Inilah Karbala dan disinilah Imam Hussein as serta keluarga dan sahabat setianya dibantai atas perintah Yazid bin Muawiyah yang mengaku sebagai khalifah, warisan ayahnya.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
JADILAH HUSSEIN ATAU ZAINAB AL KUBRA,
KALAU TIDAK ANDA ADALAH YAZID.
HUSSEIN MENYIRAMI POHON ISLAM DENGAN DARAH DAN AIRMATA. ZAINAB MENYAMPAIKAN MISSI HUSSEIN HINGGA DIKETAHUI MANUSIA
DI DUNIA SEJAK DULU HINGGA KINI
BAHKAN SAMPAI MENEMUINYA
DI PANCUTAN KAUTSAR.
hsndwsp
Acheh - Sumatera
Kalimat demi kalimat baris demi baris dan alinia demi alinia telahpun berlalu hingga goresan bung Novendra Dj ini terbaca habis tanpa terasa lelah sedikitpun. Mengapa tidak, kisah yang diangkat adalah cucuanda Nabiullah, Imam Hussein as, Imam ke 3, ayahanda dari Imam Ali Zainal Abidin bin Hussein as. Sayang di Acheh sepertinya tak terbaca peristiwa yang demikian dahsyat dan menyayat hati bagi pribadi yang benar-benar beriman, bukan hipokrit alias hanya mengaku saja beriman sementara sepakterjangnya sepertinya tidak jauh berbeda dengan dupli kat Yazid bin Muawiyah itu sendiri.
Sebahagian orang yang mengaku bermazhab Syiah di pulau Jawa hanya terbatas dengan mengeluarkan airmata ketika memperingati hari syahidnya Imam Hussein di medan Karbala, tetapi setelah itu merekapun sepertinya tidak berbeda dengan pengikut Yaziz bin Muawiyah bin abu Sofyan, bersatupadu dalam system Hindune sia yang Yaziddin itu. Ini membuktikan bahwa mereka baru sebatas ilmu Syiah hingga mereka hanya mengetahui kalau Imam Hussein teranianya di Padang Karbala, namun tidak memiliki Ideology Imam Hussein yang pantang bersatupadu dalam system taghut zalim dan hipokrit. Sebahagian mereka memiliki banyak il mu tentang Syiah dan 12 Imamnya hingga mereka layak disebut Ilmuwan Syiah namun sebetulnya mereka masih belum apa-apa dan tidak jauh berbeda dengan Islam non Syiah. Untuk berguru tentang Syiah, tentang Karbala tentang Imam Hussein memang mudah tetapi untuk memahami Syiah Alawi (baca Syiah me rah), Imam Hussein dan Karbala diperlukan mendalami Ideologynya.
Kalau kita terbatas pada ilmu Syiah, Imam dan Karbala, kita belum mampu meli hat fenomena yang ditentang Syiah, para Imam dan Hussein di Karbala di jaman kita masing-masing. Justru itulah kita masih saja bersatu padu dan bahkan meng identifikasi dirikita sebagai fenomena dimana Yazid menjadi prototipenya fenome na tersebut. Itulah yang dinamakan Syiah hitam atau syiah dekaden. Syiah sejati atau syiah Alawi adalah syiah merah. Mereka bukan saja berilmu Syiah tetapi juga berideology syiah, para Imam dan Karbala.
Agama manapun memiliki dua wajah yang saling bertentangan, wajah dekaden dan wajah ideology. Islam berwajah dekaden seolah-olah melibatkan dirinya dalam kejahatan, menumbuhkan reaksionerisme, kelambanan, dan kelumpuhan. Agama Islam macam ini telah mengekang spirit kebebasan dan secara culas membenarkan status quo. Sedangkan Islam yang type lain, Islam ideology yang pantang bersatupadu dalam system Islam yang dekaden. Sudah barang pasti Islam Ideology tidak diperbolehkan tumbuh dan berkembang dalam sejarah oleh Islam dekaden. Justru di jantung bangsa-bangsa Muslim, sebagaimana kita keta hui, kebenaran dan cita-cita Islam sedang dikorbankan.
Dalam bentuknya yang tidak ideologis agama adalah suatu kumpulan keperca yaan turun-temurun dan perasaan individual, suatu imitasi terhadap upacara-upacara, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan agama dan praktek-praktek yang sudah berurat berakar dari satu generasi kegenerasi lainnya. Jenis agama sema cam ini menunjukkan semangat kolektif dari suatu kelompok masyarakat. Agama seperti ini tidak pernah nenemukan esensinya hingga memperlihatkan penen tangannya terhadap spirit dan semangat kemanusiaan yang sesungguhnya.
Praktek agama seperti ini sampai hari ini berkembang dan tumbuh subur dalam system yang hipokrit, dimana mereka mengaku beragama Muhammad tetapi mereka tidaklagi memiliki ideology Muhammad, Ali dan Hussein di Karbala. Sebahagian mereka dari kampung berpindah ke kota. Dikota mereka menimba ilmu diberbagai perguruan hingga memungkinkan mereka menjadi "orang besar" setelah bergabung dengan orang-orang pemerintahan. Mereka menjadi kaya, memiliki rumah yang luck, gaji yang tinggi dan mobil mewah. Namun kebanyakan mereka hidup miskin dan menderita tetapi mereka tetap berdaya upaya agar tidak ketinggalan ketika musim maulid tiba kendatipun Rasulullah sendiri melarangnya, namun mereka sepertinya tidak pernah mengetahui adanya larangan. Tak obahnya seperti kebiasaan orang Kristian memperingati hari lahirnya Yesus, mereka tidak pernah memahami bahwa tgl 25 Desemeber itu bukan hari lahirnya Nabi Isa as tetapi hari lahirnya dewa matahari. Demikian juga pohon cemara yang mereka hias sebagai pohon Natal, padahal pohon tersebut takpernah eksist ditempat kelahiran Nabi Isa bin Maryam.http://www.youtube.com/watch?v=YDTC5n8mfzI&feature=related
Dikalangan Syiah jaman Syah Redha Palevi juga demikian kondisi masyarakat, dimana orang-orang miskin walau makanpun tak menentu, berdaya upaya walau dengan cara menabung guna membeli lampu pompa, rantai untuk flagelasi (me mukul - mukul tubuh dalam peringatan syahidnya Imam Hussein di Karbala), alat bunyi-bunyian dan jubah hitam. Ironisnya acara tersebut dikordinir penguasa. Pada hari Asyura malah semua orang dipaksakan harus mengalir airmata tetapi satu hari setelah itu atau esoknya pemerintah membuat hari bergembira dimana tidak dibenarkan seorangpun menangis kecuali ditangkap polisi. Jadi semua me reka (baca penguasa plus rakyatnya memang syiah tetapi syiah Safawi bukan syiah Alawi. Syiah Alawi tidak di benarkan berkembang sampai Imam Khomaini, Dr Ali Syariati, Murtadha Mutahhari cs muncul hingga mampu menggulingkan pe nguasa Safavid dan berdirinya system Islam Syiah Alawi yang sangat cemerlang sekarang ini.
Mudah - mudahan tulisan singkat ini menjadi renungan bagi banbgsa-bangsa yang sedang ter tindas di jaman kita ini. Kita harus belajar memahami Karbala hing ga menemukan fenomena karbala dikalangan kita masing-masing. Kita harus mampu memahami mana sosoknya Yazid di jaman kita, dikalangan kita dan mana sosok Hussein dikalangan kita masing-masing. Lalu bersatulah "Hussein-hussein" untuk meluluhlantakkan "yazid-yazid". Dengan cara demikianlah kita terlepas dari api Neraka, bukan hanya dengan mengalirkan air mata di hari Asyura dan berpu asa agar dapat pahala sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kita bersatupadu dalam system yang sama dengan system yang ditentang Imam Hussein as di Karbala.
Billahi fi sabililhaq
hsndwsp
di Ujung Dunia
notice:
Ketika kita menemui suatu fenomena yang haqqul yakin kebenarannya, kita harus haqqul yakin juga bahwa Allah mengharapkan kepada kita agar menyampaikan kepada orang lain. Pabila pihak yang sampai seruan kita itu tidak menggubrisnya sementara hal tersebut benar disisi Allah, menjadi saksi kelak di hari Kemudian (baca saat Allah menempelak manusia dengan Surah Yasin ayat 60 - 65). Sebaliknya, andaikata tidak kita sampaikan kepada orang lain kita ter masuk yang menyembunyikan kebenaran ilmu Allah. yang berakibat celaka dia khirat kelak. Justeru itulah Allah menuntut pada hambaNya yang telah menemukan kebenaran agar me nyampaikan ke pihak lain, betapapun resikonya, terkadang dicemoohi, dibenci dan bahkan dibu nuh sebagaimana mereka membunuh Ahlulbayt Rasulul lah, konon pula kita pe ngikut ahlulbayt nya. Andaikata fenomena yang haq itu tidak kita sampaikan kepihak lain, kita termasuk orang egois sejati disisi Allah, hendak masuk syurga sendirian. Allah tidak akan memasukkan ke dalam Syurga orang yang egois demikian. Allah memasukkan seseorang da lam Syurga melalui ajakan kita kepada orang lain. Justeru keyakinan seperti itulah saya berda ya upaya untuk menyam pai kan apa yang telah saya yakinkan ini, betapapun resikonya. Read more about tempelakan Allah: http://achehkarbala.blogspot.com/2009/09/tempelkan-yang-sangat-menyakitkan-bagi.html ngat-menyakitkan-bagi.html
Pentas Karbala,
Simbol PerlawananAtas Kebatilan
Refleksi Atas Kesyahidan Imam Husain bin ‘Ali
Oleh; Novendra Dj
Catatan sejarah umat Islam mengabadikan satu tragedi yang memilukan dan menohok jantung orang-orang muslim yang peka dengan agama dan hakikat kemanusiaan. Tepat pada hari ke-10 dibulan Muharram tahun 61 H, suatu peristiwa pembantaian sadis menimpa al Husain bin ‘Ali bin Abithalib beserta para pengikut setianya. Tragedi yang mengambil tempat di padang Karbala, Iraq ini menyisakan kepiluan dan kepedihan hati kaum mu’min. Bagaimana tidak, karena yang dibantai adalah cucunda Rasulullah saw, anak putri tercinta beliau, Fathimah az Zahra. Dan yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku umat Muhammad saw.
Sang kesatria dan hujjatullah dibantai oleh Yazid bin Mu’awiyah, salah seorang khalifah dinasti Umayyah. Mereka membunuh seorang putra Bani Hasyim demi memadamkan cahaya Islam dan memuluskan jalan nafsu keserakahan atas kekuasaan dan harta benda. Kesilauan dunia telah memperdayakan dinasti Umayyah, hingga mereka tega menumpahkan darah suci keturunan Rasulullah saw. Bala tentara kezaliman itu menggenangi tanah Nainawa (nama lain dari Karbala) dengan darah yang dialiri dari tubuh Imam Husain beserta pendukung setianya.
Perang antara Imam Husain bersama pengikut setianya dengan pasukan Yazid berlangsung tidak seimbang. Puluhan orang dari barisan beliau melayani serangan ribuan prajurit Yazid yang dibekali persenjataan lengkap. Sangat tidak adil jika dikatakan peristiwa Karbala tersebut adalah peperangan, melainkan sebentuk pembantaian. Sang petempur terakhir yang hidup (Husain) merenggang nyawa dalam keadaan teraniaya. Pribadi agung ini menjadi tonggak keteladanan, merelakan dirinya syahid dalam keadaan teraniaya demi pengabdiannya kepada Islam. Ia menjawab panggilan dan menjalankan dengan sempurna amanat Allah dan Rasulnya.
Tragedi Karbala sebuah peristiwa yang tidak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Bentuk pengorbanan dan ketabahan yang ditampilkan Imam Husain menjadi energi dahsyat bagi orang-orang yang yakin dengan janji-janji Rabba nya. Husain menjemput ajalnya di Karbala bukanlah berlatar putus asa atau pasrah pada takdir yang ditentukan Allah Swt untuknya. Tetapi dia datang dengan visi dan misi yang jelas, yaitu upaya penyelamatan dan mengembalikan eksistensi serta kemurnian agama kakeknya, Muhammad saw.
Kemurnian Islam sejak wafatnya Rasulullah saw mulai terkikis. Pelbagai penyelewengan terjadi akibat nafsu serakah sebagaian kalangan elit yang masih menyimpan dihati mereka bongkahan-bongkahan kebencian dan dendam kepada al Mustafa dan ahlulbaitnya, terutama kepada ‘Ali bin Abithalib. Keadaan yang mencederai citra Islam ini mendorong Imam Husain bangkit dan melawan, terutama setelah Mu’awiyah mencabik-cabik traktat perdamaian antara ia dengan Imam Hasan. Dimana traktat tersebut berisi kesepakatan bahwa kaum muslim akan memilih khalifahnya setelah meninggalnya Mu’awiyah. Namun Mu’awiyah dibalik itu berusaha memperoleh bai’at bagi Yazid, putranya. Dan mulai menebar fitnah atas ahlulbait Nabi, secara khusus terhadap pribadi Imam ‘Ali.
Namun pribadi seperti al Husain tidak tinggal diam dan pasrah membiarkan cahaya Islam redup. Dia tidak akan sudi membai’at dan membiarkan urusan umat Islam ditangan orang seperti Yazid. Al Husain memandang perlu membangun simbol lebih jelas antara kebenaran dan keadilan yang diwakili dirinya, dengan simbol kebatilan dan kezaliman yang diwakili Yazid bin Mu’awiyah. Tentunya langkah yang diambil al Husain tersebut membawa konsekuensi besar mengenaskan. Dimana kepedihan dan kedukaan dahsyat akan menimpa Rasulullah dan keluaganya beserta orang-orang yang setia pada agama yang hanif. Karena tipe Yazid tidak sungkan menumpahkan darah orang-orang yang menghalanginya, meskipun itu manusia agung seperti al Husain.
Kita bisa bayangkan bagaimana Imam Husain, cucunda kesayangan Rasulullah saw, dibantai dengan sangat biadab. Begitu juga sangat memilukan saat Ali Al Ashgar, bayi Imam Husain syahid dengan panah beracun menembus lehernya. Kekejaman terhadap keturunan Rasul saw ini senantiasa membuat kesedihan mendalam.
Tetapi di balik kesedihan itu, banyak makna lain terkandung dibalik pengorbanan dan syahidnya Imam Husain beserta para pengikutnya. Disitu tersimpan kisah heroik, sebelum menjemput syahidnya, Imam Husain dengan gagah berani melawan ribuan prajurit seorang diri. Ini mengisyaratkan pesan bahwa seorang muslim mesti tetap tegar melawan kezaliman. Bagaimana pun keadaannya.
Peristiwa karbala memotret dua sisi yang saling bertolak belakang. Barisan pengusung bendera haq satu pihak dan barisan kebatilan dipihak lain. Imam Husain beserta rombongannya datang ke tanah Karbala demi menegaskan tapal batas haq dan batil. Ia datang dengan kesadaran ilahiah, bahwa pengorbanan dan kucuran darahnya akan merobek tabir-tabir kejahilan dan kezaliman. Beliau menyadari bahwa umat Islam selanjutnya membutuhkan suatu tonggak inspirasi yang akan memompa spirit mereka dalam menentang penindasan dan ketidak adilan.
Disisi lain, perlakuan Yazid dan bala tentaranya terhadap Imam Husain, putri-putri Bani Hasyim, dan para pengikut setianya adalah mempertontonkan budaya ala rezim penindas. Peristiwa ini sungguh menegaskan bahwa antara haq dan kebatilan tidak akan pernah bisa bercampur. Haq tidak akan pernah tunduk dihadapan lawannya, keduanya senantiasa berhadap-hadapan. Semangat perlawananan atas kezaliman mesti senantiasa dipupuk, dijadikan spirit yang mengakar dikalangan umat Islam. Jika tidak, maka kezaliman akan merasa aman memegang kendali, dan ia juga bisa menyelubungi dirinya dengan jubah kebenaran, dan topeng keadilan.
Keprihatinan kita, Peristawa Karbala seperti terlupakan oleh umat Islam mayoritas. Entah karena sengaja demi menyelamatkan muka umat Islam dari rona buram lembaran sejarah pilu. Namun demikian, tidak bisa dihindari, sejarah umat ini ternyata tidak semulus dalam lembaran buku-buku yang popular beredar ditengah-tengah kita. Pelbagai fakta terkait tragedi-tragedi menyayat hati turut memburamkan fenomena umat ini. Diantara peristiwa besar dan terpenting serta layak dikenang, adalah tragedi Karbala.
Tragedi menyesakkah hati ini memang hanya akrab dan selalu dikenang oleh umat Islam dari mazahab Syiah. Kalangan umat Islam yang memiliki loyalitas tinggi pada ahlulbait Nabi saw ini melihat peristiwa tersebut sebagai pembuka mata umat Islam atas batasan haq dan batil yang tidak mungkin dicapur satu sama lain.
Membangunkan kesadaran umat bahwa Islam beserta kebenaran dan keadilan yang diusungnya mesti senantiasa diperjuangkan, meskipun harus dibayar dengan penderitaan dan darah sekalipun. Dan mereka senantiasa menjadikan kenangan Asyura sebagai wadah membangun spirit untuk bangkit, loyalitas pada kebenaran, dan senantiasa menolak kezaliman dan penindasan.
Sang kesatria dan hujjatullah dibantai oleh Yazid bin Mu’awiyah, salah seorang khalifah dinasti Umayyah. Mereka membunuh seorang putra Bani Hasyim demi memadamkan cahaya Islam dan memuluskan jalan nafsu keserakahan atas kekuasaan dan harta benda. Kesilauan dunia telah memperdayakan dinasti Umayyah, hingga mereka tega menumpahkan darah suci keturunan Rasulullah saw. Bala tentara kezaliman itu menggenangi tanah Nainawa (nama lain dari Karbala) dengan darah yang dialiri dari tubuh Imam Husain beserta pendukung setianya.
Perang antara Imam Husain bersama pengikut setianya dengan pasukan Yazid berlangsung tidak seimbang. Puluhan orang dari barisan beliau melayani serangan ribuan prajurit Yazid yang dibekali persenjataan lengkap. Sangat tidak adil jika dikatakan peristiwa Karbala tersebut adalah peperangan, melainkan sebentuk pembantaian. Sang petempur terakhir yang hidup (Husain) merenggang nyawa dalam keadaan teraniaya. Pribadi agung ini menjadi tonggak keteladanan, merelakan dirinya syahid dalam keadaan teraniaya demi pengabdiannya kepada Islam. Ia menjawab panggilan dan menjalankan dengan sempurna amanat Allah dan Rasulnya.
Tragedi Karbala sebuah peristiwa yang tidak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Bentuk pengorbanan dan ketabahan yang ditampilkan Imam Husain menjadi energi dahsyat bagi orang-orang yang yakin dengan janji-janji Rabba nya. Husain menjemput ajalnya di Karbala bukanlah berlatar putus asa atau pasrah pada takdir yang ditentukan Allah Swt untuknya. Tetapi dia datang dengan visi dan misi yang jelas, yaitu upaya penyelamatan dan mengembalikan eksistensi serta kemurnian agama kakeknya, Muhammad saw.
Kemurnian Islam sejak wafatnya Rasulullah saw mulai terkikis. Pelbagai penyelewengan terjadi akibat nafsu serakah sebagaian kalangan elit yang masih menyimpan dihati mereka bongkahan-bongkahan kebencian dan dendam kepada al Mustafa dan ahlulbaitnya, terutama kepada ‘Ali bin Abithalib. Keadaan yang mencederai citra Islam ini mendorong Imam Husain bangkit dan melawan, terutama setelah Mu’awiyah mencabik-cabik traktat perdamaian antara ia dengan Imam Hasan. Dimana traktat tersebut berisi kesepakatan bahwa kaum muslim akan memilih khalifahnya setelah meninggalnya Mu’awiyah. Namun Mu’awiyah dibalik itu berusaha memperoleh bai’at bagi Yazid, putranya. Dan mulai menebar fitnah atas ahlulbait Nabi, secara khusus terhadap pribadi Imam ‘Ali.
Namun pribadi seperti al Husain tidak tinggal diam dan pasrah membiarkan cahaya Islam redup. Dia tidak akan sudi membai’at dan membiarkan urusan umat Islam ditangan orang seperti Yazid. Al Husain memandang perlu membangun simbol lebih jelas antara kebenaran dan keadilan yang diwakili dirinya, dengan simbol kebatilan dan kezaliman yang diwakili Yazid bin Mu’awiyah. Tentunya langkah yang diambil al Husain tersebut membawa konsekuensi besar mengenaskan. Dimana kepedihan dan kedukaan dahsyat akan menimpa Rasulullah dan keluaganya beserta orang-orang yang setia pada agama yang hanif. Karena tipe Yazid tidak sungkan menumpahkan darah orang-orang yang menghalanginya, meskipun itu manusia agung seperti al Husain.
Kita bisa bayangkan bagaimana Imam Husain, cucunda kesayangan Rasulullah saw, dibantai dengan sangat biadab. Begitu juga sangat memilukan saat Ali Al Ashgar, bayi Imam Husain syahid dengan panah beracun menembus lehernya. Kekejaman terhadap keturunan Rasul saw ini senantiasa membuat kesedihan mendalam.
Tetapi di balik kesedihan itu, banyak makna lain terkandung dibalik pengorbanan dan syahidnya Imam Husain beserta para pengikutnya. Disitu tersimpan kisah heroik, sebelum menjemput syahidnya, Imam Husain dengan gagah berani melawan ribuan prajurit seorang diri. Ini mengisyaratkan pesan bahwa seorang muslim mesti tetap tegar melawan kezaliman. Bagaimana pun keadaannya.
Peristiwa karbala memotret dua sisi yang saling bertolak belakang. Barisan pengusung bendera haq satu pihak dan barisan kebatilan dipihak lain. Imam Husain beserta rombongannya datang ke tanah Karbala demi menegaskan tapal batas haq dan batil. Ia datang dengan kesadaran ilahiah, bahwa pengorbanan dan kucuran darahnya akan merobek tabir-tabir kejahilan dan kezaliman. Beliau menyadari bahwa umat Islam selanjutnya membutuhkan suatu tonggak inspirasi yang akan memompa spirit mereka dalam menentang penindasan dan ketidak adilan.
Disisi lain, perlakuan Yazid dan bala tentaranya terhadap Imam Husain, putri-putri Bani Hasyim, dan para pengikut setianya adalah mempertontonkan budaya ala rezim penindas. Peristiwa ini sungguh menegaskan bahwa antara haq dan kebatilan tidak akan pernah bisa bercampur. Haq tidak akan pernah tunduk dihadapan lawannya, keduanya senantiasa berhadap-hadapan. Semangat perlawananan atas kezaliman mesti senantiasa dipupuk, dijadikan spirit yang mengakar dikalangan umat Islam. Jika tidak, maka kezaliman akan merasa aman memegang kendali, dan ia juga bisa menyelubungi dirinya dengan jubah kebenaran, dan topeng keadilan.
Keprihatinan kita, Peristawa Karbala seperti terlupakan oleh umat Islam mayoritas. Entah karena sengaja demi menyelamatkan muka umat Islam dari rona buram lembaran sejarah pilu. Namun demikian, tidak bisa dihindari, sejarah umat ini ternyata tidak semulus dalam lembaran buku-buku yang popular beredar ditengah-tengah kita. Pelbagai fakta terkait tragedi-tragedi menyayat hati turut memburamkan fenomena umat ini. Diantara peristiwa besar dan terpenting serta layak dikenang, adalah tragedi Karbala.
Tragedi menyesakkah hati ini memang hanya akrab dan selalu dikenang oleh umat Islam dari mazahab Syiah. Kalangan umat Islam yang memiliki loyalitas tinggi pada ahlulbait Nabi saw ini melihat peristiwa tersebut sebagai pembuka mata umat Islam atas batasan haq dan batil yang tidak mungkin dicapur satu sama lain.
Membangunkan kesadaran umat bahwa Islam beserta kebenaran dan keadilan yang diusungnya mesti senantiasa diperjuangkan, meskipun harus dibayar dengan penderitaan dan darah sekalipun. Dan mereka senantiasa menjadikan kenangan Asyura sebagai wadah membangun spirit untuk bangkit, loyalitas pada kebenaran, dan senantiasa menolak kezaliman dan penindasan.
Namun demikian, pembelajaran ataupun hikmah Asyura bukanlah monopoli Islam Syiah saja. Sejatinya peristiwa ini menjadi spirit bersama umat Islam dari kalangan manapun yang setia dengan ajaran Rasulullah saw, yang menginginkan batasan haq dan batil tetap dikenali, dan keadilan ditegakkan. Karena Imam Husain telah menggoreskan tonggak keteladanan – dengan kemuliaan pengorbanannya demi kemurnian dan tegaknya agama Muhammad saww – dan men jadikannya sebagai pesan agung, bahwa duduk bersanding dengan penindas dan keza liman itu sendiri adalah aib dan kehinaan. Dan ummat Islam dituntut untuk senantiasa berada dalam kemuliaan, penyampai kebenaran, dan pengimplementasi keadilan. Labbaika ya Imam Hussain...
2 komentar:
Mardawiyyah21 Desember 2010 04.33
subhanallah...cantik dan jelas sekali penjelasan saudara..
BalasHapus
ACHEH - KARBALA28 Agustus 2012 08.45
Komen dari hsndwsp: Kata "monopoli" yanbg digunakan Novendra adalah keliru dan terkesan negatif. Sepertinya Novendra tidak sadar bahwa yang menzalimi Imam Hussein, keluarga dan pengikut setianya di Karbala Irak juga mengaku diri mereka sebagai muslim walaupun Allah sendiri telah menyatakan: "wamahum bimukminin" (QS, Al Baqarah 8)