Jumat, 19 Juni 2009

JADILAH ENGKAU SEBAGAI HUSSEIN ATAU ZAINAB AL KUBRA, KALAU TIDAK ENGKAU ADALAH YAZID

Bismillaahirrahmaanirrahiim



MEMAHAMI IDEOLOGY HUSSEIN BUKANLAH SEKEDAR PERINGATAN HARI ASYUARA ATAU KARBALA
TETAPI
YANG TERPENTING ADALAH MENGENAL PERSIS
MANA
"KOMUNITAS YAZID"
DI ZAMAN KITA MASING-MASING
(hsndwsp)
 Acheh - Sumatra



Setiap bulan adalah Muharram, setiap hari adalah 'asyura dan setiap tempat adalah Karbala. Itulah selogan yang dikumandangkan dalam Revolusi Islam Iran dibawah pimpinan "Hussein - Hussein" Iran (baca Imam Khomaini, Dr 'Ali Syari'ati, Murtadha Mutahhari serta 6 Ulama brillian lainnya yang Syahid semuanya kecuali Imam Khoimaini) ketika meluluhlantakkan "Yazid" Iran (baca Syah Redha Palevi).

Karbala adalah benang sejarah yang paling efektif untuk mengenal proto tipe Hussein dan Yazid sebagai dua kutup yang paling extrem sebagai Symbolisasi antara yang Haq dan yang Bathil. Justru itu alangkah tercerahkan pemikiran masyarakat dimanapun ketika peringatan Hussein dan Karbala diperingati kembali. Ironisnya sebahagian orang-orang yang mengaku diri sebagai Ummah Islam hampir tidak pernah memperingati Penghulu Syahid itu. Inilah sebetulnya yang menyebabkan mereka terjebak kedalam perangkap "Yazid - Yazid" moderen. (baca Sukarno, Suharto, Habibi, Gusdur, Megawati, Yudhoyono, Saddam dan sebagainya)

Imam Hussein bersama segenap keluarga dan sahabat-sahabat setianya tidaklah langsung menuju padang Karbala. Beliau terlebih dahulu berangkat ke Haji untuk memberitahukan orang-orang yang sedang menunaikan 'ibadah Haji bahwa mengelilingi Ka'bah (tawaf) ketika itu sama dengan mengelilingi Istana Hijau Yazid bin Abu Sofyan. Bayangkan betapa khasnya kepergian Imam Hussein ke Haji saat itu dimana diikuti oleh segenap keluarganya walau bayi sekalipun. Namun Imam Hussein tidak menyelesaikan Hajinya. Nampaknya dia ingin memberitahukan orang-orang Haji bahwa tanpa Imam yang haq diikuti, haji itu tidak ada artinya sama sekali.

Baru saja tiga kali Imam melakukan tawaf, lalu berhenti yang membuat para jamaah haji yang lainpun berhenti total. Beliau berbicara seperlunya: " Saya akan hijrah ke Karbala, saya akan hijrah ke mati. Mati merah adalah mati yang paling mulia di sisi Allah. Mati berdarah adalah mati yang paling indah bagaikan kalung nan melingkar di leher gadis nan rupawan". Demikian diantara kata-kata yang indah diucapkannya. Lalu beliaupun langsung berangkat ke Karbala.
Masih banyak sahabat Rasulullah yang tega melanjutkan Hajinya tanpa mengikuti Imam Hussein ke padang Karbala. Andaikata semua orang-orang yang sedang menunaikan 'ibadah Haji memahami bahwa Haji mereka sia-sia tanpa mengikuti Imam yang haq, kemungkinan besar Imam Hussein tak akan mampu dibunuh oleh tentra Yazid bin Mu'awiyah, bahkan Imam dapat mengembalikan system negara ketika itu sebagaimana yang diamanahkan Rasulullah, datoknya atau Imam 'Ali bin Abu Thalib, ayahnya.

Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) membujuk Imam untuk tidak pergi ke Karbala (Kofah). Dia mengatakan bahwa penduduk Kufah yang telah memintanya datang adalah terkenal jahat dan tak dapat dipercaya. Dia memintanya agar pergi saja ke Jaman. Disana Imam Hussein mempunyai ramai pengikut sehingga dia boleh hidup dengan aman. Imam Hussein mengatakan bahwa sahabat setianya, keluarga dan juga adiknya Muhammad Hanafiah telah berkata yang benar. "Saya juga tahu bahwa saya tidak akan mencapai apa-apa kuasa sebab saya pergi bukan untuk penaklukan dunia. Saya pergi hanya untuk dibunuh. Saya berharap bahwa melalui penderitaan yang saya tanggung dari penindasan ini, dapat mencabut keluar asas bagi segala kekejaman dan kedhaliman. Saya berjumpa dengan datuk, nabi Allah didalam mimpi memberi tahu saya agar membuat perjalanan ke Irak. Allah mahu melihat saya dibunuh". Muhammad Hanafiah dan Ibnu Abbas berkata: "Jika begitu kenapa membawa anak-anak dan wanita bersama kamu". Imam menjawab: "Datuk saya mengatakan bahwa Allah mahu melihat mereka ditawan. Saya membawa mereka sesuai arahan Nabi Allah"

Patut kita renungkan disini bahwa Haji bukanlah sekedar ibadah Ritual, tetapi juga Sosial, Siasah, Sejarah, Ekonomi, Kehidupan, Kebangkitan dan Idiologi. Haji adalah evolusi manusia menuju kepada Allah. Wahai Haji menceburlah dirimu kedalam lautan manusia agar kamu dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dengan cara yang demikianlah kamu mendapat redhaNya. Demikian hebatnya Ibadah yang satu ini. Namun siapakah orangnya yang begitu berani memandang rendah dan sia-sia terhadap Haji tersebut ? Dia tidak berbuat sebagaimana orang-orang "Islam" yang lain. Padahal Tonggak bersejarah yang dibangun Nabi Ibrahim bersama dengan anaknya, nabi Ismail itu telah banyak mengambil korban untuk dihidupkan kembali oleh nabi Muhammad saww, datuknya. Salahkah Imam Hussein mengabaikan Haji itu demi untuk syahid di Karbala ? Atau kitakah yang tidak mampu memahami Idiology Hussein dan Karbalanya ? " Setiap bulan adalah Muharram, setiap hari adalah 'Asyura dan setiap tempat adalah Karbala" . Karbala adalah symbolisasi medan pertempuran antara yang haq dan yang bathil. Imam Hussein, keluarga dan sahabat setianya begitu gagah berani mengorbankan darah dan air mata untuk menyirami kembali "Pohon" Islam yang telah dimatikan Yazid, duplikat Qabil, Namrud dan Fir'aun.

Idiology inilah yang perlu kita pahami dewasa ini bahwa kita pantang hidup dibawah symbul-symbul kedhaliman. Kita dituntut untuk berjuang dibawah satu poros, pemimpin yang membebaskan kaum dhu'afa dari belenggu-belenggu yang menimpa kuduk-kuduk mereka (Q.S,7:157). Apa artinya kita demikian rajin mencangkul di tengah sawah yang terbentang lebar, sementara kita lupa bahwa sebentar lagi air bah akan menyapu semua tanaman yang kita tanam tadi. Justru itu kita perlu memperbaiki bendungan terlebih dahulu agar usaha kita tidak menjadi sia-sia.

Perlu kita pahami bahwa Pemimpin itu sangat menentukan suatu perjuangan. Justru itu kita tidak boleh sembarangan terhadap pemimpin. Andaikata kita berseberangan pikiran, kita hanya dibenarkan untuk menyampaikan jalan pikiran kita sementara keputusannya tetap berada ditangan pemimpin. Andaikata pikiran kita tidak diterima, kita haq berlapang dada untuk tetap setia demi berhasilnya perjuangan. Kalau tidak demikian pastilah akan muncul oposisi yang sangat berbahaya terhadap suatu Revolusi. Oposisi takdapat ditolerir kecuali kita sudah berhasil mengalahkan musuh.

Perlu kita ingatkan kembali kata- kata Imam 'Ali, karamallah wajhah: "Suatu organisasi yang bathil tapi rapi dapat mengalahkan organisasi yang haq, namun tidak tersusun secara rapi" Perjuangan itu membutuhkan pagar yang kokoh agar babi-babi liar itu tidak mampu menembusi kawasan pohon perjuangan. Justru itulah Imam Ali mengatakan: "Teman + Teman = teman. Teman + Musuh = Musuh". Andaikata pagar yang dibuat Imam Ali ini dipahami benar oleh segenap pejuang Acheh Sumatra, sudah dulu Acheh merdeka. Pagar tersebut telah diperkenalkan kembali kepada bangsa Acheh oleh wali (Tgk. Hasan Muhammad di Tiro). Sayangnya sampai hari ini masih ada orang Acheh yang belum memahaminya. Justru itulah kita lihat sampai sekarang masih adanya orang Acheh yang tidak memahami hakikat daripada "Silaturrahmi". Padahal Rasulullah sendiri tidak bersilaturrahmi dengan pamannya Abu Lahab dan Abu Jahal disebabkan anti kepada perjuangannya.

Islam bersaudara lewat Idiology, bukan lewat darah. Abu Bakar pernah meninju ayahnya sendiri sampai pingsan disebabkan Abu Quhafah itu mencaci Rasulullah didepan matanya. Musuh bersorak-sorai dan mengatakan bahwa gara-gara Islam atau Muhammad, Abu Bakar putus hubungan (silaturrahmi) dengan ayahnya. Ketika Rasulullah menanyakan Abu Bakar tentang kejadian itu, Abu Bakar menjawab: "Demi Allah ya Rasulallah andaikata ada pedang di tanganku, dengan pedang itu kupukulnya". Rasulullah tidak memberikan jawaban kecuali menunggu wahyu Allah untuk menyelesaikannya. Lalu Allah menurunkan wahyunya surah Al Mujadalah ayat 22 yang artinya:
" Tidak akan kamu dapati sekali kali (hai Muhammad) suatu kaum yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian berkasih sayang (mereka itu) kepada orang-orang yang anti kepada Allah dan RasulNya, kendatipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka sendiri atau anak-anak mereka sendiri atau saudara-saudara mereka sendiri atau keluarga mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan ruh yang datang daripada Nya. Mereka akan dimasukkan kedalam Syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya. Allah redha terhadap mereka dan merekapun redha terhadapNya. Mereka itulah tentra-tentra Allah. Tidakkah kamu ketahui sesungguhnya tentra-tentra Allah itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan". (Q.S Al Mujadalah 22)

Di Acheh kalau ada cuak yang sudah berlumuran darah bangsa Acheh lalu di ambil tindakan oleh TNA, saudara merekapun berobah menjadi cuak. Demikian juga ketika diambil tindakan tegas terhadap orang-orang yang menghina pemimpin, saudaranya dengan otomatis memusuhi perjuangan lalu menjadi oposisi. Mareka berdalih kita sama-sama bangsa Acheh yang memiliki hak yang sama. Mereka lupa adakah hak Abu lahab dan Abu Jahal sebagai pamannya Nabi?

Anak Nabi Nuh tidak termasuk dalam golongan yang naik dalam bahteranya sehingga dia ditenggelamkan Allah. Namun ketika Nabi Nuh mengatakan bahwa itu adalah darah-dagingnya, Allah menjawab: "Itu bukan anakmu, Nuh". Adalah hal yang sama diberitaukan Allah kepada Nabi Ibrahim ketika berdo'a kepadaNya mengenai ayahnya, Azar sebagai arsitek tuhan palsu (patung). Allah menjawab: "Itu bukan ayahmu, Ibrahim". Demikianlah kita diajarkan Allah agar memahami bahwa Islam itu bersaudara lewat Idiology/'Aqidah. Siapapun yang berseberangan atau memusuhi perjuangan atau mencaci, menghina pemimpin adalah musuh kita kendatipun mereka itu adalah ayah-ayah kita sendiri ( Q.S Al Mujadalah 22).

Billahi fi sabililhaq
hsndwsp di Ujung Dunia



Muhammad al qubra wrote:
Al-Hurr: mengapa kita melupakannya?
Cinta Rasul Oleh : Erros Jafar 15 Feb 2006 - 3:00 pm


Salah satu panglima perang bernama Al Hurr sadar & tobat serta bergabung ke kubu Imam Hussein, beliau mengajak panglima Umar bin Saad untuk juga ikut sadar bersamanya, namun nasihat nasihat baliau tidak didengar bahkan mereka semakin bertambah beringas untuk segera membunuh Imam Husein dan rombongannya

Hurr adalah nama salah seorang panglima tinggi tentera ‘Umar bin Sa’ad yang menghadapi cucu Nabi Saw, Husain bin ‘Alî, atas perintah dari Yazid bin Muawiyah untuk melaksanakan salah satu dari dua perintahnya, yaitu mendapatkan baiat (sumpah setia) Husain bagi kekhalifahannya yang korup, atau membunuh Husain dan semua sahabatnya. Adalah Hurr dan tenteranya yang mula-mula menghadapi Imam Husain, dan kemudian mengepungnya, serta menghalangi beliau dan para sahabatnya untuk mendapatkan air minum.

Pada hari ‘Asyura, Hurr membuat sebuah keputusan yang besar. Persis sebelum pertempuran dimulai, dia meninggalkan posisi dan pasukan yang sedang dipimpinnya, dan bergabung dengan Imam Husain. Dan menjadi syahid pertama yang terbunuh di jalan Allah oleh tentera yang beberapa jam sebelumnya masih berada di bawah komandannya. Nama Hurr bererti “merdeka, lahir sebagai orang merdeka, mulia, orang bebas.”

Takdir terkadang melakukan sebuah permainan. Pabrik penciptaan terus-menerus memproduksi makhluk-makhluk yang tak terhitung jumlahnya: batu-batu, pohon-pohon, sungai-sungai, serangga-serangga, manusia, dan terkadang memperlihatkan sebuah adegan humor, menciptakan sebuah inovasi atau kekecualian: ia menulis puisi, menggambar sebuah lukisan, atau melakukan sesuatu yang unik. Dalam satu kata, dapat dikatakan bahawa benda-benda ciptaan tersebut mempunyai “karakter”. Dari antara rumah-rumah, ada Ka’bah, dari antara semua tembok, ada Tembok Besar Cina; dari antara planet-planet yang mengelilingi matahari, ada bumi, dan dari semua syuhada, ada Hurr.

Tangan artistik takdir telah menyusun adegan ini dengan tingkat ketepatan dan ketelitian yang paling tinggi. Dan seolah-olah hendak menekankan pentingnya ceritera yang sedang terjadi, ia memilih semua pemain lakonnya dari pemain-pemain yang berkarakter absolut, alias mutlak, dengan tujuan untuk menjadikan ceritanya lebih efektif.

Cerita yang sedang kita bicarakan ini adalah tentang sebuah “pilihan”, sebuah manifestasi terpenting dari arti menjadi seorang manusia. Tetapi, pilihan macam apa? Kita semua dihadapkan pada beberapa pilihan dalam kehidupan kita sehari-hari: karier, teman, isteri, rumah, bidang studi. Tetapi dalam cerita ini, pilihannya jauh lebih sulit: antara baik dan buruk. Dan di samping itu, pilihan tersebut juga bukan dari sudut pandang filosofis, ilmiah, ataupun teologis. Sungguh, pilihan yang sedang kita bicarakan di sini adalah pilihan antara agama yang benar dan agama yang lancung, antara politik yang adil dan politik yang zalim, dengan nyawa sebagai harga yang harus dibayar untuk pilihan yang diambil.

Untuk menekankan lebih jauh sensitifnya situasi, pencipta lakon cerita ini tidak menempatkan sang pahlawan di tengah-tengah antara yang benar dan yang bathil. Alih-alih, si pahlawan adalah pemimpin dari pasukan tentera yang berdiri di pihak yang jahat. Di lain pihak, sutradara lakon ini harus mencari lambang-lambang bagi ceritanya untuk membuatnya efektif. Akankah dia menempatkan Prometheus di satu pihak dan beberapa setan di pihak yang lain? Tapi pemilihan tokoh-tokoh seperti ini akan menjadikan ceritanya terlalu berbau mitos. Bagaimana dengan Spartacus dan Crasius? Tidak, nama-nama ini akan membuat ceritanya bercorak nasionalistis dan memberikan kepadanya sifat bergantung pada kelas sosial. Bagaimana dengan Ibrahim dan Namrud? Mûsâ dan Fir’aun? Yesus dan Judas? Tidak juga. Sebab bagi kebanyakan orang nama-nama ini adalah tokoh-tokoh yang bersifat metafisik dan terlalu “tinggi”, jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Memasang mereka sebagai pemain utama akan mengurangi efek cerita, dan menjadikan orang mengagumi mereka, tapi tidak akan berpikir untuk mengikuti contuh teladan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, tujuan utama cerita ini adalah untuk mengajar, menunjukkan kemampuan manusia untuk berubah, untuk menunjukkan bahawa adalah mungkin bagi seorang awam, bahkan seorang yang berdosa, untuk memutuskan semua ikatan sosial, kekeluargaan dan kelasnya, dan memperlihatkan perubahan yang suci.

Sejarah Islam penuh dengan fenomena kontradiksi. Kedua garis pertentangan yang berawal dari Habil dan Qabil dan yang terus ada di sepanjang sejarah, secara berhadapan dalam berbagai wajah, juga terus berlanjut di dalam Islam. Nah, dalam cerita ini kedua aliran ini sama-sama mengenakan baju Islam, tapi dengan arah menghadap yang berlawanan. Ironisnya, pahlawan kita diharuskan memilih antara ujung-ujung yang paling ekstrim pada masing-masing pihak, iaitu: Yazid vs. Husain. Sungguh, seandainya cerita ini dikarang oleh seorang pengarang, niscaya dia akan segera boleh dikenali dan diakui kerana keaslian dan kualitas seninya...

Siapa nama pahlawan ini? Bagi seorang tokoh sejarah, apa yang penting adalah peranan yang dimainkannya, bukan namanya. Sebab namanya adalah sesuatu yang dipilihkan untuknya oleh keluarganya, sesuai dengan selera orangtuanya. Di lain pihak, jika cerita ini diciptakan oleh seorang pengarang yang memiliki originaliti, niscaya dia akan memilih sebuah nama yang relevan dengan peranan yang dimainkan oleh pahlawannya. Tetapi dalam cerita ini pahlawan kita telah diberi nama Hurr oleh ibunya, seolah-olah ibunya telah melihat peranan sangat peka yang akan dimainkan oleh anaknya nanti. Maka, ketika sang Pemimpin kemerdekaan memandangi tubuhnya yang berlumuran darah sesaat sebelum dia menghembuskan nafas yang terakhir, beliau mengatakan kepadanya: “Wahai Hurr, semoga Allah merahmatimu! Engkau adalah seorang yang merdeka di dunia ini dan juga di akhirat nanti, persis sebagaimana arti nama yang diberikan ibumu kepadamu!”

Meskipun Hurr telah memainkan peranan yang unik dalam sejarah, namun esensi peranannya tidaklah terbatas hanya pada dirinya saja. Makna tindakannya, dalam kenyataannya, mencakup semua manusia, malahan dapat dikatakan mendefinisikan “kemanusiaan”. Tindakannya itulah yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya, yang menggaris-bawahi tanggung jawab manusia dan terhadap Tuhan, terhadap sesama manusianya dan terhadap dirinya sendiri. Dan Hurr telah memainkan peranannya tidak dengan kata-kata dan konsep-konsep, tetapi dengan cinta dan darah. Jika kita menangkap kedalaman kata-kata Imam Shâdiq bahawa “Setiap hari adalah hari ‘Asyura dan setiap tempat adalah Karbala, dan setiap bulan adalah bulan Muharram”, maka kita akan segera mengerti perluasan kata-kata ini, iaitu: “dan setiap orang adalah Hurr!”

Sejarah kita, yang berawal dari Habil dan Qabil, adalah manifestasi dari pertentangan abadi antara kubu Tuhan dan kubu Syaitan, meskipun dalam masing-masing zaman kedua kubu ini diselubungi samaran yang berbeda. Kerana itu, dalam setiap masa, setiap orang mendapati dirinya berada pada posisi yang sama dengan Hurr: sendirian, di tengah-tengah, ragu-ragu, di antara dua pasukan tentera yang sama. Di satu pihak, komandan tentera kejahatan berseru kepada pasukannya: “Wahai tentera Allah! Serbu!” dan di pihak lain, seorang Imam, dengan suara yang bergema sepanjang sejarah, bertanya - bukan memerintah - “Adakah orang yang mau membela aku?” Dan anda, orang itu, mesti memilih.

Dengan pilihan inilah Anda menjadi manusia. Sebelum menjatuhkan pilihan, Anda bukan apa-apa. Anda hanya suatu eksistensi tanpa esensi, anda berdiri di tengah-tengah. Jadi, orang yang mendapatkan eksistensi melalui kelahiran, menemukan “esensi” melalui pilihan. Dengan pilihan inilah penciptaan manusia menjadi sempurna, dan inilah tepatnya saat ketika manusia merasakan beban berat di pundaknya dan mendapati dirinya sendirian, kerana Tuhan dan alam telah membiarkannya berdiri sendiri dalam membuat keputusan yang penuh bahaya ini.

Sekarang kita boleh menilai pahlawan kita, kita boleh merasakan perjalanan panjang apa yang telah ditempuhnya dalam waktu singkat itu, perjalanan untuk mengubah dirinya dari seorang Hurr yang berdiri di pihak Yazid menjadi Hurr yang membela Husain. Jika dia tetap berada bersama tentera Yazid, maka dunianya akan terjamin. Dan jika dia bergabung dengan pasukan Husain yang jumlahnya kecil, maka kematiannya dapat dipastikan. Saat itu adalah pagi di hari ‘Asyura, dan meskipun pertempuran belum dimulai di lapangan, Hurr menyedari bahawa kesempatan baginya tidak akan lama. Waktu berjalan cepat, dan detik-detik yang berlalu sangat bererti. Badai telah mulai bergolak di dalam dirinya.

Sejak mula, Hurr telah berharap bahawa insiden-insiden yang telah terjadi tidak akan membawa kepada peperangan. Tapi sekarang perperangan tampaknya tak boleh dihindarkan lagi. Manusia memiliki kemampuan yang terbatas untuk bertoleransi terhadap rasa malu dan kehinaan, kecuali mereka yang memang genius dan boleh mentoleransi kehinaan hingga pada tingkat yang tak terbatas. Tak pernah terlintas dalam benak Hurr bahawa menjadi “pegawai” dalam pemerintahan Yazid akan bererti harus berkomplot dalam tindakan-tindakan kriminalnya. Baginya, pekerjaannya hanyalah sumber penghidupan yang tak ada sangkut pautnya dengan politik ataupun agamanya.

Sekarang dia menyedari bahawa menyatukan kedudukannya dengan agamanya adalah hal yang mustahil. Maka, dengan putus asa dan sebagai langkah terakhir, dia lalu berbicara kepada komandan pasukannya (Umar bin Sa’ad) yang - sebagaimana dirinya - juga enggan terlibat dalam peperanangan dan hanya mahu menerima tugas yang diberikan kepadanya kerana dijanjikan akan diberi jabatan sebagai gabernor wilayah Ray dan Jurjan. Hurr berfikir, apa yang lebih baik dari pada mencapai sebuah solusi tanpa terlibat dalam penumpahan darah cucu Nabi dan keluarganya.

Baik Hurr maupun Umar bin Sa’ad ketika menempuh perjalanan dari istana Yazid ke Karbala bersama-sama, dan keduanya mempunyai status dan kedudukan sosial yang sama. Hurr bertanya kepada Umar: “Bolehkah kamu mencari jalan keluar dari situasi ini?”

Umar menjawab: “Engkau tahu bahawa seandainya wewenang berada di tanganku, pasti akan aku akan melakukan apa yang kau usulkan itu. Tapi atasanmu ‘Ubaidullah bin Ziyad tidak mau menerima penyelesaian damai!”

“Jadi, apakah engkau akan berperang dengan orang ini (Husain)?”

“Ya. Demi Tuhan, aku akan terjun ke dalam peperangan yang akibatnya yang paling ringan adalah terpenggalnya kepala-kepala dan terpotongnya tangan-tangan.”

Sekarang, nyata sudah bagi Hurr bahawa dia tidak boleh lagi bermain-main dengan agamanya. Maka kedua rakan itu pun lalu bersimpang jalan.

Bagi Hurr, tentera Yazid yang berjumlah puluhan ribu itu sekarang bukan apa-apa lagi, tak lebih dari sekumpulan wajah yang tak punya erti. Segerombolan besar manusia tanpa peribadi, sekelompok individu tanpa hati. Orang-orang yang berteriak-teriak penuh semangat, tanpa tahu mengapa mereka berteriak-teriak. Serdadu-serdadu yang bertempur tanpa tahu untuk siapa mereka berperanang. Sekarang Jesus-nya cinta dan kesedaran menyembuhkan orang yang buta dan menghidupkan kembali orang yang mati, menciptakan seorang syahid dari seorang pembunuh. Dalam sebuah perjalanan, tidaklah cukup menanyakan tujuan saja. Kita juga mesti bertanya tentang darimana berangkatnya. Dengan demikian, panjangnya perjalanan Husain menjadi jelas manakala kita menyedari dari mana dia mulai dan di mana dia berhenti, yang semuanya terjadi dalam waktu setengah hari.

Dalam hijrahnya dari Syaitan menuju ke Allah, Hurr tidak mempelajari filsafat ataupun teologi, tidak pula menghadiri kuliah atau pergi ke sekolah. Dalam kenyataannya “arah” inilah yang memberi erti kepada segala sesuatu: seni, ilmu pengetahuan, kesusasteraan, agama, doa-doa, ibadah haji, Muhammad, dan ‘Alî.

Setelah memulai perjalanannya, maka sambil mengendarai kudanya, maka dengan perlahan-lahan Hurr meninggalkan pasukan tenteranya menuju ke kelompok Husain. Muhajir bin Aus, yang melihat tingkah laku Hurr, yang tampak gelisah hebat dan cemas, bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi dengan dirimu, Hurr? Aku bingung melihat tingkahmu. Demi Allah, jika aku ditanya siapa orang yang paling pemberani di kalangan pasukan kita, niscaya akan ku sebutkan namamu tanpa ragu-ragu lagi. Tapi, mengapa engkau begitu gelisah dan cemas?”

“Aku mendapati diriku berada di antara Neraka dan Syurga, dan aku harus memilih di antara keduanya. Demi Allah, aku tidak akan memilih selain Syurga, meskipun tubuhku akan dipotong-potong atau dibakar menjadi abu.”

Penciptaan Hurr-pun disempurnakan dan api keraguan telah membawanya kepada kebenaran yang pasti. Dengan perlahan-lahan dia menghampiri kubu Husain. Dan setelah dekat dia lalu menggantungkan kedua sepatunya di lehernya dan merendahkan perisainya (sebagai tanda penyesalan).

“Akulah orang yang telah menutup jalanmu, wahai Husain,” katanya. Dan dia menolak ajakan Husain untuk beristirahat sejenak. Dia sudah tak sabar lagi.

“Apakah ada taubat bagiku?” tanyanya. Dan dia tidak dapat menunggu jawaban atas pertanyaannya itu. Dia langsung maju ke depan dan menyerang pasukan Umar dengan kata-kata yang paling pahit dan pedas, untuk menunjukkan kepada bekas tentera dan komandannya bahawa dia bukan lagi seorang budak, melainkan seorang merdeka, seorang “Hurr”.

Umar bin Sa’ad, bekas komandannya, menanggapinya dan menembakkan sebatang anak panah, seraya berseru: “Saksikanlah dan biarkanlah Amirul Mukminin tahu bahawa akulah orang pertama yang menembakkan panah kepada tentera Husain!”

Dan demikianlah pertempuran Karbala dimulai.....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar