Bismillaahirrahmaanirrahiim
MENYOROTI HUBUNGAN ANTAR AGAMA DAN NEGARA
SERTA SEPAKTERJANG PARA ILMUWAN DAN ULAMA PALSU
DALAM
SYSTEM TAGHUT HINDUNESIA DESPOTIC DAN KORRUPT
hsndwsp
Acheh - Sumatra
Andaikata di suatu negara yang mayoritas penduduknya muslim tapi hukum Allah terabaikan, para ulama atau fukaha Islam harus mengambil alih kekuasaan baik secara damai maupun secara paksa (Revolusi) Apabila para ulama dan fukaha tidak mengam bil alih kepemimpinan di negara tersebut, terindikasi bahwa di negara tersebut tidak ada ulama dan fukaha kecuali lebih tepat disebut Ilmuan. Para Ulama dan Fukaha Islam tugasnya sama dengan tugas Para Rasul untuk membebaskan kaum duafa dari belenggu yang menimpa kuduk-kuduk mereka (QS,7:157&QS,90:12-18)
Para Rasul, Imam, Ulama dan Fukaha adalah ideolog, yaikni manusia-manusia representant yang berwajah ”merah” sementara para propessor, doktor dan semacamnya adalah ilmuwan, yaikni manusia-manusia yang berwajah ”pucat” Para Rasul, Imam, Ulama dan Fukaha adalah wakil Tuhan untuk merealisasikan hukumNya di muka Bumi agar manusia benar-benar tunduk-patuh kepadanya. Hukum Allah mustahil exist dalam system Taghut. Justru itu tugas para Rasul, Imam, Ulama dan Fukahalah yang bertindak untuk mengambil alih kepemimpinan andaikata negara dikuasai para tiran yang despotik. Untuk urusan tersebut mereka tidaklah melakukan Revolusi secara semborono kecuali pengikutnya siap untuk hal tersebut. Siap disini bukanlah dalam arti banyaknya pengikut tapi setelah berdaya upaya terlibat dalam proses kaderisasi. Imam Hussein di Karbala hanya memiliki 73 pengikutnya, namun siap melawan kezaliman agar penduduk Dunia memahami bahwa Yazid itu bukan pemimpin Islam tetapi penguasa Taghut zalim dan hipokrit.
Pertanyaannya apakah orang-orang yang tidak mengikuti Imam Hussein termasuk orang Islam? Jawabannya secara syar’i adalah Islam tetapi secara filosofis dan Ideologis mereka bukan orang Islam. Andaikata mereka itu orang Islam benaran, otomatis menjadi pengikut Imam dan Yazid yang zalim dan hipokrit pasti tumbang. Timbul pertanyaan lagi buat apa Imam melakukan revolusi sementara pengikutnya seperti hanya untuk dikorbankan saja didepan kekuasaan yang tirani dan despotik?
Sebelum Imam Hussein pergi kekarbala bersama keluarga dan semua pengikut setianya, Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) membujuk Imam untuk tidak pergi ke Karbala (Kofah). Dia mengatakan bahwa penduduk Kufah yang telah memintanya datang adalah terkenal jahat dan tidak dapat dipercaya. Dia memintanya agar pergi saja ke Yaman. Disana Imam Hussein mempunyai ramai pengikut sehingga dia boleh hidup dengan aman. Imam Hussein mengatakan bahwa Ibnu Abbas dan juga adiknya Muhammad Hanafiah telah berkata yang benar. Beliau melanjutkan: "Saya juga tahu bahwa saya tidak akan mencapai apa-apa kuasa sebab saya pergi bukan untuk penaklukan dunia. Saya pergi hanya untuk dibunuh. Saya berharap bahwa melalui penderitaan yang saya tanggung dari penindasan ini, dapat mencabut keluar asas bagi segala kekejaman dan kezaliman. Saya berjumpa dengan datuk, Nabi Allah di dalam mimpi memberi tahu saya agar membuat perjalanan ke Irak. Allah swt mahu melihat saya dibunuh". Muhammad Hanafiah dan Ibnu Abbas berkata: "Jika begitu kenapa membawa anak-anak dan wanita bersama kamu?". Imam menjawab: "Datuk saya mengatakan bahwa Allah mahu melihat mereka ditawan. Saya membawa mereka sesuai arahan Nabi Allah"
Itu semuanya merupakan sebagai proklamasi kepada manusa bahwa Negara dibawah kekuasaan Yazid adalah Taghut yang zalim. Imam Ali as mengatakan bahwa kekuasaan ditangan Muawiyah bagaikan perahu terbalik, yang menumpahkan segala isinya. Secara Ideology kita pasti mampu memahami fenomena Negara dibawah kekuasaan type Muawiyah (yang meracuni Iman Hassan, cucu Rasulullah) dan Yazid bin Muawiyah (pembantai keluarga Rasulullah di Karbala).
Disebabkan penulis adalah orang Acheh - Sumatra pastinya sangat logis untuk menyoroti Negara Indonesia, dimana bukan saja menjadi penindas terhadap kaum mustadhafin di Tanah Rencong tetapi juga penindas terhadap kaum mustadhafin di pulau jawa itu sendiri. Siapapun yang berani berbicara Negara Islam atau revolusi, pasti ditindak oleh penguasa Indonesia secara otoriter- Kondisi semacam ini juga kita saksikan melalui lembaran sejarah di dalam kekuasaan Muawiyah dan Yazid, anaknya. ”Ulama” dalam pemerintahan despotik tersebut diam seribu satu bahasa ketika menyaksikan perlakuan semena-mena terhadap rakyat jelata (baca kaum mustadhafin), bahkan mereka diperintahkan Muawiyah untuk berfungsi sebagai ”mesin” pemalsuan Hadist Rasulullah dan inilah yang paling berbahaya hingga perpecahan Ummat Muhammad, kita saksikan sekarang ini, mulai dengan pemalsuan Hadist Shaqalain dan seterusnya.
”Ulama” dalam system Hindunesia juga diam seribu satu bahasa ketika menyaksikan perlakuan semena-mena terhadap kaum mustadhafin Acheh - Sumatra dan kaum mustadhafin Hindunesia itu sendiri. Para ”ulama” tersebut juga menggunankan Hadist made in Abu Hurairah cs sebagai alasannya untuk tidak melawan penguasa yang masih melakukan salat 5 waktu. Untuk hal ini mereka tegamak dengan melakukan doa tolakbala hanya melalui peragaan tangannya terlungkup di setiap Mesjid dan lembaga agama manapun dalam system Hindunesia.
Justru itu saya haqqul yakin bahwa di Indonesia dan Acheh - Sumatra sekarang ini tidak ada lagi ulama benaran kecuali bal-am alias ulama palsu. Argument saya ini sangat kuat mengingat sepakterjang mereka tidak berbeda dengan sepakterjang ulama palsu di jaman Muawiyah dan Yazid bin Muawiyah, sementara penguasa Hindunesia sejak dari Soekarno, Suharto sampai kini sama dengan sepakterjang Muawiyah dan Yazid, pembantai keluarga Rasulullah saww.
Ulama adalah panutan rakyat dan juga siapapun yang mengaku beragama Islam. Dari itu kalau fungsi Ulama di tempati para ”Bal’am”, sirnalah Esensi Islam dan sirna jugalah Aqidah Ummat. Mereka hanya mengetahui bahwa Allah Tuhan yang haq disembah tapi mereka tundukpatuh kepada ”Yazid-yazid” modern. Bagaimana mungkin kita disatu sisi tunduk patuh kepada penguasa zalim sementara pengakuan lidah kita justru perintah Tuhanlah yang harus diutamakan.
Allah berfirman: ” . . . . . . .waman lam yahkum bima an zalallah, faulaika humul kaafirun. . . . . . . .” (QS, al Maidah, 44) (. . . . . . .dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah, mereka itulah yang kafir. . . . . . .)
Anda orang Indonesia atau Jawa tidak beralasan sakit hatinya kepada saya. Yang perlu bagi anda menelusuri pengikut-pengikut ”Imam” Kanto Suwiryo dan Muhammad Nasir serta ulama-ulama yang terikat dengan Piagam Jakarta, dimana belakangan disulap oleh Soekarno menjadi Pancasila alias Puncasilap. Jadi disini jelas kendatipun Soeharto terbaca lebih zalim dari Soekarno, namun secara ideologis justru Soekarnolah puncanya silap orang-orang yang bersatupadu dalam system Hindunesia alias System Pancasila atau Puncasilapnya made in Soekarno cs.
Anda Ilmuwan Hindunesia dicetak dalam dapur taghut Hindunesia. Kendatipun anda belajar agama di pesantren-pesantren dan lembaga agama manapun, anda telah merusak esensi Agama Muhammad saww yang murni hingga bercampur bawur dengan agama ”Ewuhpakewuh” atau Empu Tantular yang berbau ketoprak itu. Jangan kan ilmuwan di pulau Jawa, ilmuwan di Tanah Rencong saja, dimana Islam datang melaui Semenan jung Acheh, bisa dekaden dan bahkan memihak penguasa yang notabenenya adalah wakil majikan mereka dari Jakarta.
Padahal ilmuwan itu adalah pribadi-pribadi yang berilmu, kenapa mereka tidak mampu memahami untuk apa mereka mencari ilmu dari pesantren dan perguruan tinggi? Untuk perutkah, untuk keluarga sajakah? Mereka punya potensial untuk membela kaum mustadhafin dengan pengetahuan yang mereka miliki. Kenapa mereka tidak membentuk kelompok untuk melawan tirani dan despotik di negaranya masing-masing? Bukankah itu perintah Allah yang utama sebagai proses Esensi kemanusiaan?
Disinilah terbukti kata DR Ali Syariati, ahli fikir yang belum ada duanya sampai sekarang ini , bahwa Propes sor, Doctor dan graduasi lainnya adalah ilmuan yang berwajah ”pucat” Sementara para Rasul, para Imam dan para Ulama warasatul Ambiya adalah Ideolog yang berwajah ”merah”. Mereka yang terakhir inilah yang dapat diharapkan untuk membebaskan kaum mustadhafin dari belenggu yang menimpa kuduk-kuduk merka (QS,7:157&QS,90:12-18). Sementara para ilmuan asik mengharapkan gaji yang tinggi dari majikannya (baca penguasa zalim) Mereka tabu untuk kita bicarakan bahwa sesungguhnya mereka sudah sirna Aqidahnya, kendatipun di mulut mereka berkomat-kamit dengan kalimah Syahadah.
Sekali lagi, di Indonesia tidak ada ulama kecuali sekelompok orang fanatikbuta melaku kan teror dimana-mana. Kalau di Palestina adanya kelompok bunuh diri, itu adalah dalam kontek perang melawan kezaliman kaum Zionis Israel. Mereka tidak mendapat bantuan sementara disekeliling mereka adalah negara-negara jenis yang sama dengan Hindunesia, secara sembunyi tapi nyata bagi kaum hypocrite itu, berpihak kepada Zionis itu sendiri. Sementara kaum teroris di Hindunesia, dengan siapa mereka berperang? Ironisnya mereka hanya berpenampilan pakaian Rasulullah tapi tidak mengikuti jejak Rasulullah.
Tulisan saya ini saya buat untuk mengundang pihak ilmuwan yang bersatupadu dalam system Hindunesia agar berpikir bagaimana sebenarnya mereka harus berkiprah untuk membebaskan kaum nustadhafin di dalam sys tem Taghut Hindunesia itu. Dengan cara demikianlah mereka terbebas dari Api Neraka bukan hanya asik beribadah ritual doang. Tauhid dan keadilan adalah dua sisi dari mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu-sama lainnya. Keadilan bersumber dari Tauhid dan Tauhid merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum minal Allah) diwujudkan dalam keadilan sosial berhubungan antar sesama manusia (hablum minan naas).
Perlu juga dipahami bahwa menurut Imam Khomeini, Ulama atau fuqaha bukan hanya ahli di bidang hukum Islam saja atau hanya merupakan tokoh spriritual. Fuqaha yang Paripurna harus juga ahli di bidang-bidang lainnya, semisal filsafat, politik, sosial dan ekonomi. Apabila kita menemukan fenomena yang demikian macam di RII sekarangt ini ,bermakna kita telah menemukan realitanya: "Ulama yang intelektual dan Intelektual yang Ulama." Itulah Fuqaha yang Paripurna menurut Imam Khomaini, dimana kehadirannya bermanfaat buat pembebasan kaum mustadhafin.
Billahi fi sabililhaq
Muhammad al Qubra
Acheh - Sumatra
Para Rasul, Imam, Ulama dan Fukaha adalah ideolog, yaikni manusia-manusia representant yang berwajah ”merah” sementara para propessor, doktor dan semacamnya adalah ilmuwan, yaikni manusia-manusia yang berwajah ”pucat” Para Rasul, Imam, Ulama dan Fukaha adalah wakil Tuhan untuk merealisasikan hukumNya di muka Bumi agar manusia benar-benar tunduk-patuh kepadanya. Hukum Allah mustahil exist dalam system Taghut. Justru itu tugas para Rasul, Imam, Ulama dan Fukahalah yang bertindak untuk mengambil alih kepemimpinan andaikata negara dikuasai para tiran yang despotik. Untuk urusan tersebut mereka tidaklah melakukan Revolusi secara semborono kecuali pengikutnya siap untuk hal tersebut. Siap disini bukanlah dalam arti banyaknya pengikut tapi setelah berdaya upaya terlibat dalam proses kaderisasi. Imam Hussein di Karbala hanya memiliki 73 pengikutnya, namun siap melawan kezaliman agar penduduk Dunia memahami bahwa Yazid itu bukan pemimpin Islam tetapi penguasa Taghut zalim dan hipokrit.
Pertanyaannya apakah orang-orang yang tidak mengikuti Imam Hussein termasuk orang Islam? Jawabannya secara syar’i adalah Islam tetapi secara filosofis dan Ideologis mereka bukan orang Islam. Andaikata mereka itu orang Islam benaran, otomatis menjadi pengikut Imam dan Yazid yang zalim dan hipokrit pasti tumbang. Timbul pertanyaan lagi buat apa Imam melakukan revolusi sementara pengikutnya seperti hanya untuk dikorbankan saja didepan kekuasaan yang tirani dan despotik?
Sebelum Imam Hussein pergi kekarbala bersama keluarga dan semua pengikut setianya, Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) membujuk Imam untuk tidak pergi ke Karbala (Kofah). Dia mengatakan bahwa penduduk Kufah yang telah memintanya datang adalah terkenal jahat dan tidak dapat dipercaya. Dia memintanya agar pergi saja ke Yaman. Disana Imam Hussein mempunyai ramai pengikut sehingga dia boleh hidup dengan aman. Imam Hussein mengatakan bahwa Ibnu Abbas dan juga adiknya Muhammad Hanafiah telah berkata yang benar. Beliau melanjutkan: "Saya juga tahu bahwa saya tidak akan mencapai apa-apa kuasa sebab saya pergi bukan untuk penaklukan dunia. Saya pergi hanya untuk dibunuh. Saya berharap bahwa melalui penderitaan yang saya tanggung dari penindasan ini, dapat mencabut keluar asas bagi segala kekejaman dan kezaliman. Saya berjumpa dengan datuk, Nabi Allah di dalam mimpi memberi tahu saya agar membuat perjalanan ke Irak. Allah swt mahu melihat saya dibunuh". Muhammad Hanafiah dan Ibnu Abbas berkata: "Jika begitu kenapa membawa anak-anak dan wanita bersama kamu?". Imam menjawab: "Datuk saya mengatakan bahwa Allah mahu melihat mereka ditawan. Saya membawa mereka sesuai arahan Nabi Allah"
Itu semuanya merupakan sebagai proklamasi kepada manusa bahwa Negara dibawah kekuasaan Yazid adalah Taghut yang zalim. Imam Ali as mengatakan bahwa kekuasaan ditangan Muawiyah bagaikan perahu terbalik, yang menumpahkan segala isinya. Secara Ideology kita pasti mampu memahami fenomena Negara dibawah kekuasaan type Muawiyah (yang meracuni Iman Hassan, cucu Rasulullah) dan Yazid bin Muawiyah (pembantai keluarga Rasulullah di Karbala).
Disebabkan penulis adalah orang Acheh - Sumatra pastinya sangat logis untuk menyoroti Negara Indonesia, dimana bukan saja menjadi penindas terhadap kaum mustadhafin di Tanah Rencong tetapi juga penindas terhadap kaum mustadhafin di pulau jawa itu sendiri. Siapapun yang berani berbicara Negara Islam atau revolusi, pasti ditindak oleh penguasa Indonesia secara otoriter- Kondisi semacam ini juga kita saksikan melalui lembaran sejarah di dalam kekuasaan Muawiyah dan Yazid, anaknya. ”Ulama” dalam pemerintahan despotik tersebut diam seribu satu bahasa ketika menyaksikan perlakuan semena-mena terhadap rakyat jelata (baca kaum mustadhafin), bahkan mereka diperintahkan Muawiyah untuk berfungsi sebagai ”mesin” pemalsuan Hadist Rasulullah dan inilah yang paling berbahaya hingga perpecahan Ummat Muhammad, kita saksikan sekarang ini, mulai dengan pemalsuan Hadist Shaqalain dan seterusnya.
”Ulama” dalam system Hindunesia juga diam seribu satu bahasa ketika menyaksikan perlakuan semena-mena terhadap kaum mustadhafin Acheh - Sumatra dan kaum mustadhafin Hindunesia itu sendiri. Para ”ulama” tersebut juga menggunankan Hadist made in Abu Hurairah cs sebagai alasannya untuk tidak melawan penguasa yang masih melakukan salat 5 waktu. Untuk hal ini mereka tegamak dengan melakukan doa tolakbala hanya melalui peragaan tangannya terlungkup di setiap Mesjid dan lembaga agama manapun dalam system Hindunesia.
Justru itu saya haqqul yakin bahwa di Indonesia dan Acheh - Sumatra sekarang ini tidak ada lagi ulama benaran kecuali bal-am alias ulama palsu. Argument saya ini sangat kuat mengingat sepakterjang mereka tidak berbeda dengan sepakterjang ulama palsu di jaman Muawiyah dan Yazid bin Muawiyah, sementara penguasa Hindunesia sejak dari Soekarno, Suharto sampai kini sama dengan sepakterjang Muawiyah dan Yazid, pembantai keluarga Rasulullah saww.
Ulama adalah panutan rakyat dan juga siapapun yang mengaku beragama Islam. Dari itu kalau fungsi Ulama di tempati para ”Bal’am”, sirnalah Esensi Islam dan sirna jugalah Aqidah Ummat. Mereka hanya mengetahui bahwa Allah Tuhan yang haq disembah tapi mereka tundukpatuh kepada ”Yazid-yazid” modern. Bagaimana mungkin kita disatu sisi tunduk patuh kepada penguasa zalim sementara pengakuan lidah kita justru perintah Tuhanlah yang harus diutamakan.
Allah berfirman: ” . . . . . . .waman lam yahkum bima an zalallah, faulaika humul kaafirun. . . . . . . .” (QS, al Maidah, 44) (. . . . . . .dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah, mereka itulah yang kafir. . . . . . .)
Anda orang Indonesia atau Jawa tidak beralasan sakit hatinya kepada saya. Yang perlu bagi anda menelusuri pengikut-pengikut ”Imam” Kanto Suwiryo dan Muhammad Nasir serta ulama-ulama yang terikat dengan Piagam Jakarta, dimana belakangan disulap oleh Soekarno menjadi Pancasila alias Puncasilap. Jadi disini jelas kendatipun Soeharto terbaca lebih zalim dari Soekarno, namun secara ideologis justru Soekarnolah puncanya silap orang-orang yang bersatupadu dalam system Hindunesia alias System Pancasila atau Puncasilapnya made in Soekarno cs.
Anda Ilmuwan Hindunesia dicetak dalam dapur taghut Hindunesia. Kendatipun anda belajar agama di pesantren-pesantren dan lembaga agama manapun, anda telah merusak esensi Agama Muhammad saww yang murni hingga bercampur bawur dengan agama ”Ewuhpakewuh” atau Empu Tantular yang berbau ketoprak itu. Jangan kan ilmuwan di pulau Jawa, ilmuwan di Tanah Rencong saja, dimana Islam datang melaui Semenan jung Acheh, bisa dekaden dan bahkan memihak penguasa yang notabenenya adalah wakil majikan mereka dari Jakarta.
Padahal ilmuwan itu adalah pribadi-pribadi yang berilmu, kenapa mereka tidak mampu memahami untuk apa mereka mencari ilmu dari pesantren dan perguruan tinggi? Untuk perutkah, untuk keluarga sajakah? Mereka punya potensial untuk membela kaum mustadhafin dengan pengetahuan yang mereka miliki. Kenapa mereka tidak membentuk kelompok untuk melawan tirani dan despotik di negaranya masing-masing? Bukankah itu perintah Allah yang utama sebagai proses Esensi kemanusiaan?
Disinilah terbukti kata DR Ali Syariati, ahli fikir yang belum ada duanya sampai sekarang ini , bahwa Propes sor, Doctor dan graduasi lainnya adalah ilmuan yang berwajah ”pucat” Sementara para Rasul, para Imam dan para Ulama warasatul Ambiya adalah Ideolog yang berwajah ”merah”. Mereka yang terakhir inilah yang dapat diharapkan untuk membebaskan kaum mustadhafin dari belenggu yang menimpa kuduk-kuduk merka (QS,7:157&QS,90:12-18). Sementara para ilmuan asik mengharapkan gaji yang tinggi dari majikannya (baca penguasa zalim) Mereka tabu untuk kita bicarakan bahwa sesungguhnya mereka sudah sirna Aqidahnya, kendatipun di mulut mereka berkomat-kamit dengan kalimah Syahadah.
Sekali lagi, di Indonesia tidak ada ulama kecuali sekelompok orang fanatikbuta melaku kan teror dimana-mana. Kalau di Palestina adanya kelompok bunuh diri, itu adalah dalam kontek perang melawan kezaliman kaum Zionis Israel. Mereka tidak mendapat bantuan sementara disekeliling mereka adalah negara-negara jenis yang sama dengan Hindunesia, secara sembunyi tapi nyata bagi kaum hypocrite itu, berpihak kepada Zionis itu sendiri. Sementara kaum teroris di Hindunesia, dengan siapa mereka berperang? Ironisnya mereka hanya berpenampilan pakaian Rasulullah tapi tidak mengikuti jejak Rasulullah.
Tulisan saya ini saya buat untuk mengundang pihak ilmuwan yang bersatupadu dalam system Hindunesia agar berpikir bagaimana sebenarnya mereka harus berkiprah untuk membebaskan kaum nustadhafin di dalam sys tem Taghut Hindunesia itu. Dengan cara demikianlah mereka terbebas dari Api Neraka bukan hanya asik beribadah ritual doang. Tauhid dan keadilan adalah dua sisi dari mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu-sama lainnya. Keadilan bersumber dari Tauhid dan Tauhid merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum minal Allah) diwujudkan dalam keadilan sosial berhubungan antar sesama manusia (hablum minan naas).
Perlu juga dipahami bahwa menurut Imam Khomeini, Ulama atau fuqaha bukan hanya ahli di bidang hukum Islam saja atau hanya merupakan tokoh spriritual. Fuqaha yang Paripurna harus juga ahli di bidang-bidang lainnya, semisal filsafat, politik, sosial dan ekonomi. Apabila kita menemukan fenomena yang demikian macam di RII sekarangt ini ,bermakna kita telah menemukan realitanya: "Ulama yang intelektual dan Intelektual yang Ulama." Itulah Fuqaha yang Paripurna menurut Imam Khomaini, dimana kehadirannya bermanfaat buat pembebasan kaum mustadhafin.
Billahi fi sabililhaq
Muhammad al Qubra
Acheh - Sumatra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar