Senin, 14 Mei 2012

KHUTBAH FADAK; PENDAHULUAN KHUTBAH SAYYIDAH FATIMAH AZ ZAHRA




 

Qalbu diciptakan Tuhan bukan untuk di jadikan musuh yang selalu merintangi dan menentang segala gerak dan tindak kita, kita di perlengkapi dengan hati agar dapat memanfaatkan akal berlandaskan hati, jadikan hati nurani itu penasehat untuk memudahkan segala tindak dan gerak, dan memberi arah bagi segala amal dan usaha. Allah berkata:

 أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ( الحج:46)

Tidakkah mereka berjalan di muka bumi, agar mereka memiliki hati yang dengannya mereka dapat menggunkan akal, dan mereka memiliki telinga yang dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukan mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada yang buta.(QS, al Hajj: 46)















Semoga akan ada lanjutannya dari IRIB tentang "KHUTBAH SAYYIDAH FATIMAH AZ ZAHARA DA LAM HAL TANAH FADAK" Kebetulan kali ini masih menyangkut cara berpakaian yang benar bagi wanita saat keluar rumah. Setelah kita membaca surah Annur dan surah al Ahzab, wanita dimantapkan lagi pemaha mannya dalam hal berpakaian yang benar. Ini sangat penting bagi wanita muslim agar mereka tidak sekedar ikut-ikutan dalam berpakaian. Kalau Allah mengatakan "Celakalah orang yang Shalat" di surah al Ma'un", menyangkut orang yang tidak benar shalatnya, kita juga harus yakin bahwa betapa banyak wanita yang menu tup aurat tetapi disisi Allah belum termasuk yang menutup aurat. Terindikasi bukan pakaian saja dituntut yang mantap sesuai teladan anak kesayangan Rasulullah, Fatimah az Zahara tetapi juga tutur sapa dalam pergaulan dengan kaum lelaki. Dalam hal ini baik juga kita lihat blog berut ini: http://achehkarbala.blog spot. com/2009/10/hukum-menutup-auratberjilbab-nyakni_17.html


Khotbah Fadak; Pendahuluan Khotbah Sayidah Fathimah Az- Zahra



Minggu, 2012 Mei 13 08:05

Pembahasan khotbah Sayidah Fathimah az-Zahra as terkait masalah Fadak di Masjid Nabawi terjadi pasca meninggalnya ayah beliau, Nabi Muhammad Saw. Mensyarahi khotbah ini secara sempurna membutuhkan kesempatan yang lebih luas lagi, tapi saya berusaha menyampaikan pembahasan terkait masalah khotbah ini di antara terjemah dan syarah. Tentunya semua itu dengan pertolongan Allah Swt.

Sanad Khotbah Fadak
Dari sisi sanad periwayatan khotbah ini harus saya katakan bahwa ulama Syiah dan Sunni telah menukil khotbah ini dan periwayatan khotbah ini tidak khusus dinukil oleh Syiah. Karena ulama Ahli Sunnah menukil khotbah ini lewat jalur yang berbeda-beda. Salah seorang yang menukil khotbah ini adalah Ibnu Abil Hadid. Dalam bukunya Syarah Nahjul Balaghah di akhir surat yang ditujukan Imam Ali as kepada Utsman bin Hanif, Ibnu Abil Hadid menyinggung masalah Fadak dan ia mengutip khotbah ini yang diriwayatkan dari sanad yang berbeda-beda dari Ahli Sunnah.

Dari sejumlah periwayatan yang ada, Abdullah bin Hasan al-Mutsanna dikenal sebagai orang yang menukil khotbah ini. Hasan al-Mutsanna adalah keturunan dari Imam Ali as yang juga dikenal dengan sebutan Abdullah al-Mahdh (murni, -pen). Penyebutan itu dikarenakan ia dari silsilah ayahnya ia merupakan cucu Imam Hasan as dan begitu juga dari sisi ibu. Oleh karenanya mereka menyebutnya al-Madhdh yang berarti murni berasal dari Imam Hasan, baik dari sisi ayah maupun ibu.

Kembali pada masalah penukilan khotbah ini, Ibnu Abil Hadid menyebut dirinya menukil khotbah ini dari sanad Ahli Sunnah dan tidak ada hubungannya dengan periwayatan dari Syiah. Ibarat Ibnu Abil Hadid demikian:

وَاعْلَمْ اِنَّمَا نَذْكُرُ فِي هذَا الْفَصْلِ مَا رَوَاهُ الرِّجَالُ الْحَدِيْثِ وَ ثِقَاتُهُمْ وَ مَا اَوْدَعَهُ اَحْمَدُ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ الْجَوْهَرِى فِي كِتَابِهِ ...

"Wa'lam Innamaa Nadzkuru Hadza al-Fashl Maa Rawaahu ar-Rijaal al-Hadits wa Tsiqaatuhum wa Maa auda'ahu Ahmad ibnu Abdil Aziz al-Jauhari fi Kitaabihi..."

(Ketahuilah bahwa sesungguhnya kami hanya menyebut pasal ini sesuai dengan yang diriwayatkan oleh para perawi hadis dan mereka yang dapat dipercaya dan apa yang ditinggalkan oleh Ahmad Ibnu Abdil Aziz al-Jauhari di bukunya...)

Nama buku al-Jauhari adalah Saqifah wa Fadak (Saqifah dan Fadak). Buku yang cukup terkenal. Al-Jauhari sendiri dipercaya dalam meriwayatkan hadis dan termasuk ulama besar yang dipuji oleh ulama yag lain. Sementara khotbah ini banyak diriwayatkan dalam buku-buku hadis syiah seperti Bihar al-Anwar, al-Ihtijaj, Balaghaat an-Nisaa, As-Syaafi, Dalail al-Imamah, al-Tharaif, Kasyf al-Ghammah dan lain-lainnya.

Pergi Ke Masjid

Mukaddimah khotbah Sayidah Fathimah az-Zahra tentang Fadak memberikan gambaran tentang kondisi waktu,ruang dan banyak masalah lainnya yang terjadi waktu itu.

رَوَى عَبْدُاللهِ بْنِ الحَسَنْ بِاِسْنَادِهِ عَنْ آبَائِهِ

"Rawa Abdullah Ibnu al-Hasan bi Isnaadihi ‘an Aabaaihi"

(Abdullah Ibnu al-Hasan meriwayatkan dari ayah-ayahnya)

لَمَّا اَجْمَعَ اَبُو بَكْرٍ وَ عُمَرٍ عَلَي مَنْعِ فَاطِمَةَ فَدَكًا وَ بَلَغَهَا ذلِكَ

"Lamma Ajma'a Abu Bakrin wa Umaru ‘ala Man'i Fathimata Fadakan wa Balaghaha Dzalika"

(Ketika Abu Bakar dan Umar memutuskan –kata Ajma'a maknanya adalah memutuskan dan menghendaki- untuk mencegah tanah Fadak sampai ke tangan Sayidah Fathimah as, berita ini kemudian sampai kepada beliau)

لَاثَتْ خِمَارَهَا عَلَي رَأْسِهَا

"Laatsat Khimaraha ‘ala Ra'siha"

(Fathimah melilitkan kerudungnya di atas kepalanya)

Kata Laatsa berarti melilitkan. Misalnya kita mengatakan "Laatsa al-‘Ammamatu ‘ala Ra'sihi artinya Syaddaha wa Rabathaha yang berarti ia melilitkan ammamah atau sorban di kepalanya. Sementara kata Khimar merupakan kain penutup kepala yang lebih besar dari kerudung perempuan saat ini, sehingga dapat menutup kepala, leher dan dada. Kata ini juga disebutkan dalam al-Quran surat Nur ayat 31 yang artinya, "... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya ...".

Kata khumur merupakan bentuk jamak dari khimar. Maksudnya, ketika berita ini sampai kepada Sayidah Fathimah az-Zahra as, beliau bangkit dan memakai khimarnya (kain kerudung panjangnya). Sementara kata Laatsa berarti melilitkan. Dari kata khimar jelas sudah bahwa Sayidah Fathimah as memakai kain kerudung hingga menutupi leher dan sampai ke dada.

وَاشْتَمَلَتْ بِجِلْبَابِهَا

"Wa Isytamalat bi Jilbaabihaa"

(Kemudian beliau memakai jilbabnya)

Jilbab merupakan jenis pakaian yang menutup seluruh badan dan dipakai menutupi baju. Mungkin dapat disamakan dengan abaya saat ini, pakaian panjang Arab. Beliau memakai jilbab, pakaian yang menutup seluruh badannya.

وَ اَقْبَلَتْ فِي لُمَّةٍ (لَمَةٍ) مِنْ حَفَدَتِهَا وَ نِسَاءِ قَوْمِهَا

"Wa Aqbalat fi Lummatin (Lamatin) min Hafadatihaa wa Nisaa'i Qaumihaa"

(Dan beliau bergerak bersama orang-orang yang seusia, seiring, teman, penolong dan keluarga beliau (dari kata lumatin, sementara bila dari kata lamatin, berarti sepikiran).

Maksudnya, Sayidah Fathimah az-Zahra berjalan bersama sekelompok orang yang seusia, seiring, atau dari teman-teman, penolong dan dari keluarganya. Sampai pada potongan khotbah Fadak ini, yang ditekankan adalah bagaimana Sayidah Fathimah as berpakaian. Ketika beliau akan pergi ke masjid, dimana ada banyak pria di sana, bagaimana beliau mempersiapkan dirinya dari sisi berpakaian.

Poin penting lainnya adalah mereka yang bersama beliau bergerak menuju ke masjid. Sangat mungkin sekali bahwa mereka yang bersamanya bermaksud untuk menolong beliau. Kira-kira seperti yang terjadi saat ini, bila seseorang ingin tampil di sebuah pertemuan untuk menyampaikan pembelaan, maka ada sekelompok orang yang seide dengannya menyertainya. Tapi ada dua kemungkinan dari fenomena ini; pertama, pribadi lahiriah Sayidah Fathimah az-Zahra as tetap terjaga dan kedua, tubuh lahiriah beliau tidak tampak bagi para pria yang hadir di sana, berada bersama orang-orang yang menyertainya.

تَطَاُ ذُيُوْلَهَا

"Tathau Dzuyulaha"

(Beliau berjalan dengan menginjak bagian bawah pakaiannya)

Kata ini bisa berarti Sayidah Fathimah as ketika berjalan beliau menginjak bagian bawah pakaiannya, atau beliau berjalan dengan cepat karena kesal. Di sini dapat dipahami bahwa pakaian beliau begitu panjang, sehingga terkadang terinjak kakinya. Tapi mungkin juga dari ibarat ini dapat dipahami beliau jalan dengan cepat. Sebagai kelanjutannya,

مَا تَخْرِمُ مِشْيَتُهَا مِشْيَةَ رَسُوْلِ اللهِ

"Maa Takhrimu Misyatuhaa Misyata Rasulillah"

(Beliau berjalan seperti Rasulullah Saw berjalan)

Artinya, gaya jalan Sayidah Fathimah az-Zahra as tidak berbeda dengan cara Rasulullah Saw berjalan. Kata Misyah yang dalam kaidah sharaf sesuai dengan bentuk fi'lah memberikan arti bentuk dan cara. Yakni, cara berjalan Sayidah Fathimah az-Zahra as tidak kurang dari gaya jalan ayahnya. Gaya jalan Sayidah Fathimah as sama berwibawanya ketika Rasulullah Saw melangkahkan kakinya. Ringkasnya, selain gaya jalan beliau sama dengan ayahnya, Sayidah Fathimah as telah menampilkan gaya jalan yang sesuai dengan kepribadian seorang muslimah.

Dalam ibarat ini ada dua poin penting yang memberikan penjelasan tentang mengapa Sayidah Fathimah az-Zahra as berjalan ke masjid dengan cepat. Pertama, gaya jalan beliau sama seperti ayahnya yang penuh dengan kewibaan. Kedua, dikarenakan baju beliau yang panjang dan terkadang terinjak kaki beliau.

Memasuki Masjid

حَتَّى دَخَلَتْ عَلَي اَبِي بَكْرٍ وَ هُوَ فِي حَشْدٍ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَ الْاَنْصَارِ وَ غَيْرِهِمْ

"Hattaa Dakhalat ‘ala Abi Bakrin wa Huwa fi Hasydin min al-Muhajirin , al-Anshar wa Ghairihim"

(Sehingga beliau memasuki masjid, sementara Abu Bakar dikelilingi oleh orang-orang Muhajirin, Anshar dan yang lain-lain)

Kata Hasyd berarti kelompok atau sekumpulan. Artinya, ketika Sayidah Fathimah az-Zahra as memasuki masjid, di dalamnya telah ada Abu Bakar yang dikelilingi oleh banyak orang dari golongan Muhajirin, Anshar dan dari kelompok lainnya.

فَنِيْطَتْ دُوْنَهَا مُلَاءَةٌ

"Faniithat Duunahaa Mulaatun"

(Kemudian dibentangkan tabir yang memisahkan Sayidah Fathimah as dengan masyarakat yang ada di masjid)

Setelah masuk ke dalam masjid dibentangkan kain yang memisahkan beliau dengan masyarakat yang ada di sana. Mulaah berarti kain atau tabir. Artinya ada tabir yang memisahkan beliau dengan para pria yang hadir di masjid. Bahkan pada naskah yang lain ada tambahan "Mulaatun Qibthiyyatun", yang menjelaskan bahwa jenis kain atau tabir yang dipakai berasal dari Mesir.

Namun poin penting dari bagian ibarat ini adalah ketika Sayidah Fathimah az-Zahra as memasuki masjid, secara otomatis ada yang memasang tabir antara beliau dengan para pria yang hadir. Dari kata "Fajalasat" yang ada dalam khotbah ini dapat dipahami bahwa sebelum beliau duduk, dengan cepat tabir sudah terpasang. Artinya, ketika mereka mendapat kabar bahwa bahwa putri Rasulullah Saw akan memasuki masjid, dengan cepat mereka mempersiapkan tempat dan membentangkan tabir. Apa yang mereka lakukan ini juga demi melindungi beliau dari pandangan para pria dan sebuah bentuk penghormatan yang tidak hanya ajaran agama, tapi telah menjadi tradisi. Hal ini dapat ditemui dalam acara-acara keagamaan saat ini.

Jeritan Masyarakat

ثُمَّ اَنَّتْ اَنَّةً اَجْهَشَ الْقَوْمُ لَهَا بِالْبُكَاءِ

"Tsumma Annat Annatan Ajhasya al-Qaumu Lahaa bil Bukaa'i"

(Kemudian beliau duduk dan menjerit pilu dan masyarakat mengikutinya dengan tangisan)

Ketika Sayidah Fathimah az-Zahra as duduk dan menarik napas panjang yang terdengar jelas memuat kesedihan yang mendalam, seluruh Muhajirin, Anshar dan siapa saja yang hadir di masjid mulai menangis. Tangisan mereka tidak biasanya. Karena ungkapan "Ajhasya al-Qaumu" berarti seseorang yang menangis tersedu-sedu akibat menahan masalah yang berat, sehingga badannya dihempaskan ke kanan dan kiri. Sama seperti anak kecil yang menjatuhkan dirinya ke ibunya karena kesal yang luar biasa. Jeritan pilu Sayidah Zahra as membuat ruangan masjid dipenuhi tangisan.

فَارْتَجَّ الْمَجْلِسُ

"Fartajja al-Majlisu"

(Majelis pertemuan menjadi tidak terkendali)

ثُمَّ اَمْهَلَتْ هُنَيَّةً حَتَّى اِذَا سَكَنَ نَشِيْجُ الْقَوْمِ وَ هَدَأَتْ فَوْرَتُهُمْ

"Tsumma Amhalat Hunayyatan Hattaa Idzaa Sakana Nasyiiju al-Qaumi wa Hadat Fauratuhum"

(Kemudian beliau memberi kesempatan, sehingga masyarakat yang hadir tenang)

Sayidah Fathimah az-Zahra as kemudian memberikan kesempatan kepada mereka yang hadir untuk menenangkan dirinya. Ungkapan ini dengan jelas menunjukkan bagaimana masyarakat yang hadir untuk beberapa saat menangis, tanpa mampu menahan dirinya. Karena itulah, Sayidah Fathimah az-Zahra as memberikan kesempatan kepada mereka agar dapat menenangkan dirinya dan majelis yang ada juga menjadi tenang. (IRIB Indonesia/Saleh Lapadi)

Sumber: Tehrani, Mojtaba, Sharhi Koutah bar Khotbeh Fadak, Tehran, Moasseseh Farhanggi Pezhouheshi Masabih al-Hoda, 1390, cetakan kedua.

3 komentar:

  1. allahuma shaliala muhammad wa ali muhammad

    BalasHapus
  2. allahumma shali'alaa muhammad wa aali muhammad

    BalasHapus
  3. Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa aali Muhammad wa 'ajjil farajahum

    BalasHapus