Bismilaahirrahmaanirrahiim
Kalau Demokrasi yang dimaksudkan Emha Ainun Nadjib itu "made in" AS cs, saya sependapat de ngan Emha. Dalam kontek ini ada beberapa hal yang perlu saya ke mukakan sesuai dengan apa yang telah saya pelajari dan saya ketahui dalam perspective Islam Murni.
Pertama Ketika demokrasi kita hubungkan dengan Islam, hal yang signifikan untuk kita ketahui adalah "defini si" Islam murni dan aplicasinya dalam kehidupan nyata. Sepertinya Nadjib memfokuskan pada Islam di Indo nesia sebagai barometernya ketika berbicara Demokrasi. Andaikata kita mampu menganalisa fenomena Islam yang ada di Indonesia, kita juga akan mampu mena rik kesimpulan bahwa fenomena tersebut sama seperti Meteor besar yang jatuh ke planet Bumi dari asalnya yang demikian jauh, terjadi gesekan kiri kanan hingga yang sampai ke bumi Indonesia hanya sebesar ibu jari saja.
Islam tanpa system, akan sirna esensinya. Demikian Islam di Indonesia yang termasuk system Thaghut ditinjau perspective Al Qur-an. Umumnya orang Islam di Indonesia mengaku bahwa Pedoman Hidup Islam adalah Qur - an dan Hadist, tetapi itu hanya sebatas teory saja sedangkan realitanya pedoman hidup mereka adalah Pancasila, "Made in" Soekarno dari akomulatif antara Islam Sunni dan Hindu - Budha. Pancasila mulai popu ler setelah berhasil menghapus Piagam Jakarta dengan power yang dimiliki Soekarno cs.
Andaikata Nadjib menyadari hal ini, dia juga akan sadar bahwa tanpa disadarinya masuk perangkap Islam dekaden, bukan Islam murni. Dalam perspective seperti ini, kita takperlu memperde batkan JIL, Muhammad diah, Ahmadiah, Syiah dan Nahdlatul Ulama, semuanya dinetralisir oleh Pancasila atau Puncasilap, kecuali an da sanggup keluar dari system taghut itu baru berkemung kinan untuk mengenal Islam murni.
Kedua Demokrasi di AS umpama "Susu Lembu" yang diperbanyak dengan memberikan obat ter tentu kepa da sapi hingga memproduksikan susu yang banyak. Ketika Demokrasi itu dibawa ke Negara-negara yang ma yoritas penduduknya mengaku beragama Islam tetapi system negara nya Taghut, mereka memperbanyak "Su su tadi" dengan menambah cairan jenis lain. Dengan kata lain Demokrasi di Timur, termasuk Indonesia lebih buruk dari Demokrasi di AS, kenapa? AS jelas mengaku bukan Islam tetapi Indonesia bersikukuh bahwa me reka Islam. Disitulah kehi dupan rakyat jelata di Indonesia lebih menderita dibandingkan di AS.
Di system Islam murni, demokrasipun menjadi "susu Lembu Murni". Artinya demokrasi baru dapat diterapkan ketika mayoritas penduduk suatu negara memahami Islam dengan benar, hingga membuat merekapun akan memahami politik Islam Murni (baca Siasah Fatanah Rasulullah).
Saat Umar berkuasa, pernah exist sebuah keluarga dimana terdapat seorang anak muda dalam tanggungannya sebagai anak angkat. Si suami menanyakan kepada Umar: " bolehkah isteri saya itu satu malam tidur bersama saya sementara malam lainnya tidur bersama anak muda tanggu ngan saya itu disebabkan saya belum mampu mengawinkannya"
Andaikata kondisi pemikiran masyarakat pada taraf seperti itu, mungkinkah dalam pemilihan pemimpin kita te rapkan ala Demokrasi? Perlu dipahami bahwa dalam Demokrasi itu kebenaran itu berada di tangan orang ra mai bukan menurut Tuhan, Pemilik Dunia ini. Satu suara penjahat atau penzina di kotak pemilihan sama de ngan satu suara orang baik atau ulama sekalipun. Jadi andaikata di suatu negara mayoritas penduduknya penzi na atau koruptor, dapat dipastikan negara tersebut akan dipimpin oleh seorang koruptor atau orang jahat ber lagak baik dan ber wibawa macam Indonesia, sejak dari Soekarno sampai Yudhoyono sekarang ini.
Seorang guru yang sadar ketika mau pergi jauh untuk waktu yang lama setelah bertahun-.tahun mengajarkan murid-muridnya, pasti tidak akan menggunakan Demokrasi untuk memilih orang yang akan mewakilinya. Hal itu berkemungkinan besar mereka akan memilih orang yang baik konneksinya dengannya atau kekeluarganya atau disebabkan kemurahan hati kandidat terha dap si pemilih. Justeru itu sangguru yang benar dan bijaksana akan menunjuk penggantinya, di mana beliau pasti mengenal pribadi yang sama perspectif dengannya, hingga pengajaran tersebut tetap lestari sebagaimana kebenaran yang dimiliki sang guru tadi.
EHMA AINUN NADJIB:
Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Us tadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.
"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mem pelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempe lajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melain kan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kela kuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Mu sik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman me nyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno- mu sik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial na manya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.
"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.
Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfiki ran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.
KALAU DEMOKRASI YANG DIMAKSUDKAN EMHA AINUN NADJIB
"MADE IN" AS CS,
SAYA SEPENDAPAT DENGAN NADJIB
DALAM KONTEK TERSEBUT
hsndwsp
Acheh - Sumatera
Pertama Ketika demokrasi kita hubungkan dengan Islam, hal yang signifikan untuk kita ketahui adalah "defini si" Islam murni dan aplicasinya dalam kehidupan nyata. Sepertinya Nadjib memfokuskan pada Islam di Indo nesia sebagai barometernya ketika berbicara Demokrasi. Andaikata kita mampu menganalisa fenomena Islam yang ada di Indonesia, kita juga akan mampu mena rik kesimpulan bahwa fenomena tersebut sama seperti Meteor besar yang jatuh ke planet Bumi dari asalnya yang demikian jauh, terjadi gesekan kiri kanan hingga yang sampai ke bumi Indonesia hanya sebesar ibu jari saja.
Islam tanpa system, akan sirna esensinya. Demikian Islam di Indonesia yang termasuk system Thaghut ditinjau perspective Al Qur-an. Umumnya orang Islam di Indonesia mengaku bahwa Pedoman Hidup Islam adalah Qur - an dan Hadist, tetapi itu hanya sebatas teory saja sedangkan realitanya pedoman hidup mereka adalah Pancasila, "Made in" Soekarno dari akomulatif antara Islam Sunni dan Hindu - Budha. Pancasila mulai popu ler setelah berhasil menghapus Piagam Jakarta dengan power yang dimiliki Soekarno cs.
Andaikata Nadjib menyadari hal ini, dia juga akan sadar bahwa tanpa disadarinya masuk perangkap Islam dekaden, bukan Islam murni. Dalam perspective seperti ini, kita takperlu memperde batkan JIL, Muhammad diah, Ahmadiah, Syiah dan Nahdlatul Ulama, semuanya dinetralisir oleh Pancasila atau Puncasilap, kecuali an da sanggup keluar dari system taghut itu baru berkemung kinan untuk mengenal Islam murni.
Kedua Demokrasi di AS umpama "Susu Lembu" yang diperbanyak dengan memberikan obat ter tentu kepa da sapi hingga memproduksikan susu yang banyak. Ketika Demokrasi itu dibawa ke Negara-negara yang ma yoritas penduduknya mengaku beragama Islam tetapi system negara nya Taghut, mereka memperbanyak "Su su tadi" dengan menambah cairan jenis lain. Dengan kata lain Demokrasi di Timur, termasuk Indonesia lebih buruk dari Demokrasi di AS, kenapa? AS jelas mengaku bukan Islam tetapi Indonesia bersikukuh bahwa me reka Islam. Disitulah kehi dupan rakyat jelata di Indonesia lebih menderita dibandingkan di AS.
Di system Islam murni, demokrasipun menjadi "susu Lembu Murni". Artinya demokrasi baru dapat diterapkan ketika mayoritas penduduk suatu negara memahami Islam dengan benar, hingga membuat merekapun akan memahami politik Islam Murni (baca Siasah Fatanah Rasulullah).
Saat Umar berkuasa, pernah exist sebuah keluarga dimana terdapat seorang anak muda dalam tanggungannya sebagai anak angkat. Si suami menanyakan kepada Umar: " bolehkah isteri saya itu satu malam tidur bersama saya sementara malam lainnya tidur bersama anak muda tanggu ngan saya itu disebabkan saya belum mampu mengawinkannya"
Andaikata kondisi pemikiran masyarakat pada taraf seperti itu, mungkinkah dalam pemilihan pemimpin kita te rapkan ala Demokrasi? Perlu dipahami bahwa dalam Demokrasi itu kebenaran itu berada di tangan orang ra mai bukan menurut Tuhan, Pemilik Dunia ini. Satu suara penjahat atau penzina di kotak pemilihan sama de ngan satu suara orang baik atau ulama sekalipun. Jadi andaikata di suatu negara mayoritas penduduknya penzi na atau koruptor, dapat dipastikan negara tersebut akan dipimpin oleh seorang koruptor atau orang jahat ber lagak baik dan ber wibawa macam Indonesia, sejak dari Soekarno sampai Yudhoyono sekarang ini.
Seorang guru yang sadar ketika mau pergi jauh untuk waktu yang lama setelah bertahun-.tahun mengajarkan murid-muridnya, pasti tidak akan menggunakan Demokrasi untuk memilih orang yang akan mewakilinya. Hal itu berkemungkinan besar mereka akan memilih orang yang baik konneksinya dengannya atau kekeluarganya atau disebabkan kemurahan hati kandidat terha dap si pemilih. Justeru itu sangguru yang benar dan bijaksana akan menunjuk penggantinya, di mana beliau pasti mengenal pribadi yang sama perspectif dengannya, hingga pengajaran tersebut tetap lestari sebagaimana kebenaran yang dimiliki sang guru tadi.
EHMA AINUN NADJIB:
Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Us tadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.
"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mem pelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempe lajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melain kan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kela kuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Mu sik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman me nyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno- mu sik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial na manya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.
"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.
Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfiki ran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.