Rabu, 10 April 2013

SETIAP HARI ADALAH ASYURA, SETIAP BULAN ADALAH MUHARRAM DAN SETIAP TEMPAT ADALAH KARBALA.

Inilah Karbala dan disinilah Imam Hussein as serta keluarga dan sahabat setianya dibantai atas perintah Yazid bin Muawiyah yang mengaku sebagai khalifah, warisan ayahnya.




Bismillaahirrahmaanirrahiim


JADILAH HUSSEIN ATAU ZAINAB AL KUBRA,
KALAU TIDAK ANDA ADALAH YAZID.
HUSSEIN MENYIRAMI POHON ISLAM DENGAN DARAH DAN AIRMATA. ZAINAB MENYAMPAIKAN MISSI HUSSEIN HINGGA DIKETAHUI MANUSIA
DI DUNIA SEJAK DULU HINGGA KINI
BAHKAN SAMPAI MENEMUINYA
DI PANCUTAN KAUTSAR.
hsndwsp


Acheh - Sumatera








Kalimat demi kalimat baris demi baris dan alinia demi alinia telahpun berlalu hingga goresan bung Novendra Dj ini terbaca habis tanpa terasa lelah sedikitpun. Mengapa tidak, kisah yang diangkat adalah cucuanda Nabiullah, Imam Hussein as, Imam ke 3, ayahanda dari Imam Ali Zainal Abidin bin Hussein as. Sayang di Acheh sepertinya tak terbaca peristiwa yang demikian dahsyat dan menyayat hati bagi pribadi yang benar-benar beriman, bukan hipokrit alias hanya mengaku saja beriman sementara sepakterjangnya sepertinya tidak jauh berbeda dengan dupli kat Yazid bin Muawiyah itu sendiri.



Sebahagian orang yang mengaku bermazhab Syiah di pulau Jawa hanya terbatas dengan mengeluarkan airmata ketika memperingati hari syahidnya Imam Hussein di medan Karbala, tetapi setelah itu merekapun sepertinya tidak berbeda dengan pengikut Yaziz bin Muawiyah bin abu Sofyan, bersatupadu dalam system Hindune sia yang Yaziddin itu. Ini membuktikan bahwa mereka baru sebatas ilmu Syiah hingga mereka hanya mengetahui kalau Imam Hussein teranianya di Padang Karbala, namun tidak memiliki Ideology Imam Hussein yang pantang bersatupadu dalam system taghut zalim dan hipokrit. Sebahagian mereka memiliki banyak il mu tentang Syiah dan 12 Imamnya hingga mereka layak disebut Ilmuwan Syiah namun sebetulnya mereka masih belum apa-apa dan tidak jauh berbeda dengan Islam non Syiah. Untuk berguru tentang Syiah, tentang Karbala tentang Imam Hussein memang mudah tetapi untuk memahami Syiah Alawi (baca Syiah me rah), Imam Hussein dan Karbala diperlukan mendalami Ideologynya.



Kalau kita terbatas pada ilmu Syiah, Imam dan Karbala, kita belum mampu meli hat fenomena yang ditentang Syiah, para Imam dan Hussein di Karbala di jaman kita masing-masing. Justru itulah kita masih saja bersatu padu dan bahkan meng identifikasi dirikita sebagai fenomena dimana Yazid menjadi prototipenya fenome na tersebut. Itulah yang dinamakan Syiah hitam atau syiah dekaden. Syiah sejati atau syiah Alawi adalah syiah merah. Mereka bukan saja berilmu Syiah tetapi juga berideology syiah, para Imam dan Karbala.



Agama manapun memiliki dua wajah yang saling bertentangan, wajah dekaden dan wajah ideology. Islam berwajah dekaden seolah-olah melibatkan dirinya dalam kejahatan, menumbuhkan reaksionerisme, kelambanan, dan kelumpuhan. Agama Islam macam ini telah mengekang spirit kebebasan dan secara culas membenarkan status quo. Sedangkan Islam yang type lain, Islam ideology yang pantang bersatupadu dalam system Islam yang dekaden. Sudah barang pasti Islam Ideology tidak diperbolehkan tumbuh dan berkembang dalam sejarah oleh Islam dekaden. Justru di jantung bangsa-bangsa Muslim, sebagaimana kita keta hui, kebenaran dan cita-cita Islam sedang dikorbankan.



Dalam bentuknya yang tidak ideologis agama adalah suatu kumpulan keperca yaan turun-temurun dan perasaan individual, suatu imitasi terhadap upacara-upacara, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan agama dan praktek-praktek yang sudah berurat berakar dari satu generasi kegenerasi lainnya. Jenis agama sema cam ini menunjukkan semangat kolektif dari suatu kelompok masyarakat. Agama seperti ini tidak pernah nenemukan esensinya hingga memperlihatkan penen tangannya terhadap spirit dan semangat kemanusiaan yang sesungguhnya.



Praktek agama seperti ini sampai hari ini berkembang dan tumbuh subur dalam system yang hipokrit, dimana mereka mengaku beragama Muhammad tetapi mereka tidaklagi memiliki ideology Muhammad, Ali dan Hussein di Karbala. Sebahagian mereka dari kampung berpindah ke kota. Dikota mereka menimba ilmu diberbagai perguruan hingga memungkinkan mereka menjadi "orang besar" setelah bergabung dengan orang-orang pemerintahan. Mereka menjadi kaya, memiliki rumah yang luck, gaji yang tinggi dan mobil mewah. Namun kebanyakan mereka hidup miskin dan menderita tetapi mereka tetap berdaya upaya agar tidak ketinggalan ketika musim maulid tiba kendatipun Rasulullah sendiri melarangnya, namun mereka sepertinya tidak pernah mengetahui adanya larangan.
Tak obahnya seperti kebiasaan orang Kristian memperingati hari lahirnya Yesus, mereka tidak pernah memahami bahwa tgl 25 Desemeber itu bukan hari lahirnya Nabi Isa as tetapi hari lahirnya dewa matahari. Demikian juga pohon cemara yang mereka hias sebagai pohon Natal, padahal pohon tersebut takpernah eksist ditempat kelahiran Nabi Isa bin Maryam.http://www.youtube.com/watch?v=YDTC5n8mfzI&feature=related




Dikalangan Syiah jaman Syah Redha Palevi juga demikian kondisi masyarakat, dimana orang-orang miskin walau makanpun tak menentu, berdaya upaya walau dengan cara menabung guna membeli lampu pompa, rantai untuk flagelasi (me mukul - mukul tubuh dalam peringatan syahidnya Imam Hussein di Karbala), alat bunyi-bunyian dan jubah hitam. Ironisnya acara tersebut dikordinir penguasa. Pada hari Asyura malah semua orang dipaksakan harus mengalir airmata tetapi satu hari setelah itu atau esoknya pemerintah membuat hari bergembira dimana tidak dibenarkan seorangpun menangis kecuali ditangkap polisi. Jadi semua me reka (baca penguasa plus rakyatnya memang syiah tetapi syiah Safawi bukan syiah Alawi. Syiah Alawi tidak di benarkan berkembang sampai Imam Khomaini, Dr Ali Syariati, Murtadha Mutahhari cs muncul hingga mampu menggulingkan pe nguasa Safavid dan berdirinya system Islam Syiah Alawi yang sangat cemerlang sekarang ini.


Mudah - mudahan tulisan singkat ini menjadi renungan bagi banbgsa-bangsa yang sedang ter tindas di jaman kita ini. Kita harus belajar memahami Karbala hing ga menemukan fenomena karbala dikalangan kita masing-masing. Kita harus mampu memahami mana sosoknya Yazid di jaman kita, dikalangan kita dan mana sosok Hussein dikalangan kita masing-masing. Lalu bersatulah "Hussein-hussein" untuk meluluhlantakkan "yazid-yazid". Dengan cara demikianlah kita terlepas dari api Neraka, bukan hanya dengan mengalirkan air mata di hari Asyura dan berpu asa agar dapat pahala sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kita bersatupadu dalam system yang sama dengan system yang ditentang Imam Hussein as di Karbala.







Billahi fi sabililhaq

hsndwsp

di Ujung Dunia


notice:
Ketika kita menemui suatu fenomena yang haqqul yakin kebenarannya, kita harus haqqul yakin juga bahwa Allah mengharapkan kepada kita agar menyampaikan kepada orang lain. Pabila pihak yang sampai seruan kita itu tidak menggubrisnya sementara hal tersebut benar disisi Allah, menjadi saksi kelak di hari Kemudian (baca saat Allah menempelak manusia dengan Surah Yasin ayat 60 - 65). Sebaliknya, andaikata tidak kita sampaikan kepada orang lain kita ter masuk yang menyembunyikan kebenaran ilmu Allah. yang berakibat celaka dia khirat kelak. Justeru itulah Allah menuntut pada hambaNya yang telah menemukan kebenaran agar me nyampaikan ke pihak lain, betapapun resikonya, terkadang dicemoohi, dibenci dan bahkan dibu nuh sebagaimana mereka membunuh Ahlulbayt Rasulul lah, konon pula kita pe ngikut ahlulbayt nya. Andaikata fenomena yang haq itu tidak kita sampaikan kepihak lain, kita termasuk orang egois sejati disisi Allah, hendak masuk syurga sendirian. Allah tidak akan memasukkan ke dalam Syurga orang yang egois demikian. Allah memasukkan seseorang da lam Syurga melalui ajakan kita kepada orang lain. Justeru keyakinan seperti itulah saya berda ya upaya untuk menyam pai kan apa yang telah saya yakinkan ini, betapapun resikonya. Read more about tempelakan Allah: http://achehkarbala.blogspot.com/2009/09/tempelkan-yang-sangat-menyakitkan-bagi.html ngat-menyakitkan-bagi.html



Pentas Karbala,
Simbol PerlawananAtas Kebatilan
Refleksi Atas Kesyahidan Imam Husain bin ‘Ali
Oleh; Novendra Dj






Catatan sejarah umat Islam mengabadikan satu tragedi yang memilukan dan menohok jantung orang-orang muslim yang peka dengan agama dan hakikat kemanusiaan. Tepat pada hari ke-10 dibulan Muharram tahun 61 H, suatu peristiwa pembantaian sadis menimpa al Husain bin ‘Ali bin Abithalib beserta para pengikut setianya. Tragedi yang mengambil tempat di padang Karbala, Iraq ini menyisakan kepiluan dan kepedihan hati kaum mu’min. Bagaimana tidak, karena yang dibantai adalah cucunda Rasulullah saw, anak putri tercinta beliau, Fathimah az Zahra. Dan yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku umat Muhammad saw.

Sang kesatria dan hujjatullah dibantai oleh Yazid bin Mu’awiyah, salah seorang khalifah dinasti Umayyah. Mereka membunuh seorang putra Bani Hasyim demi memadamkan cahaya Islam dan memuluskan jalan nafsu keserakahan atas kekuasaan dan harta benda. Kesilauan dunia telah memperdayakan dinasti Umayyah, hingga mereka tega menumpahkan darah suci keturunan Rasulullah saw. Bala tentara kezaliman itu menggenangi tanah Nainawa (nama lain dari Karbala) dengan darah yang dialiri dari tubuh Imam Husain beserta pendukung setianya.

Perang antara Imam Husain bersama pengikut setianya dengan pasukan Yazid berlangsung tidak seimbang. Puluhan orang dari barisan beliau melayani serangan ribuan prajurit Yazid yang dibekali persenjataan lengkap. Sangat tidak adil jika dikatakan peristiwa Karbala tersebut adalah peperangan, melainkan sebentuk pembantaian. Sang petempur terakhir yang hidup (Husain) merenggang nyawa dalam keadaan teraniaya. Pribadi agung ini menjadi tonggak keteladanan, merelakan dirinya syahid dalam keadaan teraniaya demi pengabdiannya kepada Islam. Ia menjawab panggilan dan menjalankan dengan sempurna amanat Allah dan Rasulnya.

Tragedi Karbala sebuah peristiwa yang tidak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Bentuk pengorbanan dan ketabahan yang ditampilkan Imam Husain menjadi energi dahsyat bagi orang-orang yang yakin dengan janji-janji Rabba nya. Husain menjemput ajalnya di Karbala bukanlah berlatar putus asa atau pasrah pada takdir yang ditentukan Allah Swt untuknya. Tetapi dia datang dengan visi dan misi yang jelas, yaitu upaya penyelamatan dan mengembalikan eksistensi serta kemurnian agama kakeknya, Muhammad saw.

Kemurnian Islam sejak wafatnya Rasulullah saw mulai terkikis. Pelbagai penyelewengan terjadi akibat nafsu serakah sebagaian kalangan elit yang masih menyimpan dihati mereka bongkahan-bongkahan kebencian dan dendam kepada al Mustafa dan ahlulbaitnya, terutama kepada ‘Ali bin Abithalib. Keadaan yang mencederai citra Islam ini mendorong Imam Husain bangkit dan melawan, terutama setelah Mu’awiyah mencabik-cabik traktat perdamaian antara ia dengan Imam Hasan. Dimana traktat tersebut berisi kesepakatan bahwa kaum muslim akan memilih khalifahnya setelah meninggalnya Mu’awiyah. Namun Mu’awiyah dibalik itu berusaha memperoleh bai’at bagi Yazid, putranya. Dan mulai menebar fitnah atas ahlulbait Nabi, secara khusus terhadap pribadi Imam ‘Ali.

Namun pribadi seperti al Husain tidak tinggal diam dan pasrah membiarkan cahaya Islam redup. Dia tidak akan sudi membai’at dan membiarkan urusan umat Islam ditangan orang seperti Yazid. Al Husain memandang perlu membangun simbol lebih jelas antara kebenaran dan keadilan yang diwakili dirinya, dengan simbol kebatilan dan kezaliman yang diwakili Yazid bin Mu’awiyah. Tentunya langkah yang diambil al Husain tersebut membawa konsekuensi besar mengenaskan. Dimana kepedihan dan kedukaan dahsyat akan menimpa Rasulullah dan keluaganya beserta orang-orang yang setia pada agama yang hanif. Karena tipe Yazid tidak sungkan menumpahkan darah orang-orang yang menghalanginya, meskipun itu manusia agung seperti al Husain.

Kita bisa bayangkan bagaimana Imam Husain, cucunda kesayangan Rasulullah saw, dibantai dengan sangat biadab. Begitu juga sangat memilukan saat Ali Al Ashgar, bayi Imam Husain syahid dengan panah beracun menembus lehernya. Kekejaman terhadap keturunan Rasul saw ini senantiasa membuat kesedihan mendalam.

Tetapi di balik kesedihan itu, banyak makna lain terkandung dibalik pengorbanan dan syahidnya Imam Husain beserta para pengikutnya. Disitu tersimpan kisah heroik, sebelum menjemput syahidnya, Imam Husain dengan gagah berani melawan ribuan prajurit seorang diri. Ini mengisyaratkan pesan bahwa seorang muslim mesti tetap tegar melawan kezaliman. Bagaimana pun keadaannya.

Peristiwa karbala memotret dua sisi yang saling bertolak belakang. Barisan pengusung bendera haq satu pihak dan barisan kebatilan dipihak lain. Imam Husain beserta rombongannya datang ke tanah Karbala demi menegaskan tapal batas haq dan batil. Ia datang dengan kesadaran ilahiah, bahwa pengorbanan dan kucuran darahnya akan merobek tabir-tabir kejahilan dan kezaliman. Beliau menyadari bahwa umat Islam selanjutnya membutuhkan suatu tonggak inspirasi yang akan memompa spirit mereka dalam menentang penindasan dan ketidak adilan.
Disisi lain, perlakuan Yazid dan bala tentaranya terhadap Imam Husain, putri-putri Bani Hasyim, dan para pengikut setianya adalah mempertontonkan budaya ala rezim penindas. Peristiwa ini sungguh menegaskan bahwa antara haq dan kebatilan tidak akan pernah bisa bercampur. Haq tidak akan pernah tunduk dihadapan lawannya, keduanya senantiasa berhadap-hadapan. Semangat perlawananan atas kezaliman mesti senantiasa dipupuk, dijadikan spirit yang mengakar dikalangan umat Islam. Jika tidak, maka kezaliman akan merasa aman memegang kendali, dan ia juga bisa menyelubungi dirinya dengan jubah kebenaran, dan topeng keadilan.

Keprihatinan kita, Peristawa Karbala seperti terlupakan oleh umat Islam mayoritas. Entah karena sengaja demi menyelamatkan muka umat Islam dari rona buram lembaran sejarah pilu. Namun demikian, tidak bisa dihindari, sejarah umat ini ternyata tidak semulus dalam lembaran buku-buku yang popular beredar ditengah-tengah kita. Pelbagai fakta terkait tragedi-tragedi menyayat hati turut memburamkan fenomena umat ini. Diantara peristiwa besar dan terpenting serta layak dikenang, adalah tragedi Karbala.

Tragedi menyesakkah hati ini memang hanya akrab dan selalu dikenang oleh umat Islam dari mazahab Syiah. Kalangan umat Islam yang memiliki loyalitas tinggi pada ahlulbait Nabi saw ini melihat peristiwa tersebut sebagai pembuka mata umat Islam atas batasan haq dan batil yang tidak mungkin dicapur satu sama lain.

Membangunkan kesadaran umat bahwa Islam beserta kebenaran dan keadilan yang diusungnya mesti senantiasa diperjuangkan, meskipun harus dibayar dengan penderitaan dan darah sekalipun. Dan mereka senantiasa menjadikan kenangan Asyura sebagai wadah membangun spirit untuk bangkit, loyalitas pada kebenaran, dan senantiasa menolak kezaliman dan penindasan.

Namun demikian, pembelajaran ataupun hikmah Asyura bukanlah monopoli Islam Syiah saja. Sejatinya peristiwa ini menjadi spirit bersama umat Islam dari kalangan manapun yang setia dengan ajaran Rasulullah saw, yang menginginkan batasan haq dan batil tetap dikenali, dan keadilan ditegakkan. Karena Imam Husain telah menggoreskan tonggak keteladanan – dengan kemuliaan pengorbanannya demi kemurnian dan tegaknya agama Muhammad saww – dan men jadikannya sebagai pesan agung, bahwa duduk bersanding dengan penindas dan keza liman itu sendiri adalah aib dan kehinaan. Dan ummat Islam dituntut untuk senantiasa berada dalam kemuliaan, penyampai kebenaran, dan pengimplementasi keadilan. Labbaika ya Imam Hussain...


 2 komentar:

Mardawiyyah21 Desember 2010 04.33

subhanallah...cantik dan jelas sekali penjelasan saudara..
BalasHapus

ACHEH - KARBALA28 Agustus 2012 08.45

Komen dari hsndwsp: Kata "monopoli" yanbg digunakan Novendra adalah keliru dan terkesan negatif. Sepertinya Novendra tidak sadar bahwa yang menzalimi Imam Hussein, keluarga dan pengikut setianya di Karbala Irak juga mengaku diri mereka sebagai muslim walaupun Allah sendiri telah menyatakan: "wamahum bimukminin" (QS, Al Baqarah 8)






Selasa, 02 April 2013

MASIH BANYAK LITERATUR SYAHID DR 'ALI SYARI'ATI YANG BELUM KITA ANGKAT

PARADIGMA KAUM TERTINDAS
BY DR 'Ali Syari'ati




Source: Paradigma Kaum Tertindas

Hijrah bukanlah sekedar suatu peristiwa sejarah, bukanlah sekedar perpindahan sejumlah sahabat dari Mekkah ke Abissinia maupun ke Madinah atas perintah Rasul.

Janganlah dianggap sama dengan perpindahan sekelompok masyarakat primitive atau berperadaban rendah dari suatu tempat ke tempat lain.

Hijrah adalah suatu konsep yang sangat luhur dan merupakan konsep yang sama sekali baru, jadi bukan hanya sekedar suatu peristiwa sejarah yang sederhana. Bahkan para Philosof sejarah belum memberikan perhatian yang cukup atas masalah hijrah ini, walau pun selama ini hijrah merupakan faktor utama kebangkitan peradaban sepanjang zaman.

Dalam sejarah kita mengenal banyak peradaban, dan semuanya terlahir dari peristiwa hij rah. Sebaliknya tidak pernah dicatat dalam sejarah ada suatu suku bangsa yang berkem bang tanpa terlebih dahulu harus meninggalkan tanah asalnya dan berhijrah. Dan Al-Qur’an menyebutkan perintah tentang hijrah dalam banyak sekali kesempatan menunjuk kan betapa pentingnya konsep ini.


Semua peradaban di dunia ini [dari Amerika sampai Sumeria], semuanya tumbuh dari pro ses hijrah. Suatu masyarakat primitif akan tetap primitif selama mereka tidak mau mening galkan negerinya sendiri. Mereka baru akan mencapai suatu peradaban setelah melaku kan hijrah dan menetap di suatu negeri baru.


Dilema sosiologi dan sejarah

Apa sih sebenarnya yang merupakan faktor dasar dalam perubahan dan perkembangan masyarakat? Faktor dasar apa yang membuat masyarakat tiba tiba berubah dan berkem bang, atau tiba tiba rusak dan merosot? Faktor yang kadangkala menyebabkan suatu ma syarakat berhasil melakukan suatu lompatan positif ke depan, yang, secara total mengu bah wataknya, semangatnya, tujuannya, dan bentuknya, dalam kurun waktu satu atau dua abad, yang mengubah sama sekali pola hubungan perseorangan dan sosialnya.

Selama berabad abad orang terus mencari jawaban atas pertanyaan ini, terutama semen jak abad terakhir. Semua aliran sosiologi dan sejarah telah sama mencurahkan perhatian untuk menemukan jawabannya. Yang jadi pertanyaan dasar adalah: Apakah yang menja di “motor“ sejarah, yang meruapakan faktor dasar dalam perkembagan dan perubahan masyarakat?

Kilat di Malam Hari

Berbagai aliran berbeda pendapat mengenai hal ini, tiap aliran punya “jago”nya masing masing. Ada beberapa aliran yang sama sekali gak percaya sama sejarah, dan mengang gapnya hanya kumpulan kisah kuno yang tercecer, sehingga mereka juga menolak jika ada angapan bahwa sosiologi juga harus memiliki hukum hukum, kaidah atau prisnsip prinsip yang baku. Sehingga timbullah anarkisme ilmiah, yang bersikap pesimistis terha dap filsafat sosiologi dan humaniora, dan berpendapat bahwa yang jadi faktor dasar ada lah serba kebetulan. Semua hal yang terjadi itu kebetulan semata.

Kelompok lainnya adalah golongan materialis yang dimana mereka menganut paham determinisme sejarah. Menurut mereka, sejarah dan masyarakat sejak awalnya sampai sekarang adalah bagaikan sebatang pohon daunnya rindang, tidak memiliki kemauan sen diri. Berawal dari benih, bertunas, muncul di permukaan tanah, tumbuh bercabang dan berdaun, lalu berbunga, mekar di musim semi dan layu di musim gugur, mencapai pun cak pertumbuhannya dan akhirnya ambruk ke tanah. Kelompok ini percaya begitulah se jarah, terdapat hukum hukum yang menentukan kehidupan masyarakat dalam sejarah, seperti laiknya hukum gravitasi, jadi manusia tidak dapat mempengaruhi masyarakatnya karena masyarakat adalah gejala alam yang berkembang sesuai dengan faktor faktor dan hukum hukum alam.

Kelompok ketiga terdiri dari atas mereka yang memuja para pahlawan dan orang orang besar, termasuk golongan ini adalah mereka yang menganut paham fasisme dan nazi, menurut mereka hukum adalah alat mereka yang berkuasa, karena itu gak ada ngaruh nya buat masyarakat. Orang awam, palagi dari golongan rendah, tidak pernah turut serta dalam perubahan masyarakat. Mereka hanyalah alat bagi orang orang lain. Satu satunya faktor fundamental untuk mengubah atau memajukan masyarakat adalah pribadi besar.

Menurut kelompok ini, nasib masyarakat dan umat manusia tergenggam dalam tangan orang orang besar, yang bertindak sebagai pemimpin masyarakat. Karena itu kebahagia an maupun kebinasaan suatu masyarakat tidaklah tergantung pada massa rakyatnya, bu kanlah akibat hukum hukum lingkungan dan adat, serta bukan pula kebetulan. Semua nya semata mata bergantung pada orang orang besarnya, yang sesekali muncul dalam dalam masyarakat untuk merubah nasib masyarakatnya dan adakalanya bahkan nasib ummat manusia.

Ada pula yang berpendapat bahwa rakyat, masyarakat secara umum, mempunyai pera nan dalam menentukan nasib mereka. Namun tidaklah ada satu ajaran, bahkan tidak ju ga pada paham demokrasi dalam bentuknya yang kuno maupun yang modern, yang me negaskan bahwa rakyat merupakan faktor fundamental dalam perkembangan dan peruba han sosial.

Menurut berbagai ajaran demokrasi, bentuk pemerintahan terbaik adalah ketika dimana rakyat turut berpartisipasi di dalamnya. Tapi sayang sungguh sayang, sejak zaman de mok rasi Athena hinga dewasa ini, tidak ada satupun dari ajaran ini yang menegaskan bahwa rakyat menjadi faktor dasar dalam perubahan dan perkembangan sosial, bahkan para sosiolog yang paling demokratis pun tidak. Malah sebaliknya, yang mereka andalkan sebagai faktor penentu ialah determinisme, pemimpin besar, golongan elite, peristiwa kebetulan, atau kehendak Tuhan.

Para pemuja orang besar [kelompok ketiga tadi], dapat dibagi jadi 2 golongan. Golongan pertama yaitu mereka yang berpendapat bahwa yang mengubah masyarakat manusia adalah tokoh tokoh besar seperti Budha, Musa, atau Yesus. Golongan ini adalah pemuja pahlawan murni. Sedangkan menurut golongan lainnya, yang mula mula muncul adalah seorang pemimpin, lalu di ikuti oleh sekelompok elite, yang merupakan para genius yang terlahir dalam keadaan khusus, sehingga terbentuklah suatu tim. Tim inilah yang memim pin masyarakat menurut jalan dan pada tujuan yang mereka pilih, golongan ini mungkin lebih tepat disebut sebagai pemuja elit.

Dalam Islam dan Al-Qur’an tidak ditemukan satupun dari teori teori di atas. Dalam panda ngan Islam, Rasul merupakan pribadi terbesar, dan jika Islam mengandalkan peranan Rasul sebagai faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial, berarti Islam mengakui pula semua nabi, khususnya nabi Muhammad, sebagai faktor fundamen tal dalam perubahan dan perkembangan sosial.

Namun, ternyata tidaklah demikian. Tugas dan karakteristik Rasul jelas sekali tertera dalam Al-Qur’an, ialah menyampaikan risalah. Beliau bertanggung jawab untuk menyam paikan risalah, beliau adalah seorang yang memperingatkan dan menyampaikan berita gembira. Dan ketika Rasul bersedih hati karena ummat tidak menyambut risalah beliau sehingga beliau tidak berhasil memimpin mereka sebagaimana yang beliau harapkan, maka berkali kali Allah menyatakan pada beliau bahwa tugas beliau hanyalah menyampai kan risalah, memperingatkan manusia, dan membawa kabar gembira, menunjukkan jalan bagi mereka. Sama sekali beliau tidak bertanggung jawab atas keruntuhan ataupun keja yaan mereka, karena yang bertanggung jawab adalah rakyat sendiri.

Menurut Al-Qur’an, rasul bukanlah penyebab aktif perubahan dan perkembangan funda mental dalam sejarah manusia. Tetapi beliau dilukiskan sebagai pembawa risalah yang bertugas menunjukkan ajaran dan jalan kebenaran pada manusia. Dengan berbuat demi kian sempurnalah tugas beliau, dan terserahlah kepada manusia apakah akan memilih ke benaran atau mengingkarinya, apakah akan menerima petunjuk atau memilih kesesatan.

Islam gak kenal ama kebetulan, karena semua berada di tangan Allah. Islam menolak adanya sesuatu yang terjadi secara kebetulan, [things happen 4 a reason], tanpa sebab atau tujuan, baik dalam alam maupun dalam masyarakat manusia. Bila dalam Al-Qur’an disebutkan tentang tokoh tokoh besar, selain para Nabi, maka seringkali itu dihubungkan dengan kutukan atau cercaan atas mereka. Kalaupun mereka disebut karena ketakwaan dan kesalehan mereka, Al-Qur’an tidak pernah mengangap mereka sebagai faktor efektif dalam masyarakat mereka.

Maka kesimpulan yang dapat ditarik dari ajaran Al-Qur’an ialah, bahwa menurut Islam faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial bukanlah pribadi pribadi sang pemimpin, bukan pula kebetulan, ataupun hukum hukum yang berlaku umum dan abadi.

Pada umumnya, setiap ajaran, setiap agama, setiap Nabi, dialamatkan kepada mereka yang sekaligus juga merupakan faktor perubahan sosial yang fundamental dan efektif di dalam ajaran itu. Demikianlah Al-Qur’an dialamatkan kepada an-nas, yaitu rakyat. Rasul diutus kepada an-nas, Beliau berbicara kepada an-nas, an-nas lah yang bertanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri, an-nas lah yang menjadi faktor dasar kemerosotan, ringkasnya an-nas lah yang memikul seluruh tanggung jawab terhadap masyarakat dan sejarah.

Kata an-nas ini penting sekali. Ada beberapa persamaan dan sinonimnya. Tapi satu satu nya yang mirip dengan kata itu, baik secara struktural maupun fonetik, ialah kata “mas sa”. Dalam sosiologi, massa terdiri dari segenap rakyat yang merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang terdapat dalam kalangan mereka. Karena itu “massa” berarti rakyat itu sendiri, tanpa menunjuk pada kelas atau bentuk so sial tertentu.

Pengertian an-nas tepat sama seperti itu, ialah rakyat, tanpa arti tambahan apa apa. Al-Qur’an juga menyebut manusia dengan kata kata insan dan basyar, tapi kedua kata ter sebut maisng masing menunjuk pada nilai nilai etis dan hewani yang terkandung dalam diri manusia.

Dari sini dapat kita tarik kesimpilan esbebe: Islam adalah ajaran sosial pertama yang yang mengandalkan massa sebagai faktor dasar yang sadar – yang menentukan sejarah dan masyarakat bukan mereka yang terpilih sebagaimana pendapat Nietzsche, bukan para aristokrat dan ningrat sebagaimana yang di kemukakan Plato, bukan tokoh-tokoh besar nya Carlyle dan Emerson, bukan mereka yang berdarah murni yang digambarkan oleh Alexis Carrel, bukan pula para pendeta atau intelektual, melainkan massa.

Keluhuran ajaran Islam ini akan benar benar kita sadari bila kita membandingkannya dengan ajaran ajaran lain. Kepada siapakah ajaran ajaran lain itu dialamatkan? Diantara nya ada yang dialamatkan kepada kelas terpelajar dan intelektual, yang lain dialamatkan kepada suatu kelompok pilihan tertentu dalam masyarakat. Ada yang dialamatkan kepada suatu ras unggul, ada yang dialamatkan kepada manusia-manusia super, ada yang me musatkan perhatiannya pada suatu kelas tertentu dalam masyarakat, seperti kelas prole tar atau kelas borjuis.

Kitapun dapat menyimpulkan dari Al-Qur’an. Al-Qur’an dialamatkan kepada rakyat dan rakyatlah yang menjadi poros serta faktor fundamental dalam perkembangan dan peruba han sosial. Merekalah yang bertanggung jawab dihadapan Allah. Akan tetapi, bersamaan dengan itu pribadi pribadi besar, kebetulan, dan tradisi juga bisa mempengaruhi nasib masyarakat. Jadi menurut Islam, ada empat faktor fundamental perkembangan dan peru bahan sosial:

Pribadi Besar

Tradisi

Kebetulan

Rakyat [An-nas]

Sedikit tentang tradisi, sepanjang ajaran Islam dan Al-Qur’an, mengandung makna bah wa setiap masyarakat mempunyai jalan serta watak tertentu, yaitu bagaikan makhluk hi dup. Disamping rakyat bertanggung jawab atas nasibnya, maka setiap individu anggota masyarakat pun bertanggung jawab atas nasib mereka masing masing. Jadi ada pertang gung jawaban kolektif dan pertanggung jawaban individual.

Pada setiap tahap masyarakat, sesuai dengan kondisinya, salah satu dari ke empat faktor diatas akan lebih berpengaruh dari yang lainnya.

Dalam ajaran Islam, pribadi Rasul mempunyai peranan dasar dan konstruktif dalam mem bawa perubahan, perkembangan dan kemajuan, dalam membangun peradaban yang akan datang dan mengubah jalan sejarah. Sebabnya adalah beliau tampil di suatu lokasi khusus, jazirah arab yang dari sudut pandangan peradaban keadaannya sama dengan letak geografisnya. Jazirah itu dikitari ke tiga sisinya oleh lautan, tapi ia senantiasa haus dan gersang. Ia bertetangga dengan peradaban-peradaban besar dalam sejarah; di Uta ra, peradaban Yunani dan Byzantium, di Timur, peradaban Persia, di Tenggara, pera daban India, di Barat-laut, peradaban Iram-Ibrani. Ia pun bertetangga dengan agama aga ma Musa, Isa dan Zarathustra, aupun dengan keseluruhan peradaban Arya dan Semit. Pada waktu tampilnya Rasul Islam, semua peradaban yang ada mengumpul di sekeliling jazirah arab. Tapi tidak membekas disana.

Pada umumnya ada 5 faktor yang membangun pribadi seseorang. Pertama, Ibunya yang memberikannya struktur dan dimensi ruhaniahnya.

Faktor yang kedua, adalah ayahnya yang memberikan dimensi lain sesudah ibunya.

Faktor ketiga, adalah sekolahnya.

Faktor ke empat adalah masyarakat dan lingkungannya.

Faktor ke lima adalah kebudayaan umum masyarakat ataupun kebudayaan umum dunia secara keseluruhan.

Nah, khusus untuk Rasulullah, ternyata tidak satupun dari faktor faktor tersebut diatas yang telah mempengaruhi ruhani beliau. Sebaliknya, Allah sengaja menghendaki bahwa ruhani beliau terbebas dari acuan atau bentuk, agar ruhani beliau tidak sampai tersentuh bentuk buatan atau yang ditanamkan menurut selera zaman dan lingkungan, sebab pribadi besar itu justru hadir untuk menghancurkan segala acuan. Andaikata beliau sempat tumbuh dalam salah satu acuan demikian, tentulah tidak akan pernah berhasil menjalankan tugas beliau. Mungkin, misalnya, beliau menjadi seorang dokter besar, tapi hanya menurut model yunani, atau mungkin jadi filsuf agung, tapi hanya menurut model Persia, atau jadi tokoh besar, tapi hanya model yang diperkenankan zaman.

Itulah sebabnya Rasul dilahirkan dalam keadaan yatim. Meskipun mempunyai ibu, namun beliau terpelihara dari segala bentuk dan acuan. Sejak awal kanak-kanaknya beliau telah di hijrahkan ke gurun pasir, padahal ibunda beliau masih hidup. Menjadi kebiasaan orang Arab ketika itu untuk mengirimkan bayi bayi mereka ke desa desa di gurun pasir, sampai mereka berumur dua tahun, sehingga masa kanak kanak mereka lewatkan di gurun, sesu dah itu barulah mereka kembali ke kota untuk diasuh dan dibesarkan oleh ibu mereka sendiri. Bertentangan dengan kebiasaan ini, Muhammad Rasulullah begitu pulang ke Mekkah kembali lagi ke gurun, dan tinggal disana hingga usia 5 tahun. Ibunda beliau wafat tidak lama kemudian. Langkah langkah Ilahi yang penuh hikmah da ghaib telah me melihara, dari pengaruh semua bentuk dan acuan yang ada, dan untuk membentuk sua tu acuan baru. Kemudian kembali tangan Allah dan nasib mengarahkannya dari kota ke gurun, dengan dalih menjadi gembala, agar lingkungan kota jangan sampai mengesan kan bentuk pada jiwa yang harus berkembang bebas. Lagi pula, agar supaya jangan sampai ada pengaruh masyarakat dan zaman atas Rasul, maka beliau telah dilahirkan dalam suatu masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan umum. Tambahan lagi, beliau adalah buta-huruf agar acuan sekolah pun tidak sampai membekas pada beliau.

Jelaslah bahwa keistimewaan serta kelebihan terbesar seorang yang harus melaksanakan tugas semacam itu adalah justru bahwa dia dibebaskan dari segala macam bentuk dan acuan yang telah diterima zamannya, yang membentuk manusia menurut suatu stereo type. Karena orang yang ditakdirkan untuk membinasakan segala berhala, menutup semua akademi dan menggantikannya dengan masjid, orang yang ditakdirkan untuk menghancurkan semua bentuk dan acuan rasial, nasional, maupun regional, sekali kali tidak boleh sampai menerima pengaruh sesuatu bentuk demikian.
Manusia dan Agama

Hanya ada dua cara untuk mengenal seorang tokoh besar, dan keduanya harus ditem puh secara serentak.

Cara pertama ialah dengan menyelidiki karya karya intelektual, tulisan, ceramah, teori-teorinya, maupun buku bukunya. Untuk mengenalnya kita perlu mengetahui ide ide dan apa yang diyakininya. Tapi ini pun belumlah cukup untuk memahami tokoh yang bersang kutan, karena banyak hal dalam kehidupannya yang tidak sampai tercermin dalam karya karya, tulisan-tulisan, maupun pernyataan pernyataannya, atau mungkin juga tercermin disana, namun sukar ditangkap. Maka cara yang kedua, yang melengkapi cara yang per tama, serta memungkinkan kita untuk memahami tokoh itu secara paripurna ialah dengan mempelajari biografinya serat mencari jawab atas pertanyaan pertanyaan seperti: Dimana dia Lahir? Bagaimana keluarganya? Apa bangsa dan negerinya? Bagaimana masa kanak kanaknya? Bagaimana pendidikannya? Dalam lingkungan seperti apa dia dibesarkan? Dimana ia belajar? Siapa guru gurunya? Peristiwa peristiwa apa yang dialami semasa hidupnya? Apa saja kegagalan dan keberhasilannya?

Demikianlah ada 2 metoda untuk mengenal seseorang dan kedua duanya harus dilaku kan, pertama menyeldiki pikiran dan keyakinannya dan kedua, mempelajari biografinya dari awal sampai lahir.

Nah disinilah agama itu mirip manusia. Ide ide agama kita temukan sarinya dalam buku nya, “al-kitab”nya, yang merupakan dasar ajaran yang didakwahkannya kepada manusia. Sedangkan biografi suatu agama adalah sejarahnya.

Demikianlah ada 2 metoda dasar untuk mempelajari Islam secara tepat, persis dan sesuai dengan metodologi dewasa ini. Pertama dengan mempelajari Al-Qur’an, sebagai himpu nan ide serta produk ilmiah dan sastra. Kedua, dengan mempelajari sejarah Islam, yaitu seluruh perkembangan yang pernah dialami Islam sejak awal risalah Rasul hingga hari ini.

Kedua metoda diatas kiranya telah cukup jelas, namun sayang studi tentang Al-Qur’an maupun sejarah Islam dalam kalangan kita sekarang ini masih lemah.

Dalam bukunya “Malam Imperialisme”, Farhat Abbas mengatakan, kebangkitan sosial di negeri negeri Afrika Utara; Maroko, Ajlazair, dan Tunisia, berawal dari kedatangan Muham mad Abduh ke sana untuk mengajarkan tafsir Al-Qur’an, yang dalam pendidikan agama disana tidak diajarkan.

Jelas bahwa penulis buku itu, yang dia sendiri tidaklah berorientasi religius, beranggapan bahwa awal kebangkitan dan perkembangan religius di negeri negeri Afrika Utara terjadi ketika kaum Muslimin disana beserta para ulama mereka mengeyampingkan pelajaran tentang pelbagai ilmu agama dan kembali mencurahkan perhatian mereka kepada Al-Qur’an dan mempelajari isinya.


Manusia dan Islam

Bahasa agama, terutama agama semit, yang kita imani nabi nabinya adalah merupakan bahasa simbolis. Maksudnya bahasa yang menyampaikan maksud melalui tamsil dan symbol bahasa terbaik dan tertinggi yang pernah ada. Maka dari itu nilainya lebih dalam dan abadi daripada bahasa eksposisi, yakni bahasa yang jelas dan eksplisit serta me nyampaikan maksud secara langsung. Bahasa yang sederhana dan jelas, yang tidak mengandung simbol dan tamsil, untuk tujuan pengajaran mungkin lebih mudah, tapi tidak mengandung keabadian. Karena sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Mesir kenamaan, Abdel Rahman Al Badawi, suatu agama yang menjelaskan semua ide dan ajarannya dalam bahasa yang sederhana, unidimensional, dan terus terang tidak akan tahan lama.

Agama di alamatkan kepada berbagai macam dan kelas manusia, baik awam maupun terpelajar. Lagipula mereka bukan hanya dari satu generasi dan zaman saja, melainkan terdiri atas rangkaian aneka ragam generasi yang saling menyusul sepanjang sejarah. Karena itu untuk menyampaikan konsep konsepnya agama harus mempergunakan bahasa yang serba bisa dan berisi banyak alias multi tafsir.

Itu juga sebabnya kenapa agama agama harus mempergunakan bahasa simbolis, agama agama itu dialamatkan kepada aneka ragam jenis dan generasi manusia. Banyak konsep yang terkandung dalam agama tidak begitu jelas dipahami orang pada waktu konsep itu pertama kali dikemukakan. Karena itu kisah kejadian Adam, yakni kisah kejadian manu sia, disampaikan secara simbolis.

Bagaimanakah kejadian manusia menurut pandangan Islam? Bermula ketika Allah berfirman pada para malaikat “Aku hendak menciptakan khalifah di bumi”. Disini bermula aspek simbolis kisah itu, Allah menghendaki untuk menciptakan khalifah-Nya dari tanah permukaan bumi. Mungkin ada yang bertanya Tanya dalam hatinya kenapa Allah nggak memilih bahan yang sedikit lebih suci dan lebih berharga, malah sebaliknya. Dia telah memilih zat yang sangat rendah dalam menciptakan Adam. Al-Qur’an menyebutkan pada tiga tempat tentang bahan asal manusia. Mula mula Al-Qur’an mempergunakan ungka pan “lempung tembikar” (QS 55:14) yakni lempung endapan yang kering. Lalu Al-Qur’an menyebutkan, “Kuciptakan manusia dari lempung berbau” (QS 15:26) yakni lempung bu suk. Kemudian dipergunakannya kata tin, juga berarti lempung (QS 6:2, 23:12). Demi kianlah Allah menghendaki menciptakan khalifah-Nya. Khalifah yang mulia ini dibentuk nya dari lumpung kering, lalu dihembuskan-Nya ruh-Nya kedalamnya, maka jadilah manusia.

Dalam bahasa manusia, lumpur adalah symbol kenistaan terendah. Tidak ada makhluk yang lebih rendah adripada lumpur. Kembali kedalam bahasa manusia, dzat yang paling luhur dan paling suci ialah Allah, dan bagian yang paling luhur dan paling suci dari tiap dzat adalah ruhnya. Manusia, wakil Allah, diciptakan dari lumpur, dari lempung endapan, dari bahan terendah di dunia ini, lalu Allah menghembuskan kedalamnya bukan darah-Nya, bukan raga-Nya atau semacam itu, melainkan ruh-Nya, yakni sebutan untuk bagain yang paling terhormat yang terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia. Allah ada lah Zat termulia, dan ruh-Nya adalah suatu konsep terluhur sepanjang akal fikiran manu sia.

Demikianlah manusia terdiri atas dua anasir yang saling bertentangan, yaitu lumpur dan ruh Allah, kemuliaan dan keistimewaannya justru karena sifatnya yang bidimensional. Jarak anatara kedua dimensinya adalah jarak anatar lumpur dan ruh Allah. Setiap ma nusia dikaruniai dengan dua dimensi ini, terserah apa kehendaknya, Apakah ia akan terperosok kedalam kutub endapan lumpur yang ada pada dirinya. Ataukah ia akan me ningkat ke arah kutub mulia, yakni kearah Allah dan ruh Allah. Dan terjadilah pertaru ngan terus menerus dalam diri manusia, yang baru akan berakhir bila ia telah meman tapkan pilihannya pada salah satu kutub itu sebagai determinan hidupnya.

Setelah menciptakan manusia, Allah mengajarkan nama nama kepadanya. Apa maksud nya Allah mengajarkan nama nama pada manusia? Wallahu’alam. Setiap orang bisa menyatakan pendapatnya, dan setiap penafsir dapat mengemukakan tafsirnya sendiri. Masing masing menafsirkannya sesuai dengan pandangan dan jalan pikirannya. Tetapi terlepas dari mana tafsir yang tepat untuk itu, maka tidak bisa disangsikan lagi bahwa pengajaran adalah merupakan pusat perhatian Islam. Setelah menyelesaikan kejadian manusia, Allah mengajarkan nama nama kepada khalifah-Nya sehingga jadilah manusia pemilik nama nama itu. Para malaikat lalu memprotes, “Kami diciptakan dari api tanpa asap, sedangkan manusia diciptakan dari lempung, kenapa engkau melebihkannya dari kami?” Allah menjawab “Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui; bersujudlah ke pada makhluk-Ku ini” Segenap malaikat Allah diperintahkan untuk bersujud kepada makhluk ini.

Inilah humanisme sejati. Perhatikanlah, alangkah agungnya martabat dan kedudukan manusia. Sedemikian agungnya sehhingga semua malaikat diperintahkan bersujud pada nya. Meskipun secara inheren mereka memiliki keunggulan atas manusia dan meskipun mereka diciptakan dari cahaya, sedangkan manusia berasal dari lumpur dan lempung. Karena mereka memprotes, maka Allah menguji mereka. Allah menanyakan nama nama; mereka tidak tahu, tapi Adam mengetahuinya. Para malaikat kalah dalam ujian itu, ter buktilah keunggulan Adam karena pengetahuannya tentang nama nama. Konsep manu sia menurut Islam dijelaskan oleh bersujudnya para malaikat kepada Adam. Manusia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat, dan pengetahuan inilah yang mem buatnya lebih mulia dari para malaikat. Meskipun menurut ras dan asalnya malaikat lebih unggul dari manusia. Dengan perkataan lain, yang membuat manusia lebih mulia dan lebih bermartabat adalah pengetahuaanya, bukan keturunannya.

Satu hal yang menarik dari berkenaan dengan kejadian manusia ialah bahwa Allah me manggil semua makhluk ciptaan-Nya, segala gejala alam, benda benda mati, tumbuhan dan hewan, lalu berkata kepada mereka, “Aku hendak menawarkan suatu amanah kepadamu sekalian, bumi, langit, gunung, samudra dan hewan” [QS 33:72]. Semuanya menolak. Sebaliknya dan sebagai gantinya, manusia menerimanya. Maka jelaslah bahwa manusia memiliki keistimewaan dan keunggulan lain, karena keberaniannya menerima amanah yang semula di tawarkan Allah kepada seluruh makhluk lain, tetapi semuanya sama menolak. Manusia bukan hanya khalifah di dunia dan di bumi ini, tetapi ia pun sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an – merupakan pemelihara amanah-Nya. Apakah yang dimaksudkan dengan Amanah itu? Setiap orang bisa berbeda pendapat. Menurut Jalaudin Rumi, yang dimaksudkan dengan Amanah itu tidak lain dari kehendak manusia, kehendak bebasnya – Free will. Inipun merupakan pendapat saya.

Karena kehendak bebasnya maka manusia bisa unggul atas semua makhluk lain yang ada di dunia. Ia adalah satu satunya makhluk yang mampu menghadapi sifat nalurinya sendiri. Hewan atau tumbuhan tidak dapat berbuat demikian. Tidak pernah, misalnya kita menjumpai hewan yang secara sukarela berpuasa selama dua hari, ataupun tumbuhan yang bunuh diri karena gak kuat menanggung sedih. Tumbuhan atau hewan gak bisa berbakti atau berkhianat (maksudnya berkbakti pada manusia). Mereka itu nggak mungkin berbuat lain selain fitrah kejadian mereka. Hanya manusialah yang bisa berontak kepada fitrah kejadiannya. Ia bahkan bisa membangkang terhadap kebutuhan kebutuhan ruhani ataupun jasmaninya dan berbuat melawannya. Ia bebas, mau jadi orang baek atau jadi orang jahat, apakah ia hendak menyerupai lumpur atau hendak menyerupai Allah. Jadi Free Will – Kehendak, adalah harta milik manusia yang paling berharga.

Sehubungan dengan filsafat kejadian manusia menurut Islam kita bisa menarik kesimpu lan kesimpulan sebagai berikut:

Semua manusia bukan hanya sama, mereka adalah bersaudara. Antara kesamaan dan persaudaraan terdapat perbedaan yang cukup jelas. Kesamaan adalah konsep legal, sedangkan persaudaraan memancarkan keseragaman sifat beserta disposisi semua manusia. Bagaimanapun keanekaragamannya, manusia berasal dari sumber yang satu.

Pria dan wanita adalah sama. Berbeda dengan semua filsafat dunia lama, pria dan wanita diciptakan dari zat dan bahan yang sama, pada waktu yang sama, and oleh al-Khaliq, Sang Pencipta yang sama pula. Mereka adalah bersaudara, berasal dari ibu dan ayah yang sama.

Keunggulan manusia atas malaikat maupun seluruh makhluk lain berpangkal pada pengetahuan. Karena manusia mempelajari nama nama, maka malaikat jatuh bersujud dihadapannya. Mereka terpaksa tunduk, walaupun nasab mereka lebih tinggi dari manusia.

Dan yang paling penting adalah kedudukan manusia yang terletak antara lempung dan Allah. Karena ia memiliki kehendak, maka ia bisa memilih salah satu dari kedua kutub itu. Sementara itu, karena ia memiliki kehendak, maka dia harus bertanggung jawab. Menurut pandangan Islam, manusia adalah satu satunya makhluk yang tidak hanya bertanggung jawab atas nasibnya, tetapi juga untuk melaksanakan suatu tugas suci di dunia ini. Ia adalah pemikul amanah Allah.

Sekarang marilah kita perluas pengamatan kita. Sejarah telah mencatat tragedi besar, yaitu tidak diakuinya manusia sebagai makhluk bidimensional. Berlawanan dengan ajaran agama agama lain yang mengajarkan bahwa Tuhan dan syaitan senantiasa dalam keadaan bertempur dalam alam, maka menurut Islam, satu satunya kekuatan dalam alam ialah kekuatan Allah. Tetapi dalam diri manusia, disitulah syaitan melancarkan perang terhadap Allah. Manusia menjadi medan laga! Berbeda dengan agama agama sebelumnya, maka dualisme Islam menyatakan adanya dua “tuhan”, dua hipostasi dalam batin dan disposisi manusia, bukan dalam alam. Alam hanya mengenal satu hipostasi yang berada dibawah kehendak suatu kekuasaan tunggal, yakni kekuasaan Allah. Menurut Islam syaitan bukanlah lawan Allah, melainkan lawan manusia, atau mungkin lebih tepat, lawan terhadap belahan ilahiah diri manusia.

Tragisnya itu sekarang karena sejarah menunjukkan kepada kita bagaimana semua masyarakat dan peradaban selama ini di orientasikan kepada khusus pada akhirat dan penolakan dunia atau sebaliknya pada dunia debu ini. Padahal manusia itu makhluk bidimensional yang mengandung unsur Allah dan lumpur, karena itu ia memerlukan keduanya. Agama dan ideologi yang diyakininya serta mendasari hidupnya haruslah memenuhi serta memperhatikan kedua macam kebutuhan itu.

Jarak antara ruh Allah dan lempung busuk adalah jarak antara dua infinita. Manusia merupakan “keraguan”, setangkai pendulum yang berayun antara kedua arah itu, kehendak bebas yang berhadapan dengan pilihan yang rumit, apakah ia akan memilih ruh Allah, ataukah akan terbenam dalam lempung busuk, dibawah endapan lumpur.

Disatu pihak adalah yang luhur, kesempurnaan, keindahan, kekuasaan, kesadaran, kehendak mutlak tanpa hingga. Lebih luhur dan lebih agung dari apa yang bisa dibayangkan. Lepas dari segala sesuatu yang rendah, dangkal, keji, pasaran, dan picisan. Itulah akhirat. Di pihak lain ialah yang terendah dari yang rendah, kerusakan, keburukan, kelemahan, kebodohan, kemerosotan tanpa ujung, lebih nista, lebih buruk dan lebih congkak dari apapun yang bisa dibayangkan. Itulah dunia kini.

Jalan yang terbentang antara lempung dan Allah itulah yang disebut “agama”. Mengertilah kita bahwa agama berarti jalan, atau cara, wahana dan sarana, bukan tujuan. Semua kesengsaraan yang dialami umat umat beragama adalah akibat berubahnya jiwa dan tujuan agama. Peranan agama telah berubah. Agama telah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.

Bila kita telah mengubah jalan menjadi tujuan, beramal demi untuknya, menghiasnya, bahkan menyembahnya selama ratusan tahun dari generasi ke generasi, dan tergila gila kepadanya sehingga setiap kali disebut namanya atau setiap kali kita terpandang padanya maka mata kita basah berlinang air mata, lalu bila kita tersinggung dan marah jika ada orang lain yang nggak menyetujuinya, bila semua dana dan waktu kita curahkan untuk mendadani dan memperbaikinya, sehingga gak ada lagi waktu kita untuk urusan lain, bila kita hilir mudik berkepanjangan diatasnya, terus menerus mendiskusikannya, mengusapkan debunya bagaikan obat di mata kita, maka apa yang akan terjadi? Kita akan tersesat! Ya, jalan yang lurus dan benar ini bahkan akan membelokkan kita dan kita nggak akan sampe pada tujuan kita. Sesat setelah menemukan jalan begini ini jauh lebih buruk daripada kalo kita belum nemuinnya.

Kita dengar jalan yang benar dan lurus ini, jalan yang mulus dan suci ini, telah mengantarkan ribuan manusia pada tujuannya. Tapi seumur hidup kita telah terpaku padanya, sehingga akibatnya kita sama saja dengan orang yang keliru dan sesat jalan.

Kenapa? Karena eh karena kita telah menjadikan jalan itu sebagai tempat rekreasi. Kita telah menjadikannya semacam taman suci atau balai pertemuan. Coba perhatiin ummat Syiah. Menurut kepercayaan mereka, Imam adalah seorang yang memimpin dan membimbing mereka. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya mereka telah mengeramatkannya dan menganggapnya sebagai suatu yang gaib, sesuatu yang supra-manusiawi, yang dipuja, yang dicintai, disembah dan diluhurkan. Tapi gak leih dari itu! Agama sebagai keseluruhan, tokoh tokoh penting agama semuanya telah berubah menjadi tujuan dalam diri mereka sendiri, dan tidak mampu lagi membimbing kita pada tujuan yang sebenarnya. Shalat, misalnya, adalah suatu cara. Al-Qur’an menyatakannya sebagai cara untuk mencegah kekejian dan kemunkaran. Tetapi ungkapan ungkapan dan gerakan gerakan shalat telah menjadi tujuan dalam dirinya, sehingga meskipun pengetahuan kita tentang shalat telah semakin berkembang, semakin halus dan smeakin teknis, namun pengaruh aktual shalat kita telah menjadi semakin merosot.


http://www.youtube.com/watch?v=7pjaMAFZunQ



http://ekojuhairirismawan.blogspot.no/2011/04/pemikiran-ali-syariati.html