi lagi dia segera menyerang Habib. Habib berusaha menangkis, menghindari serangan, dan membalas serangan sehingga terjadilah duel satu lawan satu. Setelah duel bertahan beberapa lama, Habib berhasil mengungguli Hisshin. Pentolan pasukan bejat ini terlempar dari kudanya, tetapi kemudian ditolong dan dilindungi oleh anak buahnya.



Habib lantas menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh mengakibatkan sejumlah orang dari mereka tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin datang lagi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.



Kejadian ini menimbulkan sedikit percekcokan antara beberapa orang yang mengeroyok Hisshin. Mereka satu dengan yang lain saling berbangga sebagai orang yang paling berjasa membunuh Habib. Tetapi mereka kemudian sepakat menyerahkan kepala Habib kepada Hisshin dan menggantungnya ke leher kuda Hisshin. Kepala manusia mulia dipertontonkan ke sana kemari oleh Hisshin, dan Hisshin pun mendapat imbalan dari atasannya.



Periwayat juga menceritakan, di medan pertempuran Habib bin Madhahir sempat menyerukan kata-kata lantang kepada musuh :

"Hai manusia-manusia yang paling bejat! Demi Allah, seandainya jumlah balatentara kami setara dengan jumlah kalian atau setidaknya separoh dari jumlah kalian, niscaya kalian akan lari tunggang-langgang."



Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak kuasa menahan haru. Wajah beliau tampak sangat berduka menyaksikan gugurnya pemegang tiang bendera sayap kiri pasukan beliau. Kepergian Habib ke alam baka diiring kata-kata beliau: "Pahala Allah untukmu, hai Habib! Engkau adalah manusia penuh keutamaan dimana dalam satu malam engkau menghatamkan AlQuran."



Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin Al-Qain, Said bin Abdullah untuk berbaris di depan Imam Husain bersama separuh pasukan beliau yang masih tersisa untuk mengawal shalat beliau bersama separuh pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh nampak tidak mengizinkan beliau shalat.



Kekejaman musuh keluarga Nabi SAWW itu ternyata tak kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri tepat di depan Imam Husain as menjadi sasaran beberapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini gugur setelah menjadi perisai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di depan mata junjungannya yang suci itu. "Ya Allah, laknatlah golongan (musuh) itu seperti (laknat-Mu terhadap) kaum 'Aad dan Tsamud." Ucap Imam Husain as.



Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan musuh sehingga Imam Husain as melanjutkan shalat hingga tuntas. Seusai shalat, Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para pengikutnya. Beliau antara lain berkata:

"Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya cerah, buah-buahannya telah matang, istana-istananya sudah berhias, anak-anak dan para bidadarinya sudah berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang gugur bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan kedatangan kalian. Mereka mengucapkan selamat kepada kalian. Mereka merindukan kalian.



"Belalah agama kalian! Belalah kehormatan Rasulullah, imam kalian, dan putera dari puteri Nabi kalian sebab kalian sebenarnya sedang diuji dengan keberadaan kami. Kalian ada di sisi kakek kami dan kalian akan menjadi manusia mulia di sisi kami. Maka berjihadlah kalian, niscaya Allah akan membalas kalian dengan kebaikan."



Para sahabat Imam Husain as tak kuasa menahan gejolak dan kobaran semangat sekaligus rasa haru mendengar kata-kata beliau. Mereka menangis tersedu-sedu, dan sebagian menjerit histeris. Diantara mereka ada berseru mewakili yang lain.



"Demi Allah." Seru seseorang dari mereka. "Selagi hayat masih di kandung badan, jasad kami siap menantang hujaman pedang dan serbuan anak panah agar tak seorangpun dapat menyakitimu sedikitpun, agar kami dapat menjauhkanmu dari barisan musuh yang datang menyerang hingga kami akhirnya meneguk kematian. Kebaikan yang dicari oleh seseorang hari ini akanlah kekal pada esok hari…"



Para pahlawan Karbala itu akhirnya terjun ke medan laga dan bahu membahu membela junjungannya dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga masih tersisa mereka tak membiarkan siapapun untuk menjamah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para pengikut Imam Husain as dari kalangan non- Bani Hasyim tidak membiarkan seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh sebelum mereka sendiri yang maju. Kehidupan mereka di alam fana ini satu persatu redup. Arwah mereka terbang susul menyusul.



Zuhair bin AlQain adalah salah satu dari mereka. Selain pemberani, dia juga termasuk salah satu pemuka kabilahnya. Tak sedikit peperangan yang pernah dialaminya. Karena itu, kepadanyalah Imam Husain as menyerahkan tongkat komando sayap kanan. Banyak korban dari pihak musuh yang jatuh bergelimpangan akibat kehebatannya dalam bertempur. Siapapun yang berhadapan dengannya pasti akan tersungkur. Karena itu tak sembarang orang yang berani berhadapan dengannya kalau tidak ingin segera dikirimnya ke neraka. Semua pasukan musuh baru berani menghadapinya saat dia sudah tampak letih menerjang musuh yang terus mengerubunginya. Saat itulah, seseorang dari pihak musuh yang bernama Katsir bin Abdullah berani menyerangnya. Itupun dengan bantuan temannya, Muhajir bin Us. Serangan kedua orang inilah yang akhirnya merobohkan Zuhair. Robohnya pendekar beriman ini diiringi ucapan Imam Husain:



"Allah merahmatimu, hai Zuhair. Pembunuhmu akan mendapat laknat sebagaimana laknat atas orang-orang yang dikutuk menjadi kera dan babi."



Satu lagi diantara pasukan Imam Husain as yang gugur di sahara Karbala yang tandus itu adalah Jaun, lelaki berkulit hitam. Dia adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah termasuk orang yang meminta sendiri kepada Imam untuk turut serta dalam rombongan beliau dengan resiko apapun, termasuk berjihad melawan musuh. Menjawab permintaan ini Imam Husain as berkata: "Dulu selagi sehat kamu selalu bersama kami, dan sekarang terserah kamu kemanapun kamu hendak pergi."



Jaun berkata: "Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di saat keadaan sedang baik dan menggembirakan. Kini, apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam kesulitan?! Demi Allah, bau tubuhku tidak sedap, aku lahir dari keturunan yang hina, dan warna kulitku hitam. Namun, apakah engkau tidak rela jika aku menjadi penghuni surga sehingga aroma tubuhku harum semerbak, jasmaniku tampak mulia, dan wajahnya putih?! Tidak, demi Allah aku tidak ingin berpisah denganmu sampai darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu."



Dengan restu Imam Husain as di Karbala, bekas budak itu ikut berjuang melawan musuh. Seperti rekan-rekannya yang lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang dari balatentara musuh sebelum tubuhnya yang hitam itu akhirnya menjadi onggokan tanpa nyawa di tanah Karbala. Dia berhasil menggapai impiannya membela keluarga Rasul untuk kemudian bergabung dengan mereka sebagai para 'bangsawan' di alam surga.



Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul Bait suci itu berguguran satu persatu. Darahnya telah menyiramkan cahaya spiritual yang terang benderang di bumi Karbala, bumi duka nestapa. Jasad-jasad mereka yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti yang diharapkan musuh. Namun, jejak-jejak spiritual mereka akan tetap abadi dan tidak akan pernah sirna untuk selamanya.



BAB 11

BANJIR DARAH HARI ASYURA



Untuk sementara kalangan, hari Asyura saat itu adalah hari jihad, pengorbanan, dan perjuangan menegakkan kebenaran. Namun, untuk kalangan lain, hari itu adalah hari pesta darah, hari perang, dan hari penumpahan ambisi-ambisi duniawi. Akibatnya, terjadilah banjir darah para pahlawan Karbala yang terdiri anak keturunan Rasul dan para pecintanya.



Hari itu tanah Karbala sedang diguyur sengatan terik mentari yang mengeringkan tenggorokan para pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati itu satu persatu bergelimpangan meninggalkan sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad SAWW. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini akhirnya menatap pemandangan sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecinta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani itu yang ada hanyalah onggokan jasad tanpa nyawa. Putera Amirul Mukminin sejati itu melantunkan kata mutiaranya:

"Akulah putera Ali dari Bani Hasyim, dan cukuplah kiranya ini menjadi kebanggaan bagiku. Fatimah adalah ibundaku, dan Muhammad adalah kakekku. Dengan perantara kamilah Allah menunjukkan kebenaran dari kesesatan. Kamilah pelita-pelita Allah yang menerangi muka bumi. Kamilah pemilik telaga Al-Kautsar yang akan memberi minum para pecinta kami dengan cawan-cawan Rasul. Tak seorangpun dapat mengingkari kedudukan kami ini.



"Para pengikut kami adalah umat yang paling mulia di tengah makhluk, dan musuh-musuh kami adalah orang paling rugi pada hari kiamat. Beruntunglah hamba-hamba yang dapat berkunjung kepada kami di surga setelah kematian, surga yang keindahannya tak kunjung habis untuk disifati."



Hari Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul Bait Rasul, hari rintihan sunyi putera Fatimah, hari keterasingan putera Azzahra, hari kehausan dan jerit tangis anak keturunan Nabi. "Adakah sang penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah sang pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?" Pinta putera Ali bin Abi Thalib as itu kepada umat kakeknya, Muhammad SAWW.



Rintih pinta cucu Rasul itu tak dijawab kecuali oleh beberapa pemuda Bani Hasyim yaitu keluarga, kaum kerabat dan pengikut beliau yang masih tersisa. Diantara mereka adalah Ali Akbar, putera beliau sendiri. Ali Akbar meminta izin sang ayah untuk maju melawan musuh. Sang ayah mendapati wajah anaknya itu dibinari cahaya spiritual yang amat cemerlang, mengingatkan beliau pada wajah Rasul. Wajah memohon itu direstui tatapan bisu sang ayah. Hanya linangan air mata dan tak sepatah katapun terucap sebagai kata perpisahan untuk pemuda ksatria itu di alam fana. Demi tujuan sebuah yang agung, Imam Husain as itu harus rela mengorbankan jiwa dan raga putera yang sangat dikasihinya.



Demikianlah, Imam Husain as akhirnya mempersembahkan putera tercintanya, Ali Akbar, sebagai pejuang pertama Bani Hasyim di Karbala. Dalam pertempurannya, Ali Akbar selalu beliau perhatikan dengan seksama dan penuh ketabahan. Dalam keadaan berlinang air mata, imam Husain as berucap:

"Ya Allah, saksikanlah seorang remaja yang paras, perangai, dan tutur katanya paling menyerupai rasul-Mu kini telah tampil berjuang melawan kaum itu. Kepada wajah remaja inilah kami memandang jika kami sedang merindukan rasul-Mu."

Imam Husain as kemudian berseru kepada Umar bin Sa'ad:

"Hai putera Sa'ad semoga Allah memutuskan hubungan kekeluargaanmu sebagaimana kamu telah memutuskan hubungan kekeluargaanku."

Ali Akbar bin Husain as sudah ada di medan laga. Tanpa di duga pasukan musuh, mereka tercengang menyaksikan kepiawaian Ali Akbar dalam berperang. Gerakan dan ketangkasannya dalam bertempur mengingatkan mereka kepada Haidar Al-Karrar alias Ali bin Abi Thalib as yang tenar dengan Singa Allah. Tak sedikit pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sambaran pedang Ali Akbar. Namun, saat tenaganya sudah terkuras dan jumlah musuh seakan tak berkurang, Ali Akbar sempat mendatangi sang ayah dan berkata: "Ayah, aku tercekik kehausan sehingga (senjata) besipun kini memberatkanku. .."

Imam Husain as menjawab:

"Tabahkan dirimu, hai puteraku tercinta. Sesungguhnya Rasulullah tak lama lagi akan memberimu minum yang akan membuatmu tidak akan pernah lagi merasa kehausan."

Remaja berhati baja itu akhirnya kembali lagi ke medan laga. Namun, keadaannya yang sudah nyaris tanpa daya itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi riwayatnya. Maka dari itu, kedatangannya disambut dengan hantaman pedang tepat mengena di bagian atas kepala Ali Akbar. Darahnya yang mengucur segera disusul dengan sambaran anak panah yang menusuk tubuhnya secara bertubi-tubi. Dalam kondisi fisik yang mengenaskan itu, bibir Ali Akbar mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan kepada ayahnya:

"Sekarang aku sudah melihat kakekku yang sedang membawa cawan yang beliau persiapkan untukmu."

Ali Akbar lalu tergolek di atas kudanya yang berputar-putar ke sana kemari setelah kehilangan kendali di tengah riuhnya suasana perang. Tubunnya yang sudah mengenaskan itu masih sempat dihantam senjata dan dipanah lagi saat kuda yang tak terkendali itu bergerak di sekitar pasukan musuh. Di saat-saat itulah, sambil memanfaatkan sisa-sisa tenaga dan nafasnya, Ali Akbar berucap lagi:

"Salam atasmu wahai ayahku, sekarang aku sudah menyaksikan kakekku Rasulullah. Beliau menyampaikan salam kepadamu dan bersabda: 'Cepatlah datang kepada kami!'"

Kata-kata yang didengar Imam Husain as ini segera disambut dengan kata-kata lantang beliau:

"Allah akan membinasakan kaum yang telah membunuhmu!"

"Hai orang-orang Kufah, aku berharap mata kalian kelak akan dipedihkan oleh tangisan, dada kalian akan dibebani rintihan untuk selamanya, dan Allah tidak memberkati kalian, dan Dia akan mencerai beraikan kumpulan kalian."

Setelah memekikkan kutukan ini, Imam Husain as maju sendiri ke medan perang menerobos dan membubarkan barisan depan musuh. Beliau mendekati kuda Ali Akbar dan menggiringnya ke tempat yang aman lalu menurunkan tubuh penuh luka dan bermandi darah puteranya itu dari kuda. Tubuh suci direbahkan dalam pelukan hangat beliau. Di situ dada Ali Akbar ternyata masih bergerak. Setelah kelopak matanya terbuka perlahan, bibirnya berucap:

"Ayahku yang mulia, aku sudah melihat pintu-pintu langit terbuka, para bidadari di surga sedang berkumpul sambil membawa cawan-cawan minuman dan memanggil-manggil diriku. Sekarang aku akan pergi ke sana dan membinarkan wajah mereka yang merindukan kedatanganku itu…"

Ruh Ali Akbar melayang setelah jasadnya menghembus nafas terakhir. Kepergiannya ke alam keabadian diantar ayahandanya yang mulia itu dengan kata-kata:

"Adalah sesuatu yang berat bagi kakekmu, pamanmu, dan ayahmu untuk tidak memenuhi permohonanmu.

Imam Husain as membawa jasadnya yang penuh luka bacokan dan menjadi sarang anak panah itu ke arah perkemahan. Hazrat Zainab segera keluar dari dalam tenda dan menyambut jasad itu dengan jerit tangis dan ratapan. Jasad itu dipeluknya erat sambil meratap: "Oh kemenakanku. Oh putera kesayangku." Imam Husain as mengantarkan adiknya itu ke dalam kemah orang-orang perempuan lagi lalu kembali memeluk jasad Ali Akbar sambil berucap:

"Puteraku, engkau sudah beristirahat dari kegundahan dan kegetiran hidup di dunia. Kini tinggallah ayahmu seorang diri."

Imam Husain as lantas memerintahkan para pemuda Bani Hasyim untuk membawa jasad suci yang tercabik-cabik itu ke dalam tenda tempat jasad para syuhada dikumpulkan. Jasad putera kesayangan Imam itu diusung diiringi dengan kata-kata beliau berkali-kali:

"Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji'uun."

Dengan hati pilu putera Ali bin Abi Thalib as ini berkata dengan nada tinggi kepada Umar bin Sa'ad:

"Tahukah kamu apa yang akan terjadi nanti denganmu? Allah pasti akan membinasakan keluarga dan keturunanmu sebagaimana kamu membinasakan keluargaku, sebagaimana kamu tidak mengindahkan kekerabatanku dengan Rasulullah. Allah tidak akan memberkahimu. Allah akan menguasakan atasmu seseorang yang akan memenggal kepalamu di atas tempat tidurmu!"

Satu lagi diantara ksatria Karbala dari kerabat Rasul yang berdiri teguh melawan badai bencana dengan segala jiwa dan raga ialah Abdullah bin Muslim bin Aqil. Dia termasuk prajurit yang meminta sendiri kepada Imam Husain as untuk angkat pedang melawan musuh. Imam menjawab:

"Masih belum lama ayahmu Muslim gugur sebagai syahid. Aku akan mengizinkanmu berperang jika kamu membawa ibumu yang sudah tua itu keluar dari suasana pertempuran ini."

Abdullah bin Muslim menjawab:

"Ibuku pasti siap berkorban untukmu, dan aku sendiri bukanlah orang yang mengutamakan kehidupan di dunia daripada kehidupan yang abadi di akhirat. Aku memohon restumu untuk mengorban jiwaku di jalanmu."

Sang Imam suci dan agung itupun kemudian merestuinya. Maka, dengan jiwa yang besar dan tak kenal kata gentar, Abdullah maju ke medan laga dengan tatapan yang tajam ke arah musuh yang bergerombol bak srigala kelaparan. Di tengah kerumunan manusia-manusia srigala padang pasir itu, Abdullah bin Muslim mengamuk bak singa sahara. Pedangnya berkelebat-kelebat memangkas nyawa manusia-manusia tak berperasaan dari Kufah itu. Beberapa serdadu bergelimpang diterjang keperkasaan Abdullah yang mewarisi darah kependekaran ayahnya, sebelum kemudian dia sendiri tak berdaya melawan prajurit iblis yang menyemut itu. Putera Muslim bin Aqil ini gugur di tangan Amr bin Sabih Assaidawi dan Asad bin Malik.

Berakhirnya legenda kependekaran Abdullah disusul dengan tampilnya satu lagi putera Muslim, Muhammad. Sebagaimana Abdullah, Muhammad juga meneguk manisnya derajat syahadah di bumi gersang Karbala itu.

Dikisahkan pula dalam sejarah bahwa di hari yang paling na'as untuk anak keturunan dan kerabat suci Rasul itu, Hazrat Zainab Al-Kubra as sempat mengenakan baju baru kepada kedua puteranya, Muhammad dan 'Aun, sebelum kemudian menyerahkan pedang kepada mereka sambil menahan jerit hati yang pilu di dalam hati. Dengan linangan air mata, wanita suci, pemberani, dan mulia ini meminta restu kepada kakaknya supaya kedua puteranya itu ikut mempersembahkan jiwa dan raganya di jalan Allah. Imam Husain as tadinya masih ingin menahan keberadaan kedua putera itu. Namun, keinginan itu luluh setelah Hazrat Zainab tetap mendesak beliau supaya mengizinkan kepergian mereka. Imam lantas merestui kepergian kedua kemenakan yang dikasihinya itu.

Yang maju terlebih dahulu adalah Muhammad bin Abdullah bin Jakfar. Seperti syuhada sebelumnya, Muhammad jatuh dan gugur setelah menghabisi ajal sejumlah serdadu musuh. Setelah itu baru menyusullah 'Aun bin Abdullah bin Jakfar. Dalam keadaan bertahan dan menyerang pasukan musuh, dia mencoba mendekati jasad saudaranya yang sudah tak bernyawa itu lalu berkata: "Saudaraku, nantikan aku yang tak lama lagi akan menyusulmu."

Benar, tak setelah itu 'Aun menyusul kepergian saudaranya ke alam keabadian setelah tubuhnya mendapat serangan telak dari seseorang Abdullah bin Qathanah. Arwah kedua putera Hazrat Zainab itu terbang tinggi bak dua merpati menuju kerimbunan taman-taman surgawi.

Diriwayatkan pula bahwa dua kakak beradik dari putera-putera Muslim bin Aqil juga tampil ke medan laga. Mereka adalah Abdurrahman bin Aqil dan Jakfar bin Aqil. Kedua tampil untuk mempersembahkan jiwa dan raganya di jalan yang hak. Keduanya kemudian disusul lagi oleh Muhammad bin Abi Said bin Aqil yang juga tampil dengan langkah mantap untuk menerjang pasukan iblis hingga titik darah penghabisan, titik darah yang terukir abadi dalam prasasti sejarah heroisme dan duka nestapa perjuangan Ahlul Bait Nabi demi tegaknya agama Muhammad SAWW.



BAB 12

MUSIBAH HAZRAT QASIM AS

Pada malam Asyura Imam Husain as telah memberitahu para sahabatnya bahwa mereka besok akan syahid. "Kalian semua besok akan terbunuh." Ujar beliau. Saat itu, Qasim bin Hasan bin Ali as, seorang remaja rupawan datang menghadap Imam Husain as.

"Paman," Panggil putera Imam Hasan as itu, "apakah aku juga akan terbunuh?" Pertanyaan ini membuat sang Imam terharu dan segera memeluk erat kemenakannya itu lalu bertanya: "Bagaimanakah menurutmu kematian itu?"

Anak yang baru beranjak usia remaja itu menjawab:

"Kematian bagiku adalah lebih manis daripada madu."

Mendengar jawaban ini, Imam segera memberitahu:

"Kamu akan terbunuh setelah terjadi bencana besar, dan bahkan Ali Asghar pun juga akan terbunuh."

Pada hari Asyura, saat sudah mempersiapkan diri untuk berperang, Qasim pergi menghadap pamannya untuk mengajukan sebuah permohonan. "Paman, izin aku untuk ikut berperang." Pintanya. Namun Imam menjawab: "Kamu bagiku adalah cindera mata dari kakakku, maka bagaimana aku dapat merelakan kematianmu?"

Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat Qasim. Dia tetap memohon lagi agar beliau membiarkannya bertempur melawan musuh. Namun Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja tampan ini bersedih lalu terduduk seorang diri sambil berenung penuh duka cita. Di saat itu tiba-tiba dia teringat pada pesan ayahnya dulu, Imam Hasan as. Saat masih hidup, kepada Qasim Imam Hasan pernah berpesan: "Jika nanti suatu penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah catatan yang kamu ikatkan dilenganmu, lalu bacalah dan amalkanlah."

Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah sedemikian besar yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dari situ dia lantas merasa bahwa sekarang inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu.. Surat itu dibukanya dan disitu dia mendapatkan pesan ayahnya yang mengatakan:

"Hai Qasim, aku berpesan kepadamu bahwa jika kamu mendapati pamanmu Husain di Karbala dalam keadaan terasing dan kerumuni oleh musuh, maka janganlah kamu tinggalkan jihad, dan jangan sampai kamu enggan mengorbankan jiwamu deminya."

Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam Husain as. Imam Husain as terharu dan tiba menangis begitu menyaksikan ciri khas tulisan kangan kakak yang amat dicintainya itu, lalu berkata kepada Qasim:

"Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu, maka saudaraku Hasan itu juga pernah berwasiat suatu hal kepada sehingga akupun sekarang harus menikahkan puteriku Fatimah denganmu." Imam meraih tangan Qasim dan membawanya ke dalam tenda. Beliau bertanya kepada semua orang dan para pemuda yang ada di sekitarnya: "Adakah pakaian bagus untuk aku kenakan kepada Qasim?" Semua orang menjawab tidak.

Imam lalu meminta adiknya, Hazrat Zainab, supaya mengambilkan beberapa potong pakaian peninggalan Imam Hasan as dari sebuah peti. Setelah pakaian itu didatangkan, beliau mengenakan serban dan gamis Imam Hasan itu kepada Qasim lalu mengakad nikahkan Fatimah dengannya. Begitu selesai, Imam berujar kepada Qasim: "Hai puteraku, adakah sekarang kamu siap melangkah menuju kematian?"

Qasim menjawab: "Entahlah paman, bagaimana aku harus pergi meninggalkanmu seorang diri tanpa pelindung dan kawan diantara sekian banyak musuh. Yang pasti, jiwaku jiwaku siap berkorban untuk jiwamu, diriku siap melindungi dirimu."

Setelah kembali mengajukan permohonan dengan amat sangat untuk berperang, Imam Husain as akhirnya rela melepaskan Qasim berperang melawan musuh. Beliau menyobek serbannya menjadi dua potong, satu untuk beliau pakai lagi untuk serban, selebihnya beliau kenakan dalam bentuk kain kafan. Setelah menyerahkan sebilah pedang kepada Qasim, Imampun melepaskan kepergiannya ke arah musuh yang tak sabar menanti korban-korban suci selanjutnya.

Di medan pertempuran, Qasim sang remaja suci itu menyorot tajam mata Umar bin Sa'ad kemudian menumbuknya dengan kata-kata:

"Hai Umar, masihkan kamu tidak takut kepada Allah?! Apakah kamu tetap saja mengabaikan hak Rasulullah?! Lantas bagaimana kamu bisa mengaku sebagai seorang Muslim sementara kamu memblokir sungai Elfrat agar putera dan Ahlul Bait Rasul yang berteriak-teriak kehausan itu tidak dapat meneguk airnya?!"

Dengan angkuhnya Umar bin Sa'ad menjawab:

"Aku hanya akan membiarkan kalian meminumnya airnya jika kalian menanggalkan sikap takabur kalian."

"Oh tidak, terima kasih, (kami tidak akan meminumnya)." Sergah Qasim.

Saat menatap wajah-wajah musuh yang berjajar di depannya, putera Imam Hasan as itu sempat mengucapkan sebuah syair tentang jiwanya yang sudah membaja dan kenal kata gentar itu. Syair itu berbunyi:

"Jika kalian belum mengenalku, maka ketahuilah bahwa akulah putera AlHasan, cucu Nabi Al-Mustafa, manusia kepercayaan (Allah). Dan ini adalah Husain yang sedang menderita bagai tawanan yang disandera di tengah orang-orang."

Meski usianya masih beliau, Qasim akhirnya mementaskan kehebatan ilmu perang yang dikuasainya di atas gelanggang sejarah heroisme Karbala. Sejumlah musuh jatuh bergelimpangan setelah menikmati kerasnya sabetan pedang Qasim.

Syaikh Mufid ra dalam kitabnya, Al-Irsyad, meriwayatkan dari Hamid bin Muslim yang berkata:

"Saat itu aku berada di tengah pasukan Ibnu Sa'ad. Aku menyaksikan seorang remaja belia yang wajahnya sangat rupawan dan bersinar bagai purnama. Dia mengenakan pakaian dan izar (semacam sarung). Kakinya mengenakan sepasang sendal yang tali satu diantaranya sudah terputus. Menyaksikan remaja itu, Amr bin Sa'ad Al-Izadi berkata: ' Demi Allah, aku memperlakukannya dengan kasar dan membunuhnya. '

"Aku berseru: 'Subhanallah! Kehendak macam apakah yang kamu katakan ini?! Orang sebanyak itu dan kini sedang mengelilinginya itu sudah cukup untuk membantainya. Lantas untuk apa kamu mau ikut-ikutan menghabisinya? !'

"Saat aku masih berpikir demikian, seekor kuda tiba-tiba menerjang kemudian disusul dengan hantaman pedang yang mengena bagian kepala anak yang sedang teraniaya itu. Kepalanya terkoyak sehingga Qasim tersungkur ke tanah dan berteriak: 'Oh paman, aku haus, aku dahaga. Beri aku seteguk air minum!'

"Hazrat Husain bin Ali dari jauh mencoba memberinya semangat dan ketabahan hati, sementara pasukan musuh terus mengerubungi sambil menganiayanya secara bertubi-tubi. Saat mereka hendak memenggal kepalanya, remaja belia itu merintih dan meminta diberi kesempatan untuk mengucapkan suatu wasiat kepada seseorang. Namun, saat dia tidak melihat siapapun di dekatnya kecuali kuda tunggangannya. Maka, ditujukan kepada kudanya itu dia berkata: "Katakanlah kepada puteri pamanku, sesungguhnya aku terbunuh dalam keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu meminum air, ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di sini) kamu hendak mewarnai kukumu dengan sesuatu, maka warnailah dengan darahku."

Dalam keadaan tak berdaya itu, Qasim dipenggal oleh musuh. Kepalanya terpisah dari badan. Menyaksikan pemandangan sedemikian biadab itu, Imam Husain as segera menerjang barisan pasukan musuh. Bagaikan elang yang menukik dari angkasa saat memburu mangsa, Imam Husain as menerobos gerombolan musuh dan mengincar manusia liar yang telah memenggal kepada kepala Qasim. Begitu manusia biadab berama Amr bin Sa’ad itu terlihat di depan beliau, Imam Husain as segera membabatkan pedangnya ke arah Amr. Amr pun mengerang kesakitan begitu melihat tangannya sudah terpisah dari pangkal lengannya akibat sabetan pedang Imam Husain as. Namun, tanpa ampun lagi, diiringi gelegar suara Imam Husain as yang menggetarkan nyali pasukan musuh yang ada di sekitarnya, Amr bin Sa’ad mendapat serangan kedua kalinya dari pedang Imam. Manusia sadis terhempas dari kudanya. Dalam keadaan bermandi darah diapun sekarat dan mati.

Debu yang beterbangan pun reda. Di saat musuh tercengang, Imam mendekati dan meraih kepala Qasim dan memeluknya jasadnya yang tak bernyawa itu. Imam berucap: “Demi Allah, adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi pamanmu untuk tidak memenuhi panggilanmu jika kamu memanggilnya, atau memenuhinya tetapi tidak berguna untukmu.” Hai Puteraku, orang-orang kafir telah membunuhmu. Mereka tidak tahu siapa kamu, ayahmu dan kakekmu.”

Gugurnya Qasim di medan jihad tak urung disambut dengan jerit tangis histeris isteri yang baru saja dinikahinya. Ratapan histeris juga datang dari ibu Qasim. Mereka melumuri wajah mereka dengan darah suci Qasim sambil menangis tanpa henti hingga kemudian dengan hati pilu Imam Husain as meminta mereka untuk tabah didepan cobaan yang amat besar ini. Beliau kemudian membawa jenazah suci Qasim ke dalam tenda yang khusus untuk dibaringkan di sisi jenazah para syuhada sebelum Qasim. Dengan wajah yang tak dapat membendung luapan duka, beliau menatap ke arah langit dan berucap:

“Ya Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Engkau tahu bahwa orang-orang (Kufah) itu telah mengundangku untuk mendukungku. Namun sekarang mereka telah melepaskan tangan dariku kemudian menjabat tangan musuhku. Mereka membantu musuh dan bangkit memerangiku. Ya Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, binasakanlah mereka, ceri beraikan mereka hingga tidak ada lagi satupun diantara mereka yang tersisa.

“Laknat Allah atas para pembunuh kalian (para syuhada).”

Di Karbala, saat putera-putera ksatria Ali bin Abi Thalib as tidak tersisa lagi kecuali Imam Husain as dan Abu Fadl Abbas, Abbas datang menghampiri kakaknya, Imam Husain as dan berkata:”

“Turbunuhya para sahabat dan kerabatku kini telah membuatky tak kuasa lagi menahan rasa sabar. Maka izinkan aku untuk membalas darah mereka.”

“Saudara-saudara Imam Husain as yang sudah maju ke depan dan membawa bendera perlawanan sebelum Abbbas ialah Abdullah, Jakfar, dan Ustman. Mereka sudah gugur mendahului Abbas hingga akhirnya tibalah giliran Abbas sendiri untuk melakukan perlawanan di atas pentas peperangan yang sebenarnya lebih merupakan panggung pembantaian itu.



BAB 13

MUSIBAH HAZRAT ABU FADHL ABBAS AS

Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Fadhl Abbas as adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik Abbas sehingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar bani Hasyim).

Dalam sejarah Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberaniann, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as. Perjuangan di Karbala telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai salah satu pahlawan yang sangat legendaris.

Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata:

“Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada hari kiamat.”

Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga berucap:

"Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas. Sesungguhnya dia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya."

Dalam peperangan kedua tangannya telah dipotong oleh musuh sehingga Allah menggantinya dengan sepasang sayap untuk terbang dengan para malaikat di alam surga. Di sisi Allah dia memiliki kedudukan yang sangat agung sehingga membuat para sahabat cemburu melihatnya.

Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka. Perasaannya sangat tersayat menakala dia mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan untuk berjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as. Namun, selama terjadi peperangan yang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang bisa dia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat dia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpangan ditangannya untuk kemudian dia kirim ke neraka jahannam dengan harapan dapat membalas kebejatan para musuh itu dengan sekuat tenaga.

Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah: "Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?" Pernyataan Sang Purnama ini membuat hati Sang Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: "Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku." Beliau juga mengatakan: "Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu."

Hazrat Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta dibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap:

“Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu girbah air untuk anak-anak itu.”

Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil membawa girbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Elfrat yang seluruh tepi dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke busurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut. Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas bergerak, gerombalan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai ElFrat yang berlapis-lapis akhirnya jebol diterjang pendekar Abbas.

Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula dia berusaha cepat-cepat mengisi girbahnya dengan air. Setelah itu dia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan kedatangannya. Air di telapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap:

“Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”

Hazrat Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam. Namun, perjalanan Abbas tetap dihadang musuh. Dia tidak diperkenankan membawa air itu kepada Ahlul Nabi tersebut. Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abbas dikepung lagi. Pasukan yang menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar musuh ada di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik Abbas.

Menyaksikan kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisi Abbas dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangan Abbas. Tanpa ampun lagi, tangan kanan Abbas putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar girbah air dan pedangnya. Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Saat itu dia sempat berucap:

“Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”

Hazrat Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun terjungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan berteriak : “Hai kakakku, temuilah aku!”

Dengan sengalan nafas yang masih tersisa Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as:

“Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”

Suara dan ratapan Abbas ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliaupun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Dimanakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”

Imam lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka. Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi.

“Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu. Di tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”

Jasad Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih:

“Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abbas yang mengalir beliau usap.

“Mengapa engkau menangis?” Tanya Imam.

“Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.”

Kata-kata Abbas ini semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga beliau semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara.

Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sakinah.

"Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar janji?"

Pertanyaan Sakinah nampak sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum kemudian beliau berkata dengan suara meratap pilu:

"Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam surga."

Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sakinah, Zainab Al-Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. "Oh Abbas!" "Oh, saudaraku!" "Habislah sudah sang penolong!" "Betapa pedihnya nanti bencana sesudah kepergianmu!"

Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. "Oh Abbas, oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah sudah tulang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku."



BAB 14

PENUNTASAN HUJJAH TERAKHIR

Setelah para pemuda dan para pengikutnya sudah terbunuh, Imam Husain as akhirnya mempersiapkan diri untuk mengorbankan jiwa dan raganya. Demi penuntasan hujjah untuk terakhir kalinya, beliau berkali-kali meneriakkan pertanyaan:

"Adakah seseorang yang akan melindungi kehormatan Rasulullah dari bencana ini?"

"Adakah orang bertauhid yang takut kepada Allah berkenaan dengan kami?"

"Adakah orang yang akan menolong permohonan kami demi keridhaan Allah?"

Teriakan Imam Husain as ini mengundang jerit tangis kaum wanita yang masih harus beliau lindungi.

Beliau berteriak lagi:

"Adakah orang yang menyisakan rasa belas kasih? Adakah seorang penolong?"

Ali Zainal Abidin Assajjad, putera beliau satu-satunya yang sedang sakit keras dan tak berdaya untuk maju ke medan laga berusaha bangkit dari pembaringannya dan berteriak: "Aku siap. Aku akan mengorbankan jiwa." Dengan tubuhnya yang lemas Ali Assajjad itu berusaha meraih pedang, namun lempengan besi tajam itu masih sangat berat untuk tubuhnya yang nyaris tenaga itu. Pemuda ini lantas meraih tombak, satu-satunya senjata yang baginya justru lebih menyerupai untuk menyanggah tubuhnya yang lunglai itu. Dengan sisa-sisa tenaga dia mencoba beranjak menuju gerombolan musuh. Namun Imam Husain as tidak membiarnya berperang dalam kondisi seperti itu. Beliau memerintahkan Ummu Kaltsum untuk mencegahnya, namun Assajjad menolak. "Biarkan aku yang akan menolongnya. " Pinta Assajjad.

Imam Husain as akhirnya turun tangan sendiri untuk mencegah dan membawanya kembali ke pembaringan lalu berkata:

"Tenanglah puteraku. Tetaplah kamu di sini. Biarkan aku sendiri yang akan menghadapi pedang, sedangkan kamu cukuplah menanti belenggu. Puteraku, kamu harus kembali ke kampung halaman di Madinah. Sampaikan salamku untuk pusara kakekku, ibuku, dan saudaraku. Sampaikan salamku kepada saudarimu, Fatimah. Sampaikan salamku kepada para pengikut kita dan katakan kepada mereka: ayahku berkata; 'Aku berharap kepada kalian untuk mengingat bibirku yang kering kehausan jika kalian hendak meneguk air, dan menangislah kalian dan jangan kalian lupakan keterasingan dan syahadahku saat kalian bicara tentang keterasingan seorang syahid."

Salam atasmu, wahai Abu Abdillah AlHusain. Salam kami, para pengikutmu, atas engkau yang telah menumpah darah sucimu di jalan Allah.

Di saat-saat terakhir itu, Imam Husain as mendatangi tenda-tenda satu persatu. Beliau panggil satu persatu anak-anak beliau. Beliau meminta mereka untuk tabah dan sabar. "Hai para pelipur hatiku sekalian," Tutur Imam Husain as penuh harap, "Allah tidak akan berpisah dengan kalian di dunia dan akhirat. Ketahuilah dunia ini tidaklah abadi. Akhiratlah tempat pesinggahan yang abadi." Imam Husain as kemudian menumpahkan segala rahasia kepemimpinan (imamah) kepada putera yang kelak mewarisi kepemimpinannya, Ali Zainal Abidin Assajjad as.

Imam Husain as antara lain berkata:

"Pusaka-pusaka para nabi, washi, dan kitab suci aku serahkan kepada Ummu Salamah, dan semuanya akan diserahkan (kepadamu) sepulangmu dari Karbala."

Imam lalu mendekati adiknya, Zainab AlKubra as dan meminta supaya diambilkan gamisnya yang sudah lama dan usang. Dengan wajahnya yang dipenuhi sketsa penderitaan dan duka cita itu, Hazrat Zainab mencarikannya kemudian menyerahkannya kepada Imam. Beliau mengenakannya setelah sebagian beliau sobek kemudian diikatkan kuat-kuat sebagai tali yang mengikat gamis itu dengan tubuhnya agar tak mudah lepas atau dibuka oleh orang lain.. Gerakan Sang Imam yang diiringi oleh ratapan dan tangisan anggota kerabat yang ada di sekitarnya, seiring dengan jerit tangis bayi mungil Ali Asghar, putera beliau yang masih berusia enam bulan. Bayi itu menjerit-jerit menahan dahaga setelah sekian lama tidak mendapatkan tetesan air susu dari ibunya yang juga sudah lama tercekik kehausan.

Tak tega mendengar tangisan itu, Imam meminta puteranya yang masih bayi itu supaya diberikan kepada beliau. Bayi itu diserahkan kepada beliau oleh seorang wanita bernama Qandaqah. Beliau meraih bayi itu lalu menciuminya sambil berucap: "Alangkah celakanya kaum ini sejak mereka dimusuhi oleh kakekmu." Bayi bernama Ali Asghar itu beliau bawa ke depan barisan pasukan musuh dan memperlihatkannya kepada mereka untuk menguji adakah mereka masih menyisakan jiwa dan perasaan mereka sebagai manusia. Beliau berucap kepada Allah: "Ya Allah, hanya inilah yang tertinggal dariku, dan jiwanyapun rela aku korbankan ddijalan-Mu"

Beliau lalu menatap ke wajah-wajah manusia durjana di depannya itu. Bayi berusia enam bulan beliau junjung sambil berseru:

"Hai para pengikut keluarga Abu Sufyan, jika kalian menganggapku sebagai pendosa, lantas dosa apakah yang diperbuat oleh bayi ini sehingga setetes airpun tidak kalian berikan untuknya yang sedang mengerang kehausan."

Sungguh biadab, tak seorangpun diantara manusia iblis itu yang tersentuh oleh kata-kata beliau. Yang terjadi justru keganasan yang tak mengenal sama sekali rasa kasih sayang dan norma insaniah. Seorang berhati srigala bernama Harmalah bin Kahil Al-Asadi diam-diam mencantumkan pangkal anak panahnya ke tali busur lalu menariknya kuat-kuat. Tanpa ada komando, benda yang ujungnya runcing melesat ke arah bayi Ali Asghar. Sepecahan detik kemudian bayi malang itu menggelepar di atas telapak Imam Husain as yang tak menduga akan mendapat serangan sesadis itu sehingga tak sempat berkelit atau melindunginya dengan cara apapun. Beliau tak dapat berbuat sesuatu hingga bayi itu diam tak berkutik setelah anak panah itu menebus lehernya. Ali Akbar telah menemui ajalnya dalam kondisi yang mengenaskan. Darah segar mengucur dari lehernya hingga menggenangi telapak tangan ayahnya. Dengan demikian, lengkaplah penderitaan Imam Husain as.

Dengan hati yang tersayat-sayat, beliau melangkah kembali ke arah perkemahan. Beliau menggali lubang kecil untuk tempat persemayaman jasad suci Ali Asghar. Dari langit beliau mendengar suara bergema: "Biarkanlah dia gugur, wahai Husain, sesungguhnya di surga sudah menanti orang yang akan menyusuinya."

Imam menghampiri perkemahannya untuk mengucapkan kalimat perpisahan terakhir. Dalam hal ini kepada puteranya yang sedang sakit, Assajjad as, beliau bertutur:

"Puteraku, sampaikan salamku kepada para pengikutku. Katakanlah kepada mereka sesungguhnya ayahku telah gugur seorang diri, maka ratapilah dia."



BAB 15

PERPISAHAN TERAKHIR

Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. Maka, kepada kaum wanita keluarga dan kerabatnya bintang ketiga dari untaian suci Imam Ahlul Bait as yang siap menyongsong kematian sakral itu berkata:

"Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah bahwa Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh dengan berbagai macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi keagungan kalian."

Imam menatap wajah puteri-puterinya satu persatu sambil berkata: "Sakinah, Fatimah, Zanab, Ummu Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan serea tiba saatnya kalian dirundung nestapa."

Wajah Imam bersimbah air mata sehingga Hazrat Zainab memberanikan diri untuk bertanya:

"Mengapa engkau menangis?"

"Bagaimana aku akan dapat meredam tangis, sedangkan sebentar lagi kalian akan digiring oleh musuh sebagai tawanan?!"

Sakinah juga bertanya:

"Ayahku, apakah engkau akan menyerah kepada kematian?"

"Bagaimana tidak, sedangkan aku sudah tidak mendapati orang yang akan menolongku?!" Jawab Imam.

Sakinah berkata lagi:

"Kalau begitu, lebih baik pulangkan kami ke tanah suci kakek."

Imam Husain menjawab:

"Mana mungkin aku bisa memulangkan kalian? Andaikan mereka mau melepaskan diriku, tidak mungkin aku akan menjerumuskan diriku kepada kebinasaan.."Dzariayat Annajah hal.138.

Sejurus kemudian Sang Imam bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju gerombolan musuh yang sudah haus akan darah beliau itu. Namun, gerakannya tertahan lagi oleh sisa-sisa jerit tangis anak-anak yang menahan dahaga. "Tak usah kalian menangis, demi kalian jiwaku akan aku korbankan."

Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan:

"Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini kepadamu. Jadikanlah kamu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan tak perlu engkau mengurai-uraikan rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan ayahnya, biarlah putera Ali yang akan tampil sebagai ayah mereka."

Dengan suara lirih, beliau akhirnya mengucapkan salam perpisahan:

"Alwidaa', alwidaa', alfiraaq, alfiraaq."

Putera Ali bin Abi Thalib as itu kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelum ditunggangi oleh Abul adhl Abbas as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tetap tak kuasa menahan ratapan duka lara. Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki Dzul Janah. "Ayah! Ayah!" Panggil puteri beliau yang masih berusia tiga tahun. "Aku haus, aku haus! Mau kemana engkau ayah? Lihatlah aku, ayah. Aku sedang kehausan."

Hati Sang Imam kembali menjerit. Imam sempat tersedu menahan tangis, tetapi kemudian tetap menarik kendali kudanya menuju laskar iblis kerajaan Bani Umayyah itu. Di situ beliau mencoba untuk mengajukan permohonan..

"Hai putera Sa'ad!" Seru beliau. "Aku menginginkan darimu satu diantara tiga pilihan. Pertama, kamu bebaskan aku untuk kembali kembali ke tanah suci kakekku dan menetap di sana."

"Itu tidak mungkin!" Sergah Ibnu Sa'ad dengan raut muka yang angkuh.

"Kedua," Lanjut Imam. "Berilah kami air, karena keluargaku sedang tercekik dahaga."

"Ini juga tidak bisa!" Teriak panglima pasukan Yazid dari Kufah itu.

Imam berkata lagi:

"Kalau begitu, kalian tahu aku disini hanya seorang diri. Karenanya, sekarang aku minta satu diantara kalian maju berduel denganku."

Umar bin Sa'ad menjawab:

"Ini pekerjaan gampang. Saya terima permintaanmu untuk memulai duel."



BAB 16

PERJUANGAN KSATRIA KARBALA SEORANG DIRI

Sebagaimana yang sudah disepakati, terjadilah duel satu lawan satu. Singkat cerita, Imam Husain as adalah pendekar yang tak tertandingi oleh musuh-musuhnya dalam pertarungan secara jantan satu lawan satu. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad pun was-was dan cemas saat melihat sudah banyak pasukannya yang tak bernyawa setelah berani menjawab tantangan duel Imam Husain as.

Dengan kesalnya, Umar bin Sa’ad menggerutu:

“Keparat, tak ada seorangpun yang mampu bertanding dengan Husain. Jika begini terus, tak akan ada satupun diantara pasukanku yang tersisa nanti.”

Dia lantas berteriak kepada pasukannya:

“Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!”

Umar bin Sa’ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan bukan sembarang orang, termasuk untuk urusan. Dia adalah putera pendekar Islam legendaris, Imam Ali bin Abi Thalib as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi semua kehebatan ayahnya. Karenanya, tak mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan, pasukan musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan. Di saat yang lebih menegangkan itu, beliau tiba-tiba didatangi oleh sehelai surat bertinta emas yang melayang jatuh dari angkasa dan hinggap di atas pelana kuda beliau, Dzul Janah. Surat diraihnya dan tertera sebuah pernyataan:

“Salam atasmu wahai hamba-Ku yang salih, Husain. Rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai Husain. (Ketahuilah bahwa) Kami tidak mewajibkan keterbunuhanmu.”

“Jika engkau menghendaki kehidupan di dunia, maka kembalilah ke sarangmu, dan urusilah dunia hingga kaum itu binasa.”

Surat itu dicium oleh Imam Husain as, dan melayangkan kembali ke angkasa bak burung merpati. Beliau kemudian berucap kepada Allah: “Ya Allah, aku sudah berjanji kepada-Mu untuk memberi syafaat umat kakekku. Lantas bagaimana mungkin aku akan mencabut kembali janji itu, dan Engkaupun juga sudah memberitahuku bahwa sesungguhnya untuk memberikan syafaat itu terdapat suatu derajat mulia yang tak dapat dicapai kecuali dengan syahadah…”

Perjanjian untuk menggelar pertarungan secara ksatria akhirnya benar-benar diabaikan oleh musuh. Umar bin Sa’ad memerintahkan seluruh pasukannya untuk ramai-ramai mengerungi dan membantai Imam Husain as sedapat mungkin. Maka, sang Imam pun mulai menjadi bulan-bulan menghadapi sekian banyak manusia-manusia buas itu. Tubuh Imam semakin lemas dalam melakukan perlawanan sehingga saat demi saat tubuh beliau mulai menuai luka dan kucuran darah. Jasad beliau mulai terkoyak-koyak oleh berbagai jenis senjata pedang, tombak, dan panah yang sudah tak sabar untuk menghabisi riwayat Imam Husain as.

Di saat-saat Imam dalam posisi yang nyaris tak berdaya itu, beliau melihat seseorang bernama Syimir bin Dzil Jausyan bersama anak buahnya mengendap-mengendap diantara tempat Imam Husain bertahan dan lokasi perkemahan beliau. Di situ beliau berteriak lantang:

“Celakalah kalian, hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian memang sudah tak beragama, tidak takut kepada hari kebangkitan, maka berpesta poralah kalian dengan urusan duniawi kalian!”

“Kamu bicara apa, hai putera Fatimah!” Sergah Syimir.

Imam menjawab:

“Yang berperang adalah aku dan kalian. Jangan kalian ganggu kaum wanita. Janganlah kalian berbuat sesuatu yang sangat melanggar kehormatanku!”

Syimir menjawab:

“Kami tidak akan melanggar kehormatan.”

Manusia kejam ini lalu berteriak kepada pasukannya:

“Celakalah kalian! Apa yang kalian pelototi?! Cepat habisi dia!”

Teriakan ini segera disusul dengan keroyokan yang lebih sengit terhadap Imam Husain yang nampak sudah kewalahan itu. Dari sekian pedang yang berebut untuk menghabisi nyawa cucu Rasul dan putera Fatimah itu, satu pedang yang digenggam Soleh bin Wahab berhasil menghunjam keras paha beliau. Hantaman ini menjatuhkan beliau dari atas kuda. Pelipis kanan beliau menghempas pasir Karbala yang panas itu.

Beliau tetap bangkit berdiri dan melanjutkan perlawanan sekuat tenaga. Dalam keadaan seperti itu beliau masih sempat menjatuhkan beberapa pasukan. Saat spirit beliau bertambah beliau selalu mengucap kalimat:

لا حول ولاقوة الا بالله العلي العظيم

Beliau juga sempat bersumbar kepada musuh bahwa mati terbunuh lebih baik daripada harus hidup terpedaya oleh kehinaan dan ketercelaan. Terbunuhnya para pengikut beliau seiring dengan jerit tangis anak-anak kecil yang meratap kehausan sama sekali tak menciutkan nyali beliau untuk terus melawan dan pantang mundur. Ketabahan dan tawakkal di depan Allah adalah prinsip yang tak tergoyahkan. Saat itu kepada Tuhannya beliau berucap:

"Aku sabar atas garis yang telah Engkau tentukan, tiada Tuhan Yang Patut Disembah kecuali Engkau, wahai Pelindung orang-orang yang memohon perlindungan."

Dalam doa ziarah untuk beliau disebutkan:

"Dan para malaikatpun terkesima menyaksikan kesabaranmu."

Hati musuh sama sekali sudah buta dan mengenal belas kasih. Dalam perlawanan sekuat tenaga itu, tubuh Imam Husain as terpaksa semakin bermandi darah saat tombak-tombak dan panah musuh ikut menggerogoti daya pertahanan beliau.

Dari arah sana Hazrat Zainab tak kuasa menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit mengadukan penderitaan kepada kakek, ayah, dan pamannya yang sudah bersemayam di alam keabadian.

"Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Jakfar!" Ratap Zainab tersedu-sedu. "Alangkah baiknya seandainya langit ini runtuh menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya gunung-gunung ini berhamburan menimpa sahara.."

Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang pembantaian kakaknya. Di saat yang sama, manusia biadab Umar bin Sa'ad dan gerombolannya bergerak menuju perkemahan keluarga dan rombongan Imam Husain as. Di saat tubuh Imam roboh dan nafasnya sudah tersengal-sengal menanti ajal, gerombolan manusia liar itu mengobrak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul tersebut. Mereka melakukan aksi pembakaran, merampasi harta benda, dan menangkapi dan menggiring kaum wanita dan anak-anak kecil sebagai tawanan.

Hazrat Zainab yang masih terbayang nasib kakak sekaligus pemimpin sucinya itu berteriak kepada Umar bin Sa'ad: "Hai Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu menyaksikannya sendiri?!" Entah mengapa, kata-kata wanita pemberani ini tiba-tiba menggedor perasaan putera Sa'ad itu sehingga tak berani menjawabnya dengan bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani menjawab atau menatap wajah Zainab. Dia memaling muka.

Zainab berteriak lagi:

"Adakah seorang Muslim diantara kalian?!"

Tak seorangpun menjawabnya. Saat gerombolan itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab, tubuh Imam Husain as yang masih bernafas tiba-tiba bangkit lalu menerjang beberapa pasukan yang ada di dekatnya sehingga mereka mundur. Dengan tubuh yang sudah tercabik-cabik dan sengalan nafas yang masih tersisa itu, beliau berteriak:

"Hai umat yang paling bejat, kalian telah memberikan perlakuan yang terburuk kepada Muhammad dengan menganiaya anak keturanannya. Ketahuilah bahwa setelahku nanti kalian tidak akan mungkin takut (berdosa) lagi dalam membunuh seseorang. Sesudah membunuhku kalian pasti akan gampang sekali berbuat itu. Demi Allah, aku sangat mendambakan kemuliaan dari Allah dengan syahadah, lalu Dia akan menuntut balas darahku dari kalian tanpa kalian sadari."

Setelah berusaha melakukan perlawanan sekian lama di depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as mencoba menjauh dari pasukan lawan untuk mengatur nafas. Namun, tiba-tiba sebuah batu melayang dari arah musuh dan mengena kepala beliau. Darahpun mengucur deras lagi. Belum selesai beliau mengusap darahnya yang suci itu, dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga. Tertembus panah beracun itu, beliau berucap: “Bismillahi wa billahi wa ‘ala millati rasulillah.”Beliau menatap langit dan berdesah lagi:” Ilahi, sesunggungnya Engkau mengetahui mereka telah membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah putera Nabi.”

Di saat beliau semakin kehabisan tenaga itu, beliau mencabut anak panah itu dari dadanya. Darah kembali menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan sebagian yang lain beliau usapkan ke wajahnya sambil berucap: “Beginilah aku jadinya hingga aku bertemu dengan kakekku Rasulllah dalam keadaan berlumuran darah lalu aku adukan kepada beliau: fulan, fulan telah membunuhku.”

Puas menatap pemandangan seperti ini, balatentara musuh sejenak menghentikan kebrutalannya. Mereka terkekeh-kekeh menyaksikan Imam Husain as berdoa:

“Ya Rabbi, aku bersabar atas ketetapan-Mu, tiada Tuhan selain-Mu, wahai Penolong orang-orang yang memohon pertolongan. Tiada Tuhan Pemelihara kami selain-Mu, tiada Tuhan Yang Patut disembah kecuali Engkau. Aku bersabar atas ketentuan (humum)-Mu, wahai Pelindung orang-orang yang tak memiliki perlindungan, wahai Zat Yang Maha Kekal dan Tak Berpenghabisan, wahai Yang Menghidupkan orang yang sudah mati, wahai Zat Yang Menghakimi setiap jiwa sesuai perbuatannya, hakimilah antara aku dan mereka, sesungguhnya Engkau adalah yang terbaik diantara para hakim.”

Setelah itu sempat terjadi keheningan beberapa saat. Untuk sementara waktu masih belum ada seorangpun yang berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di depan Allah SWT kelak.

Diriwayatkan bahwa saat itu pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan ajab wajah kakek dan ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada beliau: “Cepatlah kemari, sesungguhnya kami sangat merindukanmu di surga.”

Keheningan itu ternyata tak berlangsung lama. Umar bin Sa’ad kembali buas dan memerintahkan anak buahnya untuk segera menghabisi Imam Husain. Maka tampillah Shabats sebagai orang pertama yang berani mendaratkan mata pedangnya ke kepala Imam Husain as. Namun, saat mata Imam menatap tajam wajah Shabats, tubuh pria kurang ajar ini tiba-tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga pedang yang ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat pria itu berkata kepada Umar bin Sa'ad: “Hai Putera Sa’ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar nanti akulah yang akan dibalas. Tidak. Aku tidak mau bertanggujawab atas darah Husain.”

Syabats segera ditegur oleh seseorang bernama Sannan bin Anas. “Kenapa kamu tidak jadi membunuhnya? !” Tanya Samnan ketus.

Syabats menjawab:

“Dia menatap wajahku, Sannan! Kedua matanya menyerupai mata Rasulullah. Sungguh, aku segan membunuh seseorang yang mirip dengan Rasul.”

Sannan dengan congkaknya berkata:

“Berikan kepadaku pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut untuk membunuhnya.”

Begitu pedang itu pindah ke tangannya, Sannan segera menenggerkannya di atas kepala beliau. Imam yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah orang yang berniat menghabisinya itu. Seperti yang dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu tiba-tiba juga menggigil ketakutan setelah ditatap Imam dengan tajam. Sannan mengambil langkah mundur sambil berucap: “Aku berlindung kepada Tuhannya Husain dari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berlumuran darah Husain.”

Kini tibalah giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang menutupi wajah dan hanya menyisakan celah untuk matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat. “Semoga ibumu meratapi kematianmu, kenapa urung membunuhnya! ?” Maki Syimir.

Sannan menjawab:

“Tatapan matanya mengingatkanku pada keberanian ayahnya. Aku takut. Aku tak berani membunuhnya.”

Sambil menyeringai Syimir berseru:

“Berikan pedang itu kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lebih layak dariku untuk membunuh Husain. Akulah yang akan menghabisinya, walaupun dia mirip Al-Mustafa ataupun Al-Murtadha.”

Syimir berpaling ke arah pasukannya lalu membentak:

“Hai, tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!!”

Tanpa basa-basi lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam Husain dari Hissin bin Numair. Sejurus kemudian yang lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga tak ada anggota tubuh suci cucu Rasul itu yang luput dari hantaman benda tajam, dan benda tumpul. Batu-batupun bahkan ikut meremukkan tubuh beliau.

Syimir bersumbar lagi:

“Ha, ha, ha, tak ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh Husain”

Dia bergerak mendekati Imam Husain yang terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain as yang masih bergerak turun turun naik. Imam mencoba membuka kedua kelompak matanya dan menatap wajah Syimir yang menyeringai di depan wajah beliau, namun tatapan beliau kali ini tak meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat membatu. Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang tertutup kain itu malah keluar kata-kata:

“Aku bukanlah seperti mereka yang mengurungkan niat untuk membunuhmu itu. Demi Allah, akulah yang akan menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu kamu adalah orang yang paling mulia karena kakek, ayah, dan ibumu itu.”

“Hai siapa kamu sehingga berani menduduki tubuh yang sering diciumi oleh Rasul ini?”

“Aku Syimir bin Dzil Jausyan!”

“Apakah kamu tahu siapa aku?”

“Aku tahu persis. Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad al-Mustafa, dan nenekmu Khadijah Al-Kubra.”

“Alangkah celakanya kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi mengapa akan membunuhku dengan cara seperti ini?”

“Supaya aku bisa mendapat imbalan besar dari Yazid bin Muawiah.”

“Kamu lebih menyukai imbalan dari Yazid daripada syafaat kakekku?”

“Yah, aku lebih menyukai imbalan Yazid.”

"Karena tidak ada pilihan lain bagimu kecuali membunuhku, maka berilah aku seteguk air.”

“Oh tidak! Itu tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meneguknya sebelum kamu meneguk kematian.”

Syimir kemudian menyingkap dan melepas kain penutup muka yang hanya menyisakan celah untuk kedua matanya yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syimir yang buruk, kasar, belang, dan ditumbuhi bulu-bulu keras itu. Mulutnya ditutup oleh penutup seperti penutup mulut anjing supaya tak menggigit. Melihat wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:

“Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah.”

“Apa yang dikatakan kakekmu itu?!” Tanya Syimir angkuh. “Kakekku pernah berkata kepada ayahku, Ali: ‘Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang yang berkulit belang, bermata juling, bertutup mulut seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu babi.”

“Kakekmu telah menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah, aku memisahkan kepalamu dari lehermu.”

Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra itu. Sekali tebas, kepala manusia mulia terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala manusia suci itu disusul dengan suara takbir tiga kali dari liang mulut balatentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala yang dulu sering diciumi oleh Rasulullah SAWW itu ditancapkan ke ujung tombak. Dia antara mereka terdengar teriakan keras:

“Bergembiralah hai Amir! Inilah Syimir yang telah membunuh Husain!” Langitpun kelabu. Bumi meratap pilu.



BAB 17

KESAKRALAN SYAHADAH IMAM HUSAIN AS

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa tragedi pembantaian keluarga Rasul pimpinan Imam Husain ini segera disusul dengan berbagai tanda alam dan lain yang menunjukkan kesakaralan syahadah beliau. Diantaranya disebutkan bahwa kematian suci cucu Rasul di tangan manusia-manusia sadis itu segera disusul dengan bertiupnya angin kencang, angkasa tiba-tiba gelap gulita, sehingga orang-orang tak dapat melihat apa yang ada di depannya.

Selain itu Zari’ Al-Asadi, seorang petani yang bercocok tanam di tepian sungai ‘Alqamah dalam kisahnya tentang Imam Husain mengatakan: Pukulan tongkat Nabi Musa as ke batu dapat memancarkan mata airm tetapi musibah Imam Husain telah memancarkan darah dari bebatuan, sebagaimana darah pernah mengucur dari runtuhan batu-batu di Baitul Maqdis.

Dikisahkan pula bahwa dari awal malam ke 11 Muharram hingga terbitnya fajar semua bebatuan dan bongkahan-bongkahan tanah mengucurkan darah dibawahnya.

Periwayat menceritakan:

“Hazrat Musa adalah pemilik Yad AlBaidha’ dan sering memancarkan cahaya ketika dia memperlihatkan suatu mukjizat. Namun, dari Imam Husain yang memancarkan cahaya cemerlang adalah dahi dan leher beliau.

Untuk Nabi Musa as Allah telah membelahkan laut agar Bani Israel dapat menyeberanginya. Namun, untuk Imam Husain as seluruh samudera bergemuruh hebat dan penghunipun meratap, sementara para bidadari juga turun dari alam Firdaus dan mendatangi samudera sambil berucap: “Hai para penghuni lautan, berdukalah atas terbunuhnya putera Rasulullah.”

Nabi Musa as telah menggali liang lahadnya dengan tangannya sendiri. Namun liang lahad Imam Husain as digali oleh Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada hari 10 Muharram (Asyura), Ummu Salamah bermimpi menyaksikan Rasulullah bermandi debu dan berucap: “Orang-orang telah membantai dan mengugurkan puteraku. Aku melihatnya jasadnya dan aku sedang sibuk menggalikan lubang kubur untuk Husain dan para sahabatnya.”

Diriwayatkan pula bahwa tujuh hari sepeninggal Imam Husain as langit berwarna merah dari ujung ke ujung. Bahkan kendati tragedi Karbala sudah berlalu 14 abad, hingga kini masih terdapat keajaibaban- keajaiban yang berkaitan dengannya, khususnya pada hari Asyura. Satu diantara keajaiban itu ialah mengalirnya cairan seperti darah dari sebuah pohon di Zarabad, sebuah daerah di Qazwin. Pohon yang tumbuh di dekat benteng Alamut itu setiap tahun pada hari Asyura dikunjungi oleh ribuan orang untuk menyaksikan mengalirnya cairan seperti darah tersebut dari batang pohon yang disebut dengan pohon canar (plane tree) tersebut.

Dalam doa ziarah Imam AlMahdi as untuk Imam Husain as disebutkan:

“Bagaiamana aku dapat membayangkan adegan nyata dimana kudamu kembali ke tendamu sambil merundukkan kepala seperti menangis, dan kaum wanita (mu mendapatinya dalam keadaan mengenaskan dan pelananya terbalik sehingga mereka keluar tenda, rambut mereka terurai, wajah mereka dibanjiri air mata, dan tampak jelas, dan ratap tangis mereka terdengar keras, setelah mereka kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Mereka lantas bergegas menuju tempat pembantaianmu di saat Syimir menduduki dadamu sambil menghunus pedangnya di atas lehermu.”

“(Wahai kakekku), maka aku akan sungguh-sungguh meratapi dirimu setiap dan sore. Bukannya dengan air mata, tetapi dengan darahlah aku menangisinya dan meratapi bencana besar yang telah menimpamu hingga aku meninggal dunia nanti dalam keadaan menanggung beban duka cita.”

Imam AlMahdi as juga bertutur kata untuk Imam Husain as:

“Syimir telah duduk diatas dadamu sambil menghunus pedang pedang diatas lehermu dan menarik jenggotmu, lalu menyembelihmu dengan pedangnya. Sejak itu, panca inderamu redup, nafasmu reda, dan kepalamu ditancapkan di atas tombak.”

Dalam ziarahnya untuk kakeknya, Imam Husain as, Imam Al-Mahdi as juga berkata:

“Seandainyapun masa ini diakhirkan dan takdirkan telah menghalangiku untuk menolongmu, maka aku akan tetap sunguh-sungguh meratapimu dan menangisimu dengan darah, bukan bukan dengan air mata.

Adapun salam beliau untuk Imam Husain as ialah sebagai berikut:

“Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas putera pemuka para washi, salam atas putera Fatimah Azzahra, salam atas putera Khatijah Al-Kubra, salam atas putera Sidaratul Muntaha, salam atas putera surga Al-Ma’wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas dia yang telah bermlumuran darah bercampur debu, salam atas dia yang kemahnya telah dihujani anak panah, salam atas orang kelima penghuni Al-Kisa’, salam atas dia, orang yang paling terasing, salam atas pemuka para syuhada, salam atas manusia yang ditangisi oleh para malaikat di langit, salam atas manusia yang selalu didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas bibir-bibir yang kekeringan, salam atas jasad-jasad yang terlucuti, salam atas kepala-kepala yang terpenggal, salam atas wanita-wanita yang tertawan, salam atas hujjah Allah."

"Salam atas jasad yang bermandikan darah luka-luka."

"Salam atas jasad yang urat-urat jantungnya diputuskan oleh anak panah."

"Salam atas jasad yang tersalib."

"Salam atas deretan gigi yang ditumbuk oleh tongkat."

"Salam atas bibir yang kering kehausan."

"Salam atas kepala-kepala yang tertancap di ujung tombak dan pertontonkan di semua tempat.

Diriwayatkan bahwa setelah Imam Husain as terbunuh, Umar Bin Sa’ad di tengah pasukannya berseru:

“Siapa yang siap melumat jasad Husain dengan injakan kaki kuda?!”

Dari sekian ribu pasukan yang ikut serta dalam pembantaian Imam Husain itu tak ada yang bersedia berbuat sesuatu sebiadab itu terhadap cucu rasul tersebut kecuali sepuluh orang. Mereka yang konon anak zina itu bergantian menghentak-hentakka n kudanya diatas tubuh Imam hingga tulang belulang jasad beliau yang suci dan mulia remuk.

Mereka melakukannya sambil terkekeh-kekeh dan penuh kebanggaan seakan dengan perbuatan seperti itu mereka dapat menjatuhkan keagungan Imam Husain. Padahal, perlawanan pantang mundur beliau dan para pengikutnya di depan kezaliman dan pendurjana telah menjadi teladan bagi umat manusia dan karena itu jutaan manusia di muka bumi telah menjadi pengikut dan atau setidaknya pengagum beliau.. Sebaliknya, Muawiah dan Yazid tidak menyisakan bekas apapun kecuali ketercelaan, keterkutukan, dan laknat yang abadi.

Dengan demikian, selamat untuk Imam Husain as atas perjuangan dan jihadnya di Karbala yang beliau mulai dengan seruan “Adakah sang penolong yang akan menolongku?!” Kini, hamba-hamba beriman sedang menantikan kedatangan Imam AlMahdi as untuk kita penuhi seruan firman allah: “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah niscaya Allah akan menolong kalian, dan Dia akan mengokohkan langkah-langkah kalian.”

Sayidah Fatimah Azzahra as pernah berkata:

“Jika kalian hendak membantu puteraku, AlMahdi, maka jadikanlah jiwa kalian seperti jiwa seorang ibu yang telah melepaskan anak salihnya pergi jauh dan tidak apakah hari ini, besok, tau tahun depan akan pulang.”

Imam AlMahdi as sendiri berkata:

“Aku pasti akan kembali kepada orang yang paling lemah diantara kalian, agar rahmat Allah yang abadi tercurah kepada kalian.”

“Aku akan datang agar hati yang luka dapat terobati.”

“Aku pasti datang untuk membebaskan orang-orang yang terbelenggu.”

“Aku pasti akan datang untuk menegakkan agama Muhammad di dunia.”

Pada masa Imam Al-Mahdi as nanti, sedemikian damainya muka bumi ini sehingga kambingpun dapat hidup tentram berdamping dengan srigala. Anakp-anak kecil dapat bermain dengan ular dan kalajengking. Dunia saat itu tidak lagi menyisakan keburukan. Yang tinggal hanyalah kebaikan. Bumi mempersembahkan segala kekayaannya, dan langitpun mencurahkan segala berkahnya. Harta dari perut bumi melimpah, permusuhan reda di hati setiap orang, pintu-pintu kebahagiaan dan keamanan terbuka lebar, seorang wanita dapat bepergian ke mana saja di malam hari seorang diri tanpa ada rasa takut. Wajauh bumi serba hijau dan rindang, dan siapaun tidak akan takut lagi kepada binatang-binatang liar.

Pada hari itu, Sang Penyelamat manusia-manusia yang teraniaya itu akan menyeret ‘dua berhala Bani Quraish; ke tiang gantungan, dan lalu beliau akan membawakan kisah lagi tentang syahadah kakeknya, Imam Husain as, tentang penyembelihan anak-anak kecil keturunan Rasul saww, dan tentang semua penderitaan dan keteraniayaan Ahlul Bait suci Rasul dan para pengikutnya.

Imam AlMahdi as akan tampil dan membalas darah datuknya setelah berada di alam kegaiban selama sekian lama. Saat itu dia akan tampil di Mekah diantara Rukn dan Maqam lalu mengumandangkan suara:

“Wahai para penghuni dunia, akulah Imam AlQaim, akulah pedang yang akan melakukan pembalasan.”

“Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya kakekku Husain telah dibunuh dalam keadaan tercekik kehausan.”

“Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya (jasad) kakekku Husain telah mereka gerus dengan injakan kaki-kaki kuda.”

Baginda Nabi Besar Muhammad saww tentang Imam AlMahdi as bersabda:

“AlMahdi adalah satu-satunya penyelamat umat manusia kelak dimana kedatangannya akan membawa kedamaian universal.”

Rasulullah saww juga bersabda:

“Selamat atas kalian dengan kedatangan puteraku, AlMahdi, kelak, karena janji Allah pasti akan terpenuhi. Ketahuilah bahwa AlMahdi dari keluarga Muhammad masih dalam perjalanan.”

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Husain as menggapai puncak derajat syahadah, kuda beliau, Dzuljanah, melepoti kepala dan lehernya lalu menghentak-hentakka n kakinya ke tanah sambil meringkik keras hingga memantul ke segenap penjuru Karbala. Saat kuda perkasa itu dilihat oleh Umar bin Sa’ad, manusia ambisius berseru kepada komplotannya: “Kuda milik AlMustafa itu serahkan kepadaku.” Sesuai perintah ini, beberapa pasukan penunggang kuda segera memacu kudanya untuk mendekati Dzul janah. Namun, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abu Fadhl Abbas itu tinggal diam oleh manusia-manusia kejam yang telah membantai habis tuannya. Dzuljanah tiba-tiba mengamuk dan menerjang siapapun yang mencoba mendekatinya. Beberapa orang tewas diamuk oleh kuda perkasa itu, sampai akhirnya Umar bin Sa’ad meminta anak buahnya membiarkan kuda itu.



BAB 18

DZULJANAH MENJADI TEMPAT RATAPAN

Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika Dzuljanah sudah bebas dari gangguan, secara ajaib kuda tunggangan manusia-manusia mulia itu berucap: “Betapa zalimnya umat yang telah membunuh putera nabisnya sendiri.”

Dzuljanah kemudian kembali ke perkemahan sambil meringkik-ringkik nyaring sehingga kaum wanita Imam Husain as yang mengenal suara itu keluar dari dalam tenda dengan penuh rasa cemas dan tercekam ketakutan. Di tengah mereka Hazrat Zainab AlKubra as berteriak histeris:

“Oh saudaraku! Oh junjunganku! Oh Ahlul Bait! Semoga langit ini runtuh menimpa bumi! Semoga gunung-gunung ini dihamburkan dan menimpa pedang sahara.”

Diantara mereka juga terdapat Ummu Kaltsum. Saat menyaksikan di atas punggung Dzuljanah sudah tidak ada ayahnya lagi, Ummu Kaltsum juga mendadak histeris.

“Demi Allah, Al-Husain telah terbunuh!” Jerit Ummu Kaltsum sambil menepuk-nepuk kepala dan merobek kain cadarnya.

Sakinah yang tak kalah histerisnya:

“Oh kakekku! Oh Muhammad! Betapa terasingnya AlHusain!” Ratap Sakinah.

Sambil beratap dan tersedu-sedu, satu diantara mereka ada yang berucap kepada dzuljanah:

“Mengapa engkau lepaskan AlHusain ke tengah-tengah kerumunan musuh.”

Sakinah juga meratap:

"Apa yang terjadi dengan ayahku? Dimana sang pemberi syafaat di hari kiamat itu?"

"Ayahku tadi pergi dalam keadaan tercekik dahaga."

"Apakah mereka telah memberi ayahku air, ataukah dia telah gugur dengan bibir yang kering kehausan?"

Namun demikian, Dzuljanah tetaplah seekor kuda yang tak mampu berbuat apa-apa di depan ratapan puteri-puteri Rasul ini. Disebutkan dalam riwayat bahwa hewan yang ikut membela para keturunan suci Rasul di depan manusia-manusia srigala itu ikut tertimpa stres hingga akhirnya roboh dan mati. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Dzuljanah telah menceburkan diri ke sungai ElFrat lalu hilang entah kemana.



BAB 19

HIJRAHNYA HAZRAT SAHR BANU AS

Pada hari kelabu tanggal 10 Muharram yang disebut hari Asyura itu, sesuai rencana Imam Husain as dan istrinya, Hazrat Sahr Banu, Dzuljanah sempat menunaikan tugasnya melarikan Shar Banu ke suatu tempat. Dalam sejarah dikisahkan sebagai berikut:

Tatkala Dzuljanah kembali ke perkemahan tanpa tuan yang telah menungganginya, seorang wanita yang mengenakan hijab tertentu turut mendekati Dzuljanah lalu menciuminya sambil meratap dan memeras air mata kesedihan. Wanita itu adalah Sahr Banu as, satu-satunya wanita non-Arab diantara wanita keluarga Imam Husain as yang mengerumuni Dzuljanah yang sudah penuh luka itu. Dia adalah puteri raja Persia yang telah mendapat anugerah Allah untuk menikah dengan cucu Rasul, Imam Husain as, dan setia kepadanya hingga akhir hayatnya sehingga dia tergolong wanita paling mulia. Tentang jatidirinya, ibu para imam suci sesudah Imam Husain ini berkisah sendiri sebagai berikut:

"Di suatu malam aku pernah bermimpi berjumpa dengan Khatamul Anbiya Muhammad AlMustafa saww. Beliau singgah di beranda istanaku yang megah. Beliau bersabda kepadaku: 'Hai puteri raja Persia, aku telah menjodohkan kamu dengan puteraku, Husain.' Rasul kemudian pergi meninggalkan istana. Setelah itu aku didatangi oleh seorang wanita mulia, Fatimah Azzahra as yang diiringi oleh para bidadari. Beliau memelukku sambil berkata: 'Kamu adalah calon isteri puteraku. Kamu adalah menantuku. Ketahuilah bahwa tak lama lagi umat Islam akan menaklukkan (kerajaan)-mu sehingga kamu akan menjadi tawanan. Tetapi janganlah kamu risau, karena di Madinah kamu akan berjumpa dengan (calon) suamimu.'"

Benar, tak lama setelah itu terjadilah perang besar antara pasukan Islam dan pasukan imperium Persia. Prajurit Islam berhasil menaklukkan kerajaan besar ini. Sang raja melarikan diri, sementara sebagian dari keluarga istana, termasuk puteri-puteri raja, tertangkap dan menjadi tawanan. Mereka diboyong ke Madinah. Kedatangan puteri sang raja mengundang perhatian warga Madinah sehingga mereka datang berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Saat itu, di dalam masjid khalifah Umar menyakan dimana puteri-puteri raja itu. Orang-orang lantas menunjukkan mereka. Rupanya, satu diantara mereka nampak sangat anggun dan seperti bercahaya. Umar meminta puteri anggun supaya memperlihatkan wajahnya yang tersembunyi di balik cadar. Namun, puteri ketakutan dan menolak.

Diperlakukan seperti itu, Umar sebagai khalifah tersinggung berat sehingga dia memerintahkan supaya tawanan yang satu ini dihukum mati. Untungnya, diantara hadirin terdapat Imam Ali bin Abi Thalib as. Sepupu Rasul ini bangkit menentang perintah eksekusi itu. "Dosa apa puteri
sehingga kamu akan mengeksekusinya?" Kilah Imam Ali as.

"Orang ajam (non Arab) ini telah menghinaku." Jawab Umar.

Imam Ali as berkata:

"Dia membenci kakeknya, Khusru, dan dia tidaklah seperti para pengeran sehingga kamu pantas memperlakukannya demikian. Bebaskanlah puteri-puteri ini agar mereka bisa mendapatkan jodohnya diantara para pemuda kita."

Ide Imam Ali ini kemudian dipenuhi sehingga didatangkanlah para pemuda Muslim Madinah di aula masjid. Imam Ali as meminta kepada puteri-puteri bangsawan itu untuk bangkit dan memilih jodoh yang dikehendakinya diantara para pemuda itu.

Dalam kitab AlKharaij Arrawandi dikisahkan bahwa saat itu puteri raja Persia yang paling anggun itu bangkit dan menatap satu persatu barisan pemuda yang menyatakan siap untuk menikah dengan puteri-puteri raja itu. Sampai pada giliran pemuda Husain bin Ali as, tatapan mata gadis bernama Jahan Syah itu terhenti dan tak berpijak ke arah lain. Setelah merasa yakin dengan pemuda putera Azzahra as itu, dia berkata: “Jika aku memang diberi pilihan, maka aku akan memilih pemuda ini.”

Setelah dipilih gadis itu, Imam Husain as yang saat itu berusia 18 tahun memintanya supaya nama Jahan Syah diganti dengan nama Syahrbanu. Imam Ali as kemudian meminta Imam Husain supaya segera membawa menantunya itu pulang. Beliau juga memberitahu Imam Husain bahwa perkawinan ini akan segera dianugerahi dengan kelahiran seorang putera yang sangat agung dan mulia. Putera itu tak lain adalah Ali Zainal Abidin Assajjad as. Putera yang berusia 23 tahun saat ayahandanya dibantai di padang Karbala pada hari Asyura, dan dia sendiri dalam keadaan sakit parah dan ditangisi oleh ibundanya.

Menjelang detik-detik perpisahan dengan suaminya, Imam Husain as, Sahr Banu bersimpuh dengan beliau. “Wahai putera Rasul” ucap Shar Banu, “Demi ibundamu Fatimah Azzahra, pikirkanlah nasibku nanti, karena di sini aku akulah orang yang paling asing. Selama ini aku bernaung di bawahmu dan dengan ini aku menjadi mulia. Namun, katakanlah apa yang aku lakukan nanti setelah kepergianmu? Aku bukanlah orang Arab (‘ajam), dan engkau sendiri tahu besarnya permusuhan antara Arab dan ‘ajam.”

Sambil berlinang air mata, Imam Husain as menjawab:

“Janganlah cemas, sebab Allah yang telah mengantarkanmu dari negeri ajam ke negeri Arab mampu mengembalikanmu ke negerimu lagi. Nantikanlah nanti sepeninggalku; Dzuljanah akan datang ke perkemahan. Naikilah Dzuljanah dan pergilah dari sini, dan ketahuilah pasukan musuh tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapmu.”

Diriwayatkan bahwa ketika Dzuljanah kembali dalam keadaan tak bertuan, Shar Banu ikut menyambutnya dengan ratap tangis hingga kemudian mengendarainya untuk pergi ke negeri asalknya. Sebelum pergi, beliau sempat ditegur oleh Hazrat Zainab.

“Hai menantu Fatimah Azzahra, gerangan yang sedang engkau pikirkan? Adakah engkau akan menambah berat beban kesedihan kami dengan kepergianmu?” Ujar Hazrat Zainab.

“Aku harus pergi sesuai perintah suamiku, Husain.” Jawab Sahr Banu kepada adik iparnya itu

Kepergian Hazrat Sahr Banu menuju negeri Persia itu dilepas dengan derai tangis orang-orang yang ditinggalkannya. Saat Dzuljanah sudah siap mengantarkan perjalanan jauh itu, Assajjad berkata lirih kepada ibundanya:

“Ibunda, bersabarlah hingga aku ucapkan salam perpisahan denganmu..”

Assajad berusaha bangkit, namun tenaganya yang tersisa tak mendukungnya untuk berbuat itu sehingga sang ibu mendekati sendiri anaknya. Sambil memeluknya erat-erat beliau berucap:

“Aku harus pergi dari sini sesuai perintah ayahmu. Aku telah menitipkanmu kepada bibimu, Zainab, karena aku tahu dia lebih penyayang daripada aku.”

Ibunda Assajjad akhirnya pergi dibawa oleh Dzuljanah. Bebetapa orang pasukan musuh sempat melihat bayangannya dari kejauhan saat beliau bergerak pergi seorang diri. Mereka berusaha mengejarnya, namun mereka terpaksa kembali lagi setelah kecepatan kuda Dzuljanah tak terkejar oleh kuda-kuda pasukan musuh.

Dalam perjalanan, Hazrat Sahr Banu sempat berpapasan dengan kafilah yang sedang bergerak menuju Kufah. Orang-orang kafilah berhenti saat menyaksikan seorang wanita bercadar sendirian mengendarai kuda yang penuh luka. Seorang lelaki yang mengetuai kafilah mencegat beliau dan bertanya: “Hai siapa kamu? Mengapa kamu menempuh perjalanan seorang diri di tengah sahara?”

Suara lelaki itu dikenal oleh Sahr Banu. Pria itu ternyata adik beliau dan setelah saling menyadari, beliau balik bertanya: “Adikku, hendak kemanakah kamu?”

Pria itu menjawab: “Aku hendak menemui suamimu. Karena dia telah menuliskan surat kepadaku dan menyatakan bahwa beliau akan berperang dengan sekelompok musuh, dan sekarang aku datang bersama teman-temanku untuk membantunya.”

Sahr Banu menjawab: “Tak usah kamu pergi. Kembalilah karena Husain sudah terbunuh dalam keadaan kehausan, dan inilah kudanya sekarang aku kendarai.”

Berita ini mengejutkan sang adik yang segera jatuh tersimpuh ke pasir. Sahr Banu kemudian melanjutkan perjalanan ke arah tujuan sebagaimana mereka juga melanjutkan perjalanan ke arah tujuan mereka, setidaknya untuk menyaksikan bagaimana nasib keluarga Imam Husain as.

Dengan bantuan dan perlindungan dari Allah, janda Imam Husain as berdarah bangsawan Persia itu akhirnya tiba di bumi leluhurnya. Beliau menetap di kota Rey dan meninggal di sana. Jasad suci beliau dikebumikan di sebuah gunung di pinggiran kota Teheran. Lokasi makamnya selalu disesaki para peziarah hingga kini.


-=0O0=-

 
 
 
 
 
m

Tidak ada komentar:

Posting Komentar